BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Karya sastra mengalir
dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi
karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja,
melainkan juga mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan
berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat
dipertanggungjawabkan. (Sugianto Mas, 2012: 9)
Bentuk sastra berarti
cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola
struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk; puisi,
prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12 (dalam Sugianto Mas, 2012: 12).
Prosa fiksi menurut Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra adalah cerita yang mempunyai tokoh dan alur,
yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi dalam ragam prosa (Sugianto
Mas, 2013: 60).
Novel
merupakan salah satu bentuk dari prosa fiksi yang memaparkan terjadinya
peristiwa secara rinci mengenai segala hal yang bersangkutan dengan peristiwa
tersebut: seperti tema, alur, tokoh dan perwatakan, latar atau setting, titik
pengisahan atau juru cerita, gaya pengarang, dan amanat, yang merupakan unsur-unsur
intrinsik yang terdapat pada novel, yang akan memberi gambaran yang cukup jelas
dan disusun dalam satu kesatuan yang utuh dan saling menunjang satu sama lain.
Maka
dari itu, penulisan analisis ini dimaksudkan untuk menganalisis unsur-unsur
intrinsik yang ada pada novel agar sebuah novel tak hanya dibaca, namun dapat
difahami isi dan nilai-nilai yang terkansung didalamnya, supaya berguna bagi
kehidupan, dan Novel yang menjadi bahan analisa saya adalah novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar.
1.2
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa tema dari novel Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar?
2. Bagaimana alur dalam novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar?
3. Siapa sajakah tokoh dan bagaimana perwatakannya
novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar?
4. Dimana latar/setting novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar?
5. Bagaimana gaya pengarang Merari Siregar dalam
novel Azab dan Sengsara karya?
6. Apa titik pengisahan yang digunakan Merari
Siregar dalam novel Azab dan Sengsara?
7. Apa sajakah amanat yang terkandung dalam novel
Azab dan Sengsara karya Merari Siregar?
1.3
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan analisis ini adalah:
1. Untuk mengetahui tema dari novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar.
2. Untuk mengetahui alur novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar.
3. Untuk mengetahui tokoh dan perwatakan novel
Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
4. Untuk mengetahui latar/setting novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar.
5. Untuk mengetahui gaya Merari Siregar dalam menyajikan
novel Azab dan Sengsara karya.
6. Untuk mengetahui titik pengisahan yang
digunakan Merari Siregar dalam novel Azab dan Sengsara.
7. Untuk mengetahui amanat yang terkandung dalam
novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini untuk saya selaku penulis, dapat
mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar, juga mendapatkan pengalaman tentang bagaimana proses
analisis unsur intrinsik yang terdapat pada sebuah novel. Selaku penulis saya
pun mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam novel, ilmu tentang
kehidupan, sosial, budaya, dan tentang menulis. Penulisan laporan ini juga dapat
dirasakan manfaatnya oleh pembaca, pembaca mendapatkan ilmu pengetahuan baru
yang terdapat dalam novel, ilmu tentang kehidupan, sosial, budaya, secara
teoritis setelah membaca analisis novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
ini.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
2.1
Pengertian
Sastra
Karya
seni sebagai ungkapan kreatif manusia, keberadannya telah menjadi bagian dari
kehidupan. Sebenarnya seseorang dalam menjalani kehidupan, ia mempunyai reaksi
emosional yang akan mendorong manusia untuk menyatakan sikap dan mencantumkan
nilai-nilai padanya. Kesemuanya itu bila kemudian dicurahkan dengan
memperhitungkan estetika maka akan berwujud “karya seni”. Manusia penjelmanya
sering disebut “seniman”. Seorang seniman menciptakan karya seni entah
disengaja atau tidak pasti berangkat dari ide/gagasan dan sikap yang ingin ia
sampaikan kepada orang lain.
Dalam
menjelmakan sikapnya, seniman tidak menerjemahkan interpretasinya secara logis,
sistematis, dan diuji kebenarannya seperti ilmuwan menjelmakan rumus-rumus atau
teori-teori, melainkan dituntut pula perenungan, perhitungan yang dalam sewaktu
mengolah media sebagai alat lontaran interpretasinya.
Dilihat dari
media atau alat yang digunakan seniman untuk menjelaskan karyanya, dapat
dibedakan adanya beberapa karya seni. Misalnya seni lukis yang menggunkaan
kanvas, kuas, cat, dan garis sebagai mediaya, seni musik yang menggunakan
alat-alat musik tertentu sebagai medianya, seni tari yang menggunakan gerakan
tangan, kaki, jari, pinggul, mata, dan seni sastra yang menggunakan bahasa
sebagai medianya, jadi yang membedakan satu karya seni dengan karya seni lain
adalah medianya. (Sugianto Mas, 2012: 5)
Korrie Layun
Rampan mengataka bahwa ahasa sebagai media dalam karya sastra tentu saja bukan
bahasa biasa seperti yang digunakan manusia sehari-hari. Melainkan bahasa yang
khas yang telah diproses sedemikian rupa dan terpilih dan menjadi media yang
dapat mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan, tanggapan, fantasi, kehendak,
cita-cita, dan perasaan penciptanya. Di dalam dirinya selalu timbul pertanyaan,
bagaimana menciptakan bahasa kembali untuk mengungkapkan dunianya. (Sugianto
Mas, 2012: 6)
Secara etimologi
kata sastra, yang berasal dari bahasa
Sansakerta, dibetuk dari akar kata sas dan –tra. Sas mempunyai arti
‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk’; sedangkan –tra mempunyai arti ‘alat,
atau sarana’. Karena itu, kata sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajarkan
atau buku petunjuk’. Dengan arti ini dalam bahasa Sansakerta dapat dijumpai
istilah Silpasastra yang berarti ‘buku arsitektur’, dan Kamasastra yang berarti
‘buku petunjuk seni bercinta’. Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan
hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya
mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan
pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi
dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
(Sugianto Mas, 2012 : 9)
Berdasarkan
istilah tentang sasta secara harfiah, saya menyimpulkan sastra bukan hanya
sebuah karya yang berbentuk huruf, tulisan, atau karangan. Sastra merupakan
hasil kegiatan kreatif manusia yang bermula dari ide/gagasan, atau sikap
manusia yang ingin disampaikan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa
sebagai medianya, dan bahasa tersebut terlebih dahulu diberi bobot makna yang
dipilih sedemikian rupa dengan memperhitungkan nilai estetika, sehingga mampu
menyampaikan maksud yang ingin disampaikan seorang seniman.
2.2
Bentuk-Bentuk
Sastra
Bentuk sastra
berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian karangan;
pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk, yaitu
puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12 (dalam Sugianto Mas: 2012))
Sutardji
Calzoum Bachrie dalam Kredo Puisi Antologi O Amuk Kapak mengatakan Bila kata dibebaskan, kreatifitas pun
dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan
dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang
kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai
penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap
fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dan bahwa dalam puisinya, ia membebaskan
kata-kata dari tradisi lapuk yang membelunggunya seperti kamus dan
penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada
kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Menulis puisi bagi Sutardji Calzoum Bachrie adalah membebaskan kata-kata, yang
berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. dan
kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi baginya adalah mengembalikan
kata kepada mantera.
Begitu
pun anggapan saya tentang puisi. Bagi saya kata dalam
sebuah puisi itu hidup. Kata bisa
bernafas, kata bisa bergerak, kata bisa bersifat, kata mempunyai karakter, kata
bisa berkembangbiak, kata itu berkelamin, kata bisa diraba, bisa disentuh, bisa
dipeluk, bisa dirangkul, bisa diajar mengobrol. Kata bisa mencintai dan
bercinta. Kata bisa membunuh dan berbunuh atapun dibunuh. Kata itu hidup, itu
kata hidup. Kata dalam puisi-puisi saya lebih menekankan bagaimana kata
memandang makna, bukan makna memandang kata. Karena makna dibangun oleh kata.
Shahnon Ahmad berpendapat bahwa puisi meliputi tiga unsur yang pokok. Pertama,
hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi; kedua bentuknya; dan yang ketiga
adalah kesannya. Semuanya itu terungkap dengan media bahasa.
Prosa adalah
ragam sastra yang dbedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama,
rima, dan kemerduan bunyi. Prosa lebih dekat dengan bahasa sehari-hari (Panuti
Sudjiman: 60 (dalam Sugianto Mas: 2013)).
Prosa
dibagi menjadi dua; prosa imajinatif dan prosa non-imajinatif. Dalam prosa
imajinatif unsur yang paling kuat adalah bentuk kreativitas mengolah bahasa
yang sifatnya imajiner dan dalam bentuknya pun prosa imajinatif dipengaruhi
oleh diksi dan gaya bahasa yang estetik. Prosa non-imajinatif, dalam hal ini
bentuk tulisan cenderung atau bahkan tidak memperdulikan bagaimana sebuah
bahasa diolah menjadi indah. Pada prosesnya merupakan interaksi yang kaku,
karena diikat oleh aturan atau kaidah penulisan tulisan.
Drama
merupakan salah satu bentuk karya sastra, dalam bentuk wujudnya, drama
merupakan susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama
pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot,
tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun
sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum
dipentaskan dalam sebuah seni pertunjukkan.
2.3
Prosa
Fiksi
Prosa fiksi menurut Sudjiman adalah cerita yang mempunyai
tokoh dan alur, yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi dalam ragam
prosa (Sugianto Mas, 2013).
Cerita rekaan
adalah satu bentuk sastra yang memaparkan terjadinya peristiwa secara rinci
mengenai segala hal yang bersangkut paut dengan persitiwa tersebut, seperti
siapa tokoh dalam peristiwa tersebut, bagaimana karakter tokoh tersebut, di
mana dan kapan terjadi peristiwa itu, bagaimana suasana, bagaimana proses
terjadinya peristiwa itu, siapa penutur peristiwa itu, dan bagaimana runtutan
peristiwa itu . (Sugianto Mas, 2013 : 42)
2.4
Jenis-Jenis
Prosa Fiksi
Dasar
penggolongan prosa fiksi dapat dilakukan berdasarkan kurun waktu, gaya ungkap,
isinya, dan unsur-unsurnya yang menonjol.
Ø Berdasarkan
kurun waktu, prosa fiksi terdiri dari;
a. Dongeng,
sering disebut juga folkor merupakan cerita rekaan yang pendek dan pada umumnya
mengisahkan peristiwa dengan memasukan hal-hal keajaiban dan tidak mungkin
terjadi dalam kehidupan nyata.
b. Hikayat,
cerita rekaan lama yang panjang yang mengisahkan peristiwa dengan memasukan
unsur keajaiban seperti dongeng. Cerita ini biasanya berpusat pada kehidupan
raja-raja, keluarga dan pembantu dekatnya. Unsur keajaiban nampak dari
kesaktian para tokohnya dalam menaklukan musuh atau suatu kerajaan lain dan
merebut putri-putri cantik.
c. Cerita
Sejarah, cerita tentang raja-raja atau kepala negeri yang biasanya bersandar
pada kenyataan sejarah. Namun tidak seluruhnya fakta sejarah.
d. Novel,
prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian peristiwa dan latar belakang secara tersusun. (Panuti Sujiman 1948:
53 ( dalam Sugianto Mas : 2013))
e. Cerpen,
jenis prosa fiksi yang memaparkan cerita secara singkat dan padat.
f. Novelet,
merupakan novel kecil, dari segi kuantitasnya berkisar 60 halaman sampai 100
halaman.
Ø Berdasarkan
gaya ungkap, prosa fiksi terdiri dari:
a. Narasi,
tipe cerita rekaan yang gaya ungkapnya menuturkan.
b. Deskripsi,
tipe cerita rekaan yang gaya ungapnya melukiskan atau menggambarkan.
c. Semi
Dramatik, tipe cerita rekaan yang gaya ungkapnya bercakap-cakap.
Ø Berdasarkan
Isi, prosa fiksi terdiri dari:
a. Novel
Bertendens, novel bertujuan artinya ketika membacanya akan menimbulkan
pandangan-pandangan tertentu.
b. Novel
Sejarah, novel yang semua cerita tentang tokoh-tokoh sejarah.
c. Novel
Psikologi, cerita yang terpusat pada kenyataan emosional para tokohnya dan yang
menjajaki tingkatan kegiatan mental yang berbeda-beda.
d. Novel
Sosial, novel masyakarat, menceritakan suka duka kehidupan tertentu dalam
lapisan sosial tertentu.
e. Novel
Ditektif, cerita yang penuh dengan rahasia, ketegangan bertahap.
f. Novel
Anak, menceritakan suka duka anak.
g. Novel
Adat, menceritakan tentang adat istiadat yang perlu diperhitungkan dalam
kehisupan manusia.
h. Novel
Keagamaan, cerita yang berhubungan dengan keagamaan.
i. Novel
Percintaan, cerita yang disusun berdasarkan persoalan cinta.
Ø Berdasarkan
Pola Umum, prosa fiksi terdiri dari:
a. Novel
Populer, merupakan karya sastra yang dikategorikan sebagai sastra hiburan dan
komersial.
b. Novel
Serius, keseriusannya dalam mengungkapkan masalah kehidupan manusia yang
diungkapkan pengarangnya.
2.5
Novel
Novel
sering dikatakan sebagai karangan yang menceritakan suatu peristiwa yang luar
biasa sebab dalam kehidupan manusia. Dikatakan peristowa luar biasa sebab hanya
memuat cerita berdasarkan konflik hidup yang sangat menonjol, sehingga
menceritakan tokoh sejak kecil sampai dewasa dianggap tidak perlu. Konflik
batin yang mendalam dari para tokoh menjadi sasaran utama cerita, hal itu
menyebabkan plot menjadi erat, tunggal, dan menarik.
Novel berasal
dari bahasa Latin ‘novellus’ yang diturunkan dari kata ‘novies’ yang berarti
‘baru’. Dikatakan baru sebab novel mucul belakangan dibandingkan dengan betuk
puisi dan drama. Yus Rusyana memunculkan pengertian novel sebagai cerita yang
panjang dan mengisahkan peristiwa rasional. Namun pengertian tentang ‘peristiwa
rasional’ masih perlu dipertanyakan sebab sekarang meski tidak banyak, ada
novel yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang justru tidak rasional. Hal ini
karena bentuk-bentuk simbolik mendominasi proses penciptaannya, sehingga cerita
secara total merupakan cerita simbol dari kehidupan nyata. Novel merupakan
prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan
serangkaian peritiwa dan latar secara tersusun. (Panuti Sujiman, 1984: 53
(dalam Sugianto Mas, 2013))
2.6
Unsur-Unsur
Novel
Unsur-unsur
yang terdapat pada novel adalah; tema, alur, tokoh dan perwatakan, latar atau
setting, titik pengisahan atau juru cerita, gaya pengarang, dan amanat.
·
Tema
Tema adalah ide pokok
dalam sebuah cerita. Tema dapat ditentukan ketika pembaca telah membaca sebuah
cerita. Karena tema dapat diasumsikan setelah semua konflik yang ada dalam
cerita itu telah habis dipahami. Tema tidak dapat ditemukan secara eksplisit.
Tema dapat ditentukan dari pengambilan kesimpulan atas segala paparan peristiwa
dari awal sampai akhir.
·
Alur
Keberadaan alur membuat
cerita menjadi masuk akal seab alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi
tetapi lebih penting adalah menjelaskan mengapa hal itu terjadi. S Tasrif
menyatakan bahwa setiap cerita biasanya diciptakan dari lima bagian peristiwa.
Urutan peristiwa-peristiwa sebgai berikut:
a. Pengarang
mulai melukiskan suatu keadaan.
b. Peristiwa
yang bersngkut paut mulai bergerak.
c. Keadaan
mulai memuncak.
d. Peristiwa-peristiwa
mencapai klimaks.
e. Pengarang
memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Apabila
pengarang menyusun cerita berdasarkan urutan peristiwa dari permulaan sampai
ahir maka susunan tersebut dapat dikatakan sebagai alur konvensional atau
tradisional, namun apabila peristiwa dari tengah atau dari akhir maka dikatakan
alur sorot balik atau flash back.
-
Secara kuantitaif, alur
diklasifikasikan menjadi dua;
a. Alur
Erat, terdapat hubungan yang kuat dari satu peristiwa ke peristiwa yang
lainnya. Sehingga pembaca harus melewati peristiwa-peristiwa tersebut secara
berurutan agar pembaca dapat memahami cerita secara utuh.
b. Alur
Longgar, terdapat hubgungan yang longgar antara satu peristiwa satu kepada
peristiwa lainnya. Sehingga pembaca dapat melewati beberapa peristiwa dan masih
dapat memahami maksud atau keseluruhan cerita.
-
Secara kualitatif, alur
dikalsifikasikan menjadi dua;
a. Alur
Tunggal, cerita hanya mempunyai satu susunan kejadian baik dalam cerita yang
mempunyai alur konvensional atau pun sorot balik.
b. Alur
Ganda, cerita yang mempunyai lebih dari satu peristiwa. Hal ini disebabkan
karena berkembangnya cerita karena dianggap suatu cerita dianggap penting dan
menarik.
·
Tokoh dan perwatakan
Menurut Panuti Sujiman,
manusia yang ada di dalam cerita rekaan disebut sebagai tokoh, yaitu individu
rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa.
Semua tokoh cerita rekaan, artunya tidak akan ada dalam dunia nyata. Bisa jadi
akan ada kemiripan sifat-sifat yang sama dengan seseorang dalam kehidupan
nyata. Ada beberapa jenis tokoh yang mungkin terdapat dalam sebuah cerita
rekaan yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan;
a. Tokoh
Sentral, tokoh yang hampir dalam keseluruhan cerita menjelajahi persoalan.
Mereka yang menjadi manusia yang konfliknya menonjol. Tokh ini sering disebut
dengan tokoh utama.
b. Tokoh
bawahan, tokoh yang kedudukannya tidak sentral dalam cerita, tetapi
kehadirannya sangat menunjang atau mendukung tokoh utama.
Ada
tiga cara pengarang dalam melukiskan watak tokoh;
a. Cara
langsung atau Analitik, pengarang tanpa rasa ragu menggambarkan watak tokohnya
kepada pembaca.
b. Cara
tak langsung atau Dramatik; dengan menggambarkan fisik tokoh, dengan
menggambarkan tempat atau lingkungannya, dengan menggambarkan perbuatan dan
tingkah lakunya, dengan menggambarkan pikiran-pikiran tokoh, dengan
menggambarkan melalui dialog tokoh.
c. Cara
langsung dan tak langsung, hal ini dilakukan karena pengarang ingin menjelaskan
watak tokhnya sejelas-jelasnya.
·
Latar atau Setting.
Segla keterangan mengenai waktu, ruang, suasana, dan lingkungan sosial yang
terdapat dalam cerita. Latar ini berfungsi untuk memperkuat tema, alur atau
plot, watak tokoh, dan membangun suasana dalam cerita. Latar tempat adalah
gambaran di mana seluruh peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar waktu adalah
gambaran kapan seluruh peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar suasana adalah
gambaran bagaimana suasana seluruh peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar
sosial adalah gamabaran lingkungan sosial apa saja yang ada dalam cerita.
·
Titik Pengisahan.
Disebut juga sebagai sudut pandang adalah kedudukan pengarang dalam bercerita.
Secara garis besar titik pengisahan atau juru cerita terdiri dari titik
pengisahan sebagai pengamat dan titik pengisahan sebagai tokoh.
-
Titik pengisahan
sebagai pengamat biasanya ber “Ia” kepada tokoh-tokoh yang ada dalam cerita,
atau menyebut nama tokoh masing-masing. Titik pengisahan sebagai pengamat ini dibagi
menjadi tiga; titik pengisahan maha tahu (menceritakan segala hal yang terdapat
dalam cerita) dan titik pengisahan objektif (menceritakan sesuatu yang nampak
saja, artinya tidak sampai kepada hal yang abstrak seperti suasana hati
tokohnya), dan titik pengisahan sebagai peninjau (memilih salah satu tokoh dan
menjelaskan secara detail tentang tindakannya dan perasaanya).
-
Titik pengisahan
sebagai tokoh, pengarang menempatkan dirinya sebagai “Aku” dalam rekaan yang
dibuatnya. Titik pengisahan ini dibagi menjadi dua; titik pengisahan sebagai tokoh protagonis dan titik
pengisahan tokoh bawahan.
·
Gaya
Gaya merupakan
gaya pengarang membawakan sebuah cerita. Ini ada kaitannnya dengan gaya bahasa
yang pengarang pakai dalam membawakan ceritanya ketika pengarang menyuguhkan
alur ataupun tokoh dan unsur-unsur lain yang termuat dalam ceritanya. Ada dua
aliran yang terenal, yaitu; aliran Platonik: menganggap style seagai kualitas
suatu ungkapan dan menurutnya ada ungkapan yang memiliki style ada jga yang
tidak; aliran Aristoteles: menganggap style sebagai kualitas yang inheren, yang
ada dalam tiap ungkapan. (Keraf, 2010: 112).
Gaya bahasa
diartikan sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). (Keraf, 2010: 113)
·
Amanat dapat kita
asumsikan secara sistematis ketika kita telah membaca seluruh peristiwa dalam
cerita tersebut. Artinya peristiwa-peristiwa yang ada memuat nilai-nilai yang
dapat kita ambil. Dan amanat secara keseluruhan dapat kita simpulkan ketika
kita telah memahami cerita yang ditulis oleh pengarang.
BAB III
ANALISIS UNSUR
INTRINSIK
NOVEL AZAB DAN SENGSARA
KARYA MERARI SIREGAR
3.1
Sekilas
Tentang Pengarang
Merari Siregar, lahir 13 juli 1896 di Sipirok, Tapanuli,
Sumatra Utara. Kehidupan masa kecilnya di Sipirok, membuat sikap, perbuatan,
dan jiwanya terpengaruh oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Namun, ketika ia
telah menempuh pendidikan, ia menyaksikan kehidupan suku bangsanya tak lagi
sesuai dengan tuntutan zaman. Hal itulah yang melatarbelakangi dirinya menulis
novel Azab dan Sengsara.
Merari Pernah menimba pendidikan di Kweekschool
(Sekolah Guru) dan Sekolah Guru Oost en West (Timur dan Barat) di Gunung
Sahari, Jakarta. Tahun 1923 Merari duduk di bangku sekolah swasta yang
didirikan oleh Vereeninging tot van Oost en West, yang ketika masa itu
merupakan organisasi yang aktif dalam mempraktikkan politik etis Belanda.
Selepas lulus dari sekolah, Merari Siregar mula-mula
bekerja sebagai guru bantu di Medan, kemudian pindah kerja ke Rumah Sakit CBZ
(sekarang Rumah Sakit Mangunkusumo). Setelah bekerja di rumah sakit, Merari
Siregar pindah ke Kalianget, Madura. Ia bekerja di Opium end Zouragie hingga
akhir usianya.
Tahun 1908 berdiri Commissie Voor Volkslectuur
(Komisi Bacaan Rakyat). Badan tersebut merupakan perwujudan dari politik etis
yang telah dijalankan oleh pemerintah colonial Belanda. Komisi Bacaan Rakyat
bertugas menyelenggarakan dan menyebarkan bacaan-bacaan, seperti terjemahan,
saduran, dan karangan asli yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun. Ketika
badan ini berganti menjadi Balai Pustaka, lahirlah novel Azab dan Sengsara,
tepatnya tahun 1920.
Azab dan Sengsara dianggap sebagai tonggak lahirnya
sastra Indonesia modern. Selain menggunakan bahasa Melayu Tinggi, novel ini
sudah bergeser dari bentuk hikayat k bentuk roman. Namun, sesungguhnya novel
ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar sejak kecil,
saat dia hidup di Sipirok.
Selain dikenal sebagai pengarag, Merari juga dikenal
sebagai penyadur. Karya sadurannya yang terkenal adalah Si Jamin dan Si Johan
yang merupakan saduran dari Jan Smees karya sastrawan Belanda Justus van Murik
yan terbit tahun 1979. Konon cerita Jan Smees sendiri berasal dari cerita
Oliver Twist karya Charles Dicknes. Si Jamin dan Si Johan terbit pertama kali
tahun 1918, dua tahun sebelum Azab dan Sengsara diterbitkan.
Selain Azab dan Sengsara dan Si Jamin dan Si Johan
yang terkenal, Merari Siregar juga menulis novel Binasa Karena Gadis Priangan
(Balai Pustaka, 1931), Cerita tentang Busuk dan Wanginya kota Batavia (Balai
Pustaka, 1924) dan Cinta dan Hawa Nafsu.
Agaknya, profesi Merari Siregar sebagai guru,
mewarnai gaya bercerita pada hampir semua karya-karyanya. Penggunaan bahasa
yang lancer dan rapi serta kecenderungan menasihati, mengecam, dan memuji-muji
tindakan yangmenurutnya baik, mewarnai hampir semua karyanya.
Merari Siregar tutup usia pada tanggal 23 April 1940
di Kalianget, Madura, meninggalkan seorang isrti dan tiga orang anak bernama
Florentinus Hasajangu MS, Suzzana Tiurna Siregar, dan Theodorus Mulia Siregar.
3.2
Sinopsis
Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
Mariamin sekarang hidup dalam kemiskinan, Aminu’ddin
tak pernah mempermasalahkan kemiskinan keluarga Mariamin, ia tetap menyayangi
kekasihnya itu, bahkan ia berniat menikahi Mariamin. Aminu’ddin menemui
Mariamin dirumahnya untuk berpamitan, ia akan bekerja di Medan demi mewujudkan
cita-citanya untuk menikahi kekasihnya itu. Meskipun Mariamin kecewa dengan
keputusan Aminu’ddin, dengan berat hati, ia harus mengikhlaskan kekasihnyanya
pergi untuk kebahagiaan mereka kelak, maka setelah Aminu’ddin bekerja di Medan,
ia mengutarakan niatnya untuk menikahi Mariamin kepada ibunda Mariamin, ayah
dan ibunya juga. Ibunda Mariamin tidak keberatan dengan niat Aminu’ddin,
apalagi ia merasa berhutang nyawa kepada kemenakannya itu, saat Mariamin
terjatuh ke sungai waktu Mariamin kecil, Aminu’ddin menyelamatkannya. Ibunda
Aminu’ddin pun menyetujui niat anaknya menikahi Mariamin. Biar bagaimanapun
Mariamin masih keponakannya, dan pernikahan itu dapat membantu kehidupan anak
dari kakaknya tersebut.
Namun, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin memiliki
pendapat berbeda dengan istrinya, Pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin akan
merendahkan derajat serta martabat keluarganya, karena keluarga Mariamin hidup
dalam kemelaratan. Menurutnya, putranya lebih pantas menikahi keluarga kaya dan
terhormat. Namun ia tidak menyampaikan pendapatnya tersebut kepada istrinya.
Agar tidak menykiti hati istrinya,
Baginda Diatas mengajak istrinya menemui seorang dukun untuk mengetahui nasib
anaknya jika menikah dengan Mariamin. Pada masa itu, masyarakat masih
menggantungkan nasibnya pada seorang dukun, segala sesuatu ditanyakan kepada
dukun, dan mereka mempercayainya. Tradisi itulah yang dimanfaatkan Baginda
Diatas untuk mengelabui istrinya.
Setelah kedatangan mereka ke dukun itu, Ibunda
Aminu’ddin akhirnya mempercayai juga perkataan dukun itu, meskipun ia kesal
karena maksudnya tidak sampai, karena ia sebenarnya menyetujui jika Aminu’ddin
menikahi Mariamin, kemudia ia menyetujui rencana suaminya untuk menjodohkan
Aminu’ddin dengan gadis lain yang sederajat dengan keluarganya. Bisa dikatakan,
kepercayaan kepada dukun itu menjadi salah satu sebab penderitaan yang harus
dialami Aminu’ddin, terutama Mariamin. Jika mengacu pada adat yang berlaku,
ayah Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan hubungan anaknya dengan Mariamin,
bahkan harus menikahkan keduanya, agar tali persaudaraan mereka semakin kuat.
Namun karena persoalan material, Baginda Diatas tidak menghiraukan adat
tersebut, ia malah memilih menikahkan Aminu’ddin dengan gadis kaya bermarga
Siregar.
Aminu’ddin dan Mariamin berkawan sejak masih kecil,
pertemanan yang dibina sejak kecil itu, menumbuhkan perasaan cinta dalam diri
Aminu’ddin dan Mariamin, Mariamin merasa berhutang nyawa setelah ia ditolong
oleh Aminu’ddin ketika ia hampir hanyut di sungai. Dari situlah mereka mulai saling menyayangi dan mencintai,
padahal mereka masih berkerabat, karena Ibu Aminu’ddin bersaudara dengan Ayah
Mariamin. Kehidupan mereka amat berbeda. Ayah Aminu’ddin, Baginda Diatas,
seorang kepala kampung yang kaya dan terhormat. Masyarakat Sipirok sangat segan
dan menghormatinya. Sementara Mariamin, hidup dalam kemelaratan bersama ibunya,
karena ayahnya, Sutan Baringin telah meninggal dunia.
