Sunday, January 26, 2014

ANALISIS NOVEL AZAB DAN SENGSARA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang Masalah
Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. (Sugianto Mas, 2012: 9)

Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk; puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12 (dalam Sugianto Mas, 2012: 12).

Prosa fiksi menurut Sudjiman dalam Kamus Istilah Sastra adalah cerita yang mempunyai tokoh dan alur, yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi dalam ragam prosa (Sugianto Mas, 2013: 60).

Novel merupakan salah satu bentuk dari prosa fiksi yang memaparkan terjadinya peristiwa secara rinci mengenai segala hal yang bersangkutan dengan peristiwa tersebut: seperti tema, alur, tokoh dan perwatakan, latar atau setting, titik pengisahan atau juru cerita, gaya pengarang, dan amanat, yang merupakan unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada novel, yang akan memberi gambaran yang cukup jelas dan disusun dalam satu kesatuan yang utuh dan saling menunjang satu sama lain.
Maka dari itu, penulisan analisis ini dimaksudkan untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik yang ada pada novel agar sebuah novel tak hanya dibaca, namun dapat difahami isi dan nilai-nilai yang terkansung didalamnya, supaya berguna bagi kehidupan, dan Novel yang menjadi bahan analisa saya adalah novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.

1.2              Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Apa tema dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar?
2.      Bagaimana alur dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar?
3.      Siapa sajakah tokoh dan bagaimana perwatakannya novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar?
4.      Dimana latar/setting novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar?
5.      Bagaimana gaya pengarang Merari Siregar dalam novel Azab dan Sengsara karya?
6.      Apa titik pengisahan yang digunakan Merari Siregar dalam novel Azab dan Sengsara?
7.      Apa sajakah amanat yang terkandung dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar?

1.3              Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan analisis ini adalah:
1.      Untuk mengetahui tema dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
2.      Untuk mengetahui alur novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
3.      Untuk mengetahui tokoh dan perwatakan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
4.      Untuk mengetahui latar/setting novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
5.      Untuk mengetahui gaya Merari Siregar dalam menyajikan novel Azab dan Sengsara karya.
6.      Untuk mengetahui titik pengisahan yang digunakan Merari Siregar dalam novel Azab dan Sengsara.
7.      Untuk mengetahui amanat yang terkandung dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.

1.4              Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini untuk saya selaku penulis, dapat mengetahui unsur-unsur intrinsik yang terdapat pada novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, juga mendapatkan pengalaman tentang bagaimana proses analisis unsur intrinsik yang terdapat pada sebuah novel. Selaku penulis saya pun mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam novel, ilmu tentang kehidupan, sosial, budaya, dan tentang menulis. Penulisan laporan ini juga dapat dirasakan manfaatnya oleh pembaca, pembaca mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam novel, ilmu tentang kehidupan, sosial, budaya, secara teoritis setelah membaca analisis novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini.

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1        Pengertian Sastra
Karya seni sebagai ungkapan kreatif manusia, keberadannya telah menjadi bagian dari kehidupan. Sebenarnya seseorang dalam menjalani kehidupan, ia mempunyai reaksi emosional yang akan mendorong manusia untuk menyatakan sikap dan mencantumkan nilai-nilai padanya. Kesemuanya itu bila kemudian dicurahkan dengan memperhitungkan estetika maka akan berwujud “karya seni”. Manusia penjelmanya sering disebut “seniman”. Seorang seniman menciptakan karya seni entah disengaja atau tidak pasti berangkat dari ide/gagasan dan sikap yang ingin ia sampaikan kepada orang lain.
Dalam menjelmakan sikapnya, seniman tidak menerjemahkan interpretasinya secara logis, sistematis, dan diuji kebenarannya seperti ilmuwan menjelmakan rumus-rumus atau teori-teori, melainkan dituntut pula perenungan, perhitungan yang dalam sewaktu mengolah media sebagai alat lontaran interpretasinya.
Dilihat dari media atau alat yang digunakan seniman untuk menjelaskan karyanya, dapat dibedakan adanya beberapa karya seni. Misalnya seni lukis yang menggunkaan kanvas, kuas, cat, dan garis sebagai mediaya, seni musik yang menggunakan alat-alat musik tertentu sebagai medianya, seni tari yang menggunakan gerakan tangan, kaki, jari, pinggul, mata, dan seni sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, jadi yang membedakan satu karya seni dengan karya seni lain adalah medianya. (Sugianto Mas, 2012: 5)

Korrie Layun Rampan mengataka bahwa ahasa sebagai media dalam karya sastra tentu saja bukan bahasa biasa seperti yang digunakan manusia sehari-hari. Melainkan bahasa yang khas yang telah diproses sedemikian rupa dan terpilih dan menjadi media yang dapat mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan, tanggapan, fantasi, kehendak, cita-cita, dan perasaan penciptanya. Di dalam dirinya selalu timbul pertanyaan, bagaimana menciptakan bahasa kembali untuk mengungkapkan dunianya. (Sugianto Mas, 2012: 6)

Secara etimologi kata sastra, yang berasal dari bahasa Sansakerta, dibetuk dari akar kata sas dan –tra. Sas mempunyai arti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk’; sedangkan –tra mempunyai arti ‘alat, atau sarana’. Karena itu, kata sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajarkan atau buku petunjuk’. Dengan arti ini dalam bahasa Sansakerta dapat dijumpai istilah Silpasastra yang berarti ‘buku arsitektur’, dan Kamasastra yang berarti ‘buku petunjuk seni bercinta’. Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. (Sugianto Mas, 2012 : 9)

            Berdasarkan istilah tentang sasta secara harfiah, saya menyimpulkan sastra bukan hanya sebuah karya yang berbentuk huruf, tulisan, atau karangan. Sastra merupakan hasil kegiatan kreatif manusia yang bermula dari ide/gagasan, atau sikap manusia yang ingin disampaikan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai medianya, dan bahasa tersebut terlebih dahulu diberi bobot makna yang dipilih sedemikian rupa dengan memperhitungkan nilai estetika, sehingga mampu menyampaikan maksud yang ingin disampaikan seorang seniman.

2.2        Bentuk-Bentuk Sastra
Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk, yaitu puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12  (dalam Sugianto Mas: 2012))

Sutardji Calzoum Bachrie dalam Kredo Puisi Antologi O Amuk Kapak mengatakan Bila kata dibebaskan, kreatifitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif. Dan bahwa dalam puisinya, ia membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelunggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika. Menulis puisi bagi Sutardji Calzoum Bachrie adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Begitu pun anggapan saya tentang puisi. Bagi saya kata dalam sebuah puisi itu  hidup. Kata bisa bernafas, kata bisa bergerak, kata bisa bersifat, kata mempunyai karakter, kata bisa berkembangbiak, kata itu berkelamin, kata bisa diraba, bisa disentuh, bisa dipeluk, bisa dirangkul, bisa diajar mengobrol. Kata bisa mencintai dan bercinta. Kata bisa membunuh dan berbunuh atapun dibunuh. Kata itu hidup, itu kata hidup. Kata dalam puisi-puisi saya lebih menekankan bagaimana kata memandang makna, bukan makna memandang kata. Karena makna dibangun oleh kata. Shahnon Ahmad berpendapat bahwa puisi meliputi tiga unsur yang pokok. Pertama, hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi; kedua bentuknya; dan yang ketiga adalah kesannya. Semuanya itu terungkap dengan media bahasa.
Prosa adalah ragam sastra yang dbedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, dan kemerduan bunyi. Prosa lebih dekat dengan bahasa sehari-hari (Panuti Sudjiman: 60 (dalam Sugianto Mas: 2013)).

Prosa dibagi menjadi dua; prosa imajinatif dan prosa non-imajinatif. Dalam prosa imajinatif unsur yang paling kuat adalah bentuk kreativitas mengolah bahasa yang sifatnya imajiner dan dalam bentuknya pun prosa imajinatif dipengaruhi oleh diksi dan gaya bahasa yang estetik. Prosa non-imajinatif, dalam hal ini bentuk tulisan cenderung atau bahkan tidak memperdulikan bagaimana sebuah bahasa diolah menjadi indah. Pada prosesnya merupakan interaksi yang kaku, karena diikat oleh aturan atau kaidah penulisan tulisan.
Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra, dalam bentuk wujudnya, drama merupakan susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum dipentaskan dalam sebuah seni pertunjukkan.

2.3        Prosa Fiksi
Prosa fiksi menurut Sudjiman adalah cerita yang mempunyai tokoh dan alur, yang dihasilkan oleh daya khayal atau imajinasi dalam ragam prosa (Sugianto Mas, 2013).

Cerita rekaan adalah satu bentuk sastra yang memaparkan terjadinya peristiwa secara rinci mengenai segala hal yang bersangkut paut dengan persitiwa tersebut, seperti siapa tokoh dalam peristiwa tersebut, bagaimana karakter tokoh tersebut, di mana dan kapan terjadi peristiwa itu, bagaimana suasana, bagaimana proses terjadinya peristiwa itu, siapa penutur peristiwa itu, dan bagaimana runtutan peristiwa itu . (Sugianto Mas, 2013 : 42)

2.4        Jenis-Jenis Prosa Fiksi
Dasar penggolongan prosa fiksi dapat dilakukan berdasarkan kurun waktu, gaya ungkap, isinya, dan unsur-unsurnya yang menonjol.
Ø  Berdasarkan kurun waktu, prosa fiksi terdiri dari;
a.    Dongeng, sering disebut juga folkor merupakan cerita rekaan yang pendek dan pada umumnya mengisahkan peristiwa dengan memasukan hal-hal keajaiban dan tidak mungkin terjadi dalam kehidupan nyata.
b.    Hikayat, cerita rekaan lama yang panjang yang mengisahkan peristiwa dengan memasukan unsur keajaiban seperti dongeng. Cerita ini biasanya berpusat pada kehidupan raja-raja, keluarga dan pembantu dekatnya. Unsur keajaiban nampak dari kesaktian para tokohnya dalam menaklukan musuh atau suatu kerajaan lain dan merebut putri-putri cantik.
c.    Cerita Sejarah, cerita tentang raja-raja atau kepala negeri yang biasanya bersandar pada kenyataan sejarah. Namun tidak seluruhnya fakta sejarah.
d.   Novel, prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar belakang secara tersusun. (Panuti Sujiman 1948: 53 ( dalam Sugianto Mas : 2013))
e.    Cerpen, jenis prosa fiksi yang memaparkan cerita secara singkat dan padat.
f.     Novelet, merupakan novel kecil, dari segi kuantitasnya berkisar 60 halaman sampai 100 halaman.

Ø  Berdasarkan gaya ungkap, prosa fiksi terdiri dari:
a.    Narasi, tipe cerita rekaan yang gaya ungkapnya menuturkan.
b.    Deskripsi, tipe cerita rekaan yang gaya ungapnya melukiskan atau menggambarkan.
c.    Semi Dramatik, tipe cerita rekaan yang gaya ungkapnya bercakap-cakap.

Ø  Berdasarkan Isi, prosa fiksi terdiri dari:
a.    Novel Bertendens, novel bertujuan artinya ketika membacanya akan menimbulkan pandangan-pandangan tertentu.
b.    Novel Sejarah, novel yang semua cerita tentang tokoh-tokoh sejarah.
c.    Novel Psikologi, cerita yang terpusat pada kenyataan emosional para tokohnya dan yang menjajaki tingkatan kegiatan mental yang berbeda-beda.
d.   Novel Sosial, novel masyakarat, menceritakan suka duka kehidupan tertentu dalam lapisan sosial tertentu.
e.    Novel Ditektif, cerita yang penuh dengan rahasia, ketegangan bertahap.
f.     Novel Anak, menceritakan suka duka anak.
g.    Novel Adat, menceritakan tentang adat istiadat yang perlu diperhitungkan dalam kehisupan manusia.
h.    Novel Keagamaan, cerita yang berhubungan dengan keagamaan.
i.      Novel Percintaan, cerita yang disusun berdasarkan persoalan cinta.

Ø  Berdasarkan Pola Umum, prosa fiksi terdiri dari:
a.    Novel Populer, merupakan karya sastra yang dikategorikan sebagai sastra hiburan dan komersial.
b.    Novel Serius, keseriusannya dalam mengungkapkan masalah kehidupan manusia yang diungkapkan pengarangnya.

2.5        Novel
Novel sering dikatakan sebagai karangan yang menceritakan suatu peristiwa yang luar biasa sebab dalam kehidupan manusia. Dikatakan peristowa luar biasa sebab hanya memuat cerita berdasarkan konflik hidup yang sangat menonjol, sehingga menceritakan tokoh sejak kecil sampai dewasa dianggap tidak perlu. Konflik batin yang mendalam dari para tokoh menjadi sasaran utama cerita, hal itu menyebabkan plot menjadi erat, tunggal, dan menarik.
Novel berasal dari bahasa Latin ‘novellus’ yang diturunkan dari kata ‘novies’ yang berarti ‘baru’. Dikatakan baru sebab novel mucul belakangan dibandingkan dengan betuk puisi dan drama. Yus Rusyana memunculkan pengertian novel sebagai cerita yang panjang dan mengisahkan peristiwa rasional. Namun pengertian tentang ‘peristiwa rasional’ masih perlu dipertanyakan sebab sekarang meski tidak banyak, ada novel yang mengisahkan peristiwa-peristiwa yang justru tidak rasional. Hal ini karena bentuk-bentuk simbolik mendominasi proses penciptaannya, sehingga cerita secara total merupakan cerita simbol dari kehidupan nyata. Novel merupakan prosa rekaan yang panjang, yang menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peritiwa dan latar secara tersusun. (Panuti Sujiman, 1984: 53 (dalam Sugianto Mas, 2013))

2.6        Unsur-Unsur Novel
Unsur-unsur yang terdapat pada novel adalah; tema, alur, tokoh dan perwatakan, latar atau setting, titik pengisahan atau juru cerita, gaya pengarang, dan amanat.
·         Tema
Tema adalah ide pokok dalam sebuah cerita. Tema dapat ditentukan ketika pembaca telah membaca sebuah cerita. Karena tema dapat diasumsikan setelah semua konflik yang ada dalam cerita itu telah habis dipahami. Tema tidak dapat ditemukan secara eksplisit. Tema dapat ditentukan dari pengambilan kesimpulan atas segala paparan peristiwa dari awal sampai akhir.
·         Alur
Keberadaan alur membuat cerita menjadi masuk akal seab alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi tetapi lebih penting adalah menjelaskan mengapa hal itu terjadi. S Tasrif menyatakan bahwa setiap cerita biasanya diciptakan dari lima bagian peristiwa. Urutan peristiwa-peristiwa sebgai berikut:
a.       Pengarang mulai melukiskan suatu keadaan.
b.      Peristiwa yang bersngkut paut mulai bergerak.
c.       Keadaan mulai memuncak.
d.      Peristiwa-peristiwa mencapai klimaks.
e.       Pengarang memberikan pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Apabila pengarang menyusun cerita berdasarkan urutan peristiwa dari permulaan sampai ahir maka susunan tersebut dapat dikatakan sebagai alur konvensional atau tradisional, namun apabila peristiwa dari tengah atau dari akhir maka dikatakan alur sorot balik atau flash back.
-          Secara kuantitaif, alur diklasifikasikan menjadi dua;
a.       Alur Erat, terdapat hubungan yang kuat dari satu peristiwa ke peristiwa yang lainnya. Sehingga pembaca harus melewati peristiwa-peristiwa tersebut secara berurutan agar pembaca dapat memahami cerita secara utuh.
b.      Alur Longgar, terdapat hubgungan yang longgar antara satu peristiwa satu kepada peristiwa lainnya. Sehingga pembaca dapat melewati beberapa peristiwa dan masih dapat memahami maksud atau keseluruhan cerita.

-          Secara kualitatif, alur dikalsifikasikan menjadi dua;
a.       Alur Tunggal, cerita hanya mempunyai satu susunan kejadian baik dalam cerita yang mempunyai alur konvensional atau pun sorot balik.
b.      Alur Ganda, cerita yang mempunyai lebih dari satu peristiwa. Hal ini disebabkan karena berkembangnya cerita karena dianggap suatu cerita dianggap penting dan menarik.

·         Tokoh dan perwatakan
Menurut Panuti Sujiman, manusia yang ada di dalam cerita rekaan disebut sebagai tokoh, yaitu individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam berbagai peristiwa. Semua tokoh cerita rekaan, artunya tidak akan ada dalam dunia nyata. Bisa jadi akan ada kemiripan sifat-sifat yang sama dengan seseorang dalam kehidupan nyata. Ada beberapa jenis tokoh yang mungkin terdapat dalam sebuah cerita rekaan yaitu tokoh sentral dan tokoh bawahan;
a.       Tokoh Sentral, tokoh yang hampir dalam keseluruhan cerita menjelajahi persoalan. Mereka yang menjadi manusia yang konfliknya menonjol. Tokh ini sering disebut dengan tokoh utama.
b.      Tokoh bawahan, tokoh yang kedudukannya tidak sentral dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat menunjang atau mendukung tokoh utama.


Ada tiga cara pengarang dalam melukiskan watak tokoh;
a.       Cara langsung atau Analitik, pengarang tanpa rasa ragu menggambarkan watak tokohnya kepada pembaca.
b.      Cara tak langsung atau Dramatik; dengan menggambarkan fisik tokoh, dengan menggambarkan tempat atau lingkungannya, dengan menggambarkan perbuatan dan tingkah lakunya, dengan menggambarkan pikiran-pikiran tokoh, dengan menggambarkan melalui dialog tokoh.
c.       Cara langsung dan tak langsung, hal ini dilakukan karena pengarang ingin menjelaskan watak tokhnya sejelas-jelasnya.

·         Latar atau Setting. Segla keterangan mengenai waktu, ruang, suasana, dan lingkungan sosial yang terdapat dalam cerita. Latar ini berfungsi untuk memperkuat tema, alur atau plot, watak tokoh, dan membangun suasana dalam cerita. Latar tempat adalah gambaran di mana seluruh peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar waktu adalah gambaran kapan seluruh peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar suasana adalah gambaran bagaimana suasana seluruh peristiwa dalam cerita itu terjadi. Latar sosial adalah gamabaran lingkungan sosial apa saja yang ada dalam cerita.
·         Titik Pengisahan. Disebut juga sebagai sudut pandang adalah kedudukan pengarang dalam bercerita. Secara garis besar titik pengisahan atau juru cerita terdiri dari titik pengisahan sebagai pengamat dan titik pengisahan sebagai tokoh.
-          Titik pengisahan sebagai pengamat biasanya ber “Ia” kepada tokoh-tokoh yang ada dalam cerita, atau menyebut nama tokoh masing-masing. Titik pengisahan sebagai pengamat ini dibagi menjadi tiga; titik pengisahan maha tahu (menceritakan segala hal yang terdapat dalam cerita) dan titik pengisahan objektif (menceritakan sesuatu yang nampak saja, artinya tidak sampai kepada hal yang abstrak seperti suasana hati tokohnya), dan titik pengisahan sebagai peninjau (memilih salah satu tokoh dan menjelaskan secara detail tentang tindakannya dan perasaanya).

