Tuesday, October 7, 2014

Cerpen



Tinah Ingin Berkulit Putih
Tak ada kata yang dapat mewakili maksud sang mahaPencipta menciptakan segala sesuatu di dunia, semuanya bermakna jika diartikan dengan keikhlasan oleh manusia. Ketika hidup tak sejalan dengan yang kita inginkan, semuanya menjadi tak indah meski sebenarnya indah. Ketika ketakindahan kita maknai dengan keikhlasan, semuanya terasa indah walau sebenarnya tak indah.
Siang hari begini indah bagi petani yang sedang menjemur padi-padinya. Tapi tidak bagi Tinah, keringat mengucur di pelipis Tinah karena cuaca panas siang ini. Sambil mengusap-usap keringatnya dengan punggung tangan, mata Tinah bergerak mengamati sekeliling ruang tamu dirumah yang baru ia masuki itu. Ia melihat pintu kamar sebelah kirinya terbuka, kepalanya menengok sedikit mengintip kamar itu, ditemukannya cermin rias yang menyatu dengan lemari kecil berlaci banyak.
“Waah..kebetulan sekali, aku ingin melihat wajahku kalau sedang berkeringat, pasti jelek sekali”. Tinah bercermin sambil tetap duduk dikursi ruang tamu dan merapihkan rambutnya yang lepek terkena keringat. Ia merengut melihat dirinya yang kumal dan rambutnya yang lepek dicermin. Ia tak sempat dandan waktu dijemput oleh pacarnya, padahal ia selalu ingin tampil cantik jika diajak pergi kemana-mana, supaya pacarnya tak merasa malu menggandengnya.
“Tin!” terdengar suara pacarTinah dari ruang tengah.
“Ia mas...”
“Mau minum apa?”
“Ah merepotkan mas, aku biasa minum air putih dirumah.”
“Ya sudah, tunggu sebentar ya.”
Sudah hampir seperempat jam Tinah disuruh duduk diruang tamu dan baru ditawari minum, sedangkan pacarnya sedang asik main catur dengan Uaknya diruang tengah. Tinah diam saja setelah diambilkan minum, ia kembali pada pikirannya tentang wajahnya yang kumal itu.
“Ah...apa aku kurang cantik, mas Manan begitu cuek padaku. Masa aku diajak kemari untuk dianggurkan, dia asik main catur.” Protes Tinah yang terlihat kesal karena perlakuan pacarnya itu.
Tiba-tiba ada perempuan gendut masuk dari pintu depan rumah itu, sambil berjalan masuk ia memperhatikan Tinah dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki dengan pandangan yang terlihat sinis. Tinah hanya tersenyum menampakkan gigi-giginya yang rapih dengan perasaan tak senang dengan kedatangan perempuan itu. Tak tahu apa yang dipikirkannya tentang Tinah, ia langsung menuju ruang tengah menghampiri Manan yang sedang main catur, dengan nada menyindir ia berkata pada Manan.
“ Man, jadi itu toh pacarmu sekarang?”
Manan tak menjawab pertanyaan itu, ia asik saja main catur. Sedangkan Tinah yang merasa disindir langsung mengerutkan dahinya dan merasa dihina.
“Apa maksudnya perempuan gendut itu berbicara dengan nada menyindir begitu, dia ingin mengatakan kalau aku ini jelek? Mending kalau dia cantik, dia saja tak bisa mengurus dagingnya yang meleber kemana-mana malah mengataiku, memangnya siapa dia. Mas Manan diam saja seperti tak menganggapku disini.” Untuk menyembunyikan dongkolnya, Tinah pura-pura melihat keluar memeperhatikan orang-orang disekitar rumah.
--------------------------
Tinah jadi berkecil hati setelah kejadian kemarin, ia bercermin sambil memperhatikan wajahnya dengan teliti. Ada perasaan tak senang saat melihat wajahnya, padahal wajah itu sudah dilihatnya sejak lama, tapi kali ini ia benar-benar tak senang melihat wajahnya itu.
“Apa yang salah dengan wajahku, mata bulat dan hidung mancung, siapa yang tak suka? Kulit hitam manis juga memikat. Ah...andai aku berkulit cerah, pasti tak ada yang berani menyindirku.” Tinah terus berpikir bagaimana cara agar kulitnya bisa cerah, padahal dengan keadaannya sekarangpun ia sudah mendapatkan hati Manan pacarnya itu. Tapi ia takut Manan berpaling darinya kalau ia tak dandan.
Tinah teringat beberapa hari yang lalu saat ia membeli sayur, ia mendengar ibu-ibu membicarakan obat yang dapat mencerahkan kulit wajah dengan cepat di apotek, karena sudah ada yang mencoba memakainya dan wajahnya menjadi cerah. Tinah berniat ingin membeli obat itu. Tanpa berpikir lagi, ia keluar rumah menuju rumah saudara lakinya yang tak jauh dari rumahnya.
“Ali...!” Dengan berteriak Tinah memanggil saudaranya itu didepan pintu.
“Ada apa to, kamu belum masuk kok teriak-teriak? Sini masuk dulu!”
“Kamu lagi ndak sibuk kan? Antar aku ke apotek yah!”
“Mau beli obat buat siapa to? Siapa yang sakit? Ko ndak ngasih tahu ada yang sakit?”