Dahulu, sesungguhnya keluarga Mariamin kaya. Namun,
semasa hidupnya, Sutan Baringin terkenal boros dan serakah, ia suka berperkara
dengan orang lain mengenai harta. Sikapnya yang demkian sebenarnya adalah
akibat dari pola asuh di keluarganya. Saat kecil, orang tua Sutan Baringin
begitu memanjakannya, semua yang diinginkannya selalu dipenuhi, akibat kesalahan
pola asuh itulah, Sutan Baringin menjadi tidak baik budinya, ia keras kepala, tidak
menghormati orang lain, selain pemarah, bengis dan angkuh, ia loba, tamak,
dengki dan khianat, sikapnya itu sangat mendarah daging didirinya. Setelah
Sutan Baringin meninggal, Mariamin beserta ibu dan adiknya harus menanggung
azab dan sengsara akibat perbuatan Sutan Baringin.
Tanpa sepengetahuan Aminu’ddin, Baginda Diatas
meminang seorang gadis yang berasal dari bangsawan kaya. Melalui surat,
Aminu’ddin diberitahu bahwa calon istrinya akan segera dibaw ke Medan, tentu
saja Aminu’ddin gembira mendengar berita tersebut, sudah lama ia membayangkan
akan menikah dengan Mariamin. Namun ketika Aminu’ddin menjemput di stasiun,
ternyata bukan Mariamin yang datang bersama ayahnya, tapi seorang gadis lain
bermarga Siregar.
Meski kecewa karena yang dibawa ayahnya itu buka
Mariamin, Aminu’ddin tidak dapat menolak keinginan ayahnya. Ia mematuhi
keinginan ayahnya bukan karena tidak setia pada Mariamin, jika ia menolak
menikahi gadis itu, keluarganya akan mendapat malu. Belum pernah terjadi dalam
adat mereka, seorang gadis yang telah dijemput dikembalikan lagi kepada
keluarganya. Dengan keterpaksaan , Aminu’ddin menikah dengan gadis pilihan
ayahnya. Setelah menikah, Aminu’ddin meminta kedua orang tuanya membawakan nasi
bungkus kepada ibu Mariamin sebagai permohonan maaf. Saat itulah Ayah
Aminu’ddin melihat prilaku Mariamin yang serba baik, dan wajah rupawannya yang
jarang ditemukan pada gadis-gadis lain. Mereka pun menyesal, namun harus
bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Tak lama setelah pernikahan Aminu’ddin, Mariamin
menikah dengan Kasibuan, lelaki pilihan ibunya, karena ibu Mariamin tidak ingin
anaknya itu terhanyut dalam cerita masa lalunya, lagipula tidak baik jika anak
gadis yang sudah cukup berumur untuk menikah tidak lekas menikah, Mariamin
tidak dapat menolak permintaan ibunya untuk menikah dengan lelaki yang bekerja
sebagai Kerani di Medan itu meskipun ia merasa bahwa pernikahannya ini akan
membawa petaka untuknya, dan memang benar tanpa Mariamin ketahui bahwa Kasibuan
telah memiliki istri di Medan, dan ia menceraikan istrinya itu untuk menikahi
Mariamin, perbuatan Kasibuan itu menjelaskan sifatnya yang tidak baik,
sebenarnya ibu Mariamin dan Mariamin sendiri pun belum terlalu mengenal
Kasibuan. Pernikahan paksa yang dialami Mariamin dengan Kasibuan pun bersumber
pada persoalan materi, ibu Mariamin berharap bahwa pernikahan itu akan
mengurangi penderitaan anaknya.
Setelah menikah, Kasibun membawa Mariamin ke Medan,
ternyata pernikahan mereka tidak seperti yang diharapkan ibu Mariamin, Kasibuan
menderita penyakit kelamin yang dapat menular. Oleh sebab itu, Mariamin selalu
menolak ketika suaminya itu mengajaknya berhubungan suami istri. Mariamin
sebenarnya tidak ingin membangkang pada suaminya itu, namun ia sebisa mungkin
menjaga dirinya agar tidak tertular penyakit yang diderita suaminya itu, ia
meminta Kasibuan menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu, barulah ia bisa
menurut permintaan suaminya itu.
Setelah mengetahui Mariamin telah menikah dan
tinggal di Medan, Aminu’ddin datang mengunjunginya, dan kebetulan Kasibuan
tidak ada dirumahnya. Namun kedatangan Aminu’ddin sampai ke telinga Kasibuan,
ia berfikir kalau Mariamin berbuat macam-macam dibelakangnya, karena Mariamin tidak
pernah menuruti permintaannya untuk berhubungan suami istri. Mariamin pun
berusaha menjelaskan bahwa kedatangan Aminu’ddin tak lan hanya untuk
mengunjunginya sebagai orang yang sama-sama tinggal di Sipirok, lagipula mereka
bersaudara. Namun Kasibuan tidak mempercayai penjelasan Mariamin itu, kerena ia
terlanjur dibakar cemburu, akhirnya ia tak segan untuk berbuat kasar pada
Mariamin. Setiap terjadi pertengkaran anatra mereka, Kasibuan selalu menganiaya
dan menyiksa Mariamin.
Karena tak kuat menerima siksaan suaminya, Mariamin
berusaha keluar dari rumah saat Kasibuan tak ada dirumah, ia pergi melaporkan
tindakan suaminya itu ke polisi. Perkara pun diperiksa, Kasibuan pun dipanggil
ke kantor polisi untuk pemeriksaan perkara tersebut, selama perkara belum putus,
Mariamin pun disuruh tinggal dirumah penghulu, karena tak ada satupun
kenalannya di Medan, hubungannya dengan Aminu’ddi pun sudah tak dekat lagi,
karena Aminu’ddin sudah menjadi suami orang.
Setelah perkara selesai, Kasibuan hanya harus
membayar denda dua puluh lima rupiah, dan perkawinan mereka diputuskan. Setelah
bercerai dengan Kasibuan, Mariamin kembali ke Sipirok membawa rasa malu, dan ia
tak tahu kemana ibu dan adiknya pergi, ia seorang diri kembali kerumah gubung
kemelaratannya. Perasaan malu tersebut membuatnya tertekan dan akhirnya ia
meninggalkan dunia membawa semua penderitaannya, ia mengakhiri kesengsaraannya
dibumi ini dengan beristirahat selama-lamanya dikuburannya itu.
3.3
Tema
Tema
dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah Kesengsaraan
(Keluarga Mariamin) karena adat dan kebiasaan di Negeri Sipirok (Tanah Batak).
Terlihat dari kutipan:
-
Itulah rumahnya, yaitu rumah bambu yang
dipinggir suangai itu. Suatu perubahan yang tak mungkin rupanya, karena
seminggu yang lalu mereka itu masih diam di rumha yang besar serta dengan
bagusnya. Itu memang benar, Karena baru sutan Baringin pulang dari Padang,
segala hartanya yang tinggal sudah terserah kepada yang berhak. Rumah dan
barang-barang sudah terjual akan pembayar utang. (Siregar, 1920: 113)
Suatan Baringin dan keluarganya
melarat karena perbuatan Sutan Baringin yang berperkara dengan saudaranya
sendiri soal harta warisan neneknya, setelah ia kalah dalam perkara, hartanya
habis karena sudah diberikan pada saudaranya. Sedangkan ia dan keluarganya
hidup melarat karena perbuatannya sendiri.
-
Sutan Baringin, amatlah sengsaranya! Dia
seorang bangsawan dan hartawan, sekarang menjadi hina dan dina di mata orang.
Semenjak dari kecil sampai besar hidup dalam kesenangan dan kekayaan, sekarang
waktu akan menghembuskan nafas yang penghabisan dalam azab dan sengsara.
Sungguhlah hidupnya yang penghabisn itu penuh dengan kemelaratan. (Siregar, 1920: 115)
Sutan Baringin sakit-sakitan
setelah ia hidup dalam kemelaratan, karena tak kuat menanggung malu, ia dakit
dan akhirnya meninggal, ia meninggalkan istri dan kedua nakanya dalam
kemelaratan dan kesengsaraan.
-
Sebenar-bnarnya Aminu’ddin setia juga
kepada adindanya itu, akan tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya.
Amatlah berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu. Pendek
kisah, Mariamin yang malang itu hanyut juga, makin lama makin jauh, sehingga
lenyap dai mata, sedng suaranya minta tolong itu sia-sia saja, sebagai batu
jatuh ke lubuk. Demikianlah kejadian cinta Mariamin yang malang itu. Siapa yang
salah? Dalam hal ini nyatalah adat dan kepercayaan kepada takhayul itu yang
mengurbankan cinta kedua makhluk Allah itu. (Siregar, 1920: 152)
Kisah cinta Aminu’ddin dan Mariamin
yang terjalin dari kecil, kini dipisahkan oleh adat dan kepercayaan orang tua
Aminu’ddin yang beranggapan bahwa keluarga kaya harus menikah dengan kaum yang
sederajat, karena Mariamin miskin, takutlah ia kalau anaknya akan terkena
bencana, ayah Aminu’ddin mencarikan jodoh untuk anaknya, dan memutuskan tali kasih
antara Aminu’ddin dan Mariamin.
-
Mukanya yang penuh dahulunya, sekarang
sudah kurus dan pucat dan matanya yang hitam jernih itu sudah kurang cahayanya,
amat kasihanlah kita melihatnya. Seharusnya tubuhnya yang lemah itu jangan
dahulu dibawanya bekerja, tetapi apa boleh buat, orang yang miskin itu harus
minum keringatnya dan makan dagingnya. (Siregar, 1920: 158)
Setelah Aminu’ddin menikah dengan
gadis pilihan ayahnya, Mariamin terlampau sedih, sehingga ia kurang menjaga
tubuhnya, ditambah dengan hidupnya yang miskin, kini kesengsaraannya berlipat.
-
Aminu’ddin melihat air mata Mariamin
bercucuran, tak meneruskan percakapan lagi, takutlah ia kalau hati Mariamin
bertambah-tambah sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia hidup Mariamn
amat sengsara dan suaminya itu kurang mengasihi dia. (Siregar, 1920: 176)
Mariamin dinikahi seorang Kerani
dari Medan, namun pernikahannya itu bukannya memutuskan kemelaratan hidup
Mariamin, karena suaminya itu berkelakuan bengis dan kurang mengasihi Mariamin.
-
Hidup Mariamin, pokok cerita telah
habis, dan kesengsaraan di dunia ini telah berkesudahan! Lihatlah kuburan yang
baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh
itu, untuk beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)
Mariamin memberanikan diri
melaporkan suaminya ke kantor polisi, dan setelah perkara itu selesai, ia
pulang ke Sipirok membawa malu dan kesengsaraan, ibu dan adiknya tak tahu
kemana, ia sangan tertekan dan sakit, akhirnya ia meninggal, dengan membawa
kesengsaraannya.
3.4
Plot/Alur
3.4.1
Susunan
Alur
Susunan alur/plot dalam novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar
adalah sebagai berikut:
2.
Peristiwa
2, Peristiwa yang Bersangkutan Mulai Bergerak
a. Mariamin
hidup dalam kemiskinan setelah ayahnya meninggal,
b. Aminu’ddin
bekerja ke Medan untuk mewujudkan niatnya menikahi Mariamin,
c. Ibunda
Aminu’ddin menyetujui niatan Aminu’ddin untuk menikahi Mariamin,
d. Ayah
Aminu’ddin, Baginda Diatas tidak menyetujui pernikahan mereka,
e. Baginda
Diatas mengajak Istrinya ke dukun untuk menanyakan peruntungan pernikahan
Aminu’ddin dan Mariamin,
f. Dukun
mengatakan bahwa pernikahan mereka akan membawa petaka,
g. Baginda
Diatas ingin menjodohkan Aminu’ddin dengan seorang gadis kaya.
Mariamin sekarang hidup dalam
kemiskinan, namun Aminu’ddin tak pernah mempermasalahkan kemiskinan keluarga
Mariamin, ia tetap menyayangi kekasihnya itu, bahkan ia berniat menikahi
Mariamin. Aminu’ddin menemui Mariamin dirumahnya untuk berpamitan, ia akan
bekerja di Medan demi mewujudkan cita-citanya untuk menikahi kekasihnya itu.
Meskipun Mariamin kecewa dengan keputusan Aminu’ddin, dengan berat hati, ia
harus mengikhlaskan kekasihnyanya pergi untuk kebahagiaan mereka kelak, maka
setelah Aminu’ddin bekerja di Medan, ia mengutarakan niatnya untuk menikahi
Mariamin kepada ibunda Mariamin, ayah dan ibunya juga. Ibunda Mariamin tidak
keberatan dengan niat Aminu’ddin, apalagi ia merasa berhutang nyawa kepada
kemenakannya itu, saat Mariamin terjatuh ke sungai waktu Mariamin kecil,
Aminu’ddin menyelamatkannya. Ibunda Aminu’ddin pun menyetujui niat anaknya
menikahi Mariamin. Biar bagaimanapun Mariamin masih keponakannya, dan
pernikahan itu dapat membantu kehidupan anak dari kakaknya tersebut.
Namun, Baginda Diatas, ayah
Aminu’ddin memiliki pendapat berbeda dengan istrinya, Pernikahan Aminu’ddin
dengan Mariamin akan merendahkan derajat serta martabat keluarganya, karena
keluarga Mariamin hidup dalam kemelaratan. Menurutnya, putranya lebih pantas
menikahi keluarga kaya dan terhormat. Namun ia tidak menyampaikan pendapatnya
tersebut kepada istrinya. Agar tidak menykiti
hati istrinya, Baginda Diatas mengajak istrinya menemui seorang dukun
untuk mengetahui nasib anaknya jika menikah dengan Mariamin. Pada masa itu,
masyarakat masih menggantungkan nasibnya pada seorang dukun, segala sesuatu ditanyakan
kepada dukun, dan mereka mempercayainya. Tradisi itulah yang dimanfaatkan
Baginda Diatas untuk mengelabui istrinya.
Setelah kedatangan mereka ke dukun
itu, Ibunda Aminu’ddin akhirnya mempercayai juga perkataan dukun itu, meskipun
ia kesal karena maksudnya tidak sampai, karena ia sebenarnya menyetujui jika
Aminu’ddin menikahi Mariamin, kemudia ia menyetujui rencana suaminya untuk
menjodohkan Aminu’ddin dengan gadis lain yang sederajat dengan keluarganya.
Bisa dikatakan, kepercayaan kepada dukun itu menjadi salah satu sebab
penderitaan yang harus dialami Aminu’ddin, terutama Mariamin. Jika mengacu pada
adat yang berlaku, ayah Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan hubungan anaknya
dengan Mariamin, bahkan harus menikahkan keduanya, agar tali persaudaraan mereka
semakin kuat. Namun karena persoalan material, Baginda Diatas tidak
menghiraukan adat tersebut, ia malah memilih menikahkan Aminu’ddin dengan gadis
kaya bermarga Siregar.
1.
Peristiwa
1, Pengarang Mulai Melukiskan Keadaan
a. Aminu’ddin
dan Mariamin berkawan sejak kecil, mereka bersaudara sepupu,
b. Ayah
Aminu’ddin orang kaya, dan disegani orang,
c. Ayah
Mariamin suka berperkara semasa hidupnya,
d. Setelah
ayah Mariamin meninggal, ia dan ibunya hidup dalam kemelaratan.
Aminu’ddin dan Mariamin berkawan
sejak masih kecil, pertemanan yang dibina sejak kecil itu, menumbuhkan perasaan
cinta dalam diri Aminu’ddin dan Mariamin, Mariamin merasa berhutang nyawa
setelah ia ditolong oleh Aminu’ddin ketika ia hampir hanyut di sungai. Dari
situlah mereka mulai saling menyayangi dan
mencintai, padahal mereka masih berkerabat, karena Ibu Aminu’ddin bersaudara
dengan Ayah Mariamin. Kehidupan mereka amat berbeda. Ayah Aminu’ddin, Baginda
Diatas, seorang kepala kampung yang kaya dan terhormat. Masyarakat Sipirok
sangat segan dan menghormatinya. Sementara Mariamin, hidup dalam kemelaratan
bersama ibunya, karena ayahnya, Sutan Baringin telah meninggal dunia.
Dahulu, sesungguhnya keluarga
Mariamin kaya. Namun, semasa hidupnya, Sutan Baringin terkenal boros dan
serakah, ia suka berperkara dengan orang lain mengenai harta. Sikapnya yang
demkian sebenarnya adalah akibat dari pola asuh di keluarganya. Saat kecil,
orang tua Sutan Baringin begitu memanjakannya, semua yang diinginkannya selalu
dipenuhi, akibat kesalahan pola asuh itulah, Sutan Baringin menjadi tidak baik
budinya, ia keras kepala, tidak menghormati orang lain, selain pemarah, bengis
dan angkuh, ia loba, tamak, dengki dan khianat, sikapnya itu sangat mendarah
daging didirinya. Setelah Sutan Baringin meninggal, Mariamin beserta ibu dan
adiknya harus menanggung azab dan sengsara akibat perbuatan Sutan Baringin.
3.
Peristiwa
3, Cerita Mulai Memuncak
a. Aminu’ddin
dijodohkan dengan gadis kaya,
b. Aminu’ddin
tidak dapat menolak permintaan ayahnya, karena ia patuh pada ayahnya,
c. Aminu’ddin
meminta ayahnya meminta maaf kepada keluarga Mariamin kerena kegagalan
pernikahan mereka,
d. Mariamin
dinikahkan oleh ibunya dengan Kasibuan untuk meringankan penderitaan Mariamin.
Tanpa sepengetahuan Aminu’ddin,
Baginda Diatas meminang seorang gadis yang berasal dari bangsawan kaya. Melalui
surat, Aminu’ddin diberitahu bahwa calon istrinya akan segera dibaw ke Medan,
tentu saja Aminu’ddin gembira mendengar berita tersebut, sudah lama ia
membayangkan akan menikah dengan Mariamin. Namun ketika Aminu’ddin menjemput di
stasiun, ternyata bukan Mariamin yang datang bersama ayahnya, tapi seorang
gadis lain bermarga Siregar.
Meski kecewa karena yang dibawa
ayahnya itu bukan Mariamin, Aminu’ddin tidak dapat menolak keinginan ayahnya.
Ia mematuhi keinginan ayahnya bukan karena tidak setia pada Mariamin, jika ia
menolak menikahi gadis itu, keluarganya akan mendapat malu. Belum pernah
terjadi dalam adat mereka, seorang gadis yang telah dijemput dikembalikan lagi
kepada keluarganya. Dengan keterpaksaan , Aminu’ddin menikah dengan gadis
pilihan ayahnya. Setelah menikah Aminu’ddin meminta kedua orang tuanya
membawakan nasi bungkus kepada ibu Mariamin sebagai permohonan maaf. Saat
itulah Ayah Aminu’ddin melihat prilaku Mariamin yang serba baik, dan wajah
rupawannya yang jarang ditemukan pada gadis-gadis lain. Mereka pun menyesal,
namun harus bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Tak lama setelah pernikahan
Aminu’ddin, Mariamin menikah dengan Kasibuan, lelaki pilihan ibunya, karena ibu
Mariamin tidak ingin anaknya itu terhanyut dalam cerita masa lalunya, lagipula
tidak baik jika anak gadis yang sudah cukup berumur untuk menikah tidak lekas
menikah, Mariamin tidak dapat menolak permintaan ibunya untuk menikah dengan
lelaki yang bekerja sebagai Kerani di Medan itu meskipun ia merasa bahwa
pernikahannya ini akan membawa petaka untuknya, dan memang benar tanpa Mariamin
ketahui bahwa Kasibuan telah memiliki istri di Medan, dan ia menceraikan
istrinya itu untuk menikahi Mariamin, perbuatan Kasibuan itu menjelaskan
sifatnya yang tidak baik, sebenarnya ibu Mariamin dan Mariamin sendiri pun
belum terlalu mengenal Kasibuan. Pernikahan paksa yang dialami Mariamin dengan
Kasibuan pun bersumber pada persoalan materi, ibu Mariamin berharap bahwa
pernikahan itu akan mengurangi penderitaan anaknya.
4.
Peristiwa
4, Klimaks
a. Kasibuan
membawa Mariamin ke Medan setelah menikah,
b. Kasibuan
ternyata menderita penyakit kelamin,
c. Mariamin
meminta Kasibuan berobat, karena ia tidak ingin tertular penyakit tersebut.
d. Aminu’ddin
mengetahui Mariamin tinggal di Medan,
e. Aminu’ddin
mengunjungi Mariamin,
f. Kasibuan
mendengar berita Aminu’ddin mengunjungi
Mariamin,
g. Kasibuan
terbakar cemburu dan sering menyiksa Mariamin.
Setelah menikah, Kasibun membawa
Mariamin ke Medan, ternyata pernikahan mereka tidak seperti yang diharapkan ibu
Mariamin, Kasibuan menderita penyakit kelamin yang dapat menular. Oleh sebab
itu, Mariamin selalu menolak ketika suaminya itu mengajaknya berhubungan suami
istri. Mariamin sebenarnya tidak ingin membangkang pada suaminya itu, namun ia
sebisa mungkin menjaga dirinya agar tidak tertular penyakit yang diderita
suaminya itu, ia meminta Kasibuan menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu,
barulah ia bisa menurut permintaan suaminya itu.
Setelah mengetahui Mariamin telah
menikah dan tinggal di Medan, Aminu’ddin datang mengunjunginya, dan kebetulan
Kasibuan tidak ada dirumahnya. Namun kedatangan Aminu’ddin sampai ke telinga
Kasibuan, ia berfikir kalau Mariamin berbuat macam-macam dibelakangnya, karena
Mariamin tidak pernah menuruti permintaannya untuk berhubungan suami istri.
Mariamin pun berusaha menjelaskan bahwa kedatangan Aminu’ddin tak lan hanya
untuk mengunjunginya sebagai orang yang sama-sama tinggal di Sipirok, lagipula
mereka bersaudara. Namun Kasibuan tidak mempercayai penjelasan Mariamin itu,
kerena ia terlanjur dibakar cemburu, akhirnya ia tak segan untuk berbuat kasar
pada Mariamin. Setiap terjadi pertengkaran anatra mereka, Kasibuan selalu
menganiaya dan menyiksa Mariamin.
5.
Peristiwa
5, Pengarang Memberikan Penyelesaian Masalah
a. Mariamin
melaporkan Kasibuan ke polisi,
b. Kasibuan
didenda dan perkawinan mereka diputuskan,
c. Mariamin
pulang ke Sipirok membawa rasa malu,
d. Mariamin
kembali ke rumah gubuknya yang sudah tak berpenghuni,
e. Mariamin
tertekan dan meninggal.
Karena tak kuat menerima siksaan
suaminya, Mariamin berusaha keluar dari rumah saat Kasibuan tak ada dirumah, ia
pergi melaporkan tindakan suaminya itu ke polisi. Perkara pun diperiksa,
Kasibuan pun dipanggil ke kantor polisi untuk pemeriksaan perkara tersebut,
selama perkara belum putus, Mariamin pun disuruh tinggal dirumah penghulu,
karena tak ada satupun kenalannya di Medan, hubungannya dengan Aminu’ddi pun
sudah tak dekat lagi, karena Aminu’ddin sudah menjadi suami orang.
Setelah perkara selesai, Kasibuan
hanya harus membayar denda dua puluh lima rupiah, dan perkawinan mereka
diputuskan. Setelah bercerai dengan Kasibuan, Mariamin kembali ke Sipirok
membawa rasa malu, dan ia tak tahu kemana ibu dan adiknya pergi, ia seorang
diri kembali kerumah gubung kemelaratannya. Perasaan malu tersebut membuatnya
tertekan dan akhirnya ia meninggalkan dunia membawa semua penderitaannya, ia
mengakhiri kesengsaraannya dibumi ini dengan beristirahat selama-lamanya
dikuburannya itu.
Jadi berdasarkan uraian diatas,
susunan plot novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar dapat dikatakan sebagai plot sorot balik atau flash back, kerena cerita dalam novel
ini dimulai dari pertengahan, yaitu saat peristiwa yang bersangkut paut mulai
bergerak. Dimulai saat Aminu’ddin berpamitan pada Mariamin kekasihya untuk
bekerja ke Medan, karena ia ingin mewujudkan cita-citanya menikahi Mariamin,
selanjutnya menceritakan kehidupan kecil mereka dan seterusnya diceritakan
kisah cinta mereka hingga akhir hayat Mariamin.
3.4.2
Ketegangan
atau suspence
Ketegangan
atau suspence yang nampak dalam
peristiwa-peristiwa cerita novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
Ø Ketegangan yang muncul
saat pengarang mulai melukiskan keadaan,
·
Beberapa kali Sutan Baringin dilarang
istrinya, supaya berhenti daripada berperkara, tetapi tidak diindahkannya. (Siregar,
1920: 25)
Dari kutipan tersebut, jelaslah
bahwa Sutan Baringin orang yang keras kepala dan suka berperkara, kita akan
merasakan ketegangan saat membaca runtutan perkara-perkara yang dibuat oleh
Sutan Baringin itu, kita akan bertanya-tanya, bagaimana berakhirnya peristiwa
perkata itu.
Ketegangan itu pun terjawab ketika
akhirnya kehidupan Mariamin berubah dari kesenangan, menjadi kemelaratan dan
kesengsaraan setelah ayahnya meninggal.
Ø Ketegangan yang muncul
saat peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak,
·
... Pada waktu beberapa tahun yang
lewat, tatkala suaminya masih hidup dan ketika harta mereka itu masih cukup,
pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat itu, bolehlah mereka itu
dikatakan masuk bagian orang yang kaya raya dan ternama di negri Sipirok.
... Si ibu itu pun adalah orang yang
sabar, tiadalah pernah ia bersungut-sungut karena ia dan anaknya hidup sekarang
dalam kemiskinan. (Siregar, 1920: 8)
Dalam kutipan tersebut
menggambarkan Mariamin dan ibunya hidup dalam kemiskinan setelah ayahnya
meninggal, tentu saat membacanya kita akan penasaran kenapa bisa seseorang yang
dahulu hidup kaya dan ternama menjadi melarat dalam waktu yang cepat setelah
kematian ayahnya, dan bagaimana kelangsungan hidup mereka.
·
“Anggi
Riam! Beratlah rasanya hatiku akan berkata ini. Akan tetapi, apa boleh buat,
lambat laun akan kauketahui juga, apalah gunanya kulengah-lengahkan. Saya
bermaksud hendak pergi ke Deli mencari pekerjaan. Itulah sebabnya saya datang
malam-malam ini kemari,...” (Siregar, 1920: 5)
Dalam kutipan tersebut menggambarkan
bahwa Aminu’ddin hendak meninggalkan Mariamin ke Deli, Medan untuk bekerja
karna ia ingin menikahi Mariamin, namun perpisahan biasanya merenggangkan
sebuah hubungan, maka kita akan penasaran bagaimana akhir percintaan mereka
nantinya, karena sekarang mereka akan berpisah dengan batas waktu yang tidak
tentu.
Ketegangan tersebut terjawab ketika
Aminu’ddin menyampaikan niatnya untuk menikahi Mariamin, meskipun Ibu
Aminu’ddin menyetujuinya, tapi ayahnya tak menyetujui niatan Aminu’ddin
tersebut. Dan memunculkan ketegangan lagi.
·
... Setelah seminggu lamanya, pada suatu
malam, Sutan Diatas berkata kepada istrinya, “Kalau engkau mengerasi juga,
baiklah. Akan tetapi baiklah kita berhati-hati, karena mengambil jodoh anak itu
tiada boleh dipermudah-mudahkan. Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik
menantu kita, kalau demikian baiklah kita pergi mendapatkan Datu Naserdung,
akan bertanyakan untung dan rezeki Aminu’ddin, bila ia beristrikan Mariamin...”
(Siregar, 1920: 136)
Dalam kutipan tersebut terlihat kalau
Sutan Diatas tidak setuju jika Mariamin menikah dengan Aminu’ddin walaupun
istrinya setuju, ia mengajak istrinya itu untuk bertanya perihal pernikahan
Aminu’ddin ke Datu (dukun). Kita akan penasaran apa yang akan dukun itu
katakana perihal pernikahan itu, dan apa nanti dampaknya pada hubungan Mariamin
dan aminu’ddin.
Ketegangan itu terjawab ketika ayah
Aminu’ddin berencana menikahkan Aminu’ddin dengan gadis kaya, karena menurut
Datu/dukun, pernikahan Mariamin dan Aminu’ddin akan membawa petaka., maka ayah
Aminu’ddin bersenang hati karena ia akan menjodohkan Aminu’ddin.
·
Ayahnya membawa anak gadis yang bagus,
akan tetapi bukanlah Mariamin yang diharap-harapkannya itu.... “Benar perbuatan
kami ini tiada sebagai permintaan Anakanda, tetapi janganlah anakku lupakan,
keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikirkan oleh kami orang tuamu.
Oleh sebab itu, haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau hendak
selamat di dunia, yakni Anakanda terimalah menantu Ayahanda yang kubawa ini” (Siregar,
1920: 152)
Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa
Ayah Aminu’ddin membawa gadis pilihannya untuk dinikahkan dengan Aminu’ddin, karena
ia tak setuju Aminu’ddin menikah dengan Mariamin, lalu kita akan bertanya-tanya,
dan tegang memikirkan bagaimana kelanjutan hidup Mariamin setelah ia kehilangan
cintanya.
Ketegangan itu terjawab ketika
sekian lama setelah pernikahan Aminu’ddin, akhirnya Mariamin dilamar oleh
seseoran bernama Kasibuan, Mariamin pun tak dapat menolak, karena ibunya juga
mengharapkan ia menikah, namun pernikahan itu pun menyebabkan ketegangan baru.