-          Titik pengisahan sebagai tokoh, pengarang menempatkan dirinya sebagai “Aku” dalam rekaan yang dibuatnya. Titik pengisahan ini dibagi menjadi dua; titik  pengisahan sebagai tokoh protagonis dan titik pengisahan tokoh bawahan.

·         Gaya
Gaya merupakan gaya pengarang membawakan sebuah cerita. Ini ada kaitannnya dengan gaya bahasa yang pengarang pakai dalam membawakan ceritanya ketika pengarang menyuguhkan alur ataupun tokoh dan unsur-unsur lain yang termuat dalam ceritanya. Ada dua aliran yang terenal, yaitu; aliran Platonik: menganggap style seagai kualitas suatu ungkapan dan menurutnya ada ungkapan yang memiliki style ada jga yang tidak; aliran Aristoteles: menganggap style sebagai kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan. (Keraf, 2010: 112).

Gaya bahasa diartikan sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperhatikan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). (Keraf, 2010: 113)

·         Amanat dapat kita asumsikan secara sistematis ketika kita telah membaca seluruh peristiwa dalam cerita tersebut. Artinya peristiwa-peristiwa yang ada memuat nilai-nilai yang dapat kita ambil. Dan amanat secara keseluruhan dapat kita simpulkan ketika kita telah memahami cerita yang ditulis oleh pengarang.












BAB III
ANALISIS UNSUR INTRINSIK
NOVEL AZAB DAN SENGSARA KARYA MERARI SIREGAR
3.1  Sekilas Tentang Pengarang
Merari Siregar, lahir 13 juli 1896 di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara. Kehidupan masa kecilnya di Sipirok, membuat sikap, perbuatan, dan jiwanya terpengaruh oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Namun, ketika ia telah menempuh pendidikan, ia menyaksikan kehidupan suku bangsanya tak lagi sesuai dengan tuntutan zaman. Hal itulah yang melatarbelakangi dirinya menulis novel Azab dan Sengsara.
Merari Pernah menimba pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) dan Sekolah Guru Oost en West (Timur dan Barat) di Gunung Sahari, Jakarta. Tahun 1923 Merari duduk di bangku sekolah swasta yang didirikan oleh Vereeninging tot van Oost en West, yang ketika masa itu merupakan organisasi yang aktif dalam mempraktikkan politik etis Belanda.
Selepas lulus dari sekolah, Merari Siregar mula-mula bekerja sebagai guru bantu di Medan, kemudian pindah kerja ke Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Mangunkusumo). Setelah bekerja di rumah sakit, Merari Siregar pindah ke Kalianget, Madura. Ia bekerja di Opium end Zouragie hingga akhir usianya.
Tahun 1908 berdiri Commissie Voor Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat). Badan tersebut merupakan perwujudan dari politik etis yang telah dijalankan oleh pemerintah colonial Belanda. Komisi Bacaan Rakyat bertugas menyelenggarakan dan menyebarkan bacaan-bacaan, seperti terjemahan, saduran, dan karangan asli yang berbentuk hikayat, syair, dan pantun. Ketika badan ini berganti menjadi Balai Pustaka, lahirlah novel Azab dan Sengsara, tepatnya tahun 1920.
Azab dan Sengsara dianggap sebagai tonggak lahirnya sastra Indonesia modern. Selain menggunakan bahasa Melayu Tinggi, novel ini sudah bergeser dari bentuk hikayat k bentuk roman. Namun, sesungguhnya novel ini ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatan Merari Siregar sejak kecil, saat dia hidup di Sipirok.

Selain dikenal sebagai pengarag, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang terkenal adalah Si Jamin dan Si Johan yang merupakan saduran dari Jan Smees karya sastrawan Belanda Justus van Murik yan terbit tahun 1979. Konon cerita Jan Smees sendiri berasal dari cerita Oliver Twist karya Charles Dicknes. Si Jamin dan Si Johan terbit pertama kali tahun 1918, dua tahun sebelum Azab dan Sengsara diterbitkan.
Selain Azab dan Sengsara dan Si Jamin dan Si Johan yang terkenal, Merari Siregar juga menulis novel Binasa Karena Gadis Priangan (Balai Pustaka, 1931), Cerita tentang Busuk dan Wanginya kota Batavia (Balai Pustaka, 1924) dan Cinta dan Hawa Nafsu.
Agaknya, profesi Merari Siregar sebagai guru, mewarnai gaya bercerita pada hampir semua karya-karyanya. Penggunaan bahasa yang lancer dan rapi serta kecenderungan menasihati, mengecam, dan memuji-muji tindakan yangmenurutnya baik, mewarnai hampir semua karyanya.
Merari Siregar tutup usia pada tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura, meninggalkan seorang isrti dan tiga orang anak bernama Florentinus Hasajangu MS, Suzzana Tiurna Siregar, dan Theodorus Mulia Siregar.

3.2        Sinopsis Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar
Mariamin sekarang hidup dalam kemiskinan, Aminu’ddin tak pernah mempermasalahkan kemiskinan keluarga Mariamin, ia tetap menyayangi kekasihnya itu, bahkan ia berniat menikahi Mariamin. Aminu’ddin menemui Mariamin dirumahnya untuk berpamitan, ia akan bekerja di Medan demi mewujudkan cita-citanya untuk menikahi kekasihnya itu. Meskipun Mariamin kecewa dengan keputusan Aminu’ddin, dengan berat hati, ia harus mengikhlaskan kekasihnyanya pergi untuk kebahagiaan mereka kelak, maka setelah Aminu’ddin bekerja di Medan, ia mengutarakan niatnya untuk menikahi Mariamin kepada ibunda Mariamin, ayah dan ibunya juga. Ibunda Mariamin tidak keberatan dengan niat Aminu’ddin, apalagi ia merasa berhutang nyawa kepada kemenakannya itu, saat Mariamin terjatuh ke sungai waktu Mariamin kecil, Aminu’ddin menyelamatkannya. Ibunda Aminu’ddin pun menyetujui niat anaknya menikahi Mariamin. Biar bagaimanapun Mariamin masih keponakannya, dan pernikahan itu dapat membantu kehidupan anak dari kakaknya tersebut.
Namun, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin memiliki pendapat berbeda dengan istrinya, Pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin akan merendahkan derajat serta martabat keluarganya, karena keluarga Mariamin hidup dalam kemelaratan. Menurutnya, putranya lebih pantas menikahi keluarga kaya dan terhormat. Namun ia tidak menyampaikan pendapatnya tersebut kepada istrinya. Agar tidak menykiti  hati istrinya, Baginda Diatas mengajak istrinya menemui seorang dukun untuk mengetahui nasib anaknya jika menikah dengan Mariamin. Pada masa itu, masyarakat masih menggantungkan nasibnya pada seorang dukun, segala sesuatu ditanyakan kepada dukun, dan mereka mempercayainya. Tradisi itulah yang dimanfaatkan Baginda Diatas untuk mengelabui istrinya.
Setelah kedatangan mereka ke dukun itu, Ibunda Aminu’ddin akhirnya mempercayai juga perkataan dukun itu, meskipun ia kesal karena maksudnya tidak sampai, karena ia sebenarnya menyetujui jika Aminu’ddin menikahi Mariamin, kemudia ia menyetujui rencana suaminya untuk menjodohkan Aminu’ddin dengan gadis lain yang sederajat dengan keluarganya. Bisa dikatakan, kepercayaan kepada dukun itu menjadi salah satu sebab penderitaan yang harus dialami Aminu’ddin, terutama Mariamin. Jika mengacu pada adat yang berlaku, ayah Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan hubungan anaknya dengan Mariamin, bahkan harus menikahkan keduanya, agar tali persaudaraan mereka semakin kuat. Namun karena persoalan material, Baginda Diatas tidak menghiraukan adat tersebut, ia malah memilih menikahkan Aminu’ddin dengan gadis kaya bermarga Siregar.
Aminu’ddin dan Mariamin berkawan sejak masih kecil, pertemanan yang dibina sejak kecil itu, menumbuhkan perasaan cinta dalam diri Aminu’ddin dan Mariamin, Mariamin merasa berhutang nyawa setelah ia ditolong oleh Aminu’ddin ketika ia hampir hanyut di sungai. Dari situlah mereka  mulai saling menyayangi dan mencintai, padahal mereka masih berkerabat, karena Ibu Aminu’ddin bersaudara dengan Ayah Mariamin. Kehidupan mereka amat berbeda. Ayah Aminu’ddin, Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang kaya dan terhormat. Masyarakat Sipirok sangat segan dan menghormatinya. Sementara Mariamin, hidup dalam kemelaratan bersama ibunya, karena ayahnya, Sutan Baringin telah meninggal dunia.
Dahulu, sesungguhnya keluarga Mariamin kaya. Namun, semasa hidupnya, Sutan Baringin terkenal boros dan serakah, ia suka berperkara dengan orang lain mengenai harta. Sikapnya yang demkian sebenarnya adalah akibat dari pola asuh di keluarganya. Saat kecil, orang tua Sutan Baringin begitu memanjakannya, semua yang diinginkannya selalu dipenuhi, akibat kesalahan pola asuh itulah, Sutan Baringin menjadi tidak baik budinya, ia keras kepala, tidak menghormati orang lain, selain pemarah, bengis dan angkuh, ia loba, tamak, dengki dan khianat, sikapnya itu sangat mendarah daging didirinya. Setelah Sutan Baringin meninggal, Mariamin beserta ibu dan adiknya harus menanggung azab dan sengsara akibat perbuatan Sutan Baringin.
Tanpa sepengetahuan Aminu’ddin, Baginda Diatas meminang seorang gadis yang berasal dari bangsawan kaya. Melalui surat, Aminu’ddin diberitahu bahwa calon istrinya akan segera dibaw ke Medan, tentu saja Aminu’ddin gembira mendengar berita tersebut, sudah lama ia membayangkan akan menikah dengan Mariamin. Namun ketika Aminu’ddin menjemput di stasiun, ternyata bukan Mariamin yang datang bersama ayahnya, tapi seorang gadis lain bermarga Siregar.
Meski kecewa karena yang dibawa ayahnya itu buka Mariamin, Aminu’ddin tidak dapat menolak keinginan ayahnya. Ia mematuhi keinginan ayahnya bukan karena tidak setia pada Mariamin, jika ia menolak menikahi gadis itu, keluarganya akan mendapat malu. Belum pernah terjadi dalam adat mereka, seorang gadis yang telah dijemput dikembalikan lagi kepada keluarganya. Dengan keterpaksaan , Aminu’ddin menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Setelah menikah, Aminu’ddin meminta kedua orang tuanya membawakan nasi bungkus kepada ibu Mariamin sebagai permohonan maaf. Saat itulah Ayah Aminu’ddin melihat prilaku Mariamin yang serba baik, dan wajah rupawannya yang jarang ditemukan pada gadis-gadis lain. Mereka pun menyesal, namun harus bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Tak lama setelah pernikahan Aminu’ddin, Mariamin menikah dengan Kasibuan, lelaki pilihan ibunya, karena ibu Mariamin tidak ingin anaknya itu terhanyut dalam cerita masa lalunya, lagipula tidak baik jika anak gadis yang sudah cukup berumur untuk menikah tidak lekas menikah, Mariamin tidak dapat menolak permintaan ibunya untuk menikah dengan lelaki yang bekerja sebagai Kerani di Medan itu meskipun ia merasa bahwa pernikahannya ini akan membawa petaka untuknya, dan memang benar tanpa Mariamin ketahui bahwa Kasibuan telah memiliki istri di Medan, dan ia menceraikan istrinya itu untuk menikahi Mariamin, perbuatan Kasibuan itu menjelaskan sifatnya yang tidak baik, sebenarnya ibu Mariamin dan Mariamin sendiri pun belum terlalu mengenal Kasibuan. Pernikahan paksa yang dialami Mariamin dengan Kasibuan pun bersumber pada persoalan materi, ibu Mariamin berharap bahwa pernikahan itu akan mengurangi penderitaan anaknya.
Setelah menikah, Kasibun membawa Mariamin ke Medan, ternyata pernikahan mereka tidak seperti yang diharapkan ibu Mariamin, Kasibuan menderita penyakit kelamin yang dapat menular. Oleh sebab itu, Mariamin selalu menolak ketika suaminya itu mengajaknya berhubungan suami istri. Mariamin sebenarnya tidak ingin membangkang pada suaminya itu, namun ia sebisa mungkin menjaga dirinya agar tidak tertular penyakit yang diderita suaminya itu, ia meminta Kasibuan menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu, barulah ia bisa menurut permintaan suaminya itu.
Setelah mengetahui Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan, Aminu’ddin datang mengunjunginya, dan kebetulan Kasibuan tidak ada dirumahnya. Namun kedatangan Aminu’ddin sampai ke telinga Kasibuan, ia berfikir kalau Mariamin berbuat macam-macam dibelakangnya, karena Mariamin tidak pernah menuruti permintaannya untuk berhubungan suami istri. Mariamin pun berusaha menjelaskan bahwa kedatangan Aminu’ddin tak lan hanya untuk mengunjunginya sebagai orang yang sama-sama tinggal di Sipirok, lagipula mereka bersaudara. Namun Kasibuan tidak mempercayai penjelasan Mariamin itu, kerena ia terlanjur dibakar cemburu, akhirnya ia tak segan untuk berbuat kasar pada Mariamin. Setiap terjadi pertengkaran anatra mereka, Kasibuan selalu menganiaya dan menyiksa Mariamin.
Karena tak kuat menerima siksaan suaminya, Mariamin berusaha keluar dari rumah saat Kasibuan tak ada dirumah, ia pergi melaporkan tindakan suaminya itu ke polisi. Perkara pun diperiksa, Kasibuan pun dipanggil ke kantor polisi untuk pemeriksaan perkara tersebut, selama perkara belum putus, Mariamin pun disuruh tinggal dirumah penghulu, karena tak ada satupun kenalannya di Medan, hubungannya dengan Aminu’ddi pun sudah tak dekat lagi, karena Aminu’ddin sudah menjadi suami orang.
Setelah perkara selesai, Kasibuan hanya harus membayar denda dua puluh lima rupiah, dan perkawinan mereka diputuskan. Setelah bercerai dengan Kasibuan, Mariamin kembali ke Sipirok membawa rasa malu, dan ia tak tahu kemana ibu dan adiknya pergi, ia seorang diri kembali kerumah gubung kemelaratannya. Perasaan malu tersebut membuatnya tertekan dan akhirnya ia meninggalkan dunia membawa semua penderitaannya, ia mengakhiri kesengsaraannya dibumi ini dengan beristirahat selama-lamanya dikuburannya itu.