“Hust...kamu nanya mbrebed begitu. Ndak ada yang sakit, aku mau beli sesuatu.”
“Oh...mau beli apa? Kamu sakit? Hayooh… mau beli apa?”
“Cerewet yah, sudah ayo antar aku!” Tinah tak sabra mendengar Ali terus bertanya.
Tinah dan Ali berangkat ke apotek dengan sepeda ontel kesayangan Ali, bagaimana tak jadi kesayangan, itu sepeda satu-satunya warisan bapak Ali yang sudah meninggal. Walaupun terik begini, jauh dekat pun Ali takkan menolak mengantarkan saudara perempuannya itu, karena mereka sangat akrab dari kecil.
“Tak apa-apalah kepanasan begini kulitku, sebentar lagi akan cerah setelah aku membeli obat itu di apotek.” Tinah hanya berfikir tentang obat itu, sambil melamunkan kulitnya yang akan berubah menjadi cerah, ia tak sadar kalau jalan yang mereka lalui itu sangat menanjak, berkali-kali Ali memanggilnya tapi ia tak manyaut.
Ali memberhentikan sepeda ontelnya dan menyuruh Tinah turun. “Tinaaaaaahhhh....”
“Ada apa to, kok berhenti disini? Kan belum sampai mas.”
“Kamu tuh yah...aku capek tahu, ini jalan nanjak begini. Kita istirahat dulu.”
“Yahh...si mas, aku kira kenapa meneriakiku begitu, capek tohh...Ya sudah kita istirahat dulu.”
“Kamu si melamun terus, kalau orang malamun dibonceng itu jadi berat tahu.”
“Lah apa hubungannya si mas ini. Hehe...”
“Sebenernya mau beli apa si?”
“Emm...mau beli obat pencerah kulit.”
“Haha...ada-ada saja kamu Tin, mau bikin mas Mananmu itu makin cinta kalau kulitmu cerah?”
“Hehe...jangan ketawa begitu lahh...Ya habisnya aku bosen kulitku begini, kurang cantik lah kalau perempuan item. Hehe...malu sendiri aku.”
“Haduh, Tinah..Tinah.. memangnya kamu punya duit?”
“Ya ada lah tabunganku ndak apa-apa aku pakai buat nambah cantik.”
“Susah yah kalau perempuan ada maunya. Ayo naik lagi!”
Mereka melanjutkan kembali melewati jalan tanjakan itu, tak lama kemudian mereka sampai juga di apotek. Tinah langsung masuk dengan buru-buru.
“Lah mas...sepi.”
“Ya dipanggil to yang jaganya!”
Beberapa kali Tinah memanggil penjaga apotek, tapi tak ada yang muncul juga.
“Mas...lama sekali penjaganya.”
“Sabar Tin, nanti juga keluar.”
Tinah memanggil lagi penjaga apotek itu sambil memukul-mukul kecil lemari kaca tempat obat-obatan dengan kuku-kukunya yang panjang, sambil melihat-lihat lemari kaca tempat  obat-obatan. Matanya menemukan benda seperti saklar bergambar lonceng diatas lemari itu, lalu ia memencetnya.
“Mas...ternyata ada bel listrik disini, pantas saja penjaganya ndak nyahut-nyahut dipanggil.” Tinah menyadari kebodohannya yang sedari tadi memanggil-manggil penjaga apotek karena ia tak tahu disitu ada bel.
Terdengar suara orang mengobrol disebelah ruangan itu. Tinah pun sudah mulai bosan menunggu, karena tak ada penjaga apotek yang muncul meskipun ia sudah memencet bel berkali-kali.
“Aku dengar ada yang mengobrol Tin disebelah ruangan ini, masa yang jaga ndak dengar bunyi bel?”
“Ia mas aku dengar kok, mereka cuek begitu, memangnya tak butuh duit? Orang aku mau beli kok kesini.”
“Biar mas yang panggil”
“Kan ada bel mas, di bel saja mereka cuek begitu kok.”
“Ya terus mau bagaimana ini? Kita pulang saja?”
“Yah mas, kan jauh-jauh kesini, masa kita pulang ndak bawa apa-apa?”
Sambil merengut Tinah memenceti bel itu, ia sudah putus asa pada harapannya membeli obat pencerah kulit itu. Sekarang ia malah dongkol pada penjaga apotek itu, ia bergumam mengata-ngatai apotek dan penjaganya itu. “Aku sumpahi ndak ada yang beli disini, hih...budek apa penjaga disini? Aku kan mau beli bukannya ngutang. Ndak bakal aku kesini lagi”
“Ayo mas kita pulang!”
“Yakin mau pulang? Tadi katanya ndak mau?”
“Sekarang mau mas, kan kita lama sekali disini ndak dapat apa-apa.”
“Aduhh...jadi nyerah begitu?”
“Ya mau bagaimana lagi mas, malah kesel nunggu disini. Ayo...”
Dengan wajah lesu Tinah keluar apotek. Sedangkan Ali keluar lalu mengambil batu yang agak besar lalu masuk lagi kedalam apotek.
“Buat apa mas batu itu?”
“Sudah..lihat saja!”
Tinah memperhatikan apa yang akan dilakukan saudaranya itu, Ali meletakkan batu itu diatas bel, terdengar bel itu berbunyi terus-menerus karena batu diatasnya. Lalu Ali keluar dan langsung menggoes sepedanya, mereka langsung melesat meninggalkan apotek itu dengan perasaan dongkol, namun mereka cukup senang karena sudah menjahili penjaga apotek dengan bel itu.

----------Selesai------------

No comments:

Post a Comment

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2