Ø Ketegangan yang muncul
saat peristiwa mulai memuncak
·
Betul ibu Mariamin tidak memaksa dia,
hanya sekedar menyuruh dia. Karena bolehlah nanti di belakang hari mendatangkan
malu apabila tidak dipersuamikan. Orang yang tinggal gadis itu menjadi
gamit-gamitan dan kata-kataan orang. Itulah yang ditakutkan ibuya, itulah yang
menyebabkan si ibu menyuruh anaknya menerima pinangan orang. (Siregar, 1920:
162)
Kesudahannya ia kawin dengan orang muda
dari Padangsidempuan, orang muda yang tidak dikenalnya, orang muda yang tidak
dicintainya, jodoh yang tidak disukainya. (Siregar, 1920: 162)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Mariamin
dinikahkan oleh ibunya dengan seseorang (Kasibuan) untuk meringankan
penderitaan Mariamin, karena ia tidak ingin anaknya terus hidup dalam
kemelaratan, padahal Mariamin tak mengenalnya, apalagi mencintainya. Kita akan
tegang dan ikut merasakan bagaimana perjodohan yang tanpa didasari cinta, dan
bagaimana kehidupan setelah perjodohan tersebut.
Ketegangan tersebut terjawab ketika
Mariamin mengetahui keburukan Kasibuan, ia menderita penyakit kelamin, dan
setelah pernikahan mereka, Kasibuan memperlihatkan tabiat buruknya yang asli,
dan menimbulkan ketegangan lain.
Ø Ketegangan yang muncul
saat peristiwa mencapai klimaks
·
“Mustahil aku selamat ditangannya.
Inilah rupanya sebabnya aku selama ini berhati syak melihat dia. Tetapi tak
mengerti aku, ta, tak kusangka-sangka, ia ada dalam hal yang demikian itu” kata
Mariamin dalam hatinya. (Siregar, 1920: 169)
... “seharusnyalah saya menjaga diriku
supaya jangan menjangkit penyakitnya itu kepadaku. Kalau aku beroleh dia, sudah
tentu badanku binasa.” (Siregar, 1920: 169)
Dalam kutipan tersebut bisa kita
lihat betapa takutnya Mariamin dekat denga suamiya, karena ternyata kasibuan
menderita penyakit kelamin yang mudah menular, tentu saja kita juga merasakan
ketegangan, membayangkan nasib Mariamin jika nanti suaminya itu memintanya
melayaninya sebagai suami. Kita ikut merasakan ketegangan Mariamin disana.
·
“Astaga!” mengucap Mariamin dengan muka yang
pucat. “Aminu’ddinlah rupanya orang itu,” katanya terburu-buru, serta dadanya
berdebar-debar. (Siregar, 1920: 172)
Adapun orang itu memang aminu’ddin, ia
sudah mendengar kabar pernikahan Mariamin, itulah sebabnya ia datang ke Medan,
dengan maksud bersua dengan Mariamin... (Siregar, 1920: 172)
Kutipan tersebut menjelaskan
tentang perasaan Mariamin yang tak karuan karena Aminu’ddin datang
mengunjunginya, bisa kita rasakan ketegangan dalam peristiwa tersebut,
bagaimana kita merasakan perasaan yang tak karuan saat mantan kekasih kita
datang mengunjungi kita dengan tiba-tiba setelah sekian lama, dan dulu
perpisahan yang kita alami adalah perpisahan yang menyakitkan.
§ ...
lebih-lebih setelah mendengar, bahwa Aminu’ddin datang kerumahnya tatkala ia
ada di kantor. Sejak saat itu amatlah ia membenci Mariamin. (Siregar, 1920:
177)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa
Kasibuan, suami Mariamin sangat membenci mariamin setelah kedatangan Aminu’ddin
kerumahnya untuk menemui Mariamin tatkala ia tak ada di rumah. Kita akan
merasakan ketegangan saat memikirkan Mariamin yang entah bagaimana nasibnya
nanti jika suaminya saja sudah membencinya, bagaimana hidupnya jika sudah hilan
kepecayaan suaminya itu.
Ketegangan itu terjawab ketika
akhirnya Mariamin sering bertengkar dengan suaminya, dan suaminya itu tak segan
menyiksanya karena rasa kesal.
§ Pertengkaran
yang serupa itu kerap kali kejadian diantara mereka itu, sehingga akhir-akhirnya
Kasibuan yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya
saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya... (Siregar, 1920: 178)
Dalam kutipan tersebut dijelaskan
bagaimana Kasibuan sering menyiksa Mariamin, kita akan merasakan ketegangan
karena peristiwa tersebut. Kita akan menduga-duga, bagaimana hidup Mariamin
yang penuh dengan siksaan suaminya sendiri.
Ketegangan tersebut terjawab
semuanya ketika pengarang memberikan penyelesaian masalah.
Ø Ketegangan yang mucul
ketika pengarang memberikan penyelesaian masalah
§ Mariamin
pun menceritakan sekalian perbuatan suaminya itu ke polisi. (Siregar, 1920:
180)
Kutipan tersebut menjelaskan
ketegangan saat Mariamin melaporkan Kasibuan ke polisi, kita akan tegang dan
begitu menantikan akhir cerita ini, apakah hal yang akan terjadi kepada
Mariamin jika ia sudah melaporkan suaminya yang bengis itu.
Ketegangan itu pun terjawab ketika
akhirnya Kasibuan diperiksa polisi, dan akhirnya pernikahan mereka diputuskan,
Kasibuan pun didenda karena perbuatannya.
§ ...
kesudahannya Mariamin terpaksa pulang ke Sipirok membawa nama yang kurang baik,
membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di
pinggir sungai Sipirok itu. (Siregar, 1920: 180)
Kutipan tersebut menjelaskan
kesudahan tentang akibat dari pernikahannya dengan suami yang tidak dicintainya
itu, kita akan tegang memikirkan kelanjutan hidup Mariamin di rumah gubuknya
yang ternyata sudah tak berpenghuni.
Akhirnya ketegangan itu pun
terjawab oleh akhir cerita ini, yaitu Mariamin meninggal karena ia tertekan
dengan kehidupannya sendiri, dan rasa malu yang ditanggungnya.
3.4.3
Padahan
pembayangan
Padahan
pembayangan/Foreshadowing yang nampak
dalam peristiwa-peristiwa cerita novel Azab
dan Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
Ø Saya
beranggapan bahwa Mariamin anak dari keluarga yang melarat ketika awal cerita,
namun anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
...
Pada waktu beberapa tahun yang lewat, tatkala suaminya masih hidup dan ketika
harta mereka itu masih cukup, pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat
itu, bolehlah mereka itu dikatakan masuk bagian orang yang kaya raya dan
ternama di negri Sipirok. (Siregar, 1920: 8)
...
Si ibu itu pun adalah orang yang sabar, tiadalah pernah ia bersungut-sungut
karena ia dan anaknya hidup sekarang dalam kemiskinan. (Siregar, 1920: 8)
Ø Saya
beranggapan bahwa Mariamin dan Aminu’ddin saling berkasih-kasihan tanpa ada
hubungan saudara, namun anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
...
amatlah karibnya persahabatan kedua anak itu. Itu tidak menherankan, karena
seorang memandang yang lain seagai dirinya, sebab mereka itu berkarib, yakni
emak yang seorang (Ibu Aminu’ddin) bersaudara seibu-sebapak dengan ayah yang
lain (Ayah Mariamin). (Siregar, 1920: 30)
Ø Saya
beranggapan bahwa Mariamin dan Aminu’ddin akan menikah, tapi anggapan saya
salah, terbukti dengan kutipan:
Meskipun
Aminu’ddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia
menurut bujukan orang itu semua. Bukanlah disebabkan tiada setia kepada Mariamin,
akan tetapi apakah dayanya melawan orang sebanyak itu? Lagipula hal itu sudah
terlanjur sekali, tak dapat diundurkan lagi. Apatah kata bapaknya nanti, bila
anak gadisnya yang dijemput ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya? ... (Siregar,
1920: 152)
Ø Saya
beranggapan bahwa Aminu’ddin dan Mariamin tidak akan bertemu lagi setelah
perpisahan mereka karena pernikahan Aminu’ddin, namun anggapan saya salah,
terbukti dengan kutipan:
...
Mariamin makin pucat, karena suara orang itu telah dikenalnya, sehingga tak
tahulah ia apa yang akan diperbuatnya. Sementara itu masuklah Aminu’ddin ke
dalam dengan langkah perlahan-lahan. Baru ia naik dan berdiri di pintu, mukanya
pucat menentang Mariamin. Persuaan itu amat menyedihkan hati. (Siregar, 1920:
172)
Ø Saya
beranggapan bahwa Mariamin akan meneruskan hidupnya kembali dalam kemelaratan
di Sipirok sepulangnya dari Medan setelah perkawinannya dengan Kasibuan putus,
namun anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
Lihatlah
kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak
dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)
3.4.4
Gambaran
susunan Alur/Plot secara kualitatif
Secara kualitatif susunan alur/plot novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah alur erat.
Saya menyimpulkan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
ini merupakan novel yang mempunyai alur/plot
erat jika dilihat dari susunan plotnya secara kualitatif, karena ada hubungan
yang erat antara satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Apalagi alurnya tidak
runtut, tetapi sorot balik, ketika kita selaku pembaca melewatkan satu saja
kisah atau penggalan cerita, maka kita tidak akan mengerti isi novel ini secara
keseluruhan. Misalnya, ketika kita melewati sub-judul “Waktu Senja” maka kita
tidak akan mengerti tentang isi cerita dengan sub-judul “Tali Persahabatan dan
Perkauman” dan “Banjir”. Kemudian ketika kita melewati sub-judul “Laki-istri
dan Anak Beranak ” maka kita kita akan mengerti tentang isi cerita dengan
sub-judul “Jatuh Melarat”. Lalu ketika kita melewati sub-judul “Makin Jauh”
maka kita tidak akan mengerti tentang isi cerita dengan sub-judul “Dalam Rumah
Bambu Mariamin” dan “Di Tanah Asing”.
3.4.5
Gambaran
susunan alur/Plot secara kuantitatif
Secara kuatitatif susunan alur/plot
novel Azab dan Sengsara karya Merari
Siregar adalah alur ganda.
Saya menyimpulkan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini
merupakan novel yang memunyai alur/plot ganda, karena mengalami degresi (cerita
baru yang masuk). Sebagai berikut:
Ø Ketika
kita membaca sub-judul “Tali Persahabatan dan Perkauman”, di sub-judul ini
pengarang mulai melukiskan keadaan, pengarang menceritakan kehidupan masa kecil
Aminu’ddin dan Mariamin, namun disana juga diceritakan ketika ayah Aminu’ddin
termenung, ia mengingat kembali Sutan Baringin semasa hidupnya, dengan degresi
sebagai berikut:
-
Sutan Baringin orang
yang kaya
-
Sutan Baringin suka
berperkara
-
Sutan Baringin kalah
dalam berperkara
-
Sutan Baringin
meninggal dunia
-
Mariamin dan Ibunya
hidup dalam kemelaratan
Sutan Baringin seoran yang
terbilang hartawan lagi bangsawan seantero Sipirok, akan tetapi ia sangat suka
berperkara, walaupun Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti
berperkara, tapi ia tidak mendengarkan nasehat istrinya itu, maka harta Sutan Baringin
yang banyak itu habis untuk menutup hutang-hutang perkara, dan akhirnya mereka
jatuh miskin. Karena tak tahan malu dan hidup dalam kemelaratan, Sutan Baringin
jatuh sakit dan ia meninggal. Ia meninggalkan istri dan kedua anaknya dalam
kemelaratan.
Ø Ketika
kita membaca sub-judul “Banjir”, di sub-judul ini pengarang mulai melukiskan
keadaan, pengarang menceritakan kehidupan masa kecil Aminu’ddin dan Mariamin, ketika
Aminu’ddin dan Mariamin terjebak hujan di sawah, karena hujan lebat membuat
Mariamin ketakutan, maka Aminu’ddin menceritakan sebuah kisah, dengan degresi
sebagai berikut:
-
Ada seorang perempuan
tua yang hidup di hutan,
-
Ia bekerja sebagai
pencari kayu bakar,
-
Ia iri pada pencari
kayu laki-laki yang lebih beruntung daripada ia,
-
Datang malaikat Jibrail
ketempatnya,
-
Perempuan itu meminta
menjadi laki-laki,
-
Permintaannya terkabul,
dan ia menjadi laki-laki,
-
Ia ingin menikah dan
hidup bahagia,
-
Datang malaikat Jibrail
ketempatnya,
-
Ia menikah dan hidup
bahagia,
-
Ia ingin menjadi
saudagar kaya,
-
Datang malaikat Jibrail
ketempatnya,
-
Ia menjadi saudagar
kaya,
-
Ia ingin menjadi raja,
-
Datang malaikat Jibrail
ketempatnya,
-
Ia menjadi raja,
-
Ia ingin menaklukkan
raja-raja yang belum takluk kepadanya,
-
Datang malaikat Jibrail
untuk memperingatinya, karena ia tak pernah merasa puas,
-
Raja tidak
memperdulikan peringatan Malaikat Jibrail,
-
Raja binasa karena
tersambar petir.
Ada seorang perempuan tua yang
hidup di hutan, Ia bekerja sebagai pencari kayu bakar, saat ia berjalan pulang
kerumahnya, dijalan ia melihat pencari kayu laki-laki, ia merasa iri padanya,
karena dalam fikirannya pendapatan dari hasil pengumpulan kayu laki-laki itu
lebih besar. Tiba-tiba datang malaikat Jibrail ketempatnya, Perempuan itu meminta
menjadi laki-laki, akhirnya permintaannya dikabulkan dan ia pun menjadi
laki-laki.
Karena ia hidup sendiri, Ia berkeinginan
menikah dan hidup bahagia, tiba-tiba datang malaikat Jibrail ketempatnya, pencari
kayu itu menyampaikan permintaannya, dan Ia pun menikah dan hidup bahagia, namun
ia tidak puas dengan kehidupannya, Ia ingin menjadi saudagar kaya, lalu datang
malaikat Jibrail ketempatnya, setelah ia menyampaikan permintaannya, Ia menjadi
saudagar kaya. Lagi-lagi Ia tak puas dengan kehidupnnya saat ini, ia ingin
menjadi raja, kemudian datang malaikat Jibrail ketempatnya, setelah ia
menyampaikan permintaannya, ia menjadi raja yang disegani dan sangat termahsyur,
ia sangat senang dengan kehidupannya, namun ia ingin bisa menaklukkan raja-raja
yang belum takluk kepadanya, ia bermaksud berperang untuk mendapatkan
kejayaannya, datanglah malaikat Jibrail
untuk memperingatinya agar tidak terlalu membuat kekacauan dalam kehidupannya
yang sudah damai, karena Raja tak pernah merasa puas dengan apa yang ia
dapatkan, Raja tidak memperdulikan peringatan Malaikat Jibrail. Saat Raja tertidur
nyenyak pada malam sebelum perang, turunlah hujan lebat dan petir yang besar,
karena raja tertidur sangat nyenyak, ia tak sadar akan keadaan cuaca malam itu,
ia pun hangus tersambar petir.
Ø Ketika
kita membaca sub-judul “Laki Istri dan Anak beranak”, di sub-judul ini
pengarang mulai melukiskan keadaan, pengarang menceritakan Sutan Baringin
semasa hidupnya dari kecil sampai ia menikah karena perjodohan, namun pengarang
memasukkan cerita lain tentang perjodohan, seperti yang terjadi pada Sutan
Baringin tersebut, dengan degresi
sebagai berikut:
-
Seorang janda bekerja
sebagai koki di Jakarta,
-
Anak perempuannya
bekerja sebagai penjaga anak kecil,
-
Ada seorang muda
menyampaikan niat untuk menikahi anak janda tersebut,
-
Janda tersebut
menjodohkan anak perempuannya dengan orang muda itu,
-
Anaknya terpaksa
menyetujuinya, karena ia anak yang berbakti kepada orang tuanya,
-
Ibu tersebut meninggal,
-
Suami perempuan tersebut
boros dan malas,
-
Suami perempuan itu
pergi entah kemana setelah harta mereka habis,
-
Perempuan itu ditinggal
sendiri di kampong dalam keadaan hamil,
-
Bayi yang ia lahirkan
diberkikan kepada orang kaya,
-
Ia pergi dan mengakhiri
hidupnya.
Seorang janda bekerja sebagai koki
di Jakarta, ia mempunyai anak perempuan yang bekerja sebagai penjaga anak
kecil. Ada seorang muda menyampaikan niat untuk menikahi anak janda tersebut,
karena janda tersebut ingin melihat anaknya bahagia, akhirnya ia menjodohkan
anak perempuannya dengan orang muda itu. Anak perempuan itu terpaksa
menyetujuinya meskipun ia tidak mengenal orang yang akan menjadi suaminya itu,
karena ia anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Janda tersebut meninggal karena
sudah tua, setelah janda itu meninggal, suami anak perempuan tersebut
memperlihatkan tabiat aslinya, ternyata ia boros dan pemalas, harta suami istri
itu telah habis entah dipakai apa oleh si suami, dan suami perempuan itu pergi
entah kemana setelah harta mereka habis. Perempuan itu ditinggal sendiri di kampong
dalam keadaan hamil. Setelah ia melahirkan, bayi tersebut diberkikan kepada
orang kaya, karena perempuan itu merasa sudah tidak sanggup mengurusi hidup
anaknya, padahal ia baru lahir, karena ia hidup dalam kemelaratan akibar perbuatan
suaminya. Ia pergi meninggalkan bayi itu dan mengakhiri hidupnya.
3.5
Tokoh
dan Perwatakan
3.5.1
Tokoh-tokoh cerita yang
mendukung terjadinya cerita novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yaitu:
1. Mariamin
(Riam) sebagai tokoh utama karena intensitas keterlibatan tokoh Mariamin dalam
peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sangat dominan.
2. Aminu’ddin
(Udin) sebagai tokoh utama karena intensitas keterlibatan tokoh Aminu’ddin
dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita juga dominan.
3. Ibu
Mariamin (Nuria) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ibu Mariamin tidak sentral
kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama
(Mariamin).
4. Ayah
Aminuddin (Baginda Diatas) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Aminuddin
tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh
utama (Mariamin).
5. Ibu
Aminuddin sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ibu Aminuddin tidak sentral
kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama
(Mariamin).
6. Ayah
Mariamin (Sutan Baringin) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Mariamin
tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh
utama (Mariamin).
7. Kasibun
(Suami Riam) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Kasibun tidak sentral
kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama
(Mariamin).
8. Ayah
Sutan Baringin sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Sutan Baringin tidak sentral kedudukannya dalam cerita,
tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
9. Ibu
Sutan Baringin sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ibu Sutan Baringin tidak
sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama
(Mariamin).
10. Baginda
Mulia (Saudara Sutan Baringin) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah
Aminuddin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya
mendukung tokoh utama (Mariamin).
11. Marah
Sait (Sahabat Sutan Baringin) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Aminuddin
tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh
utama (Mariamin).
12. Kepala
Pengadilan Sipirok sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Aminuddin tidak
sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama
(Mariamin).
3.5.2
Penggambaran watak
tokoh-tokoh yang mendukung cerita novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
1. Mariamin/Riam
Mariamin orang yang ramah, ia tidak
pernah marah-marah pada orang lain, ia
periang, pengiba dan suka berfikir, juga anak yang penurut dan patuh
pada orang tua, selain berparas cantik dan berkulit jernih dan bersih, dari
matanya terlihat bahwa ia seorang yang pengasih, ia tabah dalam menjalani
hidupnya yang berada dalam kemelaratan dengan apa adanya. Ia seorang yang
berhati keras dan teguh dalam mempertahankan keyakinannya. Ia perhatian,
pengertian dan rajin bekerja, bijaksana, penyayang, apik (bersih dan bagus
pekerjaannya), terlihat dari perbuatannya sehari-hari dalam bekerja dirumahnya
dan ia menghargai pertolongan orang lain.
1) Cara
Langsung atau Analitik
a. Mariamin
orang yang ramah. Mariamin tidak pernah marah-marah pada orang lain, ia selalu
bersikap ramah. Dijelaskan dalam kutipan:
...jawab
Mariamin, perempuan muda itu dengan suara yang lembut, karena itulah
kebiasaannya, jarang atau belumlah pernah ia berkata marah-marah atau merengut,
selamanya dengan ramah tamah,...(Siregar, 1920: 5).
b. Mariamin
orang yang periang, biasanya ia selalu tersenyum. Dijelaskan dalam kutipan:
Hati
siapa takkan iba melihat muka yang manis itu menjadi muram dan bibir yang merah
dan tipis itu tiada menunjukkan senyum lagi, sebagaimana biasanya. (Siregar:
13)
c. Mariamin
seorang yang cerdik, pengiba dan suka berfikir, secara jelas diterangkan
langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Mariamin
adalah seorang anak yang cerdik, pengiba dan suka berfikir... (Siregar, 1920:
87)
d. Mariamin
anak yang penurut dan patuh, seperti ketika ibunya memintanya untuk menikah
dengan orang yang tidak ia cintai, ia patuh dan menuruti permintaan ibunya itu.
Dijelaskan dalam kutipan:
Bagaimanakah
ia dapat menolak perkawinan itu, karena ibunya berkehendak demikian.
Menerangkan keberatannya serta perasaan kemauannya, tetapi membantah perkataan
ibunya tak sampai hatinya, karena belum pernah diperbutanya. (Siregar, 1920:
162)
2) Cara
tak langsung atau Dramatik
·
Dengan
menggambarkan fisik tokoh
a. Mariamin
berparas cantik dan berkulit jernih dan bersih, dari matanya terlihat bahwa ia
seorang yang pengasih. Dijelaskan dalam kutipan:
Anak
itu seorang anak yang elok parasnya....
Lihatlah
warna kulitnya yang jernih dan bersih itu, putih kuning sebagai kulit langsat!
Matanya yang berkilat-kilat serta dengan terang itu menunjukkan kepada kita,
bahwa anak itu mempunyai tabiat pengasih. (Siregar, 1920: 28)
·
Dengan
menggambarkan tempat atau lingkungan
a. Mariamin
seorang yang tabah, dia tabah dalam menjalani hidupnya yang berada dalam
kemelaratan dengan apa adanya. Dijelaskan dalam kutipan:
Meja
dan kursi sudah tentu tak ada dalam pondok kecil itu. Sebuah peti kayu tempat
menyimpan pakaiannya, itulah ganti meja tatkala mereka hidup dalam kekayaan.
Kursi atau bangku tak usah dikata lagi. Anak gadis yang miskin itu duduk
bersila di atas lantai, dan peti itu dihadapannya, di atas itulah ia menulis. (Siregar,
1920: 129)
·
Dengan
menggambarkan jalan fikiran
a. Mariamin
berhati keras, ia teguh dalam memertahankan keyakinannya. Seperti ketika ia
berkeputusan untuk menolak permintaan suaminya jika mengajaknya melakukan
hubungan suami istri, karena suaminya mengidap penyakit kelamin. Dijlaskan
dalam kutipan:
“Kalau
diturut keinginan suamiku itu, tentu binasalah badanku. Sebab itu baiklah aku
menjaga diriku, itulah yang terutama aku lakukan. Mula-mula aku akan berlaku
halus kepadanya, kubujuk dan kusuruh dia rajin berobat. Kalau dia sudah sembuh,
barulah ia menguasai tubuhku. Sebelum itu belum boleh,” demikianlah keputusan
pikiran Mariamin perempuan yang berhati keras itu. (Siregar, 1920: 169)
·
Dengan
menggambarkan dialog para tokoh
-
Dialog tokoh Mariamin
dengan tokoh lain yaitu ibunya (Nuria), dan dialog Mariamin dengan Aminu’ddin.
a. Mariamin
orang yang perhatian, terlihat dari dialognya dengan ibunya ketika ibunya
sakit. Ia perhatian terhadap ibunya yang sakit tersebut. Terlihat dari kutipan:
“Sudahkah
berkurang sesaknya dada ibuku itu?”
“...Mudah-mudahan
dua tiga hari lagi dapatlah ibu turun barang sedikit-sedikit.”
(Siregar,
1920: 7)
b. Mariamin
orang yang pengertian, terlihat dari dialognya ketika ibuunya sakit, ia merawat
ibunya, dan berniat melayani ibunya, jika ibunya membutuhkannya. Terlihat dari
kutipan:
“
Kalau Mak mau apa-apa, panggilah Anakanda, nanti Anakanda lekas datang. Jangan
Mak bangkit-bangkit dari tempat tidur, seperti yang dulu-dulu, supaya badan Mak
jangan lelah...” (Siregar, 1920: 11)
c. Mariamin
orang yang rajin bekerja, terlihat dari dialognya dengan Aminu’ddin ketika
mereka berada di sawah. Aminu’ddin mengajaknya pulang, namun Mariamin tetap
bekerja. Terlihat dari kutipan:
“Saya
tengah menyudahkan bengkalai yang tak habis semalam, biarlah kuhabisakan dahulu
pekerjaan ini, supaya hatiku senang.” (Siregar, 1920: 32)
d. Mariamin
orang yang bijaksana bijaksana, ketika ibunya sakit ia yang menggantikan ibunya
bekerja, terlihat dari kutipan:
“...Tetapi
selagi anakanda bersama-sama dengan ibu, apalah salahnya, anakanda menolong
ibu, supaya ibu dapat berhenti sehari dua hari.” (Siregar, 1920: 124)
·
Dengan
menggambarkan perbuatan atau tingkah laku tokoh atau reaksi tokoh terhadap peristiwa
a. Mariamin
anak yang penyayang, ketika ia kecil, sepulangnya dari sekolah, ia mencium pipi
ibunya, tingkah lakunya itu menunjukkan bahwa ia menyayangi ibunya. Terlihat
dari kutipan:
Ia
melompat seraya mendekap leher ibunya, dan bibir halus dan tipis itu pun
mencium pipi ibunya. (Siregar, 1920: 98)
b. Mariamin
orang yang ramah, terlihat dari tingkah lakunya ketika ia menyambut tamu, yaitu
Ayah dan Ibu Aminu’ddin yang berkunjung kerumahnya. Dijelaskan dengan kutipan:
Setelah
dilihatnya orang tua Aminu’ddin datang itu maka ia pun berlari keluar dan
mempersilahkan mereka masuk. Dengan muka yang ramah ia mempersilahkan jamu itu
duduk di atas...tikar, yaitu tikar yang dianyamnya sendiri itu, untuk tempat
duduk ayah Aminu’ddin dua laki istri. (Siregar, 1920: 158)
c. Mariamin
orang yang apik (bersih dan bagus pekerjaannya), terlihat dari perbuatannya
sehari-hari dalam bekerja dirumahnya. Dijelaskan dengan kutipan:
Semua
pekerjaannya telah habis: makanan tengah hari telah tersedia, rumah dan
pekarangan pun telah bersih disapunya. (Siregar, 1920: 169)
d. Marimiamin
sangat menghargai pertolongan orang lain, seperti ketika ia ditolong Aminu’ddin
waktu ia terhanyut di sungai dan hampir tenggelam, peristiwa itu sangat
berpengaruh pada persahabatan mereka, reaksi Mariamin terhadap peristiwa yaitu
selalu erasa berhutang budi. Terlihat dari kutipan:
Sejak
kecelakaan itu sudah tentu persahabatan mereka itu lebih rapat lagi. Mariamin
pun selalu merasa, bahwa ia berhutang nyawa kepada angkangnya, yang telah
mengurbankan dirinya sendiri untuk keselamatannya itu. (Siregar, 1920: 54)
2. Tokoh
Aminu’ddin (Udin)
Aminu’ddin
seorang yang rajin dan baik di sekolahnya waktu muda, ia disayangi oleh orang
lain, pandai, rendah hati, berkelakuan baik dan bahasanya halus, bijaksana, dan
dia anak yang penurut kepada orang tua, suka menolong, setia, berbesar hati
mengakui kesalahan, bijaksana, dan ia orang yang tawakal, seperti ketika ia
hendak berpisah dengan Mariamin karena ia akan bekerja.
1) Cara
Langsung atau Analitik
a. Aminu’ddin
anak yang rajin dan baik di sekolahnya, ia disayangi oleh orang lain, hal ini
deijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
......
ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah, sehingga gurunya amat
menyayangi dia. (Siregar, 1920: 20)
Lepas
dari sekolah, ia pun membantu bapakya bekerja di sawah atau di kebun. (Siregar,
1920: 22)
b. Aminu’ddin
anak yang pandai, dijelaskan langsung oleh pngarang dalam kutipan:
.....
Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak yang terpandai di kelasnya. (Siregar,
1920: 21)
c. Aminu’ddin
orang yang rendah hati, dijelaskan langsung oleh pengarang dlam kutipan:
Hatinya
rendah dan menilik segala cakap dan lakunya, Nampak benar-benar bahwa ia tidak
mempunyai hati yang meninggi. (Siregar, 1920: 21)
d. Aminu’ddin
anak yang bijaksana, berkelakuan baik dan bahasanya halus. Dijelaskan langsung
oleh pengarang dalam kutipan:
Aminu’ddin
anak yang bijaksana, adat dan kelakuannya baik dan halus budi bahasanya. (Siregar,
1920: 31)
e. Aminu’ddin
anak yang penurut kepada orang tua, terlihat ketika ia diminta ayahnya menikahi
gadis pilihan ayahnya, padahal ia lebih mencintai Mariamin, namun ia juga orang
yang setia. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sebenar-benarnya
Aminu’ddin setia juga kepada adindanya itu, akan tetapi terpaksalah ia menurut
kehendak orang tuanya. Amatlah berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan
bapaknya itu. (Siregar, 1920: 152)
f. Aminu’ddin
orang yang suka menolong, ketika ia meuruti permintaan ayahnya untuk menikah,
ia tak melupakan Mariamin, ia meminta ayahnya untuk membawa kerbau untuk
Mariamin dan ibunya, dengan maksud menolong mereka. Dijelaskan langsung oleh
pengarang dalam kutipan:
Hal
itu diminta keras oleh Aminu’ddin kepada ayahnya, bukan supaya menurut adat
saja, tetapi maksud menolong adindanya yang miskin itu, lebih berat padanya
daripada adat. (Siregar, 1920: 155)
2) Cara
tak langsung atau dramatik
·
Dengan
menggambarkan perbuatan atau tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu
peristiwa
a. Aminu’ddin
orang yang suka menolong, ketika ia pergi ke sawah bersama Mariamin, ia
membantu Mariamin bekerja di sawah. Dijelaskan dalam kutipan:
Ia
pun menyigsingkan lengan bajunya, lalu masuk ke sawah tempat adiknya bekerja
itu,.. (Siregar, 1920: 33)
·
Dengan
menggambarkan jalan fikiran tokoh
a. Aminu’ddin
orang yang setia, ketika Mariamin hempir
tenggelam di sungai yang banjir, dengan berani ia menolong Mariamin meskipun
dengan taruhan nyawanya. Dijelaskan dalam kutipan:
“
Biar aku mati, tak mau aku keluar dari sungai ini, sebelum aku mendapat
Mariamin, adik kesayanganku itu. Kalau mati, sama-sama berkuburlah kami disini,
“ kata anak laki-laki yang gagah berani itu dalam hatinya. (Siregar, 1920: 53)
b. Aminu’ddin
berbesar hati mengakui kesalahan, seperti ketika ia meikahi orang lain karena
permintaan ayahya, ia meminta maaf kepada Mariamin dengan cara mengirim surat.
Dijelaskan dengan kutipan:
“Pada
waktu inilah harus aku berkirim surat kepada Mariamin, memberitahukan hal ini
dan minta ampun kepadanya. Haramlah bagiku akan mengaku orang lain sebagai
istriku, sebelum perkataan meminta maaf keluar dari mulutku, akan jawabannya
tak mungkin dapat ditunggu. Bila aku menulis surat kepada Mariamin, sudahlah
cukup sebagai meminta ampun. Surat yang akan dibaca Mariamin itu, itulah ganti
mukaku berhadapan dengan anak dara itu.” (Siregar, 1920: 153)
·
Dengan
menggambarkan dialog para tokoh
-
Dialog tokoh Aminu’ddin
dengan tokoh lain yaitu Mariamin
a. Aminu’ddin
orang yang bijaksana, ia akan pergi bekerja agar dapat menikahi Mariamin,
terlihat dari dialognya dengan Mariamin ketika ia berpamitan. Dijelaskan dengan
kutipan:
“...yakni
saya harus pergi ke tanah lain akan mencari pekerjaan. Janganlah terkejut,
jangan berduka cita engkau Riam, ingatlah saya pergi bukan meninggalkan kau,
tetapi mendapatkan kau.” (Siregar, 1920: 5)
b. Aminu’ddin
orang yang tawakal, ketika ia hendak berpisah dengan Mariamin karena ia akan
bekerja. Ia mengajak Mariamin berserah diri kepada Tuhan segala tentang
hubungan mereka. Dijelaskan dalam kutipan:
“...Selamat
tinggal Anggi! Jangan kau bersusah hati, mudah-mudahan baik juga kelak
kesudahannya. Marilah kita menyerahkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa.”
(Siregar, 1920: 7)
-
Dialog tokoh lain yaitu
Ibu Aminu’ddin dengan tokoh lain yaitu ayahnya.
a. Aminu’ddin
orang yang suka menolong, seperti dijelaskan dalam dialog ibu dan ayahnya yang
membicarakan tentang ia menolong mencangkul di sawah Mariamin. Dijelaskan dalam
kutipan:
“
Ia menolong mencangkul sawah mak Mariamin. Hari ini ia libur sekolah karena
hari besar karena itu ia pergi tadi pagi ke Sipirok...” (Siregar, 1920: 23)
3. Tokoh
Nuria (Ibu Mariamin)
Nuria
orang yang baik, setia, penyabar, pengiba, peramah, dan menghormati orang, hemat,
ia tak suka menghamburkan uang jika tidak untuk sesuatu yang diperlukannya. Ia
orang yang bertawakal kepada Tuhannya, saat ia hidup dalam kemelaratan, semakin
teguh imannya. Ia suka kesederhanaan dan berwajah cantik, dari romannya
terlihat bahwa ia orang yang perendah, penyayang, dan perhatian. Selain pandai
memanfaatkan waktu, ia seorang istri shaleh, ia tak lupa sembahyang, bijaksana,
bertoleransi, mudah terharu, rajin bekerja dan suka kebersihan, namun ia berkecil
hati ketika hidup dalam kemelaratan, namun ia suka menolong dan cinta
persaudaraan
1) Cara
Langsung atau Analitik
a. Nuria
orang yang baik, setia dan penyabar. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam
kutipan:
Adapun
anak dara yang dijodohkan ibunya itu, adalah seorang perempuan yang mempunyai
kelakuan yang baik. Seberang tingkah lakunya sedikit pun tiada dapat dicela. Tertib
dan sikapnya pun adalah menunjukkan kebangsawanannya, artinya setia dan
penyabar. (Siregar, 1920: 72)
b. Nuria
adalah orang yang pengiba, peramah, dan menghormati orang. Dijelaskan langsung
oleh pengarang dalam kutipan:
Perempuan itu pengiba, peramah serta tahu menghormati
orang... (Siregar, 1920: 73)
c. Nuria orang yang penyabar, ketika ia menikah
dengan Sutan Baringin, tanpa rasa cinta diantara keduanya. Ia sabar mengambil
hati Suaminya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban seorang istri. Dijelaskan
langsung oleh pengarang dalam kuipan:
Tahulah ia rupanya
kewajiban-kewajiban perempuan pada suaminya. Oleh sebab itu, tiadalah dia jemu
dan bosan mengambil hati suaminya itu dengan sepenuh-penuh hati. (Siregar, 1920:
73)
Akan tetapi si ibu itu seorang
perempua yang sabar dan keras hatinya. Beban itu dipikulnya dengan pikiran yang
tenang. (Siregar, 1920: 122)
d. Nuria
orang yang hemat, ia tak suka menghamburkan uang jika tidak untuk sesuatu yang
diperlukannya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kuipan:
Meskipun ia dapat membeli tikar
di pasar dengan uang dua rupiah, tiadalah suka ia mengeluarkan uangnya, kalau
tidak perlu. (Siregar, 1920: 86)
e. Nuria
orang yang suka bertawakal kepada Tuhannya, saat ia hidup dalam kemelaratan, ia
semakin teguh imannya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kuipan:
... meskipun hidupnya di dunia
ini makin sengsara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya bertambah teguh.
Sekalian penanggungannya yang berat itu diserahkannya kepada Tuhan Yang
Pengasih, karena tahulah ia, bahwa di dunia ini suatu pun tak ada yang kekal!. (Siregar,
1920: 122)
2) Cara
tak langsung atau dramatik
§ Dengan menggambarkan
fisik tokoh
a. Nuria
orang yang suka kesederhanaan dan berwajah cantik, dari romannya terlihat bahwa
ia orang yang perendah. Dijelaskan dalam kuipan:
.....
ia orang perendah dan gemar kepada kesederhanaan. Akan tetapi meskipun ia
memakai dengan sederhana, adalah rupa dan romannya bertambah cantik... (Siregar,
1920: 72)
§ Dengan menggambarkan tingkah
laku dan reaksi tokoh terhadap peristiwa
a. Nuria
orang yang penyayang, terlihat dari tingkah lakunya ketika ia memandang dan
memeluk serta mencium Mariamin, anak kesayangannya itu. Terlihat dari kutipan:
....
Ia memandang muka Mariamin dengan mata yang menunjukkan, betapa besar cintanya
dan kasih sayangnya kepada anaknya itu. (Siregar, 1920: 7)
...tanya
si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya
berulang-ulang. (Siregar, 1920: 7)
b. Nuria
orang yang perhatian, ketika Mariamin menangis karena perpisahannya dengan
Aminu’ddin, Nuria menyapu pipi anaknya itu dengan perhatiannya. Dijelaskan
dalam kutipan:
...tanya
si ibunya lagi sambil menyapu-nyapu pipi anaknya yang basah oleh karena air matanya
itu. (Siregar, 1920: 15)
c. Nuria
orang yang setia, saat Sutan Baringin pergi. Nuria selalu menunggu suaminya itu
untuk makan bersama. Dijelaskan dalam kutipan:
Kalau
ia pergi belum makan, terpaksalah istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa,
bukan dipaksa orang, akan tetapi hatinya lah yang memaksa ia berbuat begitu.
(Siregar, 1920: 79)
d. Nuria
orang yang pandai memanfaatkan waktu, saat ia dirumah menunggu anak-anaknya
pulang sekolah. Ia mengerjakan pekerjaan rumah. Dijelaskan dalam kutipan:
Akan
mengurangkan perasaan bosan, ia selalu mengerjakan pekerjaan yang ringan:
menganyam, tikar atau menjahit pakaian anaknya yang koyak...(Siregar, 1920: 79)
e. Nuria
orang yang shaleh, ia tak lupa sembahyang. Bahkan ketika hatinya sedang gundah,
ia sembahyang untuk menenangkan hatinya. Dijelaskan dalam kutipan:
Sejak
itu, tiadalah ia dapat tidur lagi. Hatinya gunah gulana, karena tiada mengerti
akan takwil mimpinya itu. Setelah fajar menyingsing, ia pun berdirilah, lain
mengambil air sembahyang. Perempuan yang saleh itu pun menyerahkan dirinya
kepada Tuhan. (Siregar, 1920: 84)
Ibu
Mariamin mengambil air sembahyang. Dengan sepenuh-penuh hati ia menyembah Allah
yang akbar itu dan bermohon supaya ia mengampuni dosa dan kesalahannya.
(Siregar, 1920: 97)
f. Nuria
orang yang rajin beribadah, ia ingin anaknya juga menjadi anak yang rajin
beribadah, ia selalu menanamkan pelajaran tentang agama kepada anaknya.
Dijelaskan dalam kutipan:
Sebab
memikirkan itulah si ibu bertambah-tambah asyiknya berbuat ibadat, dan ke dalam
hati anaknya ia selalu menanam biji pengajaran agama, karena ia tahu, agama
itulah yang menjadi tembok batu tempat kita berdiri diwaktu banjir dan air
pasang... (Siregar, 1920: 123)
g. Nuria
orang yang bijaksana, setelah suaminya meninggal, ia bekerja banting tulang
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang kini hidup dalam kemelaratan. Dan ia
tak pernah malu bekerja mencari upahan pada orang lain. Dijelaskan dalam
kutipan:
Karena
suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang tinggal, terpaksalah si ibu
membating tulang akan mencari nafkah, sesuap untuk pagi dan sesuap petang,
untuknya anka-beranak. Tiadalah malu ia mencari upahan, pada waktu mengerjakan
sawah, misalnya menyiangi, mengirik padi dan lain-lainnya,.. (Siregar, 1920:
123)
h. Nuria
orang yang bertoleransi, ketika ibu Sutan Baringin meninggal, ia sangat
bersedih. Terlihat dalam kutipan:
Setelah
ibu Sutan Baringin meninggal, amatlah masygul hati istrinya itu,... (Siregar,
1920: 79)
i.
Nuria orang yang mudah
terharu, terlihat dari reaksinya terhadap peristiwa. Ia menangis ketika Sutan
Baringin akan meninggal. Terlihat dalam kutipan:
Perempuan
itu tiada menjawab, hanya air matanya yang menitik ke atas bantal orang sakit.
(Siregar, 1920: 114)
§ Dengan menggambarkan lingkungan
tokoh
a. Nuria
orang yang rajin bekerja dan suka kebersihan, terlihat dari lingkungannya
selalu tampak bersih dan rapi. Dijelaskan dalam kutipan:
Rumah
dan pekarangan yang selalu bersih tampaknya dan letaknya sekalian perkakas
rumah rapi dan beraturan. (Siregar, 1920: 80)
§ Dengan menggambarkan jalan
fikiran tokoh
a. Nuria
berkecil hati ketika ia hidup dalam kemelaratan, ia merasa tak ada yang
menghormati mereka lagi, ia selalu resah memikirkan nasib anak-anaknya kelak.
Terlihat dalam kutipan:
...kata
perempuan itu dalam hatinya. “Akan tetapi sekarang, aduh...siapa yang
kuharapkan lagi? Seorangpun tak ada yang melihat saya, demikian rupanya manusia
itu di dunia ini. Kalau dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat, bila kita
jatuh miskin, seorangpun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum karib itu menjauhkan
dirinya..(Siregar, 1920: 7)
...pikirnya.
“Jika saya mati, apalah jadinya biji mataku kedua ini? Benar ada lagi saudara
mendiang bapaknya, tetapi tahulah saya, bagaimana kebiasaan manusia di dunia
ini. Sedang pada masa hidupku tiadalah mereka yang mengindahkanku, apalagi
kalau saya tak ada.” (Siregar, 1920: 11)
“Benarlah
rupanya aku ini orang yang malang, kalau suamiku ini meninggal, apatah jadinya
nasi kami anak-beranak?” pikir perempuan itu dalam hatinya. (Siregar, 1920:
114)
b. Nuria
istri yang setia, tergambar dalam fikirannya ketika memikirkan istri yang tak
setia dan menceraikan hubungan dengan
suaminya. Secara tidak langsungmenunjukkan bahwa Nuria adalah istri yang setia.
Ia juga setia menunggu suaminya untuk makan bersama.Dijelaskan dalam kutipan:
...karena
orang itu berkat adalam hatinya: “Perempuan itu tiada baik, ia tak setia kepada
suaminya. Sudah tentu orang tiada mau mengambil dia akan istri. Sepanjang adat
pun amatlah beratnya hukuman orang yang menceraikan kawan sehidupnya itu.” (Siregar,
1920: 76)
...“Seharusnyalah
kami bersama-sama makan, karena kuranglah baiknya, kalau istri itu lebih dahulu
makan daripada suaminya. “ Demikianlah pikiran ibu yang setia itu. (Siregar,
1920: 79)
c. Nuria
orang yang suka menolong, ia lebih suka menolong orang miskin daripada
menghamburkan uangnya, terlihat dari jalan fikirannya dalam kutipan:
Daripada
uang dikeluarkan dengan percuma, lebih baik diberikan kepada orang yang papa.
Demikianlah pikiran mak Mariamin. (Siregar, 1920: 86)
§ Dengan menggambarkan dialog
para tokoh
-
Dialog tokoh Nuria
dengan tokoh lain yaitu Mariamin
a. Nuria
seorang ibu yang perhatian, ia selalu menjaga anaknya agar tidak sakit, ia juga
perhatian ketika melihat anaknya bersedih, juga ketika suaminya sedang sakit,
ia begitu memperhatikan keluarganya. Terlihat dari dialognya dengan anaknya.
Dijelaskan dalam kutipan:
“Riam,
dimanakah adikmu? Suruhlah dia kemari, janganlah dibiarkan ia tinggal diluar,
hari sudah malam, nanti ia kemasukan angin.” (Siregar, 1920: 7)
“Apakah
yang anakku tangiskan, sedang jauh malam begini? Pikirku Riam sudah tidur. ” (Siregar,
1920: 15)
“Diri
kehausan, baiklah diri meminum obat ini karena dia itu pun dingin juga. Kalau
Kakanda meminum air banyak-banyak, tentu tidak baik, karena badan Kakanda masih
hangat,” sahut perempuan itu dengan suara yang lemah lembut. (Siregar, 1920:
113)
b. Nuria
orang yang bijaksana, ia memberi semangat pada Mariamin ketika Mariamin
bersedih. Terlihat dari dialogya dengan Mariamin. Dijelaskan dalam kutipan:
“Kalau
anakku takkan menyusahkan Bunda yang sakit-sakit ini, diamlah kau, dan
senangkanla pikiranmu. Engkau harus sabar dan berserah diri kepada Tuhan, “
kata si ibu sesudah ia mendengar cerita anaknya. (Siregar, 1920: 16)
c. Nuria
orang yang cinta persaudaraan, terlihat dari dialognya dengan suaminya. Ketika
suaminya berniat tidak baik dengan saudaranya Baginda Mulia, ia menasihati
suaminya agar tetap menjaga tali persaudaraan. Dijelaskan dalam kutipan:
“Adakah
patut kita berbuat seperti itu kepada adik kita? Kita hanya sebatang kara, dia
pun demikian. Betapakah bagusnya kalau kita hidup dengan dia berkasih-kasihan
sebagai orang yang bersaudara kandung, apalagi ia belum jauh...” (Siregar, 1920:
95)
4. Sutan
Baringin/Tohir (Ayah Mariamin)
Sutan
Baringin orang yang suka berperkara, sehingga hartanya yang banyak itu habis
karena kesukaannya tersebut, ia keras kepala, dan ia anak yang manja dan nakal
waktu kecilnya, tidak menghormati orang lain dan ia tidak menjadi orang yang
berkelakuan baik, karena kecilnya sagat dimanja oleh ibunya. Ia pemarah, bengis,
angkuh dan tidak hormat kepada orang lain, pemalas dan pemboros, selain itu ia tamak,
dengki dan khizit, tabiat itu sudah menyatu dalam darahnya, mudah terpengaruh, loba
dan khianat, dan ia orang yang tak acuh terhadap keluarga, licik, kasar, berfikiran
negative, pemarah. Namun ternyata ia cepat putus asa dan ketika ia akan
meninggal ia mau mengakui kesalahan.
1) Cara
Langsung atau Analitik
a. Sutan
Baringin orang yang suka berperkara, sehingga hartanya yang banyak itu habis
karena kesukaannya tersebut. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sutan
Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk
Sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka berperkara, maka harta yang banyak
itu habis,... (Siregar, 1920: 24)
b. Sutan
Baringin orang yang keras kepala, ia tak pernah mendengarkan pendapat istrinya.
Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Beberapa
kali Sutan Baringin dilarang istrinya, supaya berhenti daripada berperkara, tetapi tiada juga ia
mengindahkannya. (Siregar, 1920: 15)
c. Sutan
Baringin anak yang manja dan nakal waktu kecilnya. Dijelaskan langsung oleh
pengarang dalam kutipan:
Sebagai
acap kali kejadian akan tabiat anak tunggal itu, adalah amat manja dan nakal
pada waktu ia masih anak-anak,..(Siregar, 1920: 55)
d. Sutan
Baringin orang yang tidak menghormati orang lain, dan ia tidak menjadi orang
yang berkelakuan baik, karena kecilnya sagat dimanja oleh ibunya. Dijelaskan
langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Setelah
ia besar, benarlah perkataan bapaknya. Ia tiada menjadi orang yang berkelakuan
baik dan patut. Hormatnya kepada orang tuanya pun kuranglah daripada yang
biasa. (Siregar, 1920: 59)
e. Sutan
Baringin orang yang pemarah, bengis dan angkuh dan tidak hormat kepada orang
lain. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
...suaminya
suka marah-marah dan perkataannya pun tiada berapa menyenangkan menyenangkan
hati orang yang mendengarkan...
...Sutan
Baringin adalah sebaliknya: bengis, angkuh, dan hatinya amat tinggi, tiada tahu
ia akan hormat kepada orang lain. (Siregar, 1920: 73)
f. Sutan
Baringin orang yang pemalas dan pemboros. Dijelaskan langsung oleh pengarang
dalam kutipan:
Sudah
besar, tiadalah berubah kelakuannya itu, ia tinggi hati, pemarah, pemalas serta
pemboros. Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya, jadi bukan yang
dicarinya dengan keringatnya. (Siregar, 1920: 78)
g. Sutan
Baringin orang yang tamak dan dengki dan khizit, tabiat itu sudah menyatu dalam
darahnya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Hati
cemburu, loba, tamak, dengki, dan khizit, sekaliannya itu sudah berurat berakar
dalam darahnya, itulah yang akan merusakkan diri Sutan Baringin. (Siregar,
1920: 90)
h. Sutan
Baringin orang yang mudah terpengaruh, saat ia dipanas-panasi omongan pokrol
bambu, ia begitu cepat terbujuk untuk berperkara, dan ia tak mengindahkan
perkataan siapapu. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Demikian
bodohnya itu, perkataan yang tiada beralasan, yang tersembur begitu saja dari
mulut seorang pokrol bambu, dipercayainya semua. (Siregar, 1920: 99)
Sutan
Baringin tinggal bersitegang urat leher saja, perkataan siapa pun tiada
diindahkannya, lain daripada asutan-asutan pokrol bambu yang cerdik itu.
(Siregar, 1920: 102)
i.
Sutan Baringin orang
yang loba, tamak, dengki dan khianat, tabiat tersebut telah memmmeeenuhi
pikirannya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sutan
Baringin orang yang telah rusak binas abudinya dari kecilnya, tiada mempunyai
hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba dan tamak, dengki dan khianat, itu
sajalah yang memenuhi fikirannya. (Siregar, 1920: 102)
2) Cara
Tak Langsung atau Dramatik
§ Dengan menggambarkan tingkah
laku dan jalan fikiran tokoh
a. Sutan
Baringin orang yang tak acuh terhadap keluarga, Terlihat dari tingkah lakunya
yang kerap kali meninggalkan rumah malam hari. Dijelaskan dalam kutipan:
Pada
permulaan Sutan Baringin bertambah kerap kali meninggalkan rumah malam hari,
karena ia pergi ke kedai nasi atau ke rumah kopi. Maka di sana ia
bercakap-cakap dengan orang banyak, sudah tentu orang itu masuk golongan orang
yang kurang baik. (Siregar, 1920: 79)
b. Sutan
Baringin orang yang licik. Terlihat dari jalan fikirannya yang licik ketika
adiknya Baginda Diatas akan pulang ke Sipirok, ia punya maksud yang tidak baik,
karena takut hartanya akan direbut. Dijelaskan dalam kutipan:
“...jadi
pada waktu memangkur sawah ini, sudah tentu ia meminta sawah bagiannya. Kerbau
yang di Padang Lawas itu sudah tentu akan diselesaikan pula. Utangku, yaitu bagiannya
yang kuhabiskan haruslah pula kubayar, karena tiada dapat disembunyikan. Tapi
siapa tahu aku harus mencari akal.” Demikianlah Sutan Baringin berfikir-fikir.
(Siregar, 1920: 90)
·
Dengan
menggambarkan dialog para tokoh
-
Dialog tokoh Sutan
Baringin dengan tokoh lain yaitu istrinya Nuria, dan dialog tokoh Sutan
Baringin dengan tokoh lain yaitu Baginda Diatas.
a. Sutan
Baringin orang yang kasar, terlihat dari perkataannya ketika berdialog dengan
istrinya saat membicarakan Baginda Diatas, sedang saat ia berdialog dengan
Baginda diatas juga ia berbicara dengan nada yang kasar. Dijelaskan dengan
kutipan:
“Diam
kau,perempuan tiada patut mencampuri urusan laki-laki, dapur sajalah bagianmu!”
(Siregar, 1920: 26)
“Diam,
tak kukenal kau, engkau datang ke sini sebagai pencuri tengah malam, ayoh,
nyah!” kata Sutan Baringin dengan suara kasar. (Siregar, 1920: 104)
b. Sutan
Baringin orang yang berfikiran negative, ketika ia dinasihati istrinya mengenai
kebaikan saudaranhya Baginda Mulia, Sutan Baringin tetap pada pendiriannya, ia
berprasangka buruk bahwa Baginda Mulia hanya ingin merebut kekayaannya saja.
Dijelaskan dengan kutipan:
“Si
Tongam itu tiada dapat dipercayai. Tidakkah kau tahu orang yang biasa di negeri
ramai itu amat pintarnya, tetapi pintar dalam kejahatan...” (Siregar, 1920: 94)
“Aku
sudah mengerti tajamnya akalmu. Oran sedunia ini kaukumpulkan, kemudian engkau
sendiri datang kemari, akan tetapi aku takkan percaya akan orang yang bermulut
manis.” (Siregar, 1920: 103)
c. Sutan
Baringin orang yang pemarah, ia selalu marah-marah kepada istrinya jika diberi
nasehat oleh istrinya, dan ia juga keras kepala. Hal tersebut nampak pada
kutipan:
Dengan
amarah ia berkata, “Betullah perempuan tiada berotak, gampang ditipu engkau
ini. Lebih baik kau diam, aku lebih tahu apa yang akan kuperbuat.” (Siregar,
1920: 96)
d. Sutan
Baringin orang yang cepat putus asa, ketika ia hidup melarat karena kalah
berperkara dengan saudaranya, ia sakit karena terlampau malu. Dan ia seperti
putus asa, tak ingin hidup lagi, terlihat dari dialognya dengan istrinya.
Dijelaskan dalam kutipan:
“Tak
usah Adinda lagi membagi Kakanda obat, Kakanda sudah jemu di dunia ini. Lagi
pula penyakitku tak akan baik lagi. Baiklah Adinda menyenangkan hatiku,” kata
orang sakit itu perlahan-lahan. (Siregar, 1920: 114)
e. Sutan
Baringin orang yang mau mengakui kesalahan, ketika ia jatuh melarat dan sakit,
ia tersadar akan kesalahannya yang menyebabkan keluarganya melarat. Waktu ia
akan meninggal, ia meminta ampun atas kesalahannya pada istrinya Nuria.
Dijelaskan dalam kutipan:
“Adinda jangan berkata demikian. Sekarang Kakanda
mengucap syukur kepadamu. Tiadalah seharusnya bagiku menerima kasih dan sayang
daripadamu, karena selama ini tiadalah Kakanda mencintai Adinda sebagaimana
yang patut. Sungguh hatimu amat mulia, tiadalah berpadanan dengan kalakuaku
yang hina ini. Oleh sebab itu haraplah Kakanda, Adinda mengampuni kesalahanku
itu.” (Siregar, 1920: 117)
5. Baginda
Diatas (Ayah Aminu’ddin)
Baginda
Diatas orang yang berbudi baik dan bijaksana, sehingga ia disegani, namun ia orang
yang pemilih-milih, apalagi kalau memilihkan menantu untuknya.
1) Cara
langsung atau analitik
a. Baginda
Diatas orang yang berbudi baik, dia berpangkat dan disegani orang karena budi
baiknya itu. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
....pangkat
kepala kampung itu, ditambahi budi yang baik, itulah sebabnya orang itu
terkenal di Luhak Sipirok dan anak buahnya, yakni penduduk Dusun A itu pun
menyegani dia. (Siregar, 1920: 18)
2) Cara
tak langsung atau dramatic
§ Dengan menggambarkan
dialog para tokoh
-
Dialog tokoh Baginda
Diatas dengan tokoh lain, yaitu Istrinya.
a. Baginda
Diatas orang yang bijaksana, ketika ia tidak menyetujui permintaan Aminu’ddin
untuk menikahi Mariamin, ia tak langsung menyampaikan pendapatnya itu pada
istrinya, karena ia takut menyakiti hati istrinya, ia mencari cara untuk
memilih kuputusan yang tepat. Dijelaskan dalam kutipan:
“Kalau
engkau mengerasi juga, baiklah. Akan tetapi baiklah kita berhati-hati, karena
mengambil jodoh anak itu tiada boleh dipermudah-mudahkan,..
Kalau
pertemuan mereka itu tiada baik menurut faal, baiklah kita carikan yang lain.”
(Siregar, 1920: 136)
a. Baginda
Diatas orang yang pemilih-milih, ketika ia mencarikan calon istri untuk anaknya
Aminu’ddin, ia hanya memilih yang cantik, dan berbangsa (keluarganya)
“Cuma
seorang sajalah yang kusetujui, rupanya pantas, bangsanya cukup, akan tetapi kelakuannya
belum kuketahui.” (Siregar, 1920: 138)
6. Karakter
Ibu Aminu’ddin
Ibu
Aminu’ddin orang yang berbudi baik, dan bijaksana.
1) Cara
langsung atau analitik
a. Ibu
Aminu’ddin orang yang berbudi baik, ia selalu menutut pada suaminya. Dijelaskan
langsung oleh pengarang dlam kutipan:
...karena
perempuan itu amat baik budinya, dan barang tingkah lakunya pun adalah setuju
dengan si suami. Romannya yang sederhana dan lemah lembut itu, cukuplah sudah
kekuatannya akan mengikat hati suaminya,...(Siregar, 1920: 19)
2) Cara
tidak langsung atau dramatik
§ Dengan menggambarkan dialog
para tokoh
-
Dialog tokoh Ibu
Aminu’ddin dengan tokoh lain yaitu suaminya
a. Ibu
Aminu’ddin orang yang bijaksana, saat suaminya menyuruh Aminu’ddin bekerja,
padahal masih anak-anak, ia menegur suaminya agar tidak terlalu keras pada anak
mereka. Dijelaskan dalam kutipan:
“Janganlah
Kakanda terlalu keras pada anak kita, itu! Umurnya belum berapa, dan tulangnya
belum kuat...bukan Adinda melarang dia bekerja, akan tetapi jangan terlalu
keras, selagi ia kecil, jangan ia dipaksa, dia dibawa ke sawah hanya sekedar
membiasakan saja, supaya tahu ia berusaha di belakang hari.” (Siregar, 1920:
22)
7. Ayah
Sutan Baringin
Ayah
Sutan Baringin orang yang penyabar, orang yang keras, jika ia mendidik anak tak
segan-segan dengan pukulan jika anak tersebut salah, namun ia orang yang
bijaksana.