3.3  Tema
Tema dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah Kesengsaraan (Keluarga Mariamin) karena adat dan kebiasaan di Negeri Sipirok (Tanah Batak). Terlihat dari kutipan:
-          Itulah rumahnya, yaitu rumah bambu yang dipinggir suangai itu. Suatu perubahan yang tak mungkin rupanya, karena seminggu yang lalu mereka itu masih diam di rumha yang besar serta dengan bagusnya. Itu memang benar, Karena baru sutan Baringin pulang dari Padang, segala hartanya yang tinggal sudah terserah kepada yang berhak. Rumah dan barang-barang sudah terjual akan pembayar utang. (Siregar, 1920: 113)
Suatan Baringin dan keluarganya melarat karena perbuatan Sutan Baringin yang berperkara dengan saudaranya sendiri soal harta warisan neneknya, setelah ia kalah dalam perkara, hartanya habis karena sudah diberikan pada saudaranya. Sedangkan ia dan keluarganya hidup melarat karena perbuatannya sendiri.
-          Sutan Baringin, amatlah sengsaranya! Dia seorang bangsawan dan hartawan, sekarang menjadi hina dan dina di mata orang. Semenjak dari kecil sampai besar hidup dalam kesenangan dan kekayaan, sekarang waktu akan menghembuskan nafas yang penghabisan dalam azab dan sengsara. Sungguhlah hidupnya yang penghabisn itu penuh dengan kemelaratan.  (Siregar, 1920: 115)
Sutan Baringin sakit-sakitan setelah ia hidup dalam kemelaratan, karena tak kuat menanggung malu, ia dakit dan akhirnya meninggal, ia meninggalkan istri dan kedua nakanya dalam kemelaratan dan kesengsaraan.
-          Sebenar-bnarnya Aminu’ddin setia juga kepada adindanya itu, akan tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya. Amatlah berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu. Pendek kisah, Mariamin yang malang itu hanyut juga, makin lama makin jauh, sehingga lenyap dai mata, sedng suaranya minta tolong itu sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. Demikianlah kejadian cinta Mariamin yang malang itu. Siapa yang salah? Dalam hal ini nyatalah adat dan kepercayaan kepada takhayul itu yang mengurbankan cinta kedua makhluk Allah itu. (Siregar, 1920: 152)
Kisah cinta Aminu’ddin dan Mariamin yang terjalin dari kecil, kini dipisahkan oleh adat dan kepercayaan orang tua Aminu’ddin yang beranggapan bahwa keluarga kaya harus menikah dengan kaum yang sederajat, karena Mariamin miskin, takutlah ia kalau anaknya akan terkena bencana, ayah Aminu’ddin mencarikan jodoh untuk anaknya, dan memutuskan tali kasih antara Aminu’ddin dan Mariamin.
-          Mukanya yang penuh dahulunya, sekarang sudah kurus dan pucat dan matanya yang hitam jernih itu sudah kurang cahayanya, amat kasihanlah kita melihatnya. Seharusnya tubuhnya yang lemah itu jangan dahulu dibawanya bekerja, tetapi apa boleh buat, orang yang miskin itu harus minum keringatnya dan makan dagingnya. (Siregar, 1920: 158)
Setelah Aminu’ddin menikah dengan gadis pilihan ayahnya, Mariamin terlampau sedih, sehingga ia kurang menjaga tubuhnya, ditambah dengan hidupnya yang miskin, kini kesengsaraannya berlipat.
-          Aminu’ddin melihat air mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan percakapan lagi, takutlah ia kalau hati Mariamin bertambah-tambah sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia hidup Mariamn amat sengsara dan suaminya itu kurang mengasihi dia. (Siregar, 1920: 176)
Mariamin dinikahi seorang Kerani dari Medan, namun pernikahannya itu bukannya memutuskan kemelaratan hidup Mariamin, karena suaminya itu berkelakuan bengis dan kurang mengasihi Mariamin.
-          Hidup Mariamin, pokok cerita telah habis, dan kesengsaraan di dunia ini telah berkesudahan! Lihatlah kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)
Mariamin memberanikan diri melaporkan suaminya ke kantor polisi, dan setelah perkara itu selesai, ia pulang ke Sipirok membawa malu dan kesengsaraan, ibu dan adiknya tak tahu kemana, ia sangan tertekan dan sakit, akhirnya ia meninggal, dengan membawa kesengsaraannya.
3.4  Plot/Alur
3.4.1        Susunan Alur
Susunan alur/plot dalam novel Azab dan Sengsara, karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
2.      Peristiwa 2, Peristiwa yang Bersangkutan Mulai Bergerak
a.       Mariamin hidup dalam kemiskinan setelah ayahnya meninggal,
b.      Aminu’ddin bekerja ke Medan untuk mewujudkan niatnya menikahi Mariamin,
c.       Ibunda Aminu’ddin menyetujui niatan Aminu’ddin untuk menikahi Mariamin,
d.      Ayah Aminu’ddin, Baginda Diatas tidak menyetujui pernikahan mereka,
e.       Baginda Diatas mengajak Istrinya ke dukun untuk menanyakan peruntungan pernikahan Aminu’ddin dan Mariamin,
f.       Dukun mengatakan bahwa pernikahan mereka akan membawa petaka,
g.      Baginda Diatas ingin menjodohkan Aminu’ddin dengan seorang gadis kaya.
Mariamin sekarang hidup dalam kemiskinan, namun Aminu’ddin tak pernah mempermasalahkan kemiskinan keluarga Mariamin, ia tetap menyayangi kekasihnya itu, bahkan ia berniat menikahi Mariamin. Aminu’ddin menemui Mariamin dirumahnya untuk berpamitan, ia akan bekerja di Medan demi mewujudkan cita-citanya untuk menikahi kekasihnya itu. Meskipun Mariamin kecewa dengan keputusan Aminu’ddin, dengan berat hati, ia harus mengikhlaskan kekasihnyanya pergi untuk kebahagiaan mereka kelak, maka setelah Aminu’ddin bekerja di Medan, ia mengutarakan niatnya untuk menikahi Mariamin kepada ibunda Mariamin, ayah dan ibunya juga. Ibunda Mariamin tidak keberatan dengan niat Aminu’ddin, apalagi ia merasa berhutang nyawa kepada kemenakannya itu, saat Mariamin terjatuh ke sungai waktu Mariamin kecil, Aminu’ddin menyelamatkannya. Ibunda Aminu’ddin pun menyetujui niat anaknya menikahi Mariamin. Biar bagaimanapun Mariamin masih keponakannya, dan pernikahan itu dapat membantu kehidupan anak dari kakaknya tersebut.
Namun, Baginda Diatas, ayah Aminu’ddin memiliki pendapat berbeda dengan istrinya, Pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin akan merendahkan derajat serta martabat keluarganya, karena keluarga Mariamin hidup dalam kemelaratan. Menurutnya, putranya lebih pantas menikahi keluarga kaya dan terhormat. Namun ia tidak menyampaikan pendapatnya tersebut kepada istrinya. Agar tidak menykiti  hati istrinya, Baginda Diatas mengajak istrinya menemui seorang dukun untuk mengetahui nasib anaknya jika menikah dengan Mariamin. Pada masa itu, masyarakat masih menggantungkan nasibnya pada seorang dukun, segala sesuatu ditanyakan kepada dukun, dan mereka mempercayainya. Tradisi itulah yang dimanfaatkan Baginda Diatas untuk mengelabui istrinya.
Setelah kedatangan mereka ke dukun itu, Ibunda Aminu’ddin akhirnya mempercayai juga perkataan dukun itu, meskipun ia kesal karena maksudnya tidak sampai, karena ia sebenarnya menyetujui jika Aminu’ddin menikahi Mariamin, kemudia ia menyetujui rencana suaminya untuk menjodohkan Aminu’ddin dengan gadis lain yang sederajat dengan keluarganya. Bisa dikatakan, kepercayaan kepada dukun itu menjadi salah satu sebab penderitaan yang harus dialami Aminu’ddin, terutama Mariamin. Jika mengacu pada adat yang berlaku, ayah Aminu’ddin tidak boleh menggagalkan hubungan anaknya dengan Mariamin, bahkan harus menikahkan keduanya, agar tali persaudaraan mereka semakin kuat. Namun karena persoalan material, Baginda Diatas tidak menghiraukan adat tersebut, ia malah memilih menikahkan Aminu’ddin dengan gadis kaya bermarga Siregar.
1.      Peristiwa 1, Pengarang Mulai Melukiskan Keadaan
a.       Aminu’ddin dan Mariamin berkawan sejak kecil, mereka bersaudara sepupu,
b.      Ayah Aminu’ddin orang kaya, dan disegani orang,
c.       Ayah Mariamin suka berperkara semasa hidupnya,
d.      Setelah ayah Mariamin meninggal, ia dan ibunya hidup dalam kemelaratan.
Aminu’ddin dan Mariamin berkawan sejak masih kecil, pertemanan yang dibina sejak kecil itu, menumbuhkan perasaan cinta dalam diri Aminu’ddin dan Mariamin, Mariamin merasa berhutang nyawa setelah ia ditolong oleh Aminu’ddin ketika ia hampir hanyut di sungai. Dari situlah mereka  mulai saling menyayangi dan mencintai, padahal mereka masih berkerabat, karena Ibu Aminu’ddin bersaudara dengan Ayah Mariamin. Kehidupan mereka amat berbeda. Ayah Aminu’ddin, Baginda Diatas, seorang kepala kampung yang kaya dan terhormat. Masyarakat Sipirok sangat segan dan menghormatinya. Sementara Mariamin, hidup dalam kemelaratan bersama ibunya, karena ayahnya, Sutan Baringin telah meninggal dunia.
Dahulu, sesungguhnya keluarga Mariamin kaya. Namun, semasa hidupnya, Sutan Baringin terkenal boros dan serakah, ia suka berperkara dengan orang lain mengenai harta. Sikapnya yang demkian sebenarnya adalah akibat dari pola asuh di keluarganya. Saat kecil, orang tua Sutan Baringin begitu memanjakannya, semua yang diinginkannya selalu dipenuhi, akibat kesalahan pola asuh itulah, Sutan Baringin menjadi tidak baik budinya, ia keras kepala, tidak menghormati orang lain, selain pemarah, bengis dan angkuh, ia loba, tamak, dengki dan khianat, sikapnya itu sangat mendarah daging didirinya. Setelah Sutan Baringin meninggal, Mariamin beserta ibu dan adiknya harus menanggung azab dan sengsara akibat perbuatan Sutan Baringin.



3.      Peristiwa 3, Cerita Mulai Memuncak
a.       Aminu’ddin dijodohkan dengan gadis kaya,
b.      Aminu’ddin tidak dapat menolak permintaan ayahnya, karena ia patuh pada ayahnya,
c.       Aminu’ddin meminta ayahnya meminta maaf kepada keluarga Mariamin kerena kegagalan pernikahan mereka,
d.      Mariamin dinikahkan oleh ibunya dengan Kasibuan untuk meringankan penderitaan Mariamin.
Tanpa sepengetahuan Aminu’ddin, Baginda Diatas meminang seorang gadis yang berasal dari bangsawan kaya. Melalui surat, Aminu’ddin diberitahu bahwa calon istrinya akan segera dibaw ke Medan, tentu saja Aminu’ddin gembira mendengar berita tersebut, sudah lama ia membayangkan akan menikah dengan Mariamin. Namun ketika Aminu’ddin menjemput di stasiun, ternyata bukan Mariamin yang datang bersama ayahnya, tapi seorang gadis lain bermarga Siregar.
Meski kecewa karena yang dibawa ayahnya itu bukan Mariamin, Aminu’ddin tidak dapat menolak keinginan ayahnya. Ia mematuhi keinginan ayahnya bukan karena tidak setia pada Mariamin, jika ia menolak menikahi gadis itu, keluarganya akan mendapat malu. Belum pernah terjadi dalam adat mereka, seorang gadis yang telah dijemput dikembalikan lagi kepada keluarganya. Dengan keterpaksaan , Aminu’ddin menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Setelah menikah Aminu’ddin meminta kedua orang tuanya membawakan nasi bungkus kepada ibu Mariamin sebagai permohonan maaf. Saat itulah Ayah Aminu’ddin melihat prilaku Mariamin yang serba baik, dan wajah rupawannya yang jarang ditemukan pada gadis-gadis lain. Mereka pun menyesal, namun harus bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur.
Tak lama setelah pernikahan Aminu’ddin, Mariamin menikah dengan Kasibuan, lelaki pilihan ibunya, karena ibu Mariamin tidak ingin anaknya itu terhanyut dalam cerita masa lalunya, lagipula tidak baik jika anak gadis yang sudah cukup berumur untuk menikah tidak lekas menikah, Mariamin tidak dapat menolak permintaan ibunya untuk menikah dengan lelaki yang bekerja sebagai Kerani di Medan itu meskipun ia merasa bahwa pernikahannya ini akan membawa petaka untuknya, dan memang benar tanpa Mariamin ketahui bahwa Kasibuan telah memiliki istri di Medan, dan ia menceraikan istrinya itu untuk menikahi Mariamin, perbuatan Kasibuan itu menjelaskan sifatnya yang tidak baik, sebenarnya ibu Mariamin dan Mariamin sendiri pun belum terlalu mengenal Kasibuan. Pernikahan paksa yang dialami Mariamin dengan Kasibuan pun bersumber pada persoalan materi, ibu Mariamin berharap bahwa pernikahan itu akan mengurangi penderitaan anaknya.
4.      Peristiwa 4, Klimaks
a.       Kasibuan membawa Mariamin ke Medan setelah menikah,
b.      Kasibuan ternyata menderita penyakit kelamin,
c.       Mariamin meminta Kasibuan berobat, karena ia tidak ingin tertular penyakit tersebut.
d.      Aminu’ddin mengetahui Mariamin tinggal di Medan,
e.       Aminu’ddin mengunjungi Mariamin,
f.       Kasibuan mendengar berita Aminu’ddin  mengunjungi Mariamin,
g.      Kasibuan terbakar cemburu dan sering menyiksa Mariamin.
Setelah menikah, Kasibun membawa Mariamin ke Medan, ternyata pernikahan mereka tidak seperti yang diharapkan ibu Mariamin, Kasibuan menderita penyakit kelamin yang dapat menular. Oleh sebab itu, Mariamin selalu menolak ketika suaminya itu mengajaknya berhubungan suami istri. Mariamin sebenarnya tidak ingin membangkang pada suaminya itu, namun ia sebisa mungkin menjaga dirinya agar tidak tertular penyakit yang diderita suaminya itu, ia meminta Kasibuan menyembuhkan penyakitnya terlebih dahulu, barulah ia bisa menurut permintaan suaminya itu.
Setelah mengetahui Mariamin telah menikah dan tinggal di Medan, Aminu’ddin datang mengunjunginya, dan kebetulan Kasibuan tidak ada dirumahnya. Namun kedatangan Aminu’ddin sampai ke telinga Kasibuan, ia berfikir kalau Mariamin berbuat macam-macam dibelakangnya, karena Mariamin tidak pernah menuruti permintaannya untuk berhubungan suami istri. Mariamin pun berusaha menjelaskan bahwa kedatangan Aminu’ddin tak lan hanya untuk mengunjunginya sebagai orang yang sama-sama tinggal di Sipirok, lagipula mereka bersaudara. Namun Kasibuan tidak mempercayai penjelasan Mariamin itu, kerena ia terlanjur dibakar cemburu, akhirnya ia tak segan untuk berbuat kasar pada Mariamin. Setiap terjadi pertengkaran anatra mereka, Kasibuan selalu menganiaya dan menyiksa Mariamin.

5.      Peristiwa 5, Pengarang Memberikan Penyelesaian Masalah
a.       Mariamin melaporkan Kasibuan ke polisi,
b.      Kasibuan didenda dan perkawinan mereka diputuskan,
c.       Mariamin pulang ke Sipirok membawa rasa malu,
d.      Mariamin kembali ke rumah gubuknya yang sudah tak berpenghuni,
e.       Mariamin tertekan dan meninggal.
Karena tak kuat menerima siksaan suaminya, Mariamin berusaha keluar dari rumah saat Kasibuan tak ada dirumah, ia pergi melaporkan tindakan suaminya itu ke polisi. Perkara pun diperiksa, Kasibuan pun dipanggil ke kantor polisi untuk pemeriksaan perkara tersebut, selama perkara belum putus, Mariamin pun disuruh tinggal dirumah penghulu, karena tak ada satupun kenalannya di Medan, hubungannya dengan Aminu’ddi pun sudah tak dekat lagi, karena Aminu’ddin sudah menjadi suami orang.
Setelah perkara selesai, Kasibuan hanya harus membayar denda dua puluh lima rupiah, dan perkawinan mereka diputuskan. Setelah bercerai dengan Kasibuan, Mariamin kembali ke Sipirok membawa rasa malu, dan ia tak tahu kemana ibu dan adiknya pergi, ia seorang diri kembali kerumah gubung kemelaratannya. Perasaan malu tersebut membuatnya tertekan dan akhirnya ia meninggalkan dunia membawa semua penderitaannya, ia mengakhiri kesengsaraannya dibumi ini dengan beristirahat selama-lamanya dikuburannya itu.
Jadi berdasarkan uraian diatas, susunan plot novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dapat dikatakan sebagai plot sorot balik atau flash back, kerena cerita dalam novel ini dimulai dari pertengahan, yaitu saat peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak. Dimulai saat Aminu’ddin berpamitan pada Mariamin kekasihya untuk bekerja ke Medan, karena ia ingin mewujudkan cita-citanya menikahi Mariamin, selanjutnya menceritakan kehidupan kecil mereka dan seterusnya diceritakan kisah cinta mereka hingga akhir hayat Mariamin.



3.4.2        Ketegangan atau suspence
Ketegangan atau suspence yang nampak dalam peristiwa-peristiwa cerita novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
Ø  Ketegangan yang muncul saat pengarang mulai melukiskan keadaan,
·         Beberapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya, supaya berhenti daripada berperkara, tetapi tidak diindahkannya. (Siregar, 1920: 25)
Dari kutipan tersebut, jelaslah bahwa Sutan Baringin orang yang keras kepala dan suka berperkara, kita akan merasakan ketegangan saat membaca runtutan perkara-perkara yang dibuat oleh Sutan Baringin itu, kita akan bertanya-tanya, bagaimana berakhirnya peristiwa perkata itu.
Ketegangan itu pun terjawab ketika akhirnya kehidupan Mariamin berubah dari kesenangan, menjadi kemelaratan dan kesengsaraan setelah ayahnya meninggal.
Ø  Ketegangan yang muncul saat peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak,
·         ... Pada waktu beberapa tahun yang lewat, tatkala suaminya masih hidup dan ketika harta mereka itu masih cukup, pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat itu, bolehlah mereka itu dikatakan masuk bagian orang yang kaya raya dan ternama di negri Sipirok.
... Si ibu itu pun adalah orang yang sabar, tiadalah pernah ia bersungut-sungut karena ia dan anaknya hidup sekarang dalam kemiskinan. (Siregar, 1920: 8)
Dalam kutipan tersebut menggambarkan Mariamin dan ibunya hidup dalam kemiskinan setelah ayahnya meninggal, tentu saat membacanya kita akan penasaran kenapa bisa seseorang yang dahulu hidup kaya dan ternama menjadi melarat dalam waktu yang cepat setelah kematian ayahnya, dan bagaimana kelangsungan hidup mereka.
·          “Anggi Riam! Beratlah rasanya hatiku akan berkata ini. Akan tetapi, apa boleh buat, lambat laun akan kauketahui juga, apalah gunanya kulengah-lengahkan. Saya bermaksud hendak pergi ke Deli mencari pekerjaan. Itulah sebabnya saya datang malam-malam ini kemari,...” (Siregar, 1920: 5)
Dalam kutipan tersebut menggambarkan bahwa Aminu’ddin hendak meninggalkan Mariamin ke Deli, Medan untuk bekerja karna ia ingin menikahi Mariamin, namun perpisahan biasanya merenggangkan sebuah hubungan, maka kita akan penasaran bagaimana akhir percintaan mereka nantinya, karena sekarang mereka akan berpisah dengan batas waktu yang tidak tentu.
Ketegangan tersebut terjawab ketika Aminu’ddin menyampaikan niatnya untuk menikahi Mariamin, meskipun Ibu Aminu’ddin menyetujuinya, tapi ayahnya tak menyetujui niatan Aminu’ddin tersebut. Dan memunculkan ketegangan lagi.
·         ... Setelah seminggu lamanya, pada suatu malam, Sutan Diatas berkata kepada istrinya, “Kalau engkau mengerasi juga, baiklah. Akan tetapi baiklah kita berhati-hati, karena mengambil jodoh anak itu tiada boleh dipermudah-mudahkan. Kamu mengatakan Mariamin juga yang baik menantu kita, kalau demikian baiklah kita pergi mendapatkan Datu Naserdung, akan bertanyakan untung dan rezeki Aminu’ddin, bila ia beristrikan Mariamin...” (Siregar, 1920: 136)
Dalam kutipan tersebut terlihat kalau Sutan Diatas tidak setuju jika Mariamin menikah dengan Aminu’ddin walaupun istrinya setuju, ia mengajak istrinya itu untuk bertanya perihal pernikahan Aminu’ddin ke Datu (dukun). Kita akan penasaran apa yang akan dukun itu katakana perihal pernikahan itu, dan apa nanti dampaknya pada hubungan Mariamin dan aminu’ddin.
Ketegangan itu terjawab ketika ayah Aminu’ddin berencana menikahkan Aminu’ddin dengan gadis kaya, karena menurut Datu/dukun, pernikahan Mariamin dan Aminu’ddin akan membawa petaka., maka ayah Aminu’ddin bersenang hati karena ia akan menjodohkan Aminu’ddin.
·         Ayahnya membawa anak gadis yang bagus, akan tetapi bukanlah Mariamin yang diharap-harapkannya itu.... “Benar perbuatan kami ini tiada sebagai permintaan Anakanda, tetapi janganlah anakku lupakan, keselamatan dan kesenangan anak itulah yang dipikirkan oleh kami orang tuamu. Oleh sebab itu, haruslah anak itu menurut kehendak orang tuanya kalau hendak selamat di dunia, yakni Anakanda terimalah menantu Ayahanda yang kubawa ini” (Siregar, 1920: 152)
Dari kutipan diatas, jelaslah bahwa Ayah Aminu’ddin membawa gadis pilihannya untuk dinikahkan dengan Aminu’ddin, karena ia tak setuju Aminu’ddin menikah dengan Mariamin, lalu kita akan bertanya-tanya, dan tegang memikirkan bagaimana kelanjutan hidup Mariamin setelah ia kehilangan cintanya.
Ketegangan itu terjawab ketika sekian lama setelah pernikahan Aminu’ddin, akhirnya Mariamin dilamar oleh seseoran bernama Kasibuan, Mariamin pun tak dapat menolak, karena ibunya juga mengharapkan ia menikah, namun pernikahan itu pun menyebabkan ketegangan baru.