1) Cara
tidak langsung atau dramatik
§ Jalan Fikiran
a. Ayah
Sutan Baringin orang yang penyabar, saat dia bertengkar dengan istrinya, ia
hampir memarahi istrinya trsebut, namun ia menahan dirinya. Dijelaskan dalam
kutipan:
“Diam!
Lebih baik engkau menutup mulutmu, perempuan ce...,astaga, hampir aku berdosa,
lebih baik aku pergi,” kata suaminya dalam hatinya. (Siregar, 1920: 59)
§ Dengan menggambarkan
dialog para tokoh
-
Dialog tokoh ayah Sutan
Baringin dengan tokoh lain yaitu istrinya
a. Ayah
Sutan Baringin orang yang keras, ia mendidik anak tak segan-segan dengan
pukulan jika anak tersebut salah. Dijelaskan dalam kutipan:
“
Maksudku begini: Kalau si Tohir salah harus dimarahi, kalau perlu, jangan segan
memakai pukul.” (Siregar, 1920: 57)
b. Ayah
Sutan Baringin orang yang bijaksana, meski ia berlaku keras dalam mendidik
anaknya, itu semaa-mata agar anaknya mempunyai rasa tanggung jawab. Dijelaskan
dalam kutipan:
“Ia
masih kecil, saya tahu juga,” sahut si bapak. “Akan tetapi kalau tiada ia
beroleh teguran akan kesalahannya yang sekarang, nanti lama-lama, bila ia sudah
besar, tak tahu lagi ia perbuatannya yang salah, karena pada waktu kecilnya ia
berbuat demikian, dan tiada dimarahi orang tuanya....” (Siregar, 1920: 57)
8. Ibu
Sutan Baringin
Ibu Sutan
Baringin orang yang penyayang dan bijaksana.
1) Cara
tidak langsung atau dramatik
§ Dengan menggambarkan dialog
para tokoh
-
Dialog tokoh Ibu Sutan
Baringin dengan tokoh lain yaitu suaminya
a. Ibu
Sutan Baringin orang yang penyayang, ia sangan menyayangi Sutan Baringin ketika
masih anak-anak, tapi ia memanjakan anaknya itu. Dijelaskan dari kutipan:
“Perkataan
apakah itu? Anak hanya satu, kau samakan lagi dengan anak yang telah besar.
Bukankah ia masih kecil? Kalau sudah besar tentu ia tahu, mana yang salah, dan
ia pun sudah tentu takkan mau lagi berbuat yang salah itu.” (Siregar, 1920: 57)
§ Dengan menggambarkan Tindakan
a. Ibu
Sutan Baringin orang yang bijaksana, ketika Sutan Baringin beranjak dewasa, ia
mencarikan jodoh untuk anaknya itu, agar sifat Sutan Baringin berubah menjadi
baik. Dijelaskan dalam kutipan:
Itulah
sebabnya, maka ibunya lekas mengambil anak dara untuk jadi istri anaknya itu.
Lagi pula kalau anaknya itu sudah kawin, tentu hatinya lekas tua dan
perangainya berubah menjadi baik. (Siregar, 1920: 57)
9. Baginda
Mulia/Tongam (Saudara Sutan Baringin)
Baginda Mulia
orang yang baik hati, tenang dan penyabar, cinta persaudaraan dan senang
berdamai. Ia pekerja keras, saat ayaahnya meninggal dunia, ketika ia sudah
besar, ia merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan, namun ia cinta tanah air/tempat
kelahirannya jadi ia tak melupakan tanah klahirannya.
1) Cara
Langsung atau Analitik
a. Baginda
Mulia orang yang pekerja keras, saat ayaahnya meninggal dunia, ketika ia sudah
besar, ia merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan, ia bekerja keras hingga
akhirnya menjadi guru di sebuah sekolah desa.. Dijelaskan dalam kutipan:
Setelah
ia berusia lima belas tahun, pergilah ia merantau ke Deli. Ia lebih beruntung
daripada bapaknya. Berkat usahanya, dapatlah ia bekerja menjadi guru pada sebuh
sekolah desa. (Siregar, 1920: 92)
b. Baginda
Mulia orang yang cinta tanah air/tempat kelahiran, ketika ia sudah lama
merantau meninggalkan Sipirok tempat kelahirannya, ia ingin kembali dan
meneruskan kehidupannya di Sipirok. Dijelaskan dalam kutipan:
...begitu
jugalah halnya dengan Baginda Mulia. Jemulah rasanya ia di rantau orang, rindu
ke negeri sendiri makin keras, sehingga ia minta dipindahkan ke negerinya.
Syukurlah, maksudnya itu dikabulkan. (Siregar, 1920: 92)
c. Baginda
Mulia orang yang tenang dan penyabar. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam
kutipan:
Karena
Baginda Mulia seorang yang tenang dan penyabar, tak sukalah ia menurut nafsu
marah dan asutan orang luaran. (Siregar, 1920: 102)
2) Cara
tidak langsung atau dramatik
§ Dengan menggambarkan tindakan
tokoh
a. Baginda
Mulia orang yang cinta persaudaraan, ia berkirim surat pada Sutan Baringin
untuk memberitahukan kepulangannya ke Sipirok, karena begitu besar rasa
persaudaraan di hati Baginda Mulia. Dijelaskan dalam kutipan:
Setelah
ia menerima surat pindahan itu, ia pun berkirim surat kepada Sutan Baringin
akan menceritakan kegirangan hatinya itu. Hati persaudaraan adalah lebih rapat
padanya daripada Sutan Baringin... (Siregar, 1920: 92)
Waktu
kesusahan dan kedukaan mereka itu selalu berkirim-kirim surat. Baginda Mulia
berbuat demikian karena cinta akan saudara,.. (Siregar, 1920: 93)
§ Dengan menggambarkan dialog
para tokoh
-
Dialog antara tokoh
Baginda Mulia dengan orang lain yaitu Sutan Baringin
a. Baginda
Mulia orang yang senang berdamai, ketika Sutan Baringin ingin berperkara
dengannya tentang masalah harta warisan nenek mereka. Baginda Mulia lebih
memilih untuk mengajak Sutan Baringin berdamai. Dijelaskan dalam dialognya
dengan Sutan Baringin. Dibuktikan dengan kutipan:
“...Apalah
gunanya kita berselisih karena harta peninggalan nenek kita. Bukankah kebaikan
antara orang bersaudara itu lebih berharga daripada emas dan perak? Itu pun
haraplah Adinda ini akan kemurahan Kakanda, eloklah kita berdamai, supaya
semangat mendiang nenek kita jangan gusar atas perbuatan kita itu.” (Siregar,
1920: 103)
b. Baginda
Mulia orang yang pasrah, ia sedikit putus asa saat permintaan damainya ditolak
oleh Sutan Baringin. Dijelaskan dalam kutipan:
“Sampai
hatikah Kakanda menolak permintaan Adinda itu? Lebih sukakah Kakanda akan orang
daripada kaum sedarah Kakanda?” sahut Baginda Mulia yang putus asa itu.
(Siregar, 1920: 103)
-
Dialog antara tokoh
Sutan baringin dengan orang lain yaitu Nuria istrinya, yang menggambarkan watak
tokoh Baginda Mulia.
c. Baginda
Mulia orang yang baik hati, ia selalu mengirimkan barang untuk saudaranya Sutan
Baringin sebagai tanda persaudaraan. Terlihat dari dialog berikut ini, Dijelaskan
dalam kutipan:
“...Rupanya
si Tongam tiadalah melupakan kita. Setiap tahun kita selalu menerima
kirimannya...” (Siregar, 1920: 94)
10. Marah
Sait (Sahabat Sutan Baringin)
Marah
Sait orang yang pandai berkata-kata, karena ia seorang pokrol bambu, sudah
tentu ia pandai berkata-kata untuk urusan berperkara, namun ia pandai membodohi
orang, ia cerdik, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya memang
digunakannya untuk mencari keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuannya
jika hendak berperkara, namun ia tidak memperdulikan orang lain, ia hanya
mengambil keuntungan dari orang yang meminta bantuannya, ia mata duitan, picik.
1) Dengan
cara langsung atau analitik
a. Marah
Sait orang yang pandai berkata-kata, karena ia seorang pokrol bambu, sudah
tentu ia pandai berkata-kata untuk urusan berperkara. Dijelaskan langsung oleh
pengarang dalam kutipan:
Kemudian
ia pun turunlah, hendak pergi mendapatkan sahabatnya Marah Sait, yang telah
kenamaan karena padai berkata-kata, apalagi bersoal-jawab, karena ia seorang
pokrol bambu. (Siregar, 1920: 96)
b. Marah
Sait orang yang pandai membodohi orang, karena pandainya berkata-kata, ia dapat
dengan mudah membodohi orang. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Tetapi
sebab pandainya berkata-kata serta dengan petah lidahnya, dapatlah ia membodohi
sahabatnya itu. (Siregar, 1920: 100)
c. Marah
Sait orang yang cerdik, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya memang
digunakannya untuk mencari keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuannya
jika hendak berperkara. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Akan
tetapi ia berkata demikian itu akan mencari untung yang lebih banyak lagi,
membuat rekes tentu mendatangkan upah baginya. (Siregar, 1920: 107)
a. Marah
Sait orang yang tidak memperdulikan orang lain, ia hanya mengambil keuntungan
dari orang yang meminta bantuannya dalam urusan berperkara, namun jika kalah,
ia pergi meninggalkan orang itu setelah ia mendapat untung. Dijelaskan langsung
oleh pengarang dalam kutipan:
...karena
Marah Sait telah mengambil jalan yang lain, akan menyisihkan Sutan Baringin.
Ya, apakah yang dipedulikannya lagi, habis manis sepah dibuang, bukan?
(Siregar, 1920: 107)
2) Cara
tidak langsung atau dramatik
§ Dengan menggambarkan
tingkah laku atau tindakan tokoh
a. Marah
Sait orang yang mata duitan, terlihat dari tingkah lakunya ketika Sutan
Baringin bercerita kepadanya bahwa ia ingin berperkara, Marah Sait setuju
sambil bermaksud untuk mendapatkan keuntungan. Dijelaskan dalam kutipan:
.....
Ia mengatakan itu sambil menggesekkan telunjuk denga ibu jarinya yang maksudnya
menyediakan uang. (Siregar, 1920: 99)
§ Dengan menggambarkan dialog
tokoh
-
Dialog tokoh Marah Sait
dengan orang lain yaitu Sutan Baringin
a. Marah
Sait orang yang picik, karena ia seorang pokrol bambu, ia bisa saja mengarang
segala cerita untuk untuk membantu orang yang sedang berperkara, namun sudah
tentu caranya itu picik. Terlihat dari dialognya. Dijelaskan dalam kutipan:
“Itu
mudah,” jawab Marah Sait serta tersenyum-senyum. “Bukankah sudah lebih dua
puluh tahun ia di rantau? Kalau nanti ia datang, katakana saja ia bukan
bersaudara dengan engkau. Ringkasnya kamu berdua tidak waris-mewarisi. Meskipun
di muka pengadilan engkau haruslah tetap mengatakan yang demikian itu. Apakah
nanti perkataannya kepada hakim, suatu pun tiada keterangannya, bahwa ia ada
mewarisi nenekmu itu.” (Siregar, 1920: 98)
b. Marah
Sait orang yang cerdik, terlihat dari dialognya dengan Sutan baringin saat
mereka membicarakan cara apa yang akan mereka perbuat untuk memenangkan
perkara. Dijelaskan dalam kutipan:
“Semua
ikhtiar haruslah kita perbuat, supaya kita jangan menyesal di belakang hari,”
kata pokrol yang cerdik itu. (Siregar, 1920: 107)
11. Kepala
Pengadilan Sipirok (Asisten Residen)
Kepala
Pengadilan Sipirok orang yang suka menasihati tentang kebaikan, dan ia suka mengingatkan
tentang kebaikan.
1) Cara
tidak langsung atau dramatik
§ Dengan menggambarkan tingkah
laku atau tindakan tokoh
a. Kepala
Pengadilan Sipirok orang yang suka menasihati tentang kebaikan, seperti ketika
Sutan Baringin ingin berperkara dengan Saudaranya Baginda Mulia, beliau
menasihati agar mereka berdamai. Dijelaskan dalam kutipan:
...maka
Asisten Residen yang menjadi Kepala Pengadilan Sipirok itu, memberi nasihat
kepada kedua mereka itu, Sutan Baringin dengan Baginda Mulia, supaya mereka itu
suka berdamai. (Siregar, 1920: 105)
§ Dengan menggambarkan dialog
para tokoh
-
Dialog tokoh Kepala
pengadilan dan orang lain yaitu Sutan Baringin
a. Kepala
pengadilan orang yang suka menasihati tentang kebaikan, ia menasihati Sutan
Baringin agar mau berdamai dengan Baginda Mulia, karena mereka itu bersaudra.
Dijelaskan dalam kutipan:
“Tidakah
ada familimu yang menyelesaikan perselisihan ini? Bukankah lebih baik kamu
berdamai saja? Berapa besar kerugianmu, kalau perkara diperiksa oleh hakim?
Ongkos rapat, uang borong pasti dibayar, mana lagi waktu kamu yang terbuang,
perseteruan makin dalam pula antara kamu yang bersaudara.” (Siregar, 1920: 105)
b. Kepala
pengadilan orang yang suka mengingatkan tentang kebaikan, dia tetap
mengingatkan Sutan Baringin yang kukuh tak mau berdamai, sebelum pemeriksaan
perkara dimulai. Dijelaskan dalam kutipan:
“Kalau demikian, kamu jangan menyesal, rapat
tentu melakukan keadilan, karena itulah kewajibannya. Dan ingat-ingatlah, orang
yang berperkara itu amat susah: yang
menang menjadi bara, yang kalah menjadi abu. – Sekarang pemeriksaan
dimulai, “ kata Kepala Pengadilan. (Siregar, 1920: 105)
12. Kasibun
(Suami Mariamin)
Kasibun
orang yang pandai memelihara diri, badannya yang agak tua lebih muda dipandang
daripada yang sebenarnya, karena pandainya ia merawat diri. Ia pintar dan
cerdik namun ia sombong, tak acuh dan berkelakuan bengis.
1) Cara
langsung atau analitik
a. Kasibun
orang yang pandai memelihara diri, badannya yang agak tua lebih muda dipandang
daripada yang sebenarnya, karena pandainya ia merawat diri. Dijelaskan langsung
oleh pengarang dalam kutipan:
Sekalipun
rupanya yang tidak dapat dikatakan elok, akan tetapi karena pandainya memakai
dan memelihara dirinya, kelihatanlah badannya yang agak tua itu lebih muda
dipandang daripada yang sebenarnya. (Siregar, 1920: 163)
2) Cara
tidak langsung atau dramatik
§ Dengan menggambarkan
fisik tokoh
a. Kasibun
orang yang pintar dan cerdik, ia bekerja sebagai kerani, dengan statusnya itu,
ia mencari istriyang masih muda, meskipun ia sudah tua. Dari cahaya matanya
tajam dan berkilat-kilat, menyatakan ia pintar dan cerdik, tetapi pintar dalam
tipu daya. Dijelaskan dalam kutipan:
Orang
yang jadi suami Mariamin itu pekerjaannya kerani. Tentang bentuk dan rupanya
begini: dia tak dapat dikatakan muda lagi, raut mukanya panjang, kurus sedikit,
hidungnya pendek dan bibirnya tebal. Cahaya matanya tajam dan berkilat-kilat,
menyatakan ia pintar dan cerdik, tetapi pintar dalam tipu daya. (Siregar, 1920:
163)
§ Dengan menggambarkan
jalan fikiran tokoh
a. Kasibun
orang yang sombong, ketika ia ingin menikahi Mariamin anak orang yang miskin,
ia berfikiran tentu dapat memperolehnya, karena ia menyombongkan kekayaannya.
Dijelaskan dalam kutipan:
Dalam
pada waktu itu dilihatnya ada seorang gadis anak orang miskin. “Itu tentu dapat
diperolehnya, karena aku kaya, makan gaji, kerani di Medan, sedang anak itu
orang kebanyakan,” begitulah pikir orang itu. (Siregar, 1920: 162)
§ Dengan menggambarkan
tingkah laku atau tindakan tokoh
a. Kasibun
orang yang tak acuh, meskipun ia sudah mempunyai istri di Medan, ia menalaknya
demi untuk menikahi Mariamin. Dijelaskan dalam kutipan:
Istrinya
yang di Medan itu tiada susah menguruskannya, jatuhkan saja talak tiga, habis
perkara, gantinya telah ada, lebih muda lagi. Kelakuan yang serupa itu sudah
banyak sekali dilakukan orang muda itu. (Siregar, 1920: 162)
b. Kasibun
orang yang bengis, ia menampar Mariamin jika mereka sedang bertengkar. Ia suka
memukul dan menyiksa istrinya itu. Dijelaskan dalam kutipan:
...,
sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang begis itu tak segan menampar muka
Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya...
(Siregar, 1920: 178)
Semalam-malaman
itu Mariamin diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu
sudah dikuncinya. Di atas lantai batu kamar itu tak ada tikar, sepotong pun
tiada. Hendak tidur diatasnya, itu pun tidak mungkin, karena lantai itu
diurusnya dengan air. Kalau ia menangis sehingga suaranya kedengaran, Kasibun
pun menyepak atau menempelengnya serta dengan perkataan, “tutup mulutmu, saya
mau tidur!” Kalau matanya malas dan ia malas bangkit dari tempat tidur,
tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin, apanya yang kena tak
diperdulikannya. (Siregar, 1920: 178)
3.6
Latar/Setting
1.
Latar
Tempat
Ø Di
Rumah Mariamin
-
Awal cerita dijelaskan
bahwa Mariamin sedang ada di rumah, ia sedang duduk diluar rumah. Hal itu
dijelaskan melalui kutipan:
Kejadian
saat Mariamin Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah
yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir... (Siregar, 1920: 2)
-
Saat ibu Mariamin
sedang berada dirumah, ia menerima surat kawat dari suaminya Sutan Baringin.
Hal itu dijelaskan melalui kutipan:
Ibu
Mariamin yang duduk dirumah dengan masygulnya, beroleh surat kawat,...
(Siregar, 1920: 106)
-
Saat keluarga Mariamin
kehilangan seluruh hartanya dan hidupnya melarat, mereka pindah ke rumah kecil
yang berada di tepi sungai. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Sekarang
terpaksalah mereka itu anak-beranak membawa periuk, piring dua tiga buah, ke
rumah kecil yang di tepi sungai itu. Sungguh amat kasihan,... (Siregar, 1920:
113)
-
Saat Mariamin dikabari
oleh Aminu’ddin bahwa Aminu’ddin akan segera melamarnya, Mariamin menunggu
kedatangan Ayah Aminu’ddin kerumahnya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Dalam
rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu duduklah Mariamin menanti-nanti
kedatangan ayahnya (Ayah Aminu’ddin). (Siregar, 1920: 137)
Ø Di
Kota Sipirok
-
Kejadian dalam cerita
memang terjadi di Kota Sipirok, karena dari awal memang sudah dijelaskan bahwa
rumah Mariamin ada di Sipirok. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... sedang azan orang di menara
mesjid besar yang ada di Sipirok itu...(Siregar, 1920: 2)
-
Ketika Mariamin
terlepas dari kesengsaraan akibat perbuatan suaminya di Medan, ia pulang
kembali kerumahnya di Sipirok. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Kesudahannya Mariamin terpaksa
pulang ke negerinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab
dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu.
(Siregar, 1920: 180)
Ø Di
Dapur
-
Ketika Ibu Mariamin
sedang sakit, Mariamin yang sangat rajin merawat ibunya yang sakit itu
menggantikan pekerjaan ibunya yang sakit itu, ia yang mengurus semua pekerjaan
di dapur. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Setelah Mariamin menuangkan obat
maknya ke dalam cangkir dan diletakkannya dekat si sakit, ia pun pergilah ke
dapur akan bertanak. (Siregar, 1920: 7)
-
Dulu, ketika Mariamin
masih kecil dan keluarganya masih kaya, ibu Mariamin menjadi ibu rumah tangga
yang baik, ia selalu bekerja dirumah. Ia memasak untuk anak dan suaminya. Hal
tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Masih setelah pekerjaannya di
dapur itu selesai dan makanan sudah tersedia semuanya, kedengaranlah suara
tabuh, menandakan waktu Lohor sudah datang. (Siregar, 1920: 97)
-
Ibu Mariamin menjadi
ibu rumah tangga yang rajin mengerjakan pekerjaan rumah, dan kewajibannya di
dapur. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... Akan tetapi ibu yang rajin
dan setia itu, telah sibuk di dapur menguruskan pekerjaan rumah tangga.
(Siregar, 1920: 84)
Ø Di
Kota Deli
-
Bapak Baginda Mulia,
yang merupakan anak dari nenek Sutan Baringin dulu bekerja di Deli waktu muda. Hal
tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Waktu
bapak Baginda Mulia masih muda, ia pergi merantau ke Deli, dengan jalan
berdagang, berjualan dan lain-lain banyaklah orang menjadi kaya, karena pada
waktu itu negeri Deli negeri baru,... (Siregar, 1920: 91)
Ø Di
Kamar Mariamin
-
Mariamin menangis di
kamarnya ketika ia gundah gulana karena harus berpisah dengan kekasihnya
Aminu’ddin. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... sunyi dan sedih juga
pemandangan mata kita dalam kamar anak dara yang gundah gulana itu. (Siregar,
1920: 15)
-
Ketika Mariamin senang
karena menerima surat dari Aminu’ddin, ia menulis surat balasan untuk
Aminu’ddin dikamarnya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Setelah surat itu habis
dibacanya, ia pun masuklah ke bilik tempat tidurnya, lalu ia menulis sepucuk
surat akan pembalas surat Aminu’ddin itu. (Siregar, 1920: 129)
-
Mariamin diterlantarkan
oleh suaminya (Kasibuan) di kamar mereka, karena Mariamin tidak mau melayani
suaminya itu. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Semalam-malaman itu Mariamin
diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu suah
dikuncinya. (Siregar, 1920: 178)
Ø Di
sawah
-
Waktu kecil, Mariamin
dan Aminu’ddin brsahabat karib, mereka sering bekerja bersama di sawah. Hal
tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu petang, sedang mereka
di sawah, Mariamin menyiangi padinya, supaya padi itu subur tumbuhnya,...
(Siregar, 1920: 32)
... Dengan rajinnya ia terus
menyiangi sawah itu bersama-sama dengan adiknya itu. (Siregar, 1920: 33)
Ø Di
Sungai
-
Mariamin dan Aminu’ddin
selalu melewati sebuah sungai jika mereka hendak pulang dari sawah. Hal
tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Tiada berapa lama sampailah
mereka di tepi sungai yang akan diseberangi merek itu. Mariamin terkejut
melihat sungai itu banjir. (Siregar, 1920: 51)
Ø Di
Ruang Makan
-
Ibu Mariamin selalu
setia menunggui suaminya untuk makan bersama. Hal tersebut dapat dilihat dari
kutipan:
Kemudian pergilah ia ke kamar
makan, disanalah ia menanti-nanti kedatangan suaminya. (Siregar, 1920: 79)
-
Ibu Mariamin selalu
menyiapkan makanan untun suami dan anak-anaknya di ruang makan. Hal tersebut
dapat dilihat dari kutipan:
Ibunya pergi ke kamar makan menyediakan
makanan untuk mereka itu anak-beranak. (Siregar, 1920: 86)
Ø Di
Pengadilan
-
Sutan Baringin
berperkara dengan saudaranya Baginda Mulia di Pengadilan negeri Sipirok. Hal
tersebut dijelaskan dlaam kutipan:
Setelah lewat sebulan, sampailah
perkara itu ke tangan pengadilan di Padangsidempuan, ibu negeri Pengadilan
Angkola dengan Sipirok. (Siregar, 1920: 104)
Ø Di
Kantor Pos
-
Sutan Baringin
mengambil kiriman dari saudaranya Baginda Mulia. Hal tersebut dapat dilihat
dari kutipan dialog yang ia ucapkan:
“Pergi ke kantor pos menerima
pospaket kiriman adik kita di Binjai,” sahut Sutan Baringin dengan ringkas.
(Siregar, 1920: 91)
-
Aminu’ddin menulis
surat untuk Mariamin, setelah itu diantarkannya ke kantor pos untuk dikirimkan
kepada Mariamin. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Setelah selesai surat itu,
dimasukannya ke pos. (Siregar, 1920: 130)
Ø Di
Rumah Datu/dukun
-
Ayah dan Ibu Aminu’ddin
pergi kerumah dukun untuk menanyakan rezeki Aminu’ddin sebelum mereka
memutuskan pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin. Hal tersebut dijelaskan dalam
kutipan:
Pada keesokan harinya pergilah
kedua laki-istri itu membawa nasi bungkus ke rumah Datu itu. Setelah habis
makan, mereka itu pung menceritakan maksud kedatangan mereka. (Siregar, 1920:
136)
Ø Di
Beranda rumah
-
Ayah Aminu’ddin duduk
di teras rumah dengan istrinya untuk mengobrol. Hal tersebut dapat dilihat dari
kutipan:
Ketika matahari hampir terbenam,
duduklah ayah Aminu’ddin di beranda rumahnya dengan istrinya. (Siregar, 1920:
138)
... lalu pergi duduk ke atas
bangku yang di hadapan rumahnya, di bawah sebatang pokok nyiur yang rimbun
daunnya. (Siregar, 1920: 145)
Ø Di
Stasiun kereta
-
Aminu’ddin menunggu
Ayahnya yang akan datang dari Sipirok di stasiun kereta. Hal tersebut terlihat
dari kutipan:
Hati Aminu’ddin berdebar-debar,
dadanya gemuruh... tiada berapa lama antaranya kelihatan bapaknya sudah turun
dari kereta.... (Siregar, 1920: 151)
Ø Di
Kamar Aminu’ddin
-
Aminuddin biasa berdiam
diri dalam kamarnya, setelah ia menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan:
..... Sedang Aminu’ddin duduk
dalam kamarnya, sebenarnya kamar kaumnya, tempat ia menumpang sementara itu,
yaitu sesudah nikah dilakukan,... (Siregar, 1920: 153)
Ø Di
Kuburan
-
Mariamin mengunjungi
kuburan ayahnya bersama ibunya, ketika ia akan menikah dengan Kasibuan, sebelum
mereka nantinya akan pindah ke Medan Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Setelah mereka itu sampai, maka
Mariamin pun menyiramkan air yang dicambung itu ke atas kuburan bapaknya, dan
ibunya memandang ke tanah,... (Siregar, 1920: 164)
-
Setelah Mariamin pulang ke Sipirok, ia
meninggal dan dikuburkan di sebuah pekuburan di Kota Sipirok. Hal tersebut
dapat dilihat dari kutipan:
Lihatlah kuburan yang baru itu!
Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk
beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)
Ø Di
Perahu
-
Setelah Mariamin
menikah dengan Kasibuan, mereka akan pindah ke Medan. Mereka menempuh
perjalanan ke Medan dengan menggunaka perahu. Hal tersebut dijelaskan dalam
kutipan:
Siapakah perempuan muda itu? Tak
lain adalah Mariamin, dan perahu itulah yang membawa mereka dengan kawannya seperjalanan
ke Tiga-Ras. (Siregar, 1920: 167)
Ø Di
Rumah Kasibuan
-
Mariamin selalu tinggal
dirumah sendiri saat suaminya tidak ada. Hal tersebut dapat dilihat dari
kutipan:
Waktu itu suaminya pun sudah
pergi kerja, ia sendirilah yang tinggal di rumah. (Siregar, 1920: 169)
Akan tetapi baru ia hampir ke pintu, maka
kedengaranlah olehnya suara orang itu bertanya, “Inikah rumah Kerani Kasibuan?
Adakah ia di rumah?” (Siregar, 1920: 172)
Ø Di
Medan
-
Mariamin tinggal di
Medan setelah ia menikah dengan Kasibuan. Hal tersebut dapat dilihat dari
kutipan:
Pada suatu pagi sedang
jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai, keluarlah Mariamin dari rumahnya.
(Siregar, 1920: 179)
Ø Di
Kantor Polisi
-
Mariamin melapor ke
kantor polisi perbuatan suaminya yang selalu menyiksanya. Hal tersebut
dijelaskan dalam kutipan:
Di hadapan kantor polisi itu
berhenti kereta itu. Mariamin turun lalu berjalan ke dalam, sedikit pun tak
segan atau takut perempuan yang muda itu. Polisi yang berdiri di depan pintu
itu terkejut melihat muka orang itu... (Siregar, 1920: 180)
2.