Ø  Ketegangan yang muncul saat peristiwa mulai memuncak
·         Betul ibu Mariamin tidak memaksa dia, hanya sekedar menyuruh dia. Karena bolehlah nanti di belakang hari mendatangkan malu apabila tidak dipersuamikan. Orang yang tinggal gadis itu menjadi gamit-gamitan dan kata-kataan orang. Itulah yang ditakutkan ibuya, itulah yang menyebabkan si ibu menyuruh anaknya menerima pinangan orang. (Siregar, 1920: 162)

Kesudahannya ia kawin dengan orang muda dari Padangsidempuan, orang muda yang tidak dikenalnya, orang muda yang tidak dicintainya, jodoh yang tidak disukainya. (Siregar, 1920: 162)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Mariamin dinikahkan oleh ibunya dengan seseorang (Kasibuan) untuk meringankan penderitaan Mariamin, karena ia tidak ingin anaknya terus hidup dalam kemelaratan, padahal Mariamin tak mengenalnya, apalagi mencintainya. Kita akan tegang dan ikut merasakan bagaimana perjodohan yang tanpa didasari cinta, dan bagaimana kehidupan setelah perjodohan tersebut.
Ketegangan tersebut terjawab ketika Mariamin mengetahui keburukan Kasibuan, ia menderita penyakit kelamin, dan setelah pernikahan mereka, Kasibuan memperlihatkan tabiat buruknya yang asli, dan menimbulkan ketegangan lain.
Ø  Ketegangan yang muncul saat peristiwa mencapai klimaks
·         “Mustahil aku selamat ditangannya. Inilah rupanya sebabnya aku selama ini berhati syak melihat dia. Tetapi tak mengerti aku, ta, tak kusangka-sangka, ia ada dalam hal yang demikian itu” kata Mariamin dalam hatinya. (Siregar, 1920: 169)

... “seharusnyalah saya menjaga diriku supaya jangan menjangkit penyakitnya itu kepadaku. Kalau aku beroleh dia, sudah tentu badanku binasa.” (Siregar, 1920: 169)
Dalam kutipan tersebut bisa kita lihat betapa takutnya Mariamin dekat denga suamiya, karena ternyata kasibuan menderita penyakit kelamin yang mudah menular, tentu saja kita juga merasakan ketegangan, membayangkan nasib Mariamin jika nanti suaminya itu memintanya melayaninya sebagai suami. Kita ikut merasakan ketegangan Mariamin disana.
·          “Astaga!” mengucap Mariamin dengan muka yang pucat. “Aminu’ddinlah rupanya orang itu,” katanya terburu-buru, serta dadanya berdebar-debar. (Siregar, 1920: 172)

Adapun orang itu memang aminu’ddin, ia sudah mendengar kabar pernikahan Mariamin, itulah sebabnya ia datang ke Medan, dengan maksud bersua dengan Mariamin... (Siregar, 1920: 172)
Kutipan tersebut menjelaskan tentang perasaan Mariamin yang tak karuan karena Aminu’ddin datang mengunjunginya, bisa kita rasakan ketegangan dalam peristiwa tersebut, bagaimana kita merasakan perasaan yang tak karuan saat mantan kekasih kita datang mengunjungi kita dengan tiba-tiba setelah sekian lama, dan dulu perpisahan yang kita alami adalah perpisahan yang menyakitkan.
§  ... lebih-lebih setelah mendengar, bahwa Aminu’ddin datang kerumahnya tatkala ia ada di kantor. Sejak saat itu amatlah ia membenci Mariamin. (Siregar, 1920: 177)
Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Kasibuan, suami Mariamin sangat membenci mariamin setelah kedatangan Aminu’ddin kerumahnya untuk menemui Mariamin tatkala ia tak ada di rumah. Kita akan merasakan ketegangan saat memikirkan Mariamin yang entah bagaimana nasibnya nanti jika suaminya saja sudah membencinya, bagaimana hidupnya jika sudah hilan kepecayaan suaminya itu.
Ketegangan itu terjawab ketika akhirnya Mariamin sering bertengkar dengan suaminya, dan suaminya itu tak segan menyiksanya karena rasa kesal.
§  Pertengkaran yang serupa itu kerap kali kejadian diantara mereka itu, sehingga akhir-akhirnya Kasibuan yang bengis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya... (Siregar, 1920: 178)
Dalam kutipan tersebut dijelaskan bagaimana Kasibuan sering menyiksa Mariamin, kita akan merasakan ketegangan karena peristiwa tersebut. Kita akan menduga-duga, bagaimana hidup Mariamin yang penuh dengan siksaan suaminya sendiri.
Ketegangan tersebut terjawab semuanya ketika pengarang memberikan penyelesaian masalah.
Ø  Ketegangan yang mucul ketika pengarang memberikan penyelesaian masalah
§  Mariamin pun menceritakan sekalian perbuatan suaminya itu ke polisi. (Siregar, 1920: 180)
Kutipan tersebut menjelaskan ketegangan saat Mariamin melaporkan Kasibuan ke polisi, kita akan tegang dan begitu menantikan akhir cerita ini, apakah hal yang akan terjadi kepada Mariamin jika ia sudah melaporkan suaminya yang bengis itu.
Ketegangan itu pun terjawab ketika akhirnya Kasibuan diperiksa polisi, dan akhirnya pernikahan mereka diputuskan, Kasibuan pun didenda karena perbuatannya.
§  ... kesudahannya Mariamin terpaksa pulang ke Sipirok membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok itu. (Siregar, 1920: 180)
Kutipan tersebut menjelaskan kesudahan tentang akibat dari pernikahannya dengan suami yang tidak dicintainya itu, kita akan tegang memikirkan kelanjutan hidup Mariamin di rumah gubuknya yang ternyata sudah tak berpenghuni.
Akhirnya ketegangan itu pun terjawab oleh akhir cerita ini, yaitu Mariamin meninggal karena ia tertekan dengan kehidupannya sendiri, dan rasa malu yang ditanggungnya.
3.4.3        Padahan pembayangan
Padahan pembayangan/Foreshadowing yang nampak dalam peristiwa-peristiwa cerita novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
Ø  Saya beranggapan bahwa Mariamin anak dari keluarga yang melarat ketika awal cerita, namun anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
... Pada waktu beberapa tahun yang lewat, tatkala suaminya masih hidup dan ketika harta mereka itu masih cukup, pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat itu, bolehlah mereka itu dikatakan masuk bagian orang yang kaya raya dan ternama di negri Sipirok. (Siregar, 1920: 8)
... Si ibu itu pun adalah orang yang sabar, tiadalah pernah ia bersungut-sungut karena ia dan anaknya hidup sekarang dalam kemiskinan. (Siregar, 1920: 8)
Ø  Saya beranggapan bahwa Mariamin dan Aminu’ddin saling berkasih-kasihan tanpa ada hubungan saudara, namun anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
... amatlah karibnya persahabatan kedua anak itu. Itu tidak menherankan, karena seorang memandang yang lain seagai dirinya, sebab mereka itu berkarib, yakni emak yang seorang (Ibu Aminu’ddin) bersaudara seibu-sebapak dengan ayah yang lain (Ayah Mariamin). (Siregar, 1920: 30)
Ø  Saya beranggapan bahwa Mariamin dan Aminu’ddin akan menikah, tapi anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
Meskipun Aminu’ddin mula-mula menolak perkataan itu, tetapi pada akhirnya terpaksalah ia menurut bujukan orang itu semua. Bukanlah disebabkan tiada setia kepada Mariamin, akan tetapi apakah dayanya melawan orang sebanyak itu? Lagipula hal itu sudah terlanjur sekali, tak dapat diundurkan lagi. Apatah kata bapaknya nanti, bila anak gadisnya yang dijemput ayahnya itu dikembalikan kepada orang tuanya? ... (Siregar, 1920: 152)

Ø  Saya beranggapan bahwa Aminu’ddin dan Mariamin tidak akan bertemu lagi setelah perpisahan mereka karena pernikahan Aminu’ddin, namun anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
... Mariamin makin pucat, karena suara orang itu telah dikenalnya, sehingga tak tahulah ia apa yang akan diperbuatnya. Sementara itu masuklah Aminu’ddin ke dalam dengan langkah perlahan-lahan. Baru ia naik dan berdiri di pintu, mukanya pucat menentang Mariamin. Persuaan itu amat menyedihkan hati. (Siregar, 1920: 172)
Ø  Saya beranggapan bahwa Mariamin akan meneruskan hidupnya kembali dalam kemelaratan di Sipirok sepulangnya dari Medan setelah perkawinannya dengan Kasibuan putus, namun anggapan saya salah, terbukti dengan kutipan:
Lihatlah kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)

3.4.4        Gambaran susunan Alur/Plot secara kualitatif
Secara kualitatif susunan alur/plot novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah alur erat.
Saya menyimpulkan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini merupakan novel yang mempunyai alur/plot erat jika dilihat dari susunan plotnya secara kualitatif, karena ada hubungan yang erat antara satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Apalagi alurnya tidak runtut, tetapi sorot balik, ketika kita selaku pembaca melewatkan satu saja kisah atau penggalan cerita, maka kita tidak akan mengerti isi novel ini secara keseluruhan. Misalnya, ketika kita melewati sub-judul “Waktu Senja” maka kita tidak akan mengerti tentang isi cerita dengan sub-judul “Tali Persahabatan dan Perkauman” dan “Banjir”. Kemudian ketika kita melewati sub-judul “Laki-istri dan Anak Beranak ” maka kita kita akan mengerti tentang isi cerita dengan sub-judul “Jatuh Melarat”. Lalu ketika kita melewati sub-judul “Makin Jauh” maka kita tidak akan mengerti tentang isi cerita dengan sub-judul “Dalam Rumah Bambu Mariamin” dan “Di Tanah Asing”.

3.4.5        Gambaran susunan alur/Plot secara kuantitatif
Secara kuatitatif susunan alur/plot novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah alur ganda.
Saya menyimpulkan novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini merupakan novel yang memunyai alur/plot ganda, karena mengalami degresi (cerita baru yang masuk). Sebagai berikut:
Ø  Ketika kita membaca sub-judul “Tali Persahabatan dan Perkauman”, di sub-judul ini pengarang mulai melukiskan keadaan, pengarang menceritakan kehidupan masa kecil Aminu’ddin dan Mariamin, namun disana juga diceritakan ketika ayah Aminu’ddin termenung, ia mengingat kembali Sutan Baringin semasa hidupnya, dengan degresi sebagai berikut:
-          Sutan Baringin orang yang kaya
-          Sutan Baringin suka berperkara
-          Sutan Baringin kalah dalam berperkara
-          Sutan Baringin meninggal dunia
-          Mariamin dan Ibunya hidup dalam kemelaratan
Sutan Baringin seoran yang terbilang hartawan lagi bangsawan seantero Sipirok, akan tetapi ia sangat suka berperkara, walaupun Sutan Baringin dilarang istrinya supaya berhenti berperkara, tapi ia tidak mendengarkan nasehat istrinya itu, maka harta Sutan Baringin yang banyak itu habis untuk menutup hutang-hutang perkara, dan akhirnya mereka jatuh miskin. Karena tak tahan malu dan hidup dalam kemelaratan, Sutan Baringin jatuh sakit dan ia meninggal. Ia meninggalkan istri dan kedua anaknya dalam kemelaratan.
Ø  Ketika kita membaca sub-judul “Banjir”, di sub-judul ini pengarang mulai melukiskan keadaan, pengarang menceritakan kehidupan masa kecil Aminu’ddin dan Mariamin, ketika Aminu’ddin dan Mariamin terjebak hujan di sawah, karena hujan lebat membuat Mariamin ketakutan, maka Aminu’ddin menceritakan sebuah kisah, dengan degresi sebagai berikut:
-          Ada seorang perempuan tua yang hidup di hutan,
-          Ia bekerja sebagai pencari kayu bakar,
-          Ia iri pada pencari kayu laki-laki yang lebih beruntung daripada ia,
-          Datang malaikat Jibrail ketempatnya,
-          Perempuan itu meminta menjadi laki-laki,
-          Permintaannya terkabul, dan ia menjadi laki-laki,
-          Ia ingin menikah dan hidup bahagia,
-          Datang malaikat Jibrail ketempatnya,
-          Ia menikah dan hidup bahagia,
-          Ia ingin menjadi saudagar kaya,
-          Datang malaikat Jibrail ketempatnya,
-          Ia menjadi saudagar kaya,
-          Ia ingin menjadi raja,
-          Datang malaikat Jibrail ketempatnya,
-          Ia menjadi raja,
-          Ia ingin menaklukkan raja-raja yang belum takluk kepadanya,
-          Datang malaikat Jibrail untuk memperingatinya, karena ia tak pernah merasa puas,
-          Raja tidak memperdulikan peringatan Malaikat Jibrail,
-          Raja binasa karena tersambar petir.
Ada seorang perempuan tua yang hidup di hutan, Ia bekerja sebagai pencari kayu bakar, saat ia berjalan pulang kerumahnya, dijalan ia melihat pencari kayu laki-laki, ia merasa iri padanya, karena dalam fikirannya pendapatan dari hasil pengumpulan kayu laki-laki itu lebih besar. Tiba-tiba datang malaikat Jibrail ketempatnya, Perempuan itu meminta menjadi laki-laki, akhirnya permintaannya dikabulkan dan ia pun menjadi laki-laki.
Karena ia hidup sendiri, Ia berkeinginan menikah dan hidup bahagia, tiba-tiba datang malaikat Jibrail ketempatnya, pencari kayu itu menyampaikan permintaannya, dan Ia pun menikah dan hidup bahagia, namun ia tidak puas dengan kehidupannya, Ia ingin menjadi saudagar kaya, lalu datang malaikat Jibrail ketempatnya, setelah ia menyampaikan permintaannya, Ia menjadi saudagar kaya. Lagi-lagi Ia tak puas dengan kehidupnnya saat ini, ia ingin menjadi raja, kemudian datang malaikat Jibrail ketempatnya, setelah ia menyampaikan permintaannya, ia menjadi raja yang disegani dan sangat termahsyur, ia sangat senang dengan kehidupannya, namun ia ingin bisa menaklukkan raja-raja yang belum takluk kepadanya, ia bermaksud berperang untuk mendapatkan kejayaannya,  datanglah malaikat Jibrail untuk memperingatinya agar tidak terlalu membuat kekacauan dalam kehidupannya yang sudah damai, karena Raja tak pernah merasa puas dengan apa yang ia dapatkan, Raja tidak memperdulikan peringatan Malaikat Jibrail. Saat Raja tertidur nyenyak pada malam sebelum perang, turunlah hujan lebat dan petir yang besar, karena raja tertidur sangat nyenyak, ia tak sadar akan keadaan cuaca malam itu, ia pun hangus tersambar petir.
Ø  Ketika kita membaca sub-judul “Laki Istri dan Anak beranak”, di sub-judul ini pengarang mulai melukiskan keadaan, pengarang menceritakan Sutan Baringin semasa hidupnya dari kecil sampai ia menikah karena perjodohan, namun pengarang memasukkan cerita lain tentang perjodohan, seperti yang terjadi pada Sutan Baringin tersebut,  dengan degresi sebagai berikut:
-          Seorang janda bekerja sebagai koki di Jakarta,
-          Anak perempuannya bekerja sebagai penjaga anak kecil,
-          Ada seorang muda menyampaikan niat untuk menikahi anak janda tersebut,
-          Janda tersebut menjodohkan anak perempuannya dengan orang muda itu,
-          Anaknya terpaksa menyetujuinya, karena ia anak yang berbakti kepada orang tuanya,
-          Ibu tersebut meninggal,
-          Suami perempuan tersebut boros dan malas,
-          Suami perempuan itu pergi entah kemana setelah harta mereka habis,
-          Perempuan itu ditinggal sendiri di kampong dalam keadaan hamil,
-          Bayi yang ia lahirkan diberkikan kepada orang kaya,
-          Ia pergi dan mengakhiri hidupnya.
Seorang janda bekerja sebagai koki di Jakarta, ia mempunyai anak perempuan yang bekerja sebagai penjaga anak kecil. Ada seorang muda menyampaikan niat untuk menikahi anak janda tersebut, karena janda tersebut ingin melihat anaknya bahagia, akhirnya ia menjodohkan anak perempuannya dengan orang muda itu. Anak perempuan itu terpaksa menyetujuinya meskipun ia tidak mengenal orang yang akan menjadi suaminya itu, karena ia anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Janda tersebut meninggal karena sudah tua, setelah janda itu meninggal, suami anak perempuan tersebut memperlihatkan tabiat aslinya, ternyata ia boros dan pemalas, harta suami istri itu telah habis entah dipakai apa oleh si suami, dan suami perempuan itu pergi entah kemana setelah harta mereka habis. Perempuan itu ditinggal sendiri di kampong dalam keadaan hamil. Setelah ia melahirkan, bayi tersebut diberkikan kepada orang kaya, karena perempuan itu merasa sudah tidak sanggup mengurusi hidup anaknya, padahal ia baru lahir, karena ia hidup dalam kemelaratan akibar perbuatan suaminya. Ia pergi meninggalkan bayi itu dan mengakhiri hidupnya.
3.5  Tokoh dan Perwatakan
3.5.1        Tokoh-tokoh cerita yang mendukung terjadinya cerita novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar yaitu:
1.      Mariamin (Riam) sebagai tokoh utama karena intensitas keterlibatan tokoh Mariamin dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sangat dominan.
2.      Aminu’ddin (Udin) sebagai tokoh utama karena intensitas keterlibatan tokoh Aminu’ddin dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita juga dominan.
3.      Ibu Mariamin (Nuria) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ibu Mariamin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
4.      Ayah Aminuddin (Baginda Diatas) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Aminuddin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
5.      Ibu Aminuddin sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ibu Aminuddin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
6.      Ayah Mariamin (Sutan Baringin) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Mariamin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
7.      Kasibun (Suami Riam) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Kasibun tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
8.      Ayah Sutan Baringin sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Sutan Baringin  tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
9.      Ibu Sutan Baringin sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ibu Sutan Baringin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
10.  Baginda Mulia (Saudara Sutan Baringin) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Aminuddin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
11.  Marah Sait (Sahabat Sutan Baringin) sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Aminuddin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).
12.  Kepala Pengadilan Sipirok sebagai tokoh bawahan karena tokoh Ayah Aminuddin tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin).

3.5.2        Penggambaran watak tokoh-tokoh yang mendukung cerita novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar.
1.      Mariamin/Riam
Mariamin orang yang ramah, ia tidak pernah marah-marah pada orang lain, ia  periang, pengiba dan suka berfikir, juga anak yang penurut dan patuh pada orang tua, selain berparas cantik dan berkulit jernih dan bersih, dari matanya terlihat bahwa ia seorang yang pengasih, ia tabah dalam menjalani hidupnya yang berada dalam kemelaratan dengan apa adanya. Ia seorang yang berhati keras dan teguh dalam mempertahankan keyakinannya. Ia perhatian, pengertian dan rajin bekerja, bijaksana, penyayang, apik (bersih dan bagus pekerjaannya), terlihat dari perbuatannya sehari-hari dalam bekerja dirumahnya dan ia menghargai pertolongan orang lain.
1)      Cara Langsung atau Analitik
a.       Mariamin orang yang ramah. Mariamin tidak pernah marah-marah pada orang lain, ia selalu bersikap ramah. Dijelaskan dalam kutipan:
...jawab Mariamin, perempuan muda itu dengan suara yang lembut, karena itulah kebiasaannya, jarang atau belumlah pernah ia berkata marah-marah atau merengut, selamanya dengan ramah tamah,...(Siregar, 1920: 5).

b.      Mariamin orang yang periang, biasanya ia selalu tersenyum. Dijelaskan dalam kutipan:
Hati siapa takkan iba melihat muka yang manis itu menjadi muram dan bibir yang merah dan tipis itu tiada menunjukkan senyum lagi, sebagaimana biasanya. (Siregar: 13)

c.       Mariamin seorang yang cerdik, pengiba dan suka berfikir, secara jelas diterangkan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Mariamin adalah seorang anak yang cerdik, pengiba dan suka berfikir... (Siregar, 1920: 87)

d.      Mariamin anak yang penurut dan patuh, seperti ketika ibunya memintanya untuk menikah dengan orang yang tidak ia cintai, ia patuh dan menuruti permintaan ibunya itu. Dijelaskan dalam kutipan:
Bagaimanakah ia dapat menolak perkawinan itu, karena ibunya berkehendak demikian. Menerangkan keberatannya serta perasaan kemauannya, tetapi membantah perkataan ibunya tak sampai hatinya, karena belum pernah diperbutanya. (Siregar, 1920: 162)

2)      Cara tak langsung atau Dramatik
·         Dengan menggambarkan fisik tokoh
a.       Mariamin berparas cantik dan berkulit jernih dan bersih, dari matanya terlihat bahwa ia seorang yang pengasih. Dijelaskan dalam kutipan:
Anak itu seorang anak yang elok parasnya....
Lihatlah warna kulitnya yang jernih dan bersih itu, putih kuning sebagai kulit langsat! Matanya yang berkilat-kilat serta dengan terang itu menunjukkan kepada kita, bahwa anak itu mempunyai tabiat pengasih. (Siregar, 1920: 28)

·         Dengan menggambarkan tempat atau lingkungan
a.       Mariamin seorang yang tabah, dia tabah dalam menjalani hidupnya yang berada dalam kemelaratan dengan apa adanya. Dijelaskan dalam kutipan:
Meja dan kursi sudah tentu tak ada dalam pondok kecil itu. Sebuah peti kayu tempat menyimpan pakaiannya, itulah ganti meja tatkala mereka hidup dalam kekayaan. Kursi atau bangku tak usah dikata lagi. Anak gadis yang miskin itu duduk bersila di atas lantai, dan peti itu dihadapannya, di atas itulah ia menulis. (Siregar, 1920: 129)

·         Dengan menggambarkan jalan fikiran
a.       Mariamin berhati keras, ia teguh dalam memertahankan keyakinannya. Seperti ketika ia berkeputusan untuk menolak permintaan suaminya jika mengajaknya melakukan hubungan suami istri, karena suaminya mengidap penyakit kelamin. Dijlaskan dalam kutipan:
“Kalau diturut keinginan suamiku itu, tentu binasalah badanku. Sebab itu baiklah aku menjaga diriku, itulah yang terutama aku lakukan. Mula-mula aku akan berlaku halus kepadanya, kubujuk dan kusuruh dia rajin berobat. Kalau dia sudah sembuh, barulah ia menguasai tubuhku. Sebelum itu belum boleh,” demikianlah keputusan pikiran Mariamin perempuan yang berhati keras itu. (Siregar, 1920: 169)  

·         Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Mariamin dengan tokoh lain yaitu ibunya (Nuria), dan dialog Mariamin dengan Aminu’ddin.
a.       Mariamin orang yang perhatian, terlihat dari dialognya dengan ibunya ketika ibunya sakit. Ia perhatian terhadap ibunya yang sakit tersebut. Terlihat dari kutipan:
“Sudahkah berkurang sesaknya dada ibuku itu?”
“...Mudah-mudahan dua tiga hari lagi dapatlah ibu turun barang sedikit-sedikit.”
(Siregar, 1920: 7)

b.      Mariamin orang yang pengertian, terlihat dari dialognya ketika ibuunya sakit, ia merawat ibunya, dan berniat melayani ibunya, jika ibunya membutuhkannya. Terlihat dari kutipan:
“ Kalau Mak mau apa-apa, panggilah Anakanda, nanti Anakanda lekas datang. Jangan Mak bangkit-bangkit dari tempat tidur, seperti yang dulu-dulu, supaya badan Mak jangan lelah...” (Siregar, 1920: 11)

c.       Mariamin orang yang rajin bekerja, terlihat dari dialognya dengan Aminu’ddin ketika mereka berada di sawah. Aminu’ddin mengajaknya pulang, namun Mariamin tetap bekerja. Terlihat dari kutipan:
“Saya tengah menyudahkan bengkalai yang tak habis semalam, biarlah kuhabisakan dahulu pekerjaan ini, supaya hatiku senang.” (Siregar, 1920: 32)

d.      Mariamin orang yang bijaksana bijaksana, ketika ibunya sakit ia yang menggantikan ibunya bekerja, terlihat dari kutipan:
“...Tetapi selagi anakanda bersama-sama dengan ibu, apalah salahnya, anakanda menolong ibu, supaya ibu dapat berhenti sehari dua hari.” (Siregar, 1920: 124)
 
·         Dengan menggambarkan perbuatan atau tingkah laku tokoh atau reaksi tokoh terhadap peristiwa
a.       Mariamin anak yang penyayang, ketika ia kecil, sepulangnya dari sekolah, ia mencium pipi ibunya, tingkah lakunya itu menunjukkan bahwa ia menyayangi ibunya. Terlihat dari kutipan:
Ia melompat seraya mendekap leher ibunya, dan bibir halus dan tipis itu pun mencium pipi ibunya. (Siregar, 1920: 98)


b.      Mariamin orang yang ramah, terlihat dari tingkah lakunya ketika ia menyambut tamu, yaitu Ayah dan Ibu Aminu’ddin yang berkunjung kerumahnya. Dijelaskan dengan kutipan:
Setelah dilihatnya orang tua Aminu’ddin datang itu maka ia pun berlari keluar dan mempersilahkan mereka masuk. Dengan muka yang ramah ia mempersilahkan jamu itu duduk di atas...tikar, yaitu tikar yang dianyamnya sendiri itu, untuk tempat duduk ayah Aminu’ddin dua laki istri. (Siregar, 1920: 158)

c.       Mariamin orang yang apik (bersih dan bagus pekerjaannya), terlihat dari perbuatannya sehari-hari dalam bekerja dirumahnya. Dijelaskan dengan kutipan:
Semua pekerjaannya telah habis: makanan tengah hari telah tersedia, rumah dan pekarangan pun telah bersih disapunya. (Siregar, 1920: 169)

d.      Marimiamin sangat menghargai pertolongan orang lain, seperti ketika ia ditolong Aminu’ddin waktu ia terhanyut di sungai dan hampir tenggelam, peristiwa itu sangat berpengaruh pada persahabatan mereka, reaksi Mariamin terhadap peristiwa yaitu selalu erasa berhutang budi. Terlihat dari kutipan:
Sejak kecelakaan itu sudah tentu persahabatan mereka itu lebih rapat lagi. Mariamin pun selalu merasa, bahwa ia berhutang nyawa kepada angkangnya, yang telah mengurbankan dirinya sendiri untuk keselamatannya itu. (Siregar, 1920: 54)
























2.      Tokoh Aminu’ddin (Udin)
Aminu’ddin seorang yang rajin dan baik di sekolahnya waktu muda, ia disayangi oleh orang lain, pandai, rendah hati, berkelakuan baik dan bahasanya halus, bijaksana, dan dia anak yang penurut kepada orang tua, suka menolong, setia, berbesar hati mengakui kesalahan, bijaksana, dan ia orang yang tawakal, seperti ketika ia hendak berpisah dengan Mariamin karena ia akan bekerja.
1)      Cara Langsung atau Analitik
a.       Aminu’ddin anak yang rajin dan baik di sekolahnya, ia disayangi oleh orang lain, hal ini deijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
...... ia amat rajin belajar, baik di sekolah atau di rumah, sehingga gurunya amat menyayangi dia. (Siregar, 1920: 20)
Lepas dari sekolah, ia pun membantu bapakya bekerja di sawah atau di kebun. (Siregar, 1920: 22)

b.      Aminu’ddin anak yang pandai, dijelaskan langsung oleh pngarang dalam kutipan:
..... Dari kelas satu sampai kelas tiga, ia masuk anak yang terpandai di kelasnya. (Siregar, 1920: 21)

c.       Aminu’ddin orang yang rendah hati, dijelaskan langsung oleh pengarang dlam kutipan:
Hatinya rendah dan menilik segala cakap dan lakunya, Nampak benar-benar bahwa ia tidak mempunyai hati yang meninggi. (Siregar, 1920: 21)

d.      Aminu’ddin anak yang bijaksana, berkelakuan baik dan bahasanya halus. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Aminu’ddin anak yang bijaksana, adat dan kelakuannya baik dan halus budi bahasanya. (Siregar, 1920: 31)
e.       Aminu’ddin anak yang penurut kepada orang tua, terlihat ketika ia diminta ayahnya menikahi gadis pilihan ayahnya, padahal ia lebih mencintai Mariamin, namun ia juga orang yang setia. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sebenar-benarnya Aminu’ddin setia juga kepada adindanya itu, akan tetapi terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya. Amatlah berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu. (Siregar, 1920: 152)


f.       Aminu’ddin orang yang suka menolong, ketika ia meuruti permintaan ayahnya untuk menikah, ia tak melupakan Mariamin, ia meminta ayahnya untuk membawa kerbau untuk Mariamin dan ibunya, dengan maksud menolong mereka. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Hal itu diminta keras oleh Aminu’ddin kepada ayahnya, bukan supaya menurut adat saja, tetapi maksud menolong adindanya yang miskin itu, lebih berat padanya daripada adat. (Siregar, 1920: 155)

2)      Cara tak langsung atau dramatik
·         Dengan menggambarkan perbuatan atau tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa
a.       Aminu’ddin orang yang suka menolong, ketika ia pergi ke sawah bersama Mariamin, ia membantu Mariamin bekerja di sawah. Dijelaskan dalam kutipan:
Ia pun menyigsingkan lengan bajunya, lalu masuk ke sawah tempat adiknya bekerja itu,.. (Siregar, 1920: 33)
·         Dengan menggambarkan jalan fikiran tokoh
a.       Aminu’ddin orang  yang setia, ketika Mariamin hempir tenggelam di sungai yang banjir, dengan berani ia menolong Mariamin meskipun dengan taruhan nyawanya. Dijelaskan dalam kutipan:
“ Biar aku mati, tak mau aku keluar dari sungai ini, sebelum aku mendapat Mariamin, adik kesayanganku itu. Kalau mati, sama-sama berkuburlah kami disini, “ kata anak laki-laki yang gagah berani itu dalam hatinya. (Siregar, 1920: 53)
b.      Aminu’ddin berbesar hati mengakui kesalahan, seperti ketika ia meikahi orang lain karena permintaan ayahya, ia meminta maaf kepada Mariamin dengan cara mengirim surat. Dijelaskan dengan kutipan:
“Pada waktu inilah harus aku berkirim surat kepada Mariamin, memberitahukan hal ini dan minta ampun kepadanya. Haramlah bagiku akan mengaku orang lain sebagai istriku, sebelum perkataan meminta maaf keluar dari mulutku, akan jawabannya tak mungkin dapat ditunggu. Bila aku menulis surat kepada Mariamin, sudahlah cukup sebagai meminta ampun. Surat yang akan dibaca Mariamin itu, itulah ganti mukaku berhadapan dengan anak dara itu.” (Siregar, 1920: 153)



·         Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Aminu’ddin dengan tokoh lain yaitu Mariamin
a.       Aminu’ddin orang yang bijaksana, ia akan pergi bekerja agar dapat menikahi Mariamin, terlihat dari dialognya dengan Mariamin ketika ia berpamitan. Dijelaskan dengan kutipan:
“...yakni saya harus pergi ke tanah lain akan mencari pekerjaan. Janganlah terkejut, jangan berduka cita engkau Riam, ingatlah saya pergi bukan meninggalkan kau, tetapi mendapatkan kau.” (Siregar, 1920: 5)
b.      Aminu’ddin orang yang tawakal, ketika ia hendak berpisah dengan Mariamin karena ia akan bekerja. Ia mengajak Mariamin berserah diri kepada Tuhan segala tentang hubungan mereka. Dijelaskan dalam kutipan:
“...Selamat tinggal Anggi! Jangan kau bersusah hati, mudah-mudahan baik juga kelak kesudahannya. Marilah kita menyerahkan diri kepada Tuhan yang Maha Esa.” (Siregar, 1920: 7)
-          Dialog tokoh lain yaitu Ibu Aminu’ddin dengan tokoh lain yaitu ayahnya.
a.       Aminu’ddin orang yang suka menolong, seperti dijelaskan dalam dialog ibu dan ayahnya yang membicarakan tentang ia menolong mencangkul di sawah Mariamin. Dijelaskan dalam kutipan:
“ Ia menolong mencangkul sawah mak Mariamin. Hari ini ia libur sekolah karena hari besar karena itu ia pergi tadi pagi ke Sipirok...” (Siregar, 1920: 23)












3.      Tokoh Nuria (Ibu Mariamin)
Nuria orang yang baik, setia, penyabar, pengiba, peramah, dan menghormati orang, hemat, ia tak suka menghamburkan uang jika tidak untuk sesuatu yang diperlukannya. Ia orang yang bertawakal kepada Tuhannya, saat ia hidup dalam kemelaratan, semakin teguh imannya. Ia suka kesederhanaan dan berwajah cantik, dari romannya terlihat bahwa ia orang yang perendah, penyayang, dan perhatian. Selain pandai memanfaatkan waktu, ia seorang istri shaleh, ia tak lupa sembahyang, bijaksana, bertoleransi, mudah terharu, rajin bekerja dan suka kebersihan, namun ia berkecil hati ketika hidup dalam kemelaratan, namun ia suka menolong dan cinta persaudaraan
1)      Cara Langsung atau Analitik
a.       Nuria orang yang baik, setia dan penyabar. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Adapun anak dara yang dijodohkan ibunya itu, adalah seorang perempuan yang mempunyai kelakuan yang baik. Seberang tingkah lakunya sedikit pun tiada dapat dicela. Tertib dan sikapnya pun adalah menunjukkan kebangsawanannya, artinya setia dan penyabar. (Siregar, 1920: 72)
b.      Nuria adalah orang yang pengiba, peramah, dan menghormati orang. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Perempuan  itu pengiba, peramah serta tahu menghormati orang... (Siregar, 1920: 73)

c.        Nuria orang yang penyabar, ketika ia menikah dengan Sutan Baringin, tanpa rasa cinta diantara keduanya. Ia sabar mengambil hati Suaminya dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban seorang istri. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kuipan:
Tahulah ia rupanya kewajiban-kewajiban perempuan pada suaminya. Oleh sebab itu, tiadalah dia jemu dan bosan mengambil hati suaminya itu dengan sepenuh-penuh hati. (Siregar, 1920: 73)

Akan tetapi si ibu itu seorang perempua yang sabar dan keras hatinya. Beban itu dipikulnya dengan pikiran yang tenang. (Siregar, 1920: 122)

d.      Nuria orang yang hemat, ia tak suka menghamburkan uang jika tidak untuk sesuatu yang diperlukannya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kuipan:
Meskipun ia dapat membeli tikar di pasar dengan uang dua rupiah, tiadalah suka ia mengeluarkan uangnya, kalau tidak perlu. (Siregar, 1920: 86)
e.       Nuria orang yang suka bertawakal kepada Tuhannya, saat ia hidup dalam kemelaratan, ia semakin teguh imannya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kuipan:
... meskipun hidupnya di dunia ini makin sengsara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya bertambah teguh. Sekalian penanggungannya yang berat itu diserahkannya kepada Tuhan Yang Pengasih, karena tahulah ia, bahwa di dunia ini suatu pun tak ada yang kekal!. (Siregar, 1920: 122)