Latar
Waktu
a. Waktu
Fajar
Pengarang selalu
menjelaskan latar waktu dengan jelas. Misalnya waktu fajar, dijlaskan ketika
Ibu mariamin terbangun dari tidurnya saat fajar menyingsing. Hal tersebut
dijelaskan dalam kutipan:
Tiba-tiba ia terbangun dari
tidurnya. Tiada berapa lama kedengaranlah olehnya bunyi ayam berkokok. Sejak
itu tiadalah ia dapat tidur lagi. (Siregar, 1920: 83)
Bintang Timur yang menandakan
hari akan siang telah keluar dari sisi sebelah timur. Awan di langit pun mulailah
merah kekuningan rupanya, makin lama makin nyata dan jernih, langit pun sebagai
disepuh dengan mas juita rupanya dan fajar pun telah menyingsinglah. (Siregar,
1920: 147)
b. Waktu
Pagi
-
Ketika Mariamin kecil,
ia sering menunggu Aminu’ddin dirumahnya saat mereka akan berangkat sekolah
bersama. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Waktu pukul tujuh pagi Mariamin
sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminu’ddin, supaya mereka itu
sama-sama pergi ke sekolah. (Siregar, 1920: 29)
-
Ketika Mariamin di
Medan, ia pertama kali keluar dari rumah suaminya pada suatu pagi. Hal tersebut
dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu pagi sedang
jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai, keluarlah Mariamin dari rumahnya.
(Siregar, 1920: 179)
c. Waktu
Siang
-
Pengarang menggambarkan
waktu siang dengan kalimat-kalimat yang puitis di beberapa bagian dalam cerita.
Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
Sementara itu matahari sudah
rembang, segala makhluk dan tanam-tanaman beriang hati, karena bumi itu penuh
dengan sinar yang amat bagus itu. (Siregar, 1920: 97)
... kedengaranlah suara tabuh,
menandakan waktu Lohor sudah datang,... (Siregar, 1920: 97)
d. Waktu
Petang
-
Pengarang menggambarkan
waktu petang dengan sangat jelas di Sipirok saat ia akan memulai sebuah cerita
dalam beberapa sub-judul di novel Azab dan Sengsara ini. Hal tersebut dapat
dilihat pada kutipan:
Dari yang panas itu
berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke
dalam peraduannya, ke balik Gunung Silabuali, yang menjadi watas dataran tinggi
Sipirok yang bagus itu. Langit di sebelah barat pun merah kuning
rupanya,...(Siregar, 1920: 1)
Langit yang terbentang di atas kepala itu amat
bersih, tiada berawan. Warna langit yang hijau itu bertambah hening dan jernih,
karena matahari itu baru lenyap dari puncak Gunung Silabuali yang permai itu.
(Siregar, 1920: 183)
-
Mariamin dan Ibunya
senang duduk di sebuah batu bersar yang berada dekat rumahnya hingga waktu
petang. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
... sahut gadis itu seraya brdiri
dari batu besar itu, yang biasa tempat ia duduk pada waktu petang... (Siregar,
1920: 4)
Tabuh Magrib berbunyilah di
mesjid besar. Si ibu dengan anaknya itu pun naiklah ke rumah, karena sudah
mulai gelap. (Siregar, 1920: 112)
Demikianlah ia berpikir-pikir
pada suatu petang, ketika matahari hampir terbenam. (Siregar, 1920: 108)
-
Mariamin dan Aminu’ddin
suka bekerja bersama menyiangi sawah hingga waktu petang. Hal tersebut
dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu petang, sedang mereka
di sawah, Mariamin menyiangi padinya, supaya padi itu subur tumbuhnya,...
(Siregar, 1920: 32)
-
Mariamin pergi ke
kuburan ayahnya bersama ibunya hingga waktu petang, saat Mariamin hendak pindah
ke Medan setelah pernikahannya. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Sunyi serta lenggang rupanya
tanah pekuburan itu, karena seorang manusia yang lain tak ada di situ, matahari
pun telah terbenam, hanyalah cahaya senja saja yang kelihatan di langit.
(Siregar, 1920: 164)
e. Waktu
Malam
-
Ibu Mariamin bisa
tertidur nyenyak saat sudah tengah malam, karena ia terfikirkan masalahnya,
namun akhirnya ia tidur juga. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Sesudah tengah malam barulah ia
tertidur dengan nyenyak, karena badannya telah lesu. (Siregar, 1920: 83)
Pada malam itu amatlah susahnya
hati perempuan itu. Ia amat mencintai anaknya yang dua orang itu,... (Siregar,
1920: 8)
-
Pengarang menjelaskan
keheningan malam dengan sangat jelas di beberapa sub-bab sebelum ia bercerita.
Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
Malam itu amat dingin, karena
angina mat kencang, bercampur hujan rintik-rintik. Sekali-sekali kilat
menunjukkan sinarnya, seolah-olah menerangi dewi malam,...(Siregar, 1920: 81)
Hari pun malamlah, kebun yang
luas itu sudah mulai sunyi. Bunyi gamelan yang dipalu pekerja-pekerja dari Jawa
itu pun telah diam, karena mereka harus pergi tidur,...(Siregar, 1920: 144)
-
Baginda Mulia
berkunjung ke rumah kakaknya Sutan baringin waktu malam untuk membicarakan
perkara mereka, karena ia ingin berdamai. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu malam sedang waktu
amat dingin karena hujan datang rintik-rintik, pergilah Baginda Mulia ke rumah
kakaknya itu. (Siregar, 1920: 102)
-
Saat hari pertama
Mariamin menjadi istri Kasibuan, ia takut membayangkan malam pertama mereka.
Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Pada malam itu datanglah apa yang
disangka-sangka perempuan itu. Akan tetapi ia menjawab dengan muka yang jernih
dan suara yang lemah lembut. (Siregar, 1920: 170)
-
Ketika Mariamin tahu
tabiat suaminya, ia sering disiksa oleh suaminya. Seperti yang terjadi pada
suatu malam. Hal tersebut dilihat dari kutipan:
Semalam-malaman itu Mariamin
diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu suah
dikuncinya. (Siregar, 1920: 178)
3.
Latar
Lingkungan Sosial
a. Lingkungan
Sosial ekonomi rendah
-
Keluarga Mariamin hidup
dalam keadaan ekonomi yang rendah, bisa disebut kalau keluarga Mariamin itu
hidup dalam kemelaratan setelah ayahnya meninggal, hal tersebut dijelaskan
dalam kutipan:
... Pikiran yang serupa itulah
yang acap kali timbul, dan itulah yang menyusahkan hatinya. Bila dikenangnya
yang demikian itu, perasaannya penyakitnya bertambah berat dan kemiskinan
mereka itu berlipat ganda. (Siregar, 1920: 11)
Pondok teratak yang tua itu sudah
rebah, atap lalang itu pun hampir menjadi tanah, hanya tiang-tiang bamboo
itulah yang tinggal berserak-serak di atas bumi... (Siregar, 1920: 182)
-
Keluarga Mariamin hidup
dalam kemelaratan setelah Sutan Baringin Berperkara dengan saudaranya sendiri,
karena harta mereka habis untuk berperkara. Hal tersebut dijelaskan dalam
kutipan:
Sekarang pulanglah ia ke kampong
seorang diri, membawa malu, kehinaan, mendukung kemiskinan dan kemelaratan,
karena harta telah habis musnah dalam waktu yang sekian pendek itu. (Siregar,
1920: 107)
Dengan hati yang gundah gulana si
ibu menantikan suaminya pulang kembali. Malu, kemiskinan, kemelaratan tiada
jauh lagi pada pemandangannya. Malu melihat orang banyak, miskin karena keadaan
telah licin tandas, ada yang tinggal, harus dibagikan kepada Baginda Mulia,
melarat karena perbuatan suaminya itu... (Siregar, 1920: 108)
b. Lingkungan
Sosial orang kaya
-
Keluarga Mariamin
termasuk orang kaya sewaktu Mariamin kecil, dan ketika ayah Mariamin masih
hidup. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... Pada waktu beberapa tahun
yang lewat, tatkala suaminya masih hidup dan ketika harta mereka itu masih
cukup, pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat itu, bolehlah mereka
dikatakan masuk bagian orang yang kaya dan yang ternama di Negeri Sipirok...
(Siregar, 1920: 8)
Sutan Baringin seorang yang terbilang
hartawan lagi bangsawan seantero penduduk Sipirok... (Siregar, 1920: 24)
-
Keluarga Aminu’ddin
termasuk dalam keluarga yang kaya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Ayah Aminu’ddin bolehlah
dikatakan seorang kepala kampong yang terkenal di antero luhak Sipirok. Harta
bendanya amatlah banyaknya, dan kerbau lembunya pun cukup di Padang Lawas,
apalagi sawahnya berlungguk-lungguk, sehingga harga padi yang dijualnya tiap
tahun berates-ratus ruapiah, mana lagi hasil kebun kopi belum terhitung. (Siregar,
1920: 18)
... Apakah yang kurang lagi bagi
mereka itu akan memperoleh anak dara yang patut-patut? Ayah Aminu’ddin seorang
kepala kampong yang dimalui di luhak Sipirok. Uang banyak, sawah lebar, kerbau
dan lembu pun cukup, sedang anaknya orang makan gaji, di Deli pula. (Siregar,
1920: 135)
-
Kasibuan (suami
Mariamin) boleh dikatakan seorang yang berekonomi cukup, karena ia mendapatkan
gaji dari pekerjaannya sebagai kerani (juru tulis). Hal tersebut dijelaskan
dalam kutipan:
... Di Medan, tempat ia makan gaji,...
Orang yang jadi suami Mariamin itu
pekerjaannya kerani... (Siregar, 1920: 163)
c. Lingkungan
Sosial yang bebas (kehidupan malam)
-
Kasibuan (suami
Mariamin) hidup dalam lingkungan soaial yang bebas, artinya tidak mengindahkan
hukum yang berlaku di Medan sebelum menjadi suami Mariamin. Hal tersebut
dijelaskan dalam kutipan:
Memang Kasibuan mengandung
penyakit yang berbahaya, yang mudah menular kepada istrinya. Maklumlah
kehidupan orang di negeri yang besar-besar itu. Kuranglah orang mengindahkan hukum
dan syarak dan larangan kitab. Godaan pun amat banyaknya. Karena itu banyaklah
orang yang kurang berhati-hati akan memeliharakan dirinya,... (Siregar, 1920:
170)
4.
Latar
Suasana
a. Suasana
mengharukan
-
Ketika Mariamin
diselamatkan oleh Aminu’ddin dari banjir yang menghanyutkannya di sungai,
suasana disana sangat mengharukan, karena akhirnya Aminu’ddin dapat juga
menyelamatkan Mariamin. Hal tersebut tergambar dalam kutipan:
Pada waktu yang sekejap itu
tampaklah oleh Aminu’ddin Mariamin terapung sebentar. Dengan secepat-cepatnya
ia pun menangkap anak perempuan itu, lalu didekapnya dengan tangan kirinya, dan
dengan tangan kanannya ia berenang. Meskipun ia amat payah, kedinginan, dan
kekuatannya pun hampir habis,.. (Siregar, 1920: 53)
-
Saat ibu Mariamin dalam
keadaan sakit, ia sangat prihatin pada kehidupannya dan anak-anaknya yang
melarat. Sehingga kehidupan mereka terlihat sangat mengharukan. Hal tersebut
terlihat dalam kutipan:
Sekarang terpaksalah mereka itu anak-beranak membawa periuk,
piring dua tiga buah, ke rumah kecil yang di tepi sungai itu. Sungguh amat
kasihan. Dahulu tinggal di gedung besar, sekarang dalam pondok kecil dan
bamboo. Perkakas dan perhiasan rumah yang dahulu itu telah hilang, hanya yang
buruk-buruk sajalah yang tinggal.
(Siregar, 1920: 113)
-
Suasana sebelum Sutan
Baringin meninggal sangat mengharukan, karena Sutan Baringin akan berpisah
untuk selamanya dengan anak dan istrinya. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Maka dipeluk dan dicium oleh
Sutan Baringin anaknya itu berganti-ganti dan air matanya bercucuranlah.
Sekaliannya menangislah teredu-sedu. “Selamat tinggal kepada kamu sekalian,
Adinda yang kucintai dengan anakku berdua yang malang. Tuhanlah mengampuni
dosaku yang besar itu!” ujar Sutan Baringin. (Siregar, 1920: 118)
-
Perpisahan Mariamin
dengan Aminu’ddin karena pernikahan Aminu’ddin dengan gadis lain membuat
keadaan Mariamin sangat memprihatinkan pembaca. Hal tersebut terlihat dari
kutipan:
Mukanya yang penuh dahulunya,
sekarang sudah kurus dan pucat, dan mata yang hitam jernih itu sudah kurang
cahayanya, amat kasihanlah kita melihatnya. Seharusnya tubuhnya yang lemah itu
jangan dahulu dibawanya kerja, tetapi apa boleh buat, orang yang miskin itu
harus minum karingatnya dan makan dagingnya. (Siregar, 1920: 158)
-
Kehidupan rumah tangga
Mariamin dan Kasibuan yang tidak harmonis, menyebabkan Mariamin tidak terlepas
dari kesengsaraan. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Semalam-malaman itu Mariamin
diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu suah
dikuncinya. Di atas lantai batu kamar itu tak ada tikar, sepotong pun
tiada. (Siregar, 1920: 178)
b. Suasana
menyedihkan
-
Kehidupan ibu Mariamin dan
anak-anaknya selalu terlihat menyedihkan, karena ia selalu memikirkan nasib
anak-anaknya yang mungkin tidak akan sanggup hidup dalam kemelaratan. Hal
tersebut terlihat dalam kutipan:
Si ibu yang sakit itu tiada
menjawab perkataan anaknya. Ia memandang muka Mariamin dengan mata yang
menunjukkan, betapa besar cintanya dan kasih sayangnya pada anaknya itu. “Ya,
Allah, ya, Tuhanku, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini,” mengucap ia dalam
hatinya setelah anaknya itu pergi ke dapur. (Siregar, 1920: 7)
Si ibu memandang anaknya yang
menyusu di pangkuannya, sedang air matanya bercucuran ke atas kepala anak yang hendak
tertidur itu. Hatinya hancur sebagai kaca terhempas ke batu, memikirkan nasib
mereka itu di belakang hari. (Siregar, 1920: 27)
-
Pertemuan kembali
Mariamin dan Aminu’ddin setelah mereka berpisah karena pernikahan Aminu’ddin
sangat menyedihkan hati Mariamin, karena ia teringat kembali sakit hatinya. Hal
tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Hati siapakah yang takkan remuk
redam, siapakah yang dapat menahan persuaan yang sesedih itu? Mungkin ada yang
kuat imannya, tetapi Mariamin tidak. Bagi dia yang melarat itu, sedikit saja
duri yang menyentuh hatinya adalah sebagai membelah dadanya, apalagi kedatangan
Aminu’ddin yang tak disangka-sangka itu.
(Siregar, 1920: 174)
c. Suasana
Riang
-
Masa kecil Mariamin
begitu bahagia, ketika keluarganya masih berkecukupan dan persahabatannya
dengan Aminu’ddin masih sangat dekat. Mereka selalu bersama menjalani masa
kecil mereka dengan keriangan/gembira. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
..., mereka itu pun berjalanlah
bersama-sama menuju rumah sekolah, dengan langkah yang cepat. Budak yang dua
itu berjalan serta dengan riangnya, tiada ubahnya sebagai orang yang bersaudara
karib. Persahabatan siapa lagi yang lebih rapat dari mereka itu,.. (Siregar,
1920: 87)
-
Mariamin begitu girang
saat ia menerima surat dari Aminu’ddin, yang menyatakan bahwa Aminu’ddin akan
menikahi Mariamin. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Surat yang dau pucuk itu sampai
kepada alamatnya. Mariamin menerima dengan girang. Sekejap itu dibacanya di
hadapan ibunya... (Siregar, 1920: 134)
-
Aminu’ddin diliputi
kegirangan setelah menerima surat kawat dari ayahnya yang menyatakan bahwa ia
akan membawa menantu ke Medan sebagaimana permintaan Aminu’ddin. Hal tersebut
dijelaskan dalam kutipan:
Setelah Aminu’ddin menerima surat
kawat ayahnya, yang bunyinya demikian, “Aminu’ddin, bapak membawa menantu,
songsong ke stasiun,” ia pun meminta permisi kepada sepnya, meskipun lima hari
lagi ayahnya akan tiba. Dengan hati yang girang, pergilah ia kepada kaumnya
yang mencarikan pekerjaan itu, dan diceritakannya kabar itu,.. (Siregar, 1920:
143)
d. Suasana
Tegang
-
Saat Aminu’ddin dan
Mariamin terjebak oleh hujan yang sangat lebat di sebuah pondok di sawah,
suasana akibat hujan itu menjadi menegangkan, karena mereka pada waktu itu
masih kecil, dan hanya berdua saja berlindung dibawah hujan yang begitu lebat.
Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Sejurus lamanya mereka itu
berdiam diri, hujan makin lebat, menderu-deru bunyinya dan kilat pun sabung-menyabung
diikuti halilintar yang seolah-olah membelah bumi bunyinya. Anginpun
berhembuslah dengan kencangnya serta berdengung-dengung. Bunyi hujan, angin dan
guruh itu amat mendahsyatkan hati keduanya yang berlindung di pondok kecil
ditengah sawah yang luas itu. (Siregar, 1920: 36)
-
Ketika keadaan mulai
gelap, Aminu’ddin dan Mariamin hendak pulang dari sawah, mereka pulang meskipun
hujan lebat masih mengguyur bumi. Diperjalanan pulang Mariamin terhanyut
kedalam sungai yang banjir, kejadian itu menegangkan sekali, karena Aminu’ddin
berusaha menyelamatkan Mariamin. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Dengan sekejap itu dilihatnya
Mariamin jatuh ke air. Cangkul yang dibahunya pun dilemparkannya dan setelah
bajunya ditanggalinya, ia pun mengucap, “Tolong, Tuhan!” Dengan perkataan yang
dua patah itu, Aminu’ddin melompat ke dalam air akan menyusul Mariamin, yang
dihanyutkan banjir yang tiada menaruh kasihan kepada kurbannya itu. (Siregar,
1920: 52)
e. Suasana
Tragis
-
Suasana ketika Sutan
Baringin meninggal sangat tragis, karena sepanjang hidupnya Sutan Baringin
tidak benar-benar menyayangi keluarganya, sedang ketika ia meninggal, berarti
Sutan Baringin berpisah untuk selamanya dengan anak dan istrinya. Hal tersebut
terlihat dari kutipan:
Kaki dan tangan si sakit itu
tiada bergerak lagi, dadanya pun telah diam. Tiba-tiba ia membukakan matanya
yang telah hilang cahayanya, seperti lampu yang malap. Sekali lagi ia menarik
napas, dan matanya yang hidup itu memandang muka mereka yang berkeliling itu,
mulai dari anak yang bungsu sampai kepada si ibu.
Itulah pandang yang penghabisan,
karena sebentar itu juga ia pun menutupkan matanya. Arwahnya pun keluarlah
meninggalkan jasadnya (tubuh), karena badan itu hendak kembali pada asalnya.
(Siregar, 1920: 121)
3.7
Gaya
a. Gaya
pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita
Gaya
pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah
1) Pengarang
mengungkapkan novel Azab dan Sengsara dengan bentuk penulisan ada yang berjenis;
surat, pribahasa, pepatah, pantun, syair dan cerpen (cerpen di dalam novel).
Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
-
Kutipan surat:
Kakanda yang tercinta!
Bahwa dengan surat ini tiadalah suatu
apa yang Adinda kirimkan, hanya sekedar salam dan doa, mudah-mudahan Kakanda
anak-beranak, di dalam sehat walafiyat adanya... (Siregar, 1920: 89)
-
Kutipan pribahasa:
... Kalau payungku telah berkembang, tak
pedulilah aku, bagaimana sekalipun lebatnya hujan itu.” (Siregar, 1920: 95)
... “Luka di tangan dapat ditahan, luka
hati apa obatnya?” (Siregar, 1920: 158)
-
Kutipan pepatah:
“Setinggi-tingginya
batu melambung, surutnya ke tanah juga.” (Siregar, 1920: 92)
-
Kutipan pantun:
Jejuru dengan jurinya,
di tepi jalan orang berlari.
Setuju dengan istrinya,
seperti bulan dengan matahari. (Siregar,
1920: 73)
-
Kutipan syair:
Apabila bunda membuaikan kita,
Berapa banyak nyanyi dan kata:
“Besarlah buyung intan permata,
Buah hati permainan mata.... (Siregar,
1920: 110)
-
Kutipan cerpen:
“Dalam sebuah kampong, dekat hutan yang
besar, tinggalah seorang perempuan yang sudah tua.” Aminu’ddin memulai
ceritanya. “pekerjaan perempuan itu mencari kayu api. Kayu itu dijualnya ke
pasar, uang yang sedikit yang diperolehnya dari harga kayu itu dibelikannya
kepada beras dan garam serta apa yang berguna bagi hidupnya.... (Siregar, 1920:
38)
2) Pengarang
mengungkapkan novel ini dengan alur sorot balik/flash back.
3) Pengarang
mengungkapkan novel Azab dan sengsara ini dengan gaya deskriptif, gaya
ekspositif dan pengarang banyak menggunakan gaya bahasa kiasan. Terbukti dengan
kutipan:
-
Gaya deskriptif
Dari yang panas itu
berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke
dalam peraduannya, ke balik Gunung Silabuali, yang menjadi watas dataran tinggi
Sipirok yang bagus itu. Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan
sinar matahari yang turun itu tampaklah di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi,
indah rupanya, sebagai disepuh emas juita. (Siregar, 1920: 1)
-
Gaya ekpositif
Untuk menjelaskan adat istiadat
orang Batak, lebih-lebih adat perkawinannya, baiklah diterangkan sekadar
aturan-aturan yang harus diturut orang dalam perkawinan itu.
Adapun masing-masing orang Batak
mempunyai suku (marga). Seorang anak yang baru lahir beroleh marga Bapaknya....
(Siregar, 1920: 139)
b. Gaya
bahasa yang banyak dituangkan pengarang dalam memperkuat cerita novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan
Segi Nonbahasa
Pengikut
Aristoteles menerima style sebagai hasil dari bermacam-macam unsur. (Keraf,
2010 : 115)
a. Berdasarkan
Tempat
Gaya
ini mendapat namanya dai lokasi geografis, karena cir-ciri kedaerahan
mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. (Keraf, 2010 : 116).
Pengarang (Merari Siregar) dalam novel
Azab dan Sengsara menggunakan gaya melayu, karena latar lingkungan tempat
peristiwa-peristiwa terjadi di daerah Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara.
Terbukti dengan kutipan:
-
Kota Sipirok kataku... akan tetapi
janganlah pembaca membandingkan negeri itu dengan Sibolaga atau Padang. Tiadalah
sampai sedemikian besar dan ramainya Sipirok itu, sungguhpun begitu adalah ia
lebih besar daripada kampong atau dusun. Oleh sebab itu, saya menyebutnya “Kota
Sipirok” tambahan pula itulah negeri atau kampong yang terbesar di dataran
tinggi yang luas itu. (Siregar, 1920: 3)
b. Berdasarkan
Masa
Gaya
bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu yang
berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya
klasik, gaya sastra modern, dan sebagainya. (Keraf, 2010: 116). Terbukti dengan
kutipan:
§ Nyatalah
sekarang betapa bahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada disertai
cinta kasih keduanya. Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu
akan membuang adat itu dan kebiasaan yang mendatangkan kecelakaan kepada
manusia itu. (Siregar, 1920: 70)
Kutipan diatas menerangkan tentang sebuah nilai yang
tinggi, yaitu tentang adat kawin paksa. Saya menyimpulkan pengarang (Merari
Siregar) menggunakan gaya klasik, karena dilihat dari tahun terbit novel yaitu
tahun 1920. Dan diterangkan juga di permulaan kalam yang ditulis pengarang
bahwa ia menulis karangan ini dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang
kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsanya.
c. Berdasarkan
Subjek
Subjek
yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula
gaya bahasa sebuah karangan. Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya: filsafat,
ilmiah (hukum, teknik, teknik, sastra, populer, didaktik, dsb). (Keraf, 2010:
116).
Menurut saya pengarang mengungkapkan
dengan gaya bahasa berdasarkan subjek (didaktik), yaitu bersifat mendidik. Terbukti
dengan kutipan:
§ Sutan
Baringin anak yang terlalu amat manja waktu
mudanya. Sudah besar, tiadalah berubah kelakuannya itu, ia tinggi hati,
pemarah, pemalas serta pemboros. Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya,
jadi bukan yang dicarinya dengan keringatnya. (Siregar, 1920: 78)
2. Berdasarkan
Nada
Gaya bahasa
berdasarkan nada biasanya didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari
rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. (Keraf, 2010: 121). Gaya
bahasa berdasarkan nada:
a. Gaya
sederhana (biasanya cocok untuk memberi intruksi, pelajaran, perkuliahan, dan
sejenisnya). Terdapat dalam kutipan:
§ Ya,
di belakang hari, bila ia sudah besar, tentu mengertilah ia akan makna: “Utang
mas dapat dibayar, utang budi dibawa mati.” (Siregar, 1920: 54)
§ Hal
yang serupa itu acap kali terlihat di atas bumi ini. Jauhlah bertambah kerasnya
cinta dan kasih sayang itu, bila orang yang berkaum atau bersaudara itu tinggal
berjauhan, sedang tinggal bersama-sama itu kerap mendatangkan perselisihan. Dua
cabang yang sepokok, kalau rapat bergesel juga, telur ayam yang seraga itu
bergesel juga, meskipun tiada berkaki tangan. (Siregar, 1920: 93)
3. Gaya
bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih
mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. (Keraf, 2010 :
129).
Gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna dibagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya
bahasa kiasan.
Ø Gaya
Bahasa Retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa
untu mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan
yang lebih jauh, khususnya dalam bidangn makna. (Keraf, 2010:130)
Menurut
saya, pengarang (Merari Siregar) dalam novel Azab dan Sengsara menggunakan:
a. Gaya
bahasa hiperbola (pernyataan berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal) terdapat
dalam kutipan:
§ Siang-malam
ia mendidik anaknya, supaya di belakang hari mejadi seorang yang rendah hati,
berkelakuan yang baik dan percaya kepada Tuhan. (Siregar, 1920: 11)
Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau
membesar-besarkan suatu hal, karena tidak mungkin ia mendidik anaknya tanpa
henti.
§ ...
Kita biarkan mereka tidur dengan senangnya, karena tidur yang nyenyak itu amat
berguna kepada mereka, untuk menguatkan badannya menanggung kemiskinan yang
akan datang waktu besok atau lusa. (Siregar, 1920: 17)
Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau
membesar-besarkan suatu hal, karena pengarang mengatakan tidur untuk menguatkan
badan menanggung kemiskinan yang akan datang. Jadi seolah-olah mereka (Keluarga
Mariamin) akan kuat menanggung kemiskinan hanya dengan tidur
§ ...
Bila gurunya berkata-kata atau menerangkan sesuatu, matanya tiada lepas dari
muka guru itu. Segala keterangan guru itu ditangkapnya dengan daun telinganya,
serta diperhatikannya benar-benar, bolehlah dikatakan, sepatah kata pun tiada
yang tak dikenalnya. (Siregar, 1920: 21)
Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau
membesar-besarkan suatu hal, karena pengarang mengatakan matanya (Aminu’ddin)
tiada lepas dari muka gurunya, dan bolehlah dikatakan sepatah kata pun tiada
yang dikenalnya. Padahal pasti mata bisa berkedip, dan juga setiap kata yang
diucapkan orang pasti tak akan diingat sama persis semua yang dikatakannya.
§ Siapakah
yang tak suka melihat jalannya Kuda
Batak yang kencang itu, siapakah yang tak ingin menungganginya, karena meskipun
ia berpacu atau mendua, pandailah ia menjaga, supaya tuannya yang mencucukinya
itu diam dan tiada terlonjak-lonjak. (Siregar,
1920: 167)
Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau
membesar-besarkan suatu hal, karena pengarang mengatakan pandailah ia (Kuda
Batak) menjaga tuannya agar diam dan tidak terlonjak-lonjak, bisa kita lihat
jika kuda berpacu/berlari kencang sudah pasti orang yang menunggangina
melonjak-lonjak, dan mana bisa kuda tersebut mengatur jalannya untuk menjaga
orang yang menungganginya.
b. Gaya
Bahasa Koreksio atau Epanortosis (mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian
memperbaikinya). Terdapat dalam kutipan:
§ Hanya
sekali ini saja hendak dilukiskan apa yang kejadian di rumah yang malang itu.
Inilah yang penghabisan. Oleh sebab itu marilah kita ke sana. Itulah dia, di
pinggir sungai! O, bukan: itu pondok yang lain, ke hilir lagi.
Itulah dia tempat perumahan itu! (Siregar, 1920: 182)
c. Gaya
Bahasa Aliterasi (berwujud perulangan konsonan yang sama), Terdapat dalam
kutipan:
§ Sejurus
lamanya dapatlah ditahannya sedikit tangisnya itu,
air mata yang tersumbat itu,
mendapat jalan keluar dengan memancar-mancar keluarlah
dari dalam tanah, dan lama-kelamaan berkuranglah
kuatnya air yang memancar itu. (Siregar, 1920: 12)
d. Gaya
Bahasa Asonansi (berwujud perulangan vokal yang sama), Terdapat dalam kutipan:
§ Ia terdiam pula,
Perkataan yang akan dikatakannya seolah-olah menahan nafasnya dan keluarlah rasa lidahnya akan bercakap.
(Siregar, 1920: 5)
e. Gaya
Bahasa Asidenton (Berupa acuan yang bersifat padat dan mapat di beberapa kata,
frasa atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata penghubung). Terdapat
dalam kutipan:
§ Di
luar hari amat dingin, langit yang lebar itu ditutupi awan yang gelap, sebutir
bintang pun tak tampak. Angin pun berhembuslah dengan kencangnya sehingga
berdengung pada pohon-pohon yang tinggi-tinggi yang menghambat perjalanannya
itu. Angin yang hebat itu bercampur pula dengan hujan rintik-rintik. (Siregar,
1920: 14)
f. Gaya
Bahasa Tautologi, (mempergunakan
kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran dan
kata itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain). Terdapat
dalam kutipan:
§ Meskipun
Sutan Baringin kurang menyayangi istrinya itu, cinta yang sebenar-benarnya
tiadalah terkandung di dadanya terhadap kepada Nuria adalah pemandangan orang
luar,... (Siregar, 1920: 73)
§ Orang
yang pandai menulis tiada susah beroleh gaji yang besar, dan pencarian pun amat
mudah. Dengan jalan berdagang, berjuala dan lain-lain banyaklah orang menjadi
kaya, karena pada waktu itu negeri Deli negeri baru, kebun banyak dibuka, dna
pencarian amat banyak,... (Siregar, 1920: 91)
g. Gaya
Bahasa Erotesis/pertanyaan retoris (pernyataan yang sama sekali tidak
menghendaki adanya suatu jawaban). Terdapat dalam kutipan:
§ “Wahai
malangnya kau ini! Sampailah hatimu meninggalkan daku Udin?” Tangis Mariamin
dengan sedihnya. (Siregar, 1920: 12)
§ “Perkataan
apakah itu? Anak hanya satu kau, kausamakan lagi dengan anak yang telah besar.
Bukankah ia masih kecil? Kalau sudah besar tentu ia tahu, mana yang salah, dan
ia pun sudah tentu tak mau lagi berbuat yang salah itu.” (Siregar, 1920: 57)
§ Ia
sudah beberapa kali diusir oleh suaminya, akan tetapi kemanakah ia akan pergi?
Seorang tak ada kaumnya yang diknalnya di Medan. Kepada ibunya di Sipirok telah
dua kali mengirim surat, akan tetapi siapakah orang yang akan datang mengambil
dia? (Siregar, 1920: 179)
h. Gaya
bahasa periphrasis (mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan).
Terdapat dalam kutipan:
§ Lihatlah
kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak
dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)
i.
Gaya Bahasa Litotes
(digunakan untuk menyatakan suatu tujuan merendahkan diri). Terdapat dalam
kutipan:
§ ...dan
meskipun ia tiada menghiasi dirinya atau memakai pakaian yang mahal-mahal,
tiadalah berkurang kecantikan parasnya. Sebaliknya, kebaya dan sarung yang
sederhana itu seolah-olah menambah kebagusannya. (Siregar, 1920: 80)
Ø Gaya
Bahasa Kiasan, dibentuk berdasarkan perandingan atau persamaan (Keraf, 2010:
136)
Menurut saya, berdasarkan gaya bahasa kiasan
pengarang (Merari Siregar) dalam novel Azab dan Sengsar menggunakan:
a. Gaya
bahasa simile. Terdapat dalam kutipan:
§ Langit
di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan sinar matahari yang turun itu
tampaklah di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi, indah rupanya, sebagai disepuh dengan emas juwita. (Siregar,
1920: 1)
Cahaya matahari
yang nampak di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi itu, disamakan seperti
disepuh atau dituakan warnanya dengan emas yang elok.
§ Batang
padi yang tumbuh di sawah yang luas itu pun dibuai-buaikan angin, sebagai ombak berpalu-paluan diatas
laut yang lebar, sawah yang seluas itu pun tiada ubahnya dengan lautan, sedang
daun padi itu sebagai air yang hijau
rupanya. (Siregar, 1920: 2)
Batang padi yang dibuai angin itu disamakan seperti
ombak yang bergelombang di lautan, sawah digambarkan sebagai lautnya, dan daun
padi itu seperti air laut yang hijau warnanya.
§ ...
muram tampaknya muka orang muda itu. Ia duduk tiada bergerak, tetapi pikirannya
tiada berhenti, berkisar-kisar sebagai
roda yang digulingkan. (Siregar, 1920: 6)
Pikirannya (Mariamin) yang sedang muram itu disamakan
dengan roda yang sedang berputar-putar yang digulingkan, oleh sebab itu ia
terlihat muram.
§ ...
bolehlah mereka itu dikatakan masuk bagian orang yang kaya dan ternama di
negeri Sipirok. Akan tetapi sebagaimana kerap kali kejadian di dunia ini,
kekayaan itu tiada kekal dan kesenangan itu fana jua adanya, karena nasib
manusia sebagai roda, kadang-kadang
ke atas, kadang-kadang ke bawah,... (Siregar, 1920: 8)
Kehidupan keluarga Mariamin yang berubah, dari yang
kaya menjadi melarat, disamakan seperti roda yang berputar, yang kadang berada
diatas, dan bisa juga berada dibawah.
§ Pada
waktu makan, ibunya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu. Sekarang tak
tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya, ibarat mata air yang ditutup, demikianlah kemasygulannya itu,
sekarang sudah datang waktunya akan meletus. (Siregar, 1920: 12)
Kesedihan Mariamin yang ditahan-tahan, digambarkan
seperti mata air yang ditutup, dan Mariamin tak dapat lagi menahannya, hingga
sekarang seperti hendak meletus mata air tersebut.
§ Hujan
rintik-rintik itu sudah bertukar dengan hujan yang amat lebat, sehingga sebagai air yang dicurahkan dari langit
rupanya. Angin yang keras itu makin kencang, dan kilatpun berturut-turut
diiringi halilintar yang gemuruh, sebagai
gunung runtuh lakunya. (Siregar, 1920: 16)
Hujan rintik-rintik yang berubah menjadi lebat
digambarkan seperti air yang dicurahkan dari langit, dan kilat yang diiringi
halilintar yang menderu-deru digambarkan seperti gerak-gerik gunung yang runtuh
(terdengar sangat kacau)
§ Di
negeri kecil, orang menamainya pokrol bambu. Lagak dan cakapnya sebagai orang
yang pandai, yang ahli dalam ilmu hakim, akan tetapi pengetahuannya tiada suatu
apa, ibarat gendang, kalau dipalu keras suaranya, dibelah tak ada isinya.
(Siregar, 1920: 25)
Pokrol bambu (pembela perkara) di negeri kecil yang
berlagak dan berbicara seperti orang pandai, namun pengetahuannya tidak
seberapa digambarkan seperti gendang yang keras jika dipalu, namun kosong.
§ Anak
perempuan itu bernama Mariamin, ringkasan namanya Riam....
...... Lihatlah warna kulitnya yang
jernih dan bersih itu, putih kuning sebagai
kulit langsat! Matanya yang berkilat-kilat serta dengan terang itu, menunjukkan
kepada kita bahwa anak itu mempunyai tabiat pengasih, pada bibirnya yang tipis
dan merah itu selamanya terbayang senyum yang manis. Jika ia berkata-kata atau
tertawa, tampaklah giginya yang putih dan halus berkilat-kilat sebagai mutiara.
Kalau diamat-amati roman anak dara itu, tampaklah di mata, air mukanya yang
hening dan jernih, suci dan bersih, sebagai
seri gunung waktu matahari akan terbenam adanya. (Siregar, 1920: 28)
Kulit Mariamin yang jernih dan bersih digambarkan
seperti kulit langsat (pohon yang tinggi, giginya yang putih dan halus
digambarkan seperti mutiara saat ia tertawa, dan wajahnya digambarkan seperti
keindahan gunung ssore hari, yaitu saat matahari akan terbenam.
§ Suara
yang penghabisan itu didengar oleh Aminu’ddin dengan kesedihannya, hatinya sebagai diremas dan harapannya pun
hampir putus, lebih-lebih setelah Mariamin tidak timbul lagi. (Siregar, 1920:
52)
Katika Mariamin hanyut di suangai yang banjir, ia
hampir tenggelam, Aminu’ddin yang berusaha menolongnya sangat sedih karena
suara Mariamin tidak terdengar lagi, hati digambarkan seperti sedang diremas
dan harapannya hampir putus.
§ Hari
sudah hampir gelap, suatu pun tak ada yang nampak, selain dari muka air yang
berbuih itu. Maka adalah sungai itu sebagai
berhantu pada pemandangan matanya. (Siregar, 1920: 53)
Ketika Mariamin terhanyut, dan hari semakin gelap,
suangai itu digambarkan seperti berhantu atau berpenunggu bagi Aminu’ddin.
§ Bukankah
anaknya itu nanti, sebagaimana harapannya yang akan membawa sinar kesukaan dan
mengusir awan kedukaan, sebagai
kabut yang lenyap oleh sinar matahari pagi? (Siregar, 1920: 64)
Saat Penulis menceritakan sebuah degresi, didalam
degresi tersebut ada seorang ibu yang hidup melarat sedang mengandung, ketika
ia bersedih hati karena hidupnya, ia teringat anaknya yang belum lahir, pengarang
menggambarkan bahwa kedukaan si ibu akan lenyap yang disamakan seperti kabut
yang diusir oleh kelahiran anak tersebut.
§ Sambil
berpikir-pikir demikian itu, tiadalah diketahuinya air matanya jatuh
bertitik-titik, sebagai air mayang
enau baru dipacung. (Siregar, 1920: 114)
Nuria (ibu Mariamin) sangat sedih ketika suaminya
akan meinggal, ia berpikir tentang kehidupannya jika ditinggal si suami, sambil
berpikir ia menangis, air matanya yang jatuh disamakan dengan tongkol bunga
aren yang bercucuran sehabis dipacung.
§ Kaki dan tangan si sakit itu tiada bergerak
lagi, dadanya pun telah diam, tiba-tiba ia membuka matanya yang hilang
cahayanya, seperti lampu yang malap.
(Siregar, 1920: 121)
Sutan Baringin ketika ia akan meninggal, ia membuka
matanya yang sudah hilang cahayanya disamakan seperti lampu yang suram/tidak
nyala terang.
§ Hari
yang peghabisan itu amatlah lamanya, tiada berkeputusan pada perasaannya,
matahari itu pun seolah-olah tiada jemu memanasi bumi yang bercintakan malam.
Tetapi meskipun ia lambat-lambat turun ke sebelah barat, sebagai raja berjalan lakunya, hari yang membosankan hati
Aminu’ddin itu hampirlah bertukar dengan malam. (Siregar, 1920: 144)
Saat Aminu’ddin menerima surat balasan dari
Mariamin, kerinduannya pada Mariamin makin besar, ia merasa hari begitu lama
berlalu, siang dan malam lama berganti, tapi lambatnya matahari terbenam, ia
terbenam juga, dan terbenamnya matahari itu yang disamakan dengan prilaku raja.
§ Di
ruangan kalbunya terbayang-bayang wajah Mariamin yang cantik itu: Mukanya
bundar sebagai bulan empat belas ...
rambutnya hitam serta berkilat-kilat sanggulnya besar dan bulat, tergantung di
atas tengkuk yang putih bersih itu... (Siregar, 1920: 145)
Aminu’ddin membayangkan wajah Mariamin, dalam
bayangannya wajah Mariamin yang disamakan dengan bundarnya bulan empat belas
(bundar bagus).
§ ....
dada yang penuh itu, ditutupi oleh baju kebaya ... pinggang yang ramping ...
paha yang tambun serta dengan lunaknya, keduanya dipalut sarung batikan Lasam
... dilihatnya pula betis bulat serta dengan halusnya itu, berjejak di atas
tumit yang seperti telur burung ...
(Siregar, 1920: 146)
Saat Aminu’ddin membayangkan tubuh Mariamin, betis
Mariamin yang bulat berjejak/bertumpu pada tumit yang dibandingkan dengan telur
burung yang budar lonjong.
§ ...
ke sana-sini pada segenap lingkungan alam terpancarlah sinarnya yang amat
permai itu, keluar daripada suatu benda yang bundar, sebagai anak panah yang melayang daripada busurnya. (Siregar, 1920:
148)
Suasana pagi di Sipirok digambarkan dengan sinar
maatahari pagi yang terpancar kesana-sini yang amat permai, yang dibandingkan
dengan anak panah yang dilayangkan dari busur panah.
§ Sesampai
di Medan, ia pun menyewa sado akan pergi ke rumah kaumnya memberitahukan
kedatangan ayahnya itu. Segala orang yang melihat Aminu’ddin , tiadalah
diperdulikannya. Kuda Batak yang menarik sado itu pun berlarilah dengan
kencangnya dan tangkas, sehingga rupanya sebagai
burung terbang. (Siregar, 1920: 148)
Ketika Aminu’ddin akan mengabarkan kedatangan
ayahnya ke Medan pada kaumnya, ia menaiki sado. Sado itu berjalan kencang.
Wajah kuda yang menarik sado kencang itu, disamakan dengan burung yang sedang
terbang.
§ Sebagai
kijang yang luka kena tembak, Aminu’ddin pun berlarilah mendapatkan ayahnya
itu. Akan tetapi saat yang nikmat itu bergantilah dengan ketika yang belum
pernah dirasa anak muda itu. (Siregar, 1920: 151)
Ketika Aminu’ddin bertemu ayahnya, ia berlari menghampiri
ayahnya, berlarinya itu disamakan dengan kijang yang terluka kena tembak.
§ Pendek
kisah, Mariamin yayng malang itu hanyut juga, makin lama makin jauh, sehingga
lenyap dari mata, sedang suaranya minta tolong itu sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. (Siregar,
1920: 152)
SuaraMariamin meminta tolong dalam mimpi Aminu’ddin
diibaratkan/disamakan dengan batu yang jatuh ke lubuk/lubang.
§ Danau
Toba yang jernih itu, seolah-olah dua orang bidadari yang berdiri di muka kaca
besar, akan mempersaksikan parasnya yang elok. Bunga-bunga yang berkembangan di
Pantai Laut Tawar serta cahaya embun yang berhamburan pada daun rumput-rumput,
adalah pada mata kita sebagai
halaman yang permai, penuh dengan intan permata. (Siregar, 1920: 166)
Ketika pengarang mendeskripsikan Danau Toba,
pengarang menggambarkan cahaya embun yang berhamburan pada rumput-rumput itu seperti
halaman yang permai, yang penuh dengan intan permata.
§ Sawah
yang amat luas itu berganti kulit,
sebagai dialas dengan bidai yang luas, karena waktunya mengerjakan sawah.
(Siregar, 1920: 183)
Ketika pengarang mendeskripsikan keadaan negeri
Sipirok di akhir cerita, ia menggambarkan sawah yang menguning itu dengan
dialasi memakai jalinan bilah rotan (tikar/tirai penutup pintu) yang luas.
a. Gaya
bahasa personifikasi, terdapat dalam kutipan:
§ Angin
gunung yang lemah lembut itu pun
berhembuslah, sedap dan nyaman rasanya bagi orang-orang kampong yang sedang di
perjalanan kmbali dari kebun kopi,....
..... maka angin itu pun bertambahlah
sediki kerasnya, sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-goyang
perlahan-lahan sebagai menunjukkan kegirangannnya,....
(Siregar, 1920: 1)
Angin gunung yang lemah lembut, angin
tersebut diibaratkan mempunyai sifat manusia, yaitu lemah lembut. Dan cabang
kayu yang bergorang menunjukkan kegirangannya, diibaratkan mempunyai sifat
manusia, yaitu girang.
§ Burung-burung
pun berterbangan dari sana-sini, seraya berkumpul-kumpul
di atas cabang beringin-beringin yang berdaun rimbun , masing-masing menyanyi memuji Tuhan dan memberi hormat kepada raja siang yang
sedang turun ke balik gunung yang tinggi itu. (Siregar, 1920: 2)
Burung-burung yang berterbangan
diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu berkumpul dan menyanyi
memuji Tuhan, dan memberi hormat.
§ Hari
makin gelap, cahaya bulan tak nampak, hanyalah bintang-bintang yang mengilap
itu mencoba mengurangkan kegelapan yang menyelimuti
bumi. (Siregar, 1920: 6)
Kegelapan
diibaratkan berprilaku seperti manusia, yaitu menyelimuti bumi.
§ ....
Akan tetapi sebagaimana kerap kali kejadian di dunia ini, kekayaan itu tiada
kekal dan kesenangan itu fana jua adanya, karena nasib manusia sebagai roda,
kadang-kadang ke atas, kadang-kadang ke bawah, hujan dan panas silih berganti
menimpa bumi, dan bumi itu harus sabar menerima
apa yang datang. (Siregar, 1920: 8)
Bumi diibaratkan mempunyai sifat
seperti manusia, yaitu sabar menerima apa yang datang.
§ ...
betul, ya, lampu kecil yang menyala di hadapan dara muda itu, melihat kawan sekamarnya bersusah hati.
Ia seolah-olah berkata...
Banyak lagi ucapan hiburan lampu itu, tetapi Mariamin tidak mendengarnya.
Telinganya sudah tertutup dan matanya pun tak melihat lagi, karena diserang angan-angan itu. (Siregar, 1920: 13)
Lampu kecil di kamar mariamin
diibaratkan mempunyai tingkah laku seperti manusia, yaitu melihat dan
berkata-kata (ucapan), juga angan-angan diibaratkan mempunyai tingkah laku
seperti manusia, yaitu menyerang.
§ ...
Hanyalah lampu kecil yang terpasang di tepi dinding itu yang masih menyala dan
cahayanya yang suram itu mencoba-coba melawan
dan mngusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan
alam ini. (Siregar, 1920: 16)
Lampu kecl di kamar Mariamin, cahayanya
diibaratkan mempunyai tingkah laku seperti manusia, yaitu melawan dan mengusir.
Dan dewi malam (bulan) juga diibaratkan mempunyai tingkah laku seperti manusia,
yaitu memerintahkan alam.
§ ....
Aminu’ddin melompat ke dalam air akan menyusul Mariamin, yang dihanyutkan
banjir yang tiada menaruh iba kasihan
kepada kurbannya itu. (Siregar, 1920: 52)
Banjir diibaratkan mempunyai sifat
seperti manusia, yaitu tiada menaruh iba kasihan kepada kurbannya.
§ ....
kayu tempat benalu itu tumbuh, makin lama makin
kurus dan merana, kesudahannya binasa
oleh benalu itu. (Siregar, 1920: 58)
Kayu diibaratkan mempunyai sifat seperti
manusia, yaitu makin kurus dan merana, dan benalu diibaratkan mempunyai sifat
seperti manusia, yaitu membinasakan.
§ Kalau
ia (Sutan Baringin) pergi belum makan, terpaksalah istrinya menunggu-nunggu
dia. Ia terpaksa, bukan dipaksa orang, akan tetapi hatinyalah yang memaksa dia berbuat begitu. (Siregar,
1920: 79)
Hati
diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu memaksa.
§ ...
Maka ia (Nuria) pun bermimpilah: “Sedang matahari baru keluar dan memancarkann
sinarnya, tiba-tiba diselimuti awan
yang amat hitam serta dengan tebalnya, makin lama makin hilanglah matahari itu
dan cahayanya pun tiada dapat lagi menerusi awan yang gelap itu....
... sedang Gunung Silabuali adalah asyik bekerja memuntahkan asap yang
bergumpal-gumpal. (Siregar, 1920: 83)
Awan diibaratkan mempunyai sifat seperti
manusia, yaitu menyelimuti. Dan Guung Silabuali diibaratkan mempunyai sifat
seperti manusia, yaitu asyik bekerja.
§ Sementara
itu matahari sudah rembang, segala makhluk dan tanam-tanaman beriang hati, karena bumi itu penuh
dengan sinar yang amat bagus. (Siregar, 1920: 97)
Makhluk dan tanam-tanaman diibaratkan
mempunyai sifat seperti manusia, yaitu beriang hati
§ Matahari
itu makin lama makin tinggi, akan tetapi cahayanya dihambat oleh awan yang
bergumpal-gumpal. Dataran tinggi Sipirok yang jongkat-jongkit itu tiada beroleh sinar raja siang, karena dilindungi oleh awan yang hitam itu.
(Siregar, 1920: 120)
Dataran tinggi Sipirok diibaratkan
bertingkah laku seperti manusia, yaitu berjongkat-jongkit (bergerak naik
turun), dan awan diibaratkan bertingkah laku seperti manusia, yaitu melindungi.
§ ...
Barangkali pakaiannya yang elok itu dapat menghilangkan mukanya yang dimakan panas dan angin itu, karena ia
bekerja selalu kena panas dan angin. (Siregar, 1920: 149)
Panas
dan angin diibaratkan bertingkah laku seperti manusia, yaitu memakan.
§ Perkawinan
itu tiada akan memutuskan azab dan
sengsara yang bertali-tali itu, tetapi akan menambah kemelaratan lagi bagi dia,
anak gadis yang malang itu.
Semua itu dilihatnya, dirasanya, bukan
dengan urat syarafanya, tetapi hatinya mengatakan
padanya. (Siregar, 1920: 161)
Perkawinan
itu diibaratkan bertingkah laku seperti manusia, yaitu memutuskan. Dan hati
diibaratkan bertingkh laku seperti manusia yaitu mengatakan.
§ ...
padang itu ingar oleh sura kerbau yang menguak,
lembu yang mengeluh, dan kuda
Bataknya yang termasyhur itu pun
tiada kurang bilangannya, karna disinalah tempatnya, ... (Siregar, 1920: 167)
Kerbau diibaratkan bertingkah laku
seperti manusia yaitu menguak, lembu diibaratkan bertingkah laku seperti
manusia yaitu mengeluh, kuda Batak diibaratkan bertingkah laku seperti manusia
yaitu termasyhur.
§ Sais
itu pun membunyikan cambuknya dan kereta yang bagus itu pun berlarilah dengan kencangnya. (Siregar,
1920: 180)
Kereta
kuda diibaratkan bertingkah laku seperti manusia yaitu berlari.
b. Gaya
bahasa metafora, terdapat dalam kutipan:
§ ...
Kalau induk ayam itu mati, siapakah
lagi yang mengaiskan makanan untuk anaknya yang kecil-kecil itu? Bila hari
hujan, sayap siapakah lagi tempat
mereka berlindung, supaya jangan mati kedinginan? (Siregar, 1920: 9)
Induk ayam digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung seorang
ibu, dan sayap digunakan untuk
menganalogikan/membandingkan langsung pelukan si ibu.
§ ....
Jika sekiranya saya mati, apalah jadinya biji
mataku kedua ini? ... (Siregar, 1920: 11)
Biji mataku, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung anak
Nuria (Mariamin dan Buyung).
§ Cahaya
mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si laki, cahaya mata itu memancar
dan masuk ke hatinya, masuk ke jantungnya, sehingga api hasrat dan kasihnya itu bernyala-nyala. (Siregar, 1920: 20)
Api
hasrat digunakan untuk
menganalogikan/membandingkan langsung nafsu.
§ “Wahai
biji mataku, bagaimanakah nasibmu
dibelakang hari,” kata ibunya mengeluh, lalu ia brdiri akan menidurkan anak
yang disukakannya itu ke bilik tempat tidurya. (Siregar, 1920: 27)
Biji mataku, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung anak
Nuria (Buyung).
§ Si
ibu yang pengasih dan penyayang itu membetulkan selimut mereka itu. Sudah itu
ia pun menundukkan kepalanya lalu mencium dahi si jantung hatinya itu berganti-ganti. (Siregar, 1920: 84)
Jantung hatinya, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung anak
Nuria (Mariamin dan Buyung).
§ Ibunya
memeluk dan mencium cahaya matanya
itu seraya berkata, “Ibu tidak meniadakan pemberian Allah, nafkah kita cukup
selamanya, dan Riam lebih daripada permata yang mahal bagi ibu. (Siregar, 1920:
88)
Jantung hatinya, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung anak
Nuria (Mariamin).
§ ...
Ia melompat seraya mendekap leher ibunya. Maka mulutnya dirapatkannya ke muka
ibunya, dan bibir yang halus dan tipis itu pun mencium pipi ibunya. Barulah
sekarang si ibu lupa akan susahnya itu, karena matahari kesukaannya, telah menyinari hatinya yang gundah gulana
itu. (Siregar, 1920: 98)
Matahari kesukaannya, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan
langsung anak Nuria (Mariamin).
§ Karena
meskipun dahulu Adinda kurang kuindahkan, sekarang mengakulah Kakanda,
Adindalah cahaya dan biji mataku,
Adindalah jiwa Kakanda, sayang Kakanda yang celaka ini tiada menurut nasihat
Adinda menuju jalan yang sempurna itu. (Siregar, 1920: 98)
Cahaya dan biji mataku, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan
langsung kekasih/istri (Nuria/Istri Sutan Baringin) .
§ Karena
suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang tinggal, terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari nafkah, sesuap pagi dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. (Siregar, 1920: 123)
Membanting tulang, digunakan untuk
menganalogikan/membandingkan langsung bekerja, dan sesuap pagi dan sesuap
petang digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung makan.
§ Lepas
dua bulan lagi akan diperolehnya angan-angan dan cita-citanya, sejak akil
balig. Di situlah kelak ia merasa dirinya beruntung, karena tangkai kalbunya telah disisinya, yakni
Mariamin buah hatinya itu. (Siregar,
1920: 134)
Tangkai kalbu dan buah hati, digunakan
untuk menganalogikan/membandingkan
Mariamin (Kekasih Aminu’ddin).
c. Gaya
bahasa epitet, terdapat dalam kutipan:
§ Dari
yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam
peraduannya, ke balik Gunung Silabuali, yang menjadi watas dataran tinggi
Sipirok yang bagus itu. (Siregar, 1920: 1)
Raja
siang digunakan untuk menjelaskan/menggantikan matahari.
§ Malam
itu amat dingin, karena angin amat kencang, bercampur hujan rintik-rintik.
Sekali-sekali kilat menunjukkan sinarnya, seolah-oleh menerangi dewi malam yang memenuhi alam ini.
(Siregar, 1920: 81)
Dewi
malam digunakan untuk menjelaskan/menggantikan kegelapan.
§ Angin
gunung pun berhembuslah sepoi-sepoi basa dan kebun tembakau itu berombak-ombak
rupanya ditiup angin itu dan berwarna ilam-ilam, karena cahaya raja malam antara gelap dan terang. (Siregar, 1920: 145)
Cahaya
raja malam digunakan untuk menjelaskan/menggantikan cahaya bulan.
§ Bintang Timur yang
menandakan hari akan siang telah keluar dari sisi sebelah timur. Awan di langit
pun mulailah merah kuning rupanya, makin lama makn nyata dan jernih, langit pun
sebagai disepuh emas juita rupanya dan fajar pun menyingsinglah.
Meskipun si penerangi alam ini belum keluar daipada peraduannya, akan tetapi
cahayanya yang elok itu tlah kelihatan.... (Siregar, 1920: 147)
Bintang Timur digunakan untuk
menjelaskan/menggantikan fajar, dan si penerangi alam digunakan untuk
menjelaskan/menggantikan matahari.
d. Gaya
bahasa sarkasme (pernyataannya menyakiti hati/kasar), terdapat dalam kutipan:
§ Kehinaan
besar dipandang orang kalau seorang laki-laki menceraikan bininya. Perempuan
yang meminta talak itu pun tiada berharga di mata orang, kawin kedua kalinya
amat susah bagi dia, karena orang berkata dalam hatinya: “Perempuan itu tidak
baik, ia tak setia kepada suaminya. Sudah tentu orang tiada mau mengambil dia
akan istri. Sepanjang adat pun amatlah beratnya hukuman orang yang menceraikan
kawan sehidupnya itu. “(Siregar, 1920: 76)
§ Sutan
Baringin anak yang terlalu amat manja waktu mudanya. Sudah besar, tiadalah
berubah kelakuannya itu, ia tinggi hati, pemarah, pemalas serta pemboros.
Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya, jadi bukan yang dicarinya
dengan keringatnya. (Siregar, 1920: 78)
§ Demikianlah
budi Sutan Baringin terhadap kepadan saudaranya yang datang dari tanah rantau
itu. Hati cemburu, loba, tamak, dengki, khizit, sekaliannya sudah berurat
berakar dalam darahnya, itulah yang akan merusakkan diri Sutan Barignin.