2)      Cara tak langsung atau dramatik
§  Dengan menggambarkan fisik tokoh
a.       Nuria orang yang suka kesederhanaan dan berwajah cantik, dari romannya terlihat bahwa ia orang yang perendah. Dijelaskan dalam kuipan:
..... ia orang perendah dan gemar kepada kesederhanaan. Akan tetapi meskipun ia memakai dengan sederhana, adalah rupa dan romannya bertambah cantik... (Siregar, 1920: 72)
§  Dengan menggambarkan tingkah laku dan reaksi tokoh terhadap peristiwa
a.       Nuria orang yang penyayang, terlihat dari tingkah lakunya ketika ia memandang dan memeluk serta mencium Mariamin, anak kesayangannya itu. Terlihat dari kutipan:
.... Ia memandang muka Mariamin dengan mata yang menunjukkan, betapa besar cintanya dan kasih sayangnya kepada anaknya itu. (Siregar, 1920: 7)
...tanya si ibu seraya menarik tangan budak itu, lalu dipeluknya dan diciumnya berulang-ulang. (Siregar, 1920: 7)
b.      Nuria orang yang perhatian, ketika Mariamin menangis karena perpisahannya dengan Aminu’ddin, Nuria menyapu pipi anaknya itu dengan perhatiannya. Dijelaskan dalam kutipan:
...tanya si ibunya lagi sambil menyapu-nyapu pipi anaknya yang basah oleh karena air matanya itu. (Siregar, 1920: 15)
c.       Nuria orang yang setia, saat Sutan Baringin pergi. Nuria selalu menunggu suaminya itu untuk makan bersama. Dijelaskan dalam kutipan:
Kalau ia pergi belum makan, terpaksalah istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa, bukan dipaksa orang, akan tetapi hatinya lah yang memaksa ia berbuat begitu. (Siregar, 1920: 79)
d.      Nuria orang yang pandai memanfaatkan waktu, saat ia dirumah menunggu anak-anaknya pulang sekolah. Ia mengerjakan pekerjaan rumah. Dijelaskan dalam kutipan:
Akan mengurangkan perasaan bosan, ia selalu mengerjakan pekerjaan yang ringan: menganyam, tikar atau menjahit pakaian anaknya yang koyak...(Siregar, 1920: 79)
e.       Nuria orang yang shaleh, ia tak lupa sembahyang. Bahkan ketika hatinya sedang gundah, ia sembahyang untuk menenangkan hatinya. Dijelaskan dalam kutipan:
Sejak itu, tiadalah ia dapat tidur lagi. Hatinya gunah gulana, karena tiada mengerti akan takwil mimpinya itu. Setelah fajar menyingsing, ia pun berdirilah, lain mengambil air sembahyang. Perempuan yang saleh itu pun menyerahkan dirinya kepada Tuhan. (Siregar, 1920: 84)
Ibu Mariamin mengambil air sembahyang. Dengan sepenuh-penuh hati ia menyembah Allah yang akbar itu dan bermohon supaya ia mengampuni dosa dan kesalahannya. (Siregar, 1920: 97)
f.       Nuria orang yang rajin beribadah, ia ingin anaknya juga menjadi anak yang rajin beribadah, ia selalu menanamkan pelajaran tentang agama kepada anaknya. Dijelaskan dalam kutipan:
Sebab memikirkan itulah si ibu bertambah-tambah asyiknya berbuat ibadat, dan ke dalam hati anaknya ia selalu menanam biji pengajaran agama, karena ia tahu, agama itulah yang menjadi tembok batu tempat kita berdiri diwaktu banjir dan air pasang... (Siregar, 1920: 123)
g.      Nuria orang yang bijaksana, setelah suaminya meninggal, ia bekerja banting tulang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang kini hidup dalam kemelaratan. Dan ia tak pernah malu bekerja mencari upahan pada orang lain. Dijelaskan dalam kutipan:
Karena suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang tinggal, terpaksalah si ibu membating tulang akan mencari nafkah, sesuap untuk pagi dan sesuap petang, untuknya anka-beranak. Tiadalah malu ia mencari upahan, pada waktu mengerjakan sawah, misalnya menyiangi, mengirik padi dan lain-lainnya,.. (Siregar, 1920: 123)
h.      Nuria orang yang bertoleransi, ketika ibu Sutan Baringin meninggal, ia sangat bersedih. Terlihat dalam kutipan:
Setelah ibu Sutan Baringin meninggal, amatlah masygul hati istrinya itu,... (Siregar, 1920: 79)
i.        Nuria orang yang mudah terharu, terlihat dari reaksinya terhadap peristiwa. Ia menangis ketika Sutan Baringin akan meninggal. Terlihat dalam kutipan:
Perempuan itu tiada menjawab, hanya air matanya yang menitik ke atas bantal orang sakit. (Siregar, 1920: 114)
§  Dengan menggambarkan lingkungan tokoh
a.       Nuria orang yang rajin bekerja dan suka kebersihan, terlihat dari lingkungannya selalu tampak bersih dan rapi. Dijelaskan dalam kutipan:
Rumah dan pekarangan yang selalu bersih tampaknya dan letaknya sekalian perkakas rumah rapi dan beraturan. (Siregar, 1920: 80)
§  Dengan menggambarkan jalan fikiran tokoh
a.       Nuria berkecil hati ketika ia hidup dalam kemelaratan, ia merasa tak ada yang menghormati mereka lagi, ia selalu resah memikirkan nasib anak-anaknya kelak. Terlihat dalam kutipan:
...kata perempuan itu dalam hatinya. “Akan tetapi sekarang, aduh...siapa yang kuharapkan lagi? Seorangpun tak ada yang melihat saya, demikian rupanya manusia itu di dunia ini. Kalau dalam kekayaan, banyaklah kaum dan sahabat, bila kita jatuh miskin, seorangpun tak ada lagi yang rapat, sedang kaum karib itu menjauhkan dirinya..(Siregar, 1920: 7)
...pikirnya. “Jika saya mati, apalah jadinya biji mataku kedua ini? Benar ada lagi saudara mendiang bapaknya, tetapi tahulah saya, bagaimana kebiasaan manusia di dunia ini. Sedang pada masa hidupku tiadalah mereka yang mengindahkanku, apalagi kalau saya tak ada.” (Siregar, 1920: 11)
“Benarlah rupanya aku ini orang yang malang, kalau suamiku ini meninggal, apatah jadinya nasi kami anak-beranak?” pikir perempuan itu dalam hatinya. (Siregar, 1920: 114)
b.      Nuria istri yang setia, tergambar dalam fikirannya ketika memikirkan istri yang tak setia  dan menceraikan hubungan dengan suaminya. Secara tidak langsungmenunjukkan bahwa Nuria adalah istri yang setia. Ia juga setia menunggu suaminya untuk makan bersama.Dijelaskan dalam kutipan:
...karena orang itu berkat adalam hatinya: “Perempuan itu tiada baik, ia tak setia kepada suaminya. Sudah tentu orang tiada mau mengambil dia akan istri. Sepanjang adat pun amatlah beratnya hukuman orang yang menceraikan kawan sehidupnya itu.” (Siregar, 1920: 76)
...“Seharusnyalah kami bersama-sama makan, karena kuranglah baiknya, kalau istri itu lebih dahulu makan daripada suaminya. “ Demikianlah pikiran ibu yang setia itu. (Siregar, 1920: 79)
c.       Nuria orang yang suka menolong, ia lebih suka menolong orang miskin daripada menghamburkan uangnya, terlihat dari jalan fikirannya dalam kutipan:
Daripada uang dikeluarkan dengan percuma, lebih baik diberikan kepada orang yang papa. Demikianlah pikiran mak Mariamin. (Siregar, 1920: 86)
§  Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Nuria dengan tokoh lain yaitu Mariamin
a.       Nuria seorang ibu yang perhatian, ia selalu menjaga anaknya agar tidak sakit, ia juga perhatian ketika melihat anaknya bersedih, juga ketika suaminya sedang sakit, ia begitu memperhatikan keluarganya. Terlihat dari dialognya dengan anaknya. Dijelaskan dalam kutipan:
“Riam, dimanakah adikmu? Suruhlah dia kemari, janganlah dibiarkan ia tinggal diluar, hari sudah malam, nanti ia kemasukan angin.” (Siregar, 1920: 7)
“Apakah yang anakku tangiskan, sedang jauh malam begini? Pikirku Riam sudah tidur. ” (Siregar, 1920: 15)
“Diri kehausan, baiklah diri meminum obat ini karena dia itu pun dingin juga. Kalau Kakanda meminum air banyak-banyak, tentu tidak baik, karena badan Kakanda masih hangat,” sahut perempuan itu dengan suara yang lemah lembut. (Siregar, 1920: 113)

b.      Nuria orang yang bijaksana, ia memberi semangat pada Mariamin ketika Mariamin bersedih. Terlihat dari dialogya dengan Mariamin. Dijelaskan dalam kutipan:
“Kalau anakku takkan menyusahkan Bunda yang sakit-sakit ini, diamlah kau, dan senangkanla pikiranmu. Engkau harus sabar dan berserah diri kepada Tuhan, “ kata si ibu sesudah ia mendengar cerita anaknya. (Siregar, 1920: 16)
c.       Nuria orang yang cinta persaudaraan, terlihat dari dialognya dengan suaminya. Ketika suaminya berniat tidak baik dengan saudaranya Baginda Mulia, ia menasihati suaminya agar tetap menjaga tali persaudaraan. Dijelaskan dalam kutipan:
“Adakah patut kita berbuat seperti itu kepada adik kita? Kita hanya sebatang kara, dia pun demikian. Betapakah bagusnya kalau kita hidup dengan dia berkasih-kasihan sebagai orang yang bersaudara kandung, apalagi ia belum jauh...” (Siregar, 1920: 95)

4.      Sutan Baringin/Tohir (Ayah Mariamin)
Sutan Baringin orang yang suka berperkara, sehingga hartanya yang banyak itu habis karena kesukaannya tersebut, ia keras kepala, dan ia anak yang manja dan nakal waktu kecilnya, tidak menghormati orang lain dan ia tidak menjadi orang yang berkelakuan baik, karena kecilnya sagat dimanja oleh ibunya. Ia pemarah, bengis, angkuh dan tidak hormat kepada orang lain, pemalas dan pemboros, selain itu ia tamak, dengki dan khizit, tabiat itu sudah menyatu dalam darahnya, mudah terpengaruh, loba dan khianat, dan ia orang yang tak acuh terhadap keluarga, licik, kasar, berfikiran negative, pemarah. Namun ternyata ia cepat putus asa dan ketika ia akan meninggal ia mau mengakui kesalahan.
1)      Cara Langsung atau Analitik
a.       Sutan Baringin orang yang suka berperkara, sehingga hartanya yang banyak itu habis karena kesukaannya tersebut. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sutan Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia sangat suka berperkara, maka harta yang banyak itu habis,... (Siregar, 1920: 24)
b.      Sutan Baringin orang yang keras kepala, ia tak pernah mendengarkan pendapat istrinya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Beberapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya, supaya berhenti daripada  berperkara, tetapi tiada juga ia mengindahkannya. (Siregar, 1920: 15)
c.       Sutan Baringin anak yang manja dan nakal waktu kecilnya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sebagai acap kali kejadian akan tabiat anak tunggal itu, adalah amat manja dan nakal pada waktu ia masih anak-anak,..(Siregar, 1920: 55)
d.      Sutan Baringin orang yang tidak menghormati orang lain, dan ia tidak menjadi orang yang berkelakuan baik, karena kecilnya sagat dimanja oleh ibunya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Setelah ia besar, benarlah perkataan bapaknya. Ia tiada menjadi orang yang berkelakuan baik dan patut. Hormatnya kepada orang tuanya pun kuranglah daripada yang biasa. (Siregar, 1920: 59)

e.       Sutan Baringin orang yang pemarah, bengis dan angkuh dan tidak hormat kepada orang lain. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
...suaminya suka marah-marah dan perkataannya pun tiada berapa menyenangkan menyenangkan hati orang yang mendengarkan...
...Sutan Baringin adalah sebaliknya: bengis, angkuh, dan hatinya amat tinggi, tiada tahu ia akan hormat kepada orang lain. (Siregar, 1920: 73)

f.       Sutan Baringin orang yang pemalas dan pemboros. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sudah besar, tiadalah berubah kelakuannya itu, ia tinggi hati, pemarah, pemalas serta pemboros. Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya, jadi bukan yang dicarinya dengan keringatnya. (Siregar, 1920: 78)
g.      Sutan Baringin orang yang tamak dan dengki dan khizit, tabiat itu sudah menyatu dalam darahnya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Hati cemburu, loba, tamak, dengki, dan khizit, sekaliannya itu sudah berurat berakar dalam darahnya, itulah yang akan merusakkan diri Sutan Baringin. (Siregar, 1920: 90)
h.      Sutan Baringin orang yang mudah terpengaruh, saat ia dipanas-panasi omongan pokrol bambu, ia begitu cepat terbujuk untuk berperkara, dan ia tak mengindahkan perkataan siapapu. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Demikian bodohnya itu, perkataan yang tiada beralasan, yang tersembur begitu saja dari mulut seorang pokrol bambu, dipercayainya semua. (Siregar, 1920: 99)
Sutan Baringin tinggal bersitegang urat leher saja, perkataan siapa pun tiada diindahkannya, lain daripada asutan-asutan pokrol bambu yang cerdik itu. (Siregar, 1920: 102)
i.        Sutan Baringin orang yang loba, tamak, dengki dan khianat, tabiat tersebut telah memmmeeenuhi pikirannya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sutan Baringin orang yang telah rusak binas abudinya dari kecilnya, tiada mempunyai hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba dan tamak, dengki dan khianat, itu sajalah yang memenuhi fikirannya. (Siregar, 1920: 102)  

 
2)      Cara Tak Langsung atau Dramatik
§  Dengan menggambarkan tingkah laku dan jalan fikiran tokoh
a.       Sutan Baringin orang yang tak acuh terhadap keluarga, Terlihat dari tingkah lakunya yang kerap kali meninggalkan rumah malam hari. Dijelaskan dalam kutipan:
Pada permulaan Sutan Baringin bertambah kerap kali meninggalkan rumah malam hari, karena ia pergi ke kedai nasi atau ke rumah kopi. Maka di sana ia bercakap-cakap dengan orang banyak, sudah tentu orang itu masuk golongan orang yang kurang baik. (Siregar, 1920: 79)
b.      Sutan Baringin orang yang licik. Terlihat dari jalan fikirannya yang licik ketika adiknya Baginda Diatas akan pulang ke Sipirok, ia punya maksud yang tidak baik, karena takut hartanya akan direbut. Dijelaskan dalam kutipan:
“...jadi pada waktu memangkur sawah ini, sudah tentu ia meminta sawah bagiannya. Kerbau yang di Padang Lawas itu sudah tentu akan diselesaikan pula. Utangku, yaitu bagiannya yang kuhabiskan haruslah pula kubayar, karena tiada dapat disembunyikan. Tapi siapa tahu aku harus mencari akal.” Demikianlah Sutan Baringin berfikir-fikir. (Siregar, 1920: 90)

·         Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Sutan Baringin dengan tokoh lain yaitu istrinya Nuria, dan dialog tokoh Sutan Baringin dengan tokoh lain yaitu Baginda Diatas.
a.       Sutan Baringin orang yang kasar, terlihat dari perkataannya ketika berdialog dengan istrinya saat membicarakan Baginda Diatas, sedang saat ia berdialog dengan Baginda diatas juga ia berbicara dengan nada yang kasar. Dijelaskan dengan kutipan:
“Diam kau,perempuan tiada patut mencampuri urusan laki-laki, dapur sajalah bagianmu!” (Siregar, 1920: 26)
“Diam, tak kukenal kau, engkau datang ke sini sebagai pencuri tengah malam, ayoh, nyah!” kata Sutan Baringin dengan suara kasar. (Siregar, 1920: 104)

b.      Sutan Baringin orang yang berfikiran negative, ketika ia dinasihati istrinya mengenai kebaikan saudaranhya Baginda Mulia, Sutan Baringin tetap pada pendiriannya, ia berprasangka buruk bahwa Baginda Mulia hanya ingin merebut kekayaannya saja. Dijelaskan dengan kutipan:
“Si Tongam itu tiada dapat dipercayai. Tidakkah kau tahu orang yang biasa di negeri ramai itu amat pintarnya, tetapi pintar dalam kejahatan...” (Siregar, 1920: 94)
“Aku sudah mengerti tajamnya akalmu. Oran sedunia ini kaukumpulkan, kemudian engkau sendiri datang kemari, akan tetapi aku takkan percaya akan orang yang bermulut manis.” (Siregar, 1920: 103)
c.       Sutan Baringin orang yang pemarah, ia selalu marah-marah kepada istrinya jika diberi nasehat oleh istrinya, dan ia juga keras kepala. Hal tersebut nampak pada kutipan:
Dengan amarah ia berkata, “Betullah perempuan tiada berotak, gampang ditipu engkau ini. Lebih baik kau diam, aku lebih tahu apa yang akan kuperbuat.” (Siregar, 1920: 96)
d.      Sutan Baringin orang yang cepat putus asa, ketika ia hidup melarat karena kalah berperkara dengan saudaranya, ia sakit karena terlampau malu. Dan ia seperti putus asa, tak ingin hidup lagi, terlihat dari dialognya dengan istrinya. Dijelaskan dalam kutipan:
“Tak usah Adinda lagi membagi Kakanda obat, Kakanda sudah jemu di dunia ini. Lagi pula penyakitku tak akan baik lagi. Baiklah Adinda menyenangkan hatiku,” kata orang sakit itu perlahan-lahan. (Siregar, 1920: 114)
e.       Sutan Baringin orang yang mau mengakui kesalahan, ketika ia jatuh melarat dan sakit, ia tersadar akan kesalahannya yang menyebabkan keluarganya melarat. Waktu ia akan meninggal, ia meminta ampun atas kesalahannya pada istrinya Nuria. Dijelaskan dalam kutipan:
“Adinda jangan berkata demikian. Sekarang Kakanda mengucap syukur kepadamu. Tiadalah seharusnya bagiku menerima kasih dan sayang daripadamu, karena selama ini tiadalah Kakanda mencintai Adinda sebagaimana yang patut. Sungguh hatimu amat mulia, tiadalah berpadanan dengan kalakuaku yang hina ini. Oleh sebab itu haraplah Kakanda, Adinda mengampuni kesalahanku itu.” (Siregar, 1920: 117)