(Siregar, 1920: 90)
§ Sutan
Baringin orang yang telah rusak binasa budinya dari kecilnya, tiada mempunyai
hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba, tamak, dengki dan khianat, itu sajalah
yang memenuhi pikirannya. (Siregar, 1920: 102)
e. Gaya
Bahasa Ironi (Sindiran), terdapat dalam kutipan:
§ Bukanlah
orang yang miskin saja yang harus berhemat, orang yang berada pun patut
demikian. (Siregar, 1920: 86)
§ Sejurus
lamanya, ia pun berkata (Sutan Baringin), “Si Tongam itu tiada dapat
dipercayai. Tiadakah engkau tahu orang yang biasa di negeri ramai itu amat
pintarnya, tetapi pintar dalam kejahatan. Tuturnya manis seperti madu, sehingga
kita tidak mengetahui anak panah didalamnya...” (Siregar, 1920: 94)
§ ...semua
perkataan pokrol yang pintar itu hanya yang tiada mungkin dan yang bukan-bukan
saja. Tetapi sebab pandainya berkata-kata serta dengan petah lidahnya, dapatlah
ia membodoh-bodohkan sahabatnya itu. (Siregar, 1920: 100)
§ Kasarlah
didengar telinga, bila orang berkata, “Di tengah-tengah Pulau Sumatra yang
besar iu msih ada orang menjual anaknya yang perempuan.” (Siregar, 1920: 141)
f. Gaya
bahasa Sinisme (sindiran yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan), terdapat
dalam kutipan:
§ Ya,
kalau dikatakan laki-laki itu buas dan ganas tabiatnya, kasar didengar telinga,
tetapi tiada salahnya lagi. Bukankah banyak perempuan yang melarat karena
perbuatan laki-laki yang semacam itu? Sungguh amat keji perbuatan itu.
(Siregar, 1920: 163)
g. Gaya
bahasa parable, terdapat dalam kutipan:
§ Perkawinan
memang suatu adat dan kebiasaan yang harus dilakukan tiap-tiap manusia, bila
sudah sampai waktunya. Tuhan yang menjadikan segala yang ada, itulah yang
mengaturkan yang demikian bagi kita yang mendiami bumi ini, karena ia pun
menjadikan seorang laki-laki dan seorang perempuan Adam dan Siti Hawa dan kedua
manusia itu disuruhnya hidup bersama-sama, tolong-menolong dan berkasih-kasihan
sama sendirinya. (Siregar, 1920: 60)
Untuk menyampaikan suatu kebenaran moral
tentang suatu adat, yaitu pernikahan, pengarang menggunakan sebuah kisah Adam
dan Siti Hawa untuk contoh pelajaran.
3.8
Titik
Pengisahan
Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar,
titik pengisahan yang dipergunakan oleh Merari Siregar adalah sebagai pengamat,
yaitu dengan cara titik pengisahan maha tahu. Karena Merari Siregar menyebut
tokoh di dalam novel menggunakan kata ia/dia, dan menggunakan nama orang, lebih
dari itu Merari Siregar menjelaskan secara pasti keadaan hati atau perasaan
para tokoh, jalan fikirannya dan lain-lain. Titik pengisahan pengarang sebagai
pengamat maha tahu nampak dari bukti berikut ini:
1. ...
akan tetapi, sebab hari yang gelap itu tak dapat ia melihat air mata yang
mengalir di pipi orang muda itu. Cuma ia mengerti, ada yang disusahkan orang
itu. (Siregar, 1920: 4)
2. Ia
terdiam pula. Perkataan yang akan dikatakannya seolah-olah menahan napasnya dan
kelulah rasa lidahnya akan bercakap. Kemudian ia pun mengeraskan hatinya,
sambil ia menyapukan saputangannya yang basah oleh air matanya itu,.. (Siregar,
1920: 5)
3. ...
Pikiran yang serupa itulah yang acap kali timbul, dan itulah yang menyusahkan
hatinya. Bila dikenangkannya yang demikian itu, perasaannya penyakitnya
bertambah berat dan kemiskinan mereka itu berlipat ganda. (Siregar, 1920: 11)
4. ...
ia menghempaskan dirinya ke atas tempat tidurnya. Sekuat-kuat tenaga ia tadi
menahan dukacitanya, sejak bercerai dengan anak muda itu sampai meninggalkan
ibunya. (Siregar, 1920: 12)
5. ...
maka pergilah Mariamin merebahkan dirinya diatas tempat tidurnya itu. Ia pun
mengumpulkan kekuatannya akan mendiamkan pikirannya yang berkisar-kisar itu.
(Siregar, 1920: 16)
6. Suaminya
termenung, ia teringat hal iparnya, Sutan Baringin, pada waktu hidupnya.
(Siregar, 1920: 24)
7. Istri
yang baik itu tiada putus asa. Ia mengumpulkan kaum keluarganya, Ayah
Aminu’ddin, kepala kampong A pun turutlah. (Siregar, 1920: 26)
8. Si
ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang air matanya
bercucuran ke atas kepala anak yang hendak tertidur itu. Hatinya hancur sebagai
kaca terhempas ke batu, memikirkan nasib merka itu di belakang hari. (Siregar,
1920: 27)
9. Penaggungan
perempuan yang sakit, aniaya suaminya yang bengis, dilupakannya, bila ia melihat suaminya meminta ampun dihadapannya,
kadng-kadang dengan air mata yang berhamburan, sebab kesedihan hatinya
bercampur dengan sukacitanya, karena kecintaan suaminya kepadanya telah hidup
kembali,... (Siregar, 1920: 30)
10. Percakapan
kedua orang anak itu berhenti. Mariamin berdiam, karena hatinya kepada
pekerjaan itu saja. Aminu’ddin berdiam pula, akan tetapi adalah juga yang
dipikir-pikirkannya. (Siregar, 1920: 33)
11. Perkataan
yang dua tiga patah itu menggembirakan hati Mariamin. Anak perempuan itu pun
lupalah akan hal keadaan hari yang buruk itu. (Siregar, 1920: 37)
12. Suara
yang penghabiasan itu didengar oleh Aminu’ddin dengan kesedihannya, hatinya sebagai
diremas dan harapannya pun hampir putus, lebih-lebih setelah Mariamin tiada
timbul lagi. (Siregar, 1920: 52)
13. ...
Mariamin pun selalu merasa, bahwa ia berutang nyawa kepada angkangnya yang
telah mengurbankan dirinya sendiri untuk keselamatannya itu. (Siregar, 1920:
52)
14. ...
Meskipun ia telah melihat dahulu kemelaratan yang akan menimpa dirinya,
tiadalah sampai hatinya menolak dengan keras maksud orang tuanya, yang kadang
mempergunakan ancam padanya. (Siregar, 1920: 62)
15. Tahulah
ia rupanya, apa-apa kewajiban perempun kepada suaminya. Oleh sebab itu tiadalah
ia jemu dan bosan mengambil hati suaminya itu dengan sepenuh-penuh hati.
(Siregar, 1920: 73)
16. Setlah
ibu Sutan Baringin meninggal, amatlah masygul hati istrinya itu, karena tahulah
ia benar-benar, bahwa suaminya itu tiada akan mengubah kelakuannya itu lagi.
(Siregar, 1920: 79)
17. ...
Bukanlah ia bosan, tetapi khawatir, kalau-kalau ia kehabisan tenaga,
dan...,kesudahannya perkawinan putus dan dia serta anaknya melarat. (Siregar,
1920: 81)
18. ...
setelah itu tiadalah ia dapat tidur lagi. Hatinya gundah gulana, karena ia
tiada mengerti akan takwil mimpinya itu. (Siregar, 1920: 83)
19. Kain
kiriman yang mahal dan bagus itu tiada diperdulikannya lagi. Pikiran yang buruk
itulah timbul dalam hatinya, maksud yang tidak senonoh itulah balasan hati
Baginda Mulia yang baik itu... (Siregar, 1920: 90)
20. ...
Begitu jugalah halnya dengan Baginda Mulia. Jemulah rasanya ia hidup di rantau
orang, rindu ke negeri sendiri makin keras, sehingga ia minta dipindahkan ke
negerinya. (Siregar, 1920: 92)
21. Sutan
Baringin orang yang telah rusak binasa budinya dari kecilnya, tiada mempunyai
hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba dan tamak, dengki dan khianat, itu
sajalah yang memenuhi pikirannya. (Siregar, 1920: 102)
22. Sejurus
lamanya si Ibu itu terdiam, karena hatinya terkena oleh syair yang dibacakan
anak itu. Sayu dan rayu perasaannya mendengar suara anak itu. (Siregar, 1920:
112)
23. ... akan tetapi si ibu itu seorang perempuan
yang sabar dan keras hati. Beban itu dipikulnya dengan pikiran yang tenang.
Karena, meskipun hidupnya di dunia ini makin sengasara, hatinya pun makin tetap
juga dan imannya bertambah teguh. (Siregar, 1920: 122)
24. Sudah
tentu percakapan itu menerbitkan rindu dendamnya kepada sahabat karibnya itu.
Sekalian perkataan Aminu’ddin waktu mereka bercerai, seolah-olah terdengar juga
olehnya... (Siregar, 1920: 126)
25. Ibunya
duduk termenung memikirkan perkataan anaknya itu. Ia pun amat ingin, supaya
kehendak Aminu’ddin dan anaknya itu lekas sampai. Akan tetapi apabila
dikenangnya akan segala hal mereka itu kedua belah pihak, kuranglah harapnya,
karena adalah cita-cita anakya itu sebagai pungguk bercintakan bulan di langit.
(Siregar, 1920: 126)
26. ...
Demikian sakitnya kemiskinan itu, yang dahulunya biasa dalam kesenangan. Akan
tetapi semuanya tiada menyusahkan hati Mariamin. Bukankah cita-cita mereka itu
sudah dekat? Kalau ia nanti bersama-sama Aminu’ddin, tentu datanglah pertukaran
dalam kehidupannya. (Siregar, 1920: 129)
27. Kedua
laki-istri bermohon diri, lalu pulang ke rumah, istrinya dengan hati kesal,
karena yang diinginkannya tak jadi, suaminya dengan girang hati, karena
kehendaknyalah yang mesti diturut. Akan tetapi dijalan tidak memperlihatkan
sukacitanya itu, takut kalau-kalau istrinya itu sakit hati. (Siregar, 1920:
137)
28. Hati
aminu’ddin gundah gulana dan darah di dalamnya berdebar-debar, karena perasaan
hatinya yang demikian itu membuat jantungnya lebih kencang bergerak dan
darahnya mengalir cepat dalam seluruh urat-urat badannya. (Siregar, 1920: 147)
29. Sebenar-benarnya
Aminu’ddin setia juga kepada adindanya itu, akan tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya.
Amat berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu. (Siregar,
1920: 152)
30. ...
ia menyesal akan perbuatannya yang sudah-sudah itu, karena terkena hatinya oleh
budi bahasa abak gadis miskin itu, sikap dan tertibnya pun adalah menarik
hatinya. Muka yang pucat itu pun menerbitkan belas kasihan dalam hatinya. Bukan
belas kasihan saja, tetapi dengan sesalnya. Sekarang ia amatlah menyesal sebab
melalui keinginan anak muda yang berdua itu. (Siregar, 1920: 159)
31. Perkawinan
itu tiada akan memutuskan azab dan sengsara yang bertali-tali itu, tetapi akan
menambah kemelaratan lagi bagi dia, anak gadis yang malang itu. Semuanya itu
dilihatnya, dirasakannya, bukan dengan urat sarafnya, tetapi hatinya mengatakan
padanya. (Siregar, 1920: 161)
32. Kebenaran
dan pertimbangan yang dituturkan ibunya itu, benar pula dalam hati Mariamin,
tetapi terasa dalam hatinya bahwa perkawinan itu, yang akan dilakukannya akan
membawa dia ke jalan kemelaratan. Akan tetapi dia merasa demikian dalam
hatinya, jadi tiadalah dapat diberi keterangan... (Siregar, 1920: 162)
33. Tempat
pekuburan yang sunyi itu menambah kesedihan hati si ibu, karena waktu
kegirangan yang sudah-sudah tergambar dalam hatinya, dan gambar itu amat
menyedihkan hatinya, karena sekaliannya itu telah hilang terkubur,.. (Siregar,
1920: 164)
34. ...
Pada ketika itu ia mengenang-ngenangkan perjalanan kehidupannya sejak kecil,
sebagaimana kebiasaan perempuan yang baru kawin. Apabila ia memikirkan hal
suaminya itu, berdebarlah hatinya sebab ketakutan. (Siregar, 1920: 169)
35. Sedang
Mariamin berpikir-pikir demikian, maka ia pun berdirilah hendak melihat dari
pintu itu ke luar, inginlah ia hendak mengetahui yang sebenarnya. Lagipula ia
berlari ke dalam itu bukan disebabkan jaiznya, hanya hendak meneduhkan ombak
gelora yang hebat dalam dadanya jua. (Siregar, 1920: 172)
36. Hati
siapakah yang takkan remuk redam, siapakah yang dapat menahan persuaan yang
sesedih itu? Mungkin ada yang kuat imannya, tetapi Mariamin tidak. Bagi dia
yang melarat itu, sedikit saja duri yang menyentuh hatinya adalah sebagai
membelah dadanya, apalagi kedatangan Aminu’ddin yang tak disangka-sangka itu. (Siregar,
1920: 174)
37. Aminu’ddin
melihat air mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan percakapan lagi, takutlah
ia kalau hati Mariamin bertambah-tambah sedih. Akan tetapi dalam pikirannya
tahulah ia hidup Mariamin amat sengsara dan suaminya kurang mengasihi dia.
(Siregar, 1920: 176)
38. ...
itu benar. Kasih tak ada dalam hatinya, sebaliknya kebencian yang tumbuh,
karena Mariamin tak suka menuntut kehendaknya, meskipun ia yang salah.
(Siregar, 1920: 177)
39. Polisi
yang berdiri di pintu itu terkejut melihat orang itu, akan tetapi hatinya belas
melihat mukanya yang teraniaya itu. Dari pakaiannya, tahulah ia bahwa Mariamin
orang Batak, seorang bangsanya. (Siregar, 1920: 180)
3.9
Amanat
a. Amanat
Umum
Amanat
umum yang dapat diambil dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
adalah sebagai berikut:
1) Kita
harus menjaga hubungan baik dengan siapapun, apa lagi dengan saudara! Karena
dalam novel ini diceritakan bagaimana sebuah hubungan keluarga yang tidak
dijaga menjadi awal dari kesengsaraan yang menimpa sebuah keluarga.
2) Kita
harus menerima apapun jalan hidup yang telah digariskan untuk kita! Karena
dalam novel ini diceritakan bahwa Mariamin dan ibunya selalu sabar menerima
kemelaratan yang mereka jalani.
3) Kita
tidak boleh membedakan orang, baik miskin dan kaya. Karena bahagianya atau
selamatnya kehidupan tak dijamin oleh kekayaan dan kemiskinan!
Karena dalam
novel ini diceritakan bahwa kisah cinta Aminu’ddin dan Mariamin dipisahkan oleh
adat dan kepercayaan orang tua Aminu’ddin yang beranggapan bahwa keluarga kaya
harus menikah dengan kaum yang sederajat, karena Mariamin miskin, takutlah ia
kalau anaknya akan terkena bencana.
4) Kita
tidak boleh memaksakan kehendak kita terhadap orang lain! Karena dalam novel
ini diceritakan Mariamin dinikahkan oleh ibunya dengan orang yang tak ia kenal
dan tak dicintainya. Dan pernikahan yang seperti itu malah membuat Mariamin
makin sengsara.
5) Kita
harus berani jika kita berbuat benar!
Karena dalam
novel ini diceritakan Mariamin memberanikan diri melaporkan suaminya ke kantor
polisi karena perbuatan suaminya bengis.
b. Amanat
Khusus
Amanat
khusus yang dapat diambil dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
adalah sebagai berikut:
1) Tentang
Kesederhanaan
Hal
tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-
Kalau ia pergi ke lading atau ke sawah,
selamanya ia mencari pembawaan akan menyenangkan hatiku, meskipun yang
dibawanya tiada seberapa harganya, speperti tadi cuma kol dan sayur-sayuran
yang dibawa untuk saya, karena telah lama tak ada nafsuku makan. Sayur yang
direbus anakku itu, tentu lebih sedap
nanti kumakan, lebih sedap dari sup daging atau ayam waktu hari kesukaanku.
(Siregar, 1920: 9)
2) Tentang
kasih sayang terhadap makhluk hidup
Hal
tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-
“Jangan dibunuh binatang itu, Buyung!”
katanya sambil memeluk dan memangku budak itu, lalu dibawanya ke tempat
dudukya. (Siregar, 1920: 108)
3) Tentang
menjaga hubungan persaudaraan
Hal
tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-
Setelah ia menerima surat kepindahannya,
ia pun berkirim surat kepada Sutan Baringin akan menceritakan kegirangan hatinya
itu. Hati persaudaraan adlah lebih rapat padanya daripada Sutan Baringin. Ia
tiada mempunyai kakak atau adik kandung, oleh sebab itu adalah pada perasannya
Sutan Baringin itu jadi kakak kandung bagi dia. Waktu kesusahan dan kedukaan
mereka itu selalu berkirim-kirim surat. Baginda Mulia berbuat demikian karena
cinta akan saudara, Sutan Baringin sebab muslihat. (Siregar, 1920: 93)
4) Tentang
Keagamaan
Hal
tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-
Hatinya gundah gulana, karena tiada
mengerti akan takwil mimpiya itu. Setelah fajar menyingsing, ia pun berdirilah,
lain mengambil air sembahyang. Perempuan yang saleh itu pun menyerahkan dirinya
kepada Tuhan. (Siregar, 1920: 84)
5) Tentang
Kebijaksanaan
Hal
tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-
“... Berapa tahun, beberapa bulanlah
saya sudah mengandung kenang-kenangan akan bersama-sama dengan engkau, akan
tetapi barulah kuketahui, mustahillah rupanya saya mencapai maksudku, kalau
tiada dengan jalan yang lain, yakni saya harus pergi ke tanah lain akan mencari
pekerjaan. Janganlah terkejut, jangan berdukacita engkau Riam, ingatlah, saya
pergi bukan meninggalkan engkau, tetapi mendapatkan engkau.” (Siregar, 1920: 5)
6) Tentang
Kesetiaan
Hal tersebut nampak
dari bukti di bawah ini:
Kalau ia pergi belum makan, terpaksalah
istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa, bukan dipaksa orang, akan tetapi
hatinyalah yang memaksa dia berbuat begitu. “Seharusnyalah kami bersama-sama
makan, karena kuranglah baiknya, kalau istri itu lebih dahulu makan daripada
suaminya.” Demikianlah pikiran ibu yang setia itu. (Siregar, 1920: 79)
7) Tentang
kesopanan
Hal tersebut nampak
dari bukti di bawah ini:
... Setelah dilihatnya orang tua
Aminu’ddin datang itu maka ia pun berlari ke luar mengajak mereka masuk. Dengan
muka yang ramah ia mempersilahkan jamu itu duduk di atas tikar,yaitu tikar yang
diaaannnyamnya sendiri itu, untuk tempat duduk ayah Aminu’ddin dua laki-istri.
(Siregar, 1920: 158)
8) Tentang
kasabaran
Hal tersebut nampak
dari bukti di bawah ini:
Karena suaminya tiada lagi, harta benda
pun tiada lai yang tinggal, terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari
nafkah, sesuap pagi dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. Tiadalah malu ia
mencari upahan, pada waktu mengerjakan sawah... (Siregar, 1920: 123)
BAB
IV
SIMPULAN
Sastra tidak
dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir melalui
proses pergulatan sastrawan dengan kondisi social-budaya zamannya. Maka,
membaca karya sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang
terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga.
(Siregar, 1920)
Seperti yang
saya baca di permukaan kalam novel Azab dan Sengsara, Merari Siregar selaku penulisnya
berkata bahwa ia mengarang cerita dalam novel ini dengan maksud menunjukkan
adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsanya,
lebih-lebih diantara orang berlaki-istri. Setelah saya membaca dan menganalisis
unsure intrinsic novel tersebut, saya menyimpulkan:
(1) Tema
dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah Kesengsaraan
(Keluarga Mariamin) karena adat dan kebiasaan di Negeri Sipirok (Tanah Batak).
Dalam novel tersebut diceritakan berbagai kesengsaraan yang diderita dalam
sebuah keluarga, disebabkan karena perbuatan yang tidak baik, juga karena adat
dan kebiasaan yang berlaku di Negeri Sipirok (latar tempat dalam novel).
(2) Susunan
plot/alur novel Azab dan Sengsara
karya Merari Siregar dapat dikatakan sebagai plot sorot balik atau flash back, kerena cerita dalam novel
ini dimulai dari pertengahan, yaitu saat peristiwa yang bersangkut paut mulai
bergerak. Dimulai saat Aminu’ddin berpamitan pada Mariamin kekasihya untuk
bekerja ke Medan, karena ia ingin mewujudkan cita-citanya menikahi Mariamin,
selanjutnya menceritakan kehidupan kecil mereka dan seterusnya diceritakan
kisah cinta mereka hingga akhir hayat Mariamin.
Sedangkan
gambaran alur secara kualitatif adalah alur erat, karena ada hubungan yang erat
antara satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Apalagi alurnya tidak runtut,
tetapi sorot balik, ketika kita selaku pembaca melewatkan satu saja kisah atau
penggalan cerita, maka kita tidak akan mengerti isi novel ini secara
keseluruhan. karena ada hubungan yang erat antara satu peristiwa ke peristiwa
lainnya. Apalagi alurnya tidak runtut, tetapi sorot balik, ketika kita selaku
pembaca melewatkan satu saja kisah atau penggalan cerita, maka kita tidak akan
mengerti isi novel ini secara keseluruhan. karena ada hubungan yang erat antara
satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Sedangkan gambaran susunan alur/plot
secara kuantitatif, novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar ini merupakan novel yang memunyai alur/plot
ganda, karena mengalami degresi (cerita baru yang masuk).
(3) Dalam
penokohan novel Azab dan Sengsara, ada 12 tokoh yang mendukung cerita dalam novel
tersebut, dan penokohan sebagai berikut:
-
Mariamin (Riam) sebagai
tokoh utama, karena intensitas keterlibatan tokoh Mariamin dalam
peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sangat dominan. Ia mempunyai watak
ramah, ia tidak pernah marah-marah pada orang lain, ia periang, pengiba dan suka berfikir, juga anak
yang penurut dan patuh pada orang tua, selain berparas cantik dan berkulit
jernih dan bersih, dari matanya terlihat bahwa ia seorang yang pengasih, ia
tabah dalam menjalani hidupnya yang berada dalam kemelaratan dengan apa adanya.
Ia seorang yang berhati keras dan teguh dalam mempertahankan keyakinannya. Ia
perhatian, pengertian dan rajin bekerja, bijaksana, penyayang, apik (bersih dan
bagus pekerjaannya), terlihat dari perbuatannya sehari-hari dalam bekerja
dirumahnya dan ia menghargai pertolongan orang lain.
-
Aminu’ddin (Udin)
sebagai tokoh utama karena intensitas keterlibatan tokoh Aminu’ddin dalam
peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sangat dominan. ia seorang yang rajin
dan baik di sekolahnya waktu muda, ia disayangi oleh orang lain, pandai, rendah
hati, berkelakuan baik dan bahasanya halus, bijaksana, dan dia anak yang
penurut kepada orang tua, suka menolong, setia, berbesar hati mengakui
kesalahan, bijaksana, dan ia orang yang tawakal, seperti ketika ia hendak
berpisah dengan Mariamin karena ia akan bekerja.
-
Ibu Mariamin (Nuria), sebagai
tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya
mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang baik, setia,
penyabar, pengiba, peramah, dan menghormati orang, hemat, ia tak suka
menghamburkan uang jika tidak untuk sesuatu yang diperlukannya. Ia orang yang
bertawakal kepada Tuhannya, saat ia hidup dalam kemelaratan, semakin teguh
imannya. Ia suka kesederhanaan dan berwajah cantik, dari romannya terlihat
bahwa ia orang yang perendah, penyayang, dan perhatian. Selain pandai
memanfaatkan waktu, ia seorang istri shaleh, ia tak lupa sembahyang, bijaksana,
bertoleransi, mudah terharu, rajin bekerja dan suka kebersihan, namun ia berkecil
hati ketika hidup dalam kemelaratan, namun ia suka menolong dan cinta
persaudaraan.
-
Ayah Mariamin (Sutan
Baringin), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam
cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin), ia
orang yang suka berperkara, sehingga hartanya yang banyak itu habis karena
kesukaannya tersebut, ia keras kepala, dan ia anak yang manja dan nakal waktu
kecilnya, tidak menghormati orang lain dan ia tidak menjadi orang yang
berkelakuan baik, karena kecilnya sagat dimanja oleh ibunya. Ia pemarah,
bengis, angkuh dan tidak hormat kepada orang lain, pemalas dan pemboros, selain
itu ia tamak, dengki dan khizit, tabiat itu sudah menyatu dalam darahnya, mudah
terpengaruh, loba dan khianat, dan ia orang yang tak acuh terhadap keluarga,
licik, kasar, berfikiran negative, pemarah. Namun ternyata ia cepat putus asa
dan ketika ia akan meninggal ia mau mengakui kesalahan.
-
Baginda Mulia (Saudara
Sutan Baringin), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam
cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang baik hati, tenang dan penyabar,
cinta persaudaraan dan senang berdamai. Ia pekerja keras, saat ayaahnya
meninggal dunia, ketika ia sudah besar, ia merantau ke Deli untuk mencari
pekerjaan, namun ia cinta tanah air/tempat kelahirannya jadi ia tak melupakan
tanah klahirannya.
-
Ibu Sutan Baringin, sebagai
tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi
kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang
penyayang dan bijaksana.
-
Ayah Sutan Baringin, sebagai
tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi
kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). ia orang yang
penyabar, orang yang keras, jika ia mendidik anak tak segan-segan dengan
pukulan jika anak tersebut salah, namun ia orang yang bijaksana.
-
Kasibun (Suami Riam), sebagai
tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi
kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang
pandai memelihara diri, badannya yang agak tua lebih muda dipandang daripada
yang sebenarnya, karena pandainya ia merawat diri. Ia pintar dan cerdik namun
ia sombong, tak acuh dan berkelakuan bengis.
-
Ibu Aminuddin, sebagai
tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi
kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ibu Aminu’ddin
orang yang berbudi baik, dan bijaksana.
-
Ayah Aminuddin (Baginda
Diatas), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita,
tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang
yang berbudi baik dan bijaksana, sehingga ia disegani, namun ia orang yang
pemilih-milih, apalagi kalau memilihkan menantu untuknya.
-
Marah Sait (Sahabat
Sutan Baringin), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam
cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). ia
orang yang pandai berkata-kata, karena ia seorang pokrol bambu, sudah tentu ia
pandai berkata-kata untuk urusan berperkara, namun ia pandai membodohi orang, ia
cerdik, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya memang digunakannya untuk mencari
keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuannya jika hendak berperkara, namun
ia tidak memperdulikan orang lain, ia hanya mengambil keuntungan dari orang
yang meminta bantuannya, ia mata duitan, picik.
-
Kepala Pengadilan
Sipirok sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita,
tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang
yang suka menasihati tentang kebaikan, dan ia suka mengingatkan tentang
kebaikan.
(4) Latar
dalam novel tersebut yaitu Latar Tempat:
Di Rumah Mariamin, kamar Mariamin, Kota Sipirok, Kota Deli, di dapur, sawah,
sungai, ruang makan, pengadilan, kantor pos, rumah datu/dukun, beranda rumah,
stasiun kereta, kamar Aminu’ddin, kuburan,
perahu, rumah Kasibuan, Medan, kantor polisi. Latar waktu: Fajar, pagi, siang, petang, dan malam. Latar Lingkungan Sosial: Lingkungan
Sosial ekonomi rendah, lingkungan orang kaya, lingkungan yang bebas (kehidupan malam). Latar Suasana: Suasana mengharukan, menyedihkan, riang, tegang
dan tragis
(5) Pengarang
mengungkapkan novel Azab dan Sengsara dengan bentuk penulisan ada yang
berjenis; surat, pribahasa, pepatah, pantun, syair dan cerpen (cerpen di dalam
novel). Dan pengarang menggunakan gaya deskriptif, gaya ekspositif dan gaya
bahasa kiasan.
(6) Dalam
novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, titik pengisahan yang
dipergunakan oleh Merari Siregar adalah sebagai pengamat, yaitu dengan cara
titik pengisahan maha tahu. Karena Merari Siregar menyebut tokoh di dalam novel
menggunakan kata ia/dia, dan menggunakan nama orang, lebih dari itu Merari
Siregar menjelaskan secara pasti keadaan hati atau perasaan para tokoh, jalan
fikirannya dan lain-lain.
(7) Dalam
novel terdapat amanat umum dan amanat khusus, tentang kesederhanaan, tentang
kasih sayang terhadap makhluk hidup, tentang menjaga hubungan persaudaraan,
tentang keagamaan, kebijaksanaan, kesetiaan, kesopanan dan tentang kasabaran.
DAFTAR
PUSTAKA
Calzoum, Sutardji Bachrie. 2002. O Amuk Kapak. Jakarta: Yayasan Obor dan Majalah Horison.
Feist, Jess dan Feist J. Greory. 2010. Teori Kepribadian (Theories of Personality.)
Jakarta: Salemba Humanika.
Ferdinand, S. Howard dan Schustack, W. Miriam. 2010.
Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern.
Jakarta: ERLANGGA.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya
Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marhijanto, Bambang. 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini. Surabaya: Terbit Terang.
Minderop, Albertine. 2011. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian PUISI. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Sadikin, S.s Mustofa. 2010. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta: Gudang Ilmu
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero)
Sugianto Mas, Aan. 2013. Kajian
Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan. Universitas
Kuningan.
Sugianto Mas, Aan. 2012. Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra.
Kuningan. Universitas Kuningan.
sangat membantu, izin copas ya sist untuk tugas
ReplyDeletethank you. ini lengkap banget! gua gaperlu repot2 baca.
ReplyDelete