5.      Baginda Diatas (Ayah Aminu’ddin)
Baginda Diatas orang yang berbudi baik dan bijaksana, sehingga ia disegani, namun ia orang yang pemilih-milih, apalagi kalau memilihkan menantu untuknya.
1)      Cara langsung atau analitik
a.       Baginda Diatas orang yang berbudi baik, dia berpangkat dan disegani orang karena budi baiknya itu. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
....pangkat kepala kampung itu, ditambahi budi yang baik, itulah sebabnya orang itu terkenal di Luhak Sipirok dan anak buahnya, yakni penduduk Dusun A itu pun menyegani dia. (Siregar, 1920: 18)
2)      Cara tak langsung atau dramatic
§  Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Baginda Diatas dengan tokoh lain, yaitu Istrinya.
a.       Baginda Diatas orang yang bijaksana, ketika ia tidak menyetujui permintaan Aminu’ddin untuk menikahi Mariamin, ia tak langsung menyampaikan pendapatnya itu pada istrinya, karena ia takut menyakiti hati istrinya, ia mencari cara untuk memilih kuputusan yang tepat. Dijelaskan dalam kutipan:
“Kalau engkau mengerasi juga, baiklah. Akan tetapi baiklah kita berhati-hati, karena mengambil jodoh anak itu tiada boleh dipermudah-mudahkan,..
Kalau pertemuan mereka itu tiada baik menurut faal, baiklah kita carikan yang lain.” (Siregar, 1920: 136)
a.       Baginda Diatas orang yang pemilih-milih, ketika ia mencarikan calon istri untuk anaknya Aminu’ddin, ia hanya memilih yang cantik, dan berbangsa (keluarganya)
“Cuma seorang sajalah yang kusetujui, rupanya pantas, bangsanya cukup, akan tetapi kelakuannya belum kuketahui.” (Siregar, 1920: 138)





6.      Karakter Ibu Aminu’ddin
Ibu Aminu’ddin orang yang berbudi baik, dan bijaksana.
1)      Cara langsung atau analitik
a.       Ibu Aminu’ddin orang yang berbudi baik, ia selalu menutut pada suaminya. Dijelaskan langsung oleh pengarang dlam kutipan:
...karena perempuan itu amat baik budinya, dan barang tingkah lakunya pun adalah setuju dengan si suami. Romannya yang sederhana dan lemah lembut itu, cukuplah sudah kekuatannya akan mengikat hati suaminya,...(Siregar, 1920: 19)
2)      Cara tidak langsung atau dramatik
§  Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Ibu Aminu’ddin dengan tokoh lain yaitu suaminya
a.       Ibu Aminu’ddin orang yang bijaksana, saat suaminya menyuruh Aminu’ddin bekerja, padahal masih anak-anak, ia menegur suaminya agar tidak terlalu keras pada anak mereka. Dijelaskan dalam kutipan:
“Janganlah Kakanda terlalu keras pada anak kita, itu! Umurnya belum berapa, dan tulangnya belum kuat...bukan Adinda melarang dia bekerja, akan tetapi jangan terlalu keras, selagi ia kecil, jangan ia dipaksa, dia dibawa ke sawah hanya sekedar membiasakan saja, supaya tahu ia berusaha di belakang hari.” (Siregar, 1920: 22)










7.      Ayah Sutan Baringin
Ayah Sutan Baringin orang yang penyabar, orang yang keras, jika ia mendidik anak tak segan-segan dengan pukulan jika anak tersebut salah, namun ia orang yang bijaksana.
1)      Cara tidak langsung atau dramatik
§  Jalan Fikiran
a.       Ayah Sutan Baringin orang yang penyabar, saat dia bertengkar dengan istrinya, ia hampir memarahi istrinya trsebut, namun ia menahan dirinya. Dijelaskan dalam kutipan:
“Diam! Lebih baik engkau menutup mulutmu, perempuan ce...,astaga, hampir aku berdosa, lebih baik aku pergi,” kata suaminya dalam hatinya. (Siregar, 1920: 59)

§  Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh ayah Sutan Baringin dengan tokoh lain yaitu istrinya
a.       Ayah Sutan Baringin orang yang keras, ia mendidik anak tak segan-segan dengan pukulan jika anak tersebut salah. Dijelaskan dalam kutipan:
“ Maksudku begini: Kalau si Tohir salah harus dimarahi, kalau perlu, jangan segan memakai pukul.” (Siregar, 1920: 57)

b.      Ayah Sutan Baringin orang yang bijaksana, meski ia berlaku keras dalam mendidik anaknya, itu semaa-mata agar anaknya mempunyai rasa tanggung jawab. Dijelaskan dalam kutipan:
“Ia masih kecil, saya tahu juga,” sahut si bapak. “Akan tetapi kalau tiada ia beroleh teguran akan kesalahannya yang sekarang, nanti lama-lama, bila ia sudah besar, tak tahu lagi ia perbuatannya yang salah, karena pada waktu kecilnya ia berbuat demikian, dan tiada dimarahi orang tuanya....” (Siregar, 1920: 57)






8.      Ibu Sutan Baringin
Ibu Sutan Baringin orang yang penyayang dan bijaksana.
1)      Cara tidak langsung atau dramatik
§  Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Ibu Sutan Baringin dengan tokoh lain yaitu suaminya
a.       Ibu Sutan Baringin orang yang penyayang, ia sangan menyayangi Sutan Baringin ketika masih anak-anak, tapi ia memanjakan anaknya itu. Dijelaskan dari kutipan:
“Perkataan apakah itu? Anak hanya satu, kau samakan lagi dengan anak yang telah besar. Bukankah ia masih kecil? Kalau sudah besar tentu ia tahu, mana yang salah, dan ia pun sudah tentu takkan mau lagi berbuat yang salah itu.” (Siregar, 1920: 57)
§  Dengan menggambarkan Tindakan
a.       Ibu Sutan Baringin orang yang bijaksana, ketika Sutan Baringin beranjak dewasa, ia mencarikan jodoh untuk anaknya itu, agar sifat Sutan Baringin berubah menjadi baik. Dijelaskan dalam kutipan:
Itulah sebabnya, maka ibunya lekas mengambil anak dara untuk jadi istri anaknya itu. Lagi pula kalau anaknya itu sudah kawin, tentu hatinya lekas tua dan perangainya berubah menjadi baik. (Siregar, 1920: 57)









9.      Baginda Mulia/Tongam (Saudara Sutan Baringin)
Baginda Mulia orang yang baik hati, tenang dan penyabar, cinta persaudaraan dan senang berdamai. Ia pekerja keras, saat ayaahnya meninggal dunia, ketika ia sudah besar, ia merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan, namun ia cinta tanah air/tempat kelahirannya jadi ia tak melupakan tanah klahirannya.
1)      Cara Langsung atau Analitik
a.       Baginda Mulia orang yang pekerja keras, saat ayaahnya meninggal dunia, ketika ia sudah besar, ia merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan, ia bekerja keras hingga akhirnya menjadi guru di sebuah sekolah desa.. Dijelaskan dalam kutipan:
Setelah ia berusia lima belas tahun, pergilah ia merantau ke Deli. Ia lebih beruntung daripada bapaknya. Berkat usahanya, dapatlah ia bekerja menjadi guru pada sebuh sekolah desa. (Siregar, 1920: 92)
b.      Baginda Mulia orang yang cinta tanah air/tempat kelahiran, ketika ia sudah lama merantau meninggalkan Sipirok tempat kelahirannya, ia ingin kembali dan meneruskan kehidupannya di Sipirok. Dijelaskan dalam kutipan:
...begitu jugalah halnya dengan Baginda Mulia. Jemulah rasanya ia di rantau orang, rindu ke negeri sendiri makin keras, sehingga ia minta dipindahkan ke negerinya. Syukurlah, maksudnya itu dikabulkan. (Siregar, 1920: 92)
c.       Baginda Mulia orang yang tenang dan penyabar. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Karena Baginda Mulia seorang yang tenang dan penyabar, tak sukalah ia menurut nafsu marah dan asutan orang luaran. (Siregar, 1920: 102) 
2)      Cara tidak langsung atau dramatik
§  Dengan menggambarkan tindakan tokoh
a.       Baginda Mulia orang yang cinta persaudaraan, ia berkirim surat pada Sutan Baringin untuk memberitahukan kepulangannya ke Sipirok, karena begitu besar rasa persaudaraan di hati Baginda Mulia. Dijelaskan dalam kutipan:
Setelah ia menerima surat pindahan itu, ia pun berkirim surat kepada Sutan Baringin akan menceritakan kegirangan hatinya itu. Hati persaudaraan adalah lebih rapat padanya daripada Sutan Baringin... (Siregar, 1920: 92)
Waktu kesusahan dan kedukaan mereka itu selalu berkirim-kirim surat. Baginda Mulia berbuat demikian karena cinta akan saudara,.. (Siregar, 1920: 93)

§  Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog antara tokoh Baginda Mulia dengan orang lain yaitu Sutan Baringin
a.       Baginda Mulia orang yang senang berdamai, ketika Sutan Baringin ingin berperkara dengannya tentang masalah harta warisan nenek mereka. Baginda Mulia lebih memilih untuk mengajak Sutan Baringin berdamai. Dijelaskan dalam dialognya dengan Sutan Baringin. Dibuktikan dengan kutipan:
“...Apalah gunanya kita berselisih karena harta peninggalan nenek kita. Bukankah kebaikan antara orang bersaudara itu lebih berharga daripada emas dan perak? Itu pun haraplah Adinda ini akan kemurahan Kakanda, eloklah kita berdamai, supaya semangat mendiang nenek kita jangan gusar atas perbuatan kita itu.” (Siregar, 1920: 103)
b.      Baginda Mulia orang yang pasrah, ia sedikit putus asa saat permintaan damainya ditolak oleh Sutan Baringin. Dijelaskan dalam kutipan:
“Sampai hatikah Kakanda menolak permintaan Adinda itu? Lebih sukakah Kakanda akan orang daripada kaum sedarah Kakanda?” sahut Baginda Mulia yang putus asa itu. (Siregar, 1920: 103) 
-          Dialog antara tokoh Sutan baringin dengan orang lain yaitu Nuria istrinya, yang menggambarkan watak tokoh Baginda Mulia.
c.       Baginda Mulia orang yang baik hati, ia selalu mengirimkan barang untuk saudaranya Sutan Baringin sebagai tanda persaudaraan. Terlihat dari dialog berikut ini, Dijelaskan dalam kutipan:
“...Rupanya si Tongam tiadalah melupakan kita. Setiap tahun kita selalu menerima kirimannya...” (Siregar, 1920: 94)




10.  Marah Sait (Sahabat Sutan Baringin)
Marah Sait orang yang pandai berkata-kata, karena ia seorang pokrol bambu, sudah tentu ia pandai berkata-kata untuk urusan berperkara, namun ia pandai membodohi orang, ia cerdik, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya memang digunakannya untuk mencari keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuannya jika hendak berperkara, namun ia tidak memperdulikan orang lain, ia hanya mengambil keuntungan dari orang yang meminta bantuannya, ia mata duitan, picik.
1)      Dengan cara langsung atau analitik
a.       Marah Sait orang yang pandai berkata-kata, karena ia seorang pokrol bambu, sudah tentu ia pandai berkata-kata untuk urusan berperkara. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Kemudian ia pun turunlah, hendak pergi mendapatkan sahabatnya Marah Sait, yang telah kenamaan karena padai berkata-kata, apalagi bersoal-jawab, karena ia seorang pokrol bambu. (Siregar, 1920: 96)
b.      Marah Sait orang yang pandai membodohi orang, karena pandainya berkata-kata, ia dapat dengan mudah membodohi orang. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Tetapi sebab pandainya berkata-kata serta dengan petah lidahnya, dapatlah ia membodohi sahabatnya itu. (Siregar, 1920: 100) 
c.       Marah Sait orang yang cerdik, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya memang digunakannya untuk mencari keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuannya jika hendak berperkara. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Akan tetapi ia berkata demikian itu akan mencari untung yang lebih banyak lagi, membuat rekes tentu mendatangkan upah baginya. (Siregar, 1920: 107)
a.       Marah Sait orang yang tidak memperdulikan orang lain, ia hanya mengambil keuntungan dari orang yang meminta bantuannya dalam urusan berperkara, namun jika kalah, ia pergi meninggalkan orang itu setelah ia mendapat untung. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
...karena Marah Sait telah mengambil jalan yang lain, akan menyisihkan Sutan Baringin. Ya, apakah yang dipedulikannya lagi, habis manis sepah dibuang, bukan? (Siregar, 1920: 107)
2)      Cara tidak langsung atau dramatik
§  Dengan menggambarkan tingkah laku atau tindakan tokoh
a.       Marah Sait orang yang mata duitan, terlihat dari tingkah lakunya ketika Sutan Baringin bercerita kepadanya bahwa ia ingin berperkara, Marah Sait setuju sambil bermaksud untuk mendapatkan keuntungan. Dijelaskan dalam kutipan:
..... Ia mengatakan itu sambil menggesekkan telunjuk denga ibu jarinya yang maksudnya menyediakan uang. (Siregar, 1920: 99)
§  Dengan menggambarkan dialog tokoh
-          Dialog tokoh Marah Sait dengan orang lain yaitu Sutan Baringin
a.       Marah Sait orang yang picik, karena ia seorang pokrol bambu, ia bisa saja mengarang segala cerita untuk untuk membantu orang yang sedang berperkara, namun sudah tentu caranya itu picik. Terlihat dari dialognya. Dijelaskan dalam kutipan:
“Itu mudah,” jawab Marah Sait serta tersenyum-senyum. “Bukankah sudah lebih dua puluh tahun ia di rantau? Kalau nanti ia datang, katakana saja ia bukan bersaudara dengan engkau. Ringkasnya kamu berdua tidak waris-mewarisi. Meskipun di muka pengadilan engkau haruslah tetap mengatakan yang demikian itu. Apakah nanti perkataannya kepada hakim, suatu pun tiada keterangannya, bahwa ia ada mewarisi nenekmu itu.” (Siregar, 1920: 98)
b.      Marah Sait orang yang cerdik, terlihat dari dialognya dengan Sutan baringin saat mereka membicarakan cara apa yang akan mereka perbuat untuk memenangkan perkara. Dijelaskan dalam kutipan:
“Semua ikhtiar haruslah kita perbuat, supaya kita jangan menyesal di belakang hari,” kata pokrol yang cerdik itu. (Siregar, 1920: 107)




11.  Kepala Pengadilan Sipirok (Asisten Residen)
Kepala Pengadilan Sipirok orang yang suka menasihati tentang kebaikan, dan ia suka mengingatkan tentang kebaikan.
1)      Cara tidak langsung atau dramatik
§  Dengan menggambarkan tingkah laku atau tindakan tokoh
a.       Kepala Pengadilan Sipirok orang yang suka menasihati tentang kebaikan, seperti ketika Sutan Baringin ingin berperkara dengan Saudaranya Baginda Mulia, beliau menasihati agar mereka berdamai. Dijelaskan dalam kutipan:
...maka Asisten Residen yang menjadi Kepala Pengadilan Sipirok itu, memberi nasihat kepada kedua mereka itu, Sutan Baringin dengan Baginda Mulia, supaya mereka itu suka berdamai. (Siregar, 1920: 105)
§  Dengan menggambarkan dialog para tokoh
-          Dialog tokoh Kepala pengadilan dan orang lain yaitu Sutan Baringin
a.       Kepala pengadilan orang yang suka menasihati tentang kebaikan, ia menasihati Sutan Baringin agar mau berdamai dengan Baginda Mulia, karena mereka itu bersaudra. Dijelaskan dalam kutipan:
“Tidakah ada familimu yang menyelesaikan perselisihan ini? Bukankah lebih baik kamu berdamai saja? Berapa besar kerugianmu, kalau perkara diperiksa oleh hakim? Ongkos rapat, uang borong pasti dibayar, mana lagi waktu kamu yang terbuang, perseteruan makin dalam pula antara kamu yang bersaudara.” (Siregar, 1920: 105)
b.      Kepala pengadilan orang yang suka mengingatkan tentang kebaikan, dia tetap mengingatkan Sutan Baringin yang kukuh tak mau berdamai, sebelum pemeriksaan perkara dimulai. Dijelaskan dalam kutipan:
 “Kalau demikian, kamu jangan menyesal, rapat tentu melakukan keadilan, karena itulah kewajibannya. Dan ingat-ingatlah, orang yang berperkara itu amat susah: yang menang menjadi bara, yang kalah menjadi abu. – Sekarang pemeriksaan dimulai, “ kata Kepala Pengadilan. (Siregar, 1920: 105)






12.  Kasibun (Suami Mariamin)
Kasibun orang yang pandai memelihara diri, badannya yang agak tua lebih muda dipandang daripada yang sebenarnya, karena pandainya ia merawat diri. Ia pintar dan cerdik namun ia sombong, tak acuh dan berkelakuan bengis.
1)      Cara langsung atau analitik
a.       Kasibun orang yang pandai memelihara diri, badannya yang agak tua lebih muda dipandang daripada yang sebenarnya, karena pandainya ia merawat diri. Dijelaskan langsung oleh pengarang dalam kutipan:
Sekalipun rupanya yang tidak dapat dikatakan elok, akan tetapi karena pandainya memakai dan memelihara dirinya, kelihatanlah badannya yang agak tua itu lebih muda dipandang daripada yang sebenarnya. (Siregar, 1920: 163) 
2)      Cara tidak langsung atau dramatik
§  Dengan menggambarkan fisik tokoh
a.       Kasibun orang yang pintar dan cerdik, ia bekerja sebagai kerani, dengan statusnya itu, ia mencari istriyang masih muda, meskipun ia sudah tua. Dari cahaya matanya tajam dan berkilat-kilat, menyatakan ia pintar dan cerdik, tetapi pintar dalam tipu daya. Dijelaskan dalam kutipan:
Orang yang jadi suami Mariamin itu pekerjaannya kerani. Tentang bentuk dan rupanya begini: dia tak dapat dikatakan muda lagi, raut mukanya panjang, kurus sedikit, hidungnya pendek dan bibirnya tebal. Cahaya matanya tajam dan berkilat-kilat, menyatakan ia pintar dan cerdik, tetapi pintar dalam tipu daya. (Siregar, 1920: 163)
§  Dengan menggambarkan jalan fikiran tokoh
a.       Kasibun orang yang sombong, ketika ia ingin menikahi Mariamin anak orang yang miskin, ia berfikiran tentu dapat memperolehnya, karena ia menyombongkan kekayaannya. Dijelaskan dalam kutipan:
Dalam pada waktu itu dilihatnya ada seorang gadis anak orang miskin. “Itu tentu dapat diperolehnya, karena aku kaya, makan gaji, kerani di Medan, sedang anak itu orang kebanyakan,” begitulah pikir orang itu. (Siregar, 1920: 162)
§  Dengan menggambarkan tingkah laku atau tindakan tokoh
a.       Kasibun orang yang tak acuh, meskipun ia sudah mempunyai istri di Medan, ia menalaknya demi untuk menikahi Mariamin. Dijelaskan dalam kutipan:
Istrinya yang di Medan itu tiada susah menguruskannya, jatuhkan saja talak tiga, habis perkara, gantinya telah ada, lebih muda lagi. Kelakuan yang serupa itu sudah banyak sekali dilakukan orang muda itu. (Siregar, 1920: 162)
b.      Kasibun orang yang bengis, ia menampar Mariamin jika mereka sedang bertengkar. Ia suka memukul dan menyiksa istrinya itu. Dijelaskan dalam kutipan:
..., sehingga akhir-akhirnya Kasibun yang begis itu tak segan menampar muka Mariamin. Bukan ditamparnya saja, kadang-kadang dipukulnya, disiksanya... (Siregar, 1920: 178)
Semalam-malaman itu Mariamin diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu sudah dikuncinya. Di atas lantai batu kamar itu tak ada tikar, sepotong pun tiada. Hendak tidur diatasnya, itu pun tidak mungkin, karena lantai itu diurusnya dengan air. Kalau ia menangis sehingga suaranya kedengaran, Kasibun pun menyepak atau menempelengnya serta dengan perkataan, “tutup mulutmu, saya mau tidur!” Kalau matanya malas dan ia malas bangkit dari tempat tidur, tongkatnya sajalah dipukulkannya kepada Mariamin, apanya yang kena tak diperdulikannya. (Siregar, 1920: 178)

3.6  Latar/Setting
1.      Latar Tempat
Ø  Di Rumah Mariamin
-          Awal cerita dijelaskan bahwa Mariamin sedang ada di rumah, ia sedang duduk diluar rumah. Hal itu dijelaskan melalui kutipan:
Kejadian saat Mariamin Akan tetapi siapakah yang duduk di sana, di sebelah rusuk rumah yang beratap ijuk dekat sungai yang mengalir... (Siregar, 1920: 2)
-          Saat ibu Mariamin sedang berada dirumah, ia menerima surat kawat dari suaminya Sutan Baringin. Hal itu dijelaskan melalui kutipan:
Ibu Mariamin yang duduk dirumah dengan masygulnya, beroleh surat kawat,... (Siregar, 1920: 106)
-          Saat keluarga Mariamin kehilangan seluruh hartanya dan hidupnya melarat, mereka pindah ke rumah kecil yang berada di tepi sungai. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Sekarang terpaksalah mereka itu anak-beranak membawa periuk, piring dua tiga buah, ke rumah kecil yang di tepi sungai itu. Sungguh amat kasihan,... (Siregar, 1920: 113)
-          Saat Mariamin dikabari oleh Aminu’ddin bahwa Aminu’ddin akan segera melamarnya, Mariamin menunggu kedatangan Ayah Aminu’ddin kerumahnya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Dalam rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu duduklah Mariamin menanti-nanti kedatangan ayahnya (Ayah Aminu’ddin). (Siregar, 1920: 137)
Ø  Di Kota Sipirok
-          Kejadian dalam cerita memang terjadi di Kota Sipirok, karena dari awal memang sudah dijelaskan bahwa rumah Mariamin ada di Sipirok. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... sedang azan orang di menara mesjid besar yang ada di Sipirok itu...(Siregar, 1920: 2)

-          Ketika Mariamin terlepas dari kesengsaraan akibat perbuatan suaminya di Medan, ia pulang kembali kerumahnya di Sipirok. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:

Kesudahannya Mariamin terpaksa pulang ke negerinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir Sungai Sipirok itu. (Siregar, 1920: 180)

Ø  Di Dapur
-          Ketika Ibu Mariamin sedang sakit, Mariamin yang sangat rajin merawat ibunya yang sakit itu menggantikan pekerjaan ibunya yang sakit itu, ia yang mengurus semua pekerjaan di dapur. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Setelah Mariamin menuangkan obat maknya ke dalam cangkir dan diletakkannya dekat si sakit, ia pun pergilah ke dapur akan bertanak. (Siregar, 1920: 7)

-          Dulu, ketika Mariamin masih kecil dan keluarganya masih kaya, ibu Mariamin menjadi ibu rumah tangga yang baik, ia selalu bekerja dirumah. Ia memasak untuk anak dan suaminya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Masih setelah pekerjaannya di dapur itu selesai dan makanan sudah tersedia semuanya, kedengaranlah suara tabuh, menandakan waktu Lohor sudah datang. (Siregar, 1920: 97)

-          Ibu Mariamin menjadi ibu rumah tangga yang rajin mengerjakan pekerjaan rumah, dan kewajibannya di dapur. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... Akan tetapi ibu yang rajin dan setia itu, telah sibuk di dapur menguruskan pekerjaan rumah tangga. (Siregar, 1920: 84)



Ø  Di Kota Deli
-          Bapak Baginda Mulia, yang merupakan anak dari nenek Sutan Baringin dulu bekerja di Deli waktu muda. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Waktu bapak Baginda Mulia masih muda, ia pergi merantau ke Deli, dengan jalan berdagang, berjualan dan lain-lain banyaklah orang menjadi kaya, karena pada waktu itu negeri Deli negeri baru,... (Siregar, 1920: 91)
Ø  Di Kamar Mariamin
-          Mariamin menangis di kamarnya ketika ia gundah gulana karena harus berpisah dengan kekasihnya Aminu’ddin. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... sunyi dan sedih juga pemandangan mata kita dalam kamar anak dara yang gundah gulana itu. (Siregar, 1920: 15)

-          Ketika Mariamin senang karena menerima surat dari Aminu’ddin, ia menulis surat balasan untuk Aminu’ddin dikamarnya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Setelah surat itu habis dibacanya, ia pun masuklah ke bilik tempat tidurnya, lalu ia menulis sepucuk surat akan pembalas surat Aminu’ddin itu. (Siregar, 1920: 129)

-          Mariamin diterlantarkan oleh suaminya (Kasibuan) di kamar mereka, karena Mariamin tidak mau melayani suaminya itu. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Semalam-malaman itu Mariamin diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu suah dikuncinya. (Siregar, 1920: 178)

Ø  Di sawah
-          Waktu kecil, Mariamin dan Aminu’ddin brsahabat karib, mereka sering bekerja bersama di sawah. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya, supaya padi itu subur tumbuhnya,... (Siregar, 1920: 32)

... Dengan rajinnya ia terus menyiangi sawah itu bersama-sama dengan adiknya itu. (Siregar, 1920: 33)

Ø  Di Sungai
-          Mariamin dan Aminu’ddin selalu melewati sebuah sungai jika mereka hendak pulang dari sawah. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Tiada berapa lama sampailah mereka di tepi sungai yang akan diseberangi merek itu. Mariamin terkejut melihat sungai itu banjir. (Siregar, 1920: 51)


Ø  Di Ruang Makan
-          Ibu Mariamin selalu setia menunggui suaminya untuk makan bersama. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Kemudian pergilah ia ke kamar makan, disanalah ia menanti-nanti kedatangan suaminya. (Siregar, 1920: 79)

-          Ibu Mariamin selalu menyiapkan makanan untun suami dan anak-anaknya di ruang makan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
 Ibunya pergi ke kamar makan menyediakan makanan untuk mereka itu anak-beranak. (Siregar, 1920: 86)

Ø  Di Pengadilan
-          Sutan Baringin berperkara dengan saudaranya Baginda Mulia di Pengadilan negeri Sipirok. Hal tersebut dijelaskan dlaam kutipan:
Setelah lewat sebulan, sampailah perkara itu ke tangan pengadilan di Padangsidempuan, ibu negeri Pengadilan Angkola dengan Sipirok. (Siregar, 1920: 104)

Ø  Di Kantor Pos
-          Sutan Baringin mengambil kiriman dari saudaranya Baginda Mulia. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan dialog yang ia ucapkan:
“Pergi ke kantor pos menerima pospaket kiriman adik kita di Binjai,” sahut Sutan Baringin dengan ringkas. (Siregar, 1920: 91)

-          Aminu’ddin menulis surat untuk Mariamin, setelah itu diantarkannya ke kantor pos untuk dikirimkan kepada Mariamin. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Setelah selesai surat itu, dimasukannya ke pos. (Siregar, 1920: 130)

Ø  Di Rumah Datu/dukun
-          Ayah dan Ibu Aminu’ddin pergi kerumah dukun untuk menanyakan rezeki Aminu’ddin sebelum mereka memutuskan pernikahan Aminu’ddin dengan Mariamin. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Pada keesokan harinya pergilah kedua laki-istri itu membawa nasi bungkus ke rumah Datu itu. Setelah habis makan, mereka itu pung menceritakan maksud kedatangan mereka. (Siregar, 1920: 136)

Ø  Di Beranda rumah
-          Ayah Aminu’ddin duduk di teras rumah dengan istrinya untuk mengobrol. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Ketika matahari hampir terbenam, duduklah ayah Aminu’ddin di beranda rumahnya dengan istrinya. (Siregar, 1920: 138)

... lalu pergi duduk ke atas bangku yang di hadapan rumahnya, di bawah sebatang pokok nyiur yang rimbun daunnya. (Siregar, 1920: 145)

Ø  Di Stasiun kereta
-          Aminu’ddin menunggu Ayahnya yang akan datang dari Sipirok di stasiun kereta. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Hati Aminu’ddin berdebar-debar, dadanya gemuruh... tiada berapa lama antaranya kelihatan bapaknya sudah turun dari kereta.... (Siregar, 1920: 151)

Ø  Di Kamar Aminu’ddin
-          Aminuddin biasa berdiam diri dalam kamarnya, setelah ia menikah dengan gadis pilihan ayahnya. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
..... Sedang Aminu’ddin duduk dalam kamarnya, sebenarnya kamar kaumnya, tempat ia menumpang sementara itu, yaitu sesudah nikah dilakukan,... (Siregar, 1920: 153)

Ø  Di Kuburan
-          Mariamin mengunjungi kuburan ayahnya bersama ibunya, ketika ia akan menikah dengan Kasibuan, sebelum mereka nantinya akan pindah ke Medan Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Setelah mereka itu sampai, maka Mariamin pun menyiramkan air yang dicambung itu ke atas kuburan bapaknya, dan ibunya memandang ke tanah,... (Siregar, 1920: 164)

-          Setelah Mariamin pulang ke Sipirok, ia meninggal dan dikuburkan di sebuah pekuburan di Kota Sipirok. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Lihatlah kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)

Ø  Di Perahu
-          Setelah Mariamin menikah dengan Kasibuan, mereka akan pindah ke Medan. Mereka menempuh perjalanan ke Medan dengan menggunaka perahu. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Siapakah perempuan muda itu? Tak lain adalah Mariamin, dan perahu itulah yang membawa mereka dengan kawannya seperjalanan ke Tiga-Ras. (Siregar, 1920: 167)




Ø  Di Rumah Kasibuan
-          Mariamin selalu tinggal dirumah sendiri saat suaminya tidak ada. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Waktu itu suaminya pun sudah pergi kerja, ia sendirilah yang tinggal di rumah. (Siregar, 1920: 169)

 Akan tetapi baru ia hampir ke pintu, maka kedengaranlah olehnya suara orang itu bertanya, “Inikah rumah Kerani Kasibuan? Adakah ia di rumah?” (Siregar, 1920: 172)

Ø  Di Medan
-          Mariamin tinggal di Medan setelah ia menikah dengan Kasibuan. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai, keluarlah Mariamin dari rumahnya. (Siregar, 1920: 179)

Ø  Di Kantor Polisi
-          Mariamin melapor ke kantor polisi perbuatan suaminya yang selalu menyiksanya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Di hadapan kantor polisi itu berhenti kereta itu. Mariamin turun lalu berjalan ke dalam, sedikit pun tak segan atau takut perempuan yang muda itu. Polisi yang berdiri di depan pintu itu terkejut melihat muka orang itu... (Siregar, 1920: 180)

2.      Latar Waktu
a.       Waktu Fajar
Pengarang selalu menjelaskan latar waktu dengan jelas. Misalnya waktu fajar, dijlaskan ketika Ibu mariamin terbangun dari tidurnya saat fajar menyingsing. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya. Tiada berapa lama kedengaranlah olehnya bunyi ayam berkokok. Sejak itu tiadalah ia dapat tidur lagi. (Siregar, 1920: 83)

Bintang Timur yang menandakan hari akan siang telah keluar dari sisi sebelah timur. Awan di langit pun mulailah merah kekuningan rupanya, makin lama makin nyata dan jernih, langit pun sebagai disepuh dengan mas juita rupanya dan fajar pun telah menyingsinglah. (Siregar, 1920: 147)

b.      Waktu Pagi
-          Ketika Mariamin kecil, ia sering menunggu Aminu’ddin dirumahnya saat mereka akan berangkat sekolah bersama. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Waktu pukul tujuh pagi Mariamin sudah sedia di hadapan rumahnya menantikan Aminu’ddin, supaya mereka itu sama-sama pergi ke sekolah. (Siregar, 1920: 29)

-          Ketika Mariamin di Medan, ia pertama kali keluar dari rumah suaminya pada suatu pagi. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu pagi sedang jalan-jalan kota Medan belum berapa ramai, keluarlah Mariamin dari rumahnya. (Siregar, 1920: 179)

c.       Waktu Siang
-          Pengarang menggambarkan waktu siang dengan kalimat-kalimat yang puitis di beberapa bagian dalam cerita. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
Sementara itu matahari sudah rembang, segala makhluk dan tanam-tanaman beriang hati, karena bumi itu penuh dengan sinar yang amat bagus itu. (Siregar, 1920: 97)

... kedengaranlah suara tabuh, menandakan waktu Lohor sudah datang,... (Siregar, 1920: 97)

d.      Waktu Petang
-          Pengarang menggambarkan waktu petang dengan sangat jelas di Sipirok saat ia akan memulai sebuah cerita dalam beberapa sub-judul di novel Azab dan Sengsara ini. Hal tersebut dapat dilihat pada kutipan:
Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, ke balik Gunung Silabuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok yang bagus itu. Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya,...(Siregar, 1920: 1)

 Langit yang terbentang di atas kepala itu amat bersih, tiada berawan. Warna langit yang hijau itu bertambah hening dan jernih, karena matahari itu baru lenyap dari puncak Gunung Silabuali yang permai itu. (Siregar, 1920: 183)

-          Mariamin dan Ibunya senang duduk di sebuah batu bersar yang berada dekat rumahnya hingga waktu petang. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
... sahut gadis itu seraya brdiri dari batu besar itu, yang biasa tempat ia duduk pada waktu petang... (Siregar, 1920: 4)

Tabuh Magrib berbunyilah di mesjid besar. Si ibu dengan anaknya itu pun naiklah ke rumah, karena sudah mulai gelap. (Siregar, 1920: 112)

Demikianlah ia berpikir-pikir pada suatu petang, ketika matahari hampir terbenam. (Siregar, 1920: 108)

-          Mariamin dan Aminu’ddin suka bekerja bersama menyiangi sawah hingga waktu petang. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu petang, sedang mereka di sawah, Mariamin menyiangi padinya, supaya padi itu subur tumbuhnya,... (Siregar, 1920: 32)

-          Mariamin pergi ke kuburan ayahnya bersama ibunya hingga waktu petang, saat Mariamin hendak pindah ke Medan setelah pernikahannya. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Sunyi serta lenggang rupanya tanah pekuburan itu, karena seorang manusia yang lain tak ada di situ, matahari pun telah terbenam, hanyalah cahaya senja saja yang kelihatan di langit. (Siregar, 1920: 164)

e.       Waktu Malam
-          Ibu Mariamin bisa tertidur nyenyak saat sudah tengah malam, karena ia terfikirkan masalahnya, namun akhirnya ia tidur juga. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Sesudah tengah malam barulah ia tertidur dengan nyenyak, karena badannya telah lesu. (Siregar, 1920: 83)

Pada malam itu amatlah susahnya hati perempuan itu. Ia amat mencintai anaknya yang dua orang itu,... (Siregar, 1920: 8)

-          Pengarang menjelaskan keheningan malam dengan sangat jelas di beberapa sub-bab sebelum ia bercerita. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
Malam itu amat dingin, karena angina mat kencang, bercampur hujan rintik-rintik. Sekali-sekali kilat menunjukkan sinarnya, seolah-olah menerangi dewi malam,...(Siregar, 1920: 81)

Hari pun malamlah, kebun yang luas itu sudah mulai sunyi. Bunyi gamelan yang dipalu pekerja-pekerja dari Jawa itu pun telah diam, karena mereka harus pergi tidur,...(Siregar, 1920: 144)

-          Baginda Mulia berkunjung ke rumah kakaknya Sutan baringin waktu malam untuk membicarakan perkara mereka, karena ia ingin berdamai. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Pada suatu malam sedang waktu amat dingin karena hujan datang rintik-rintik, pergilah Baginda Mulia ke rumah kakaknya itu. (Siregar, 1920: 102)

-          Saat hari pertama Mariamin menjadi istri Kasibuan, ia takut membayangkan malam pertama mereka. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Pada malam itu datanglah apa yang disangka-sangka perempuan itu. Akan tetapi ia menjawab dengan muka yang jernih dan suara yang lemah lembut. (Siregar, 1920: 170)

-          Ketika Mariamin tahu tabiat suaminya, ia sering disiksa oleh suaminya. Seperti yang terjadi pada suatu malam. Hal tersebut dilihat dari kutipan:
Semalam-malaman itu Mariamin diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu suah dikuncinya. (Siregar, 1920: 178)

3.      Latar Lingkungan Sosial
a.       Lingkungan Sosial ekonomi rendah
-          Keluarga Mariamin hidup dalam keadaan ekonomi yang rendah, bisa disebut kalau keluarga Mariamin itu hidup dalam kemelaratan setelah ayahnya meninggal, hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... Pikiran yang serupa itulah yang acap kali timbul, dan itulah yang menyusahkan hatinya. Bila dikenangnya yang demikian itu, perasaannya penyakitnya bertambah berat dan kemiskinan mereka itu berlipat ganda. (Siregar, 1920: 11)

Pondok teratak yang tua itu sudah rebah, atap lalang itu pun hampir menjadi tanah, hanya tiang-tiang bamboo itulah yang tinggal berserak-serak di atas bumi... (Siregar, 1920: 182)

-          Keluarga Mariamin hidup dalam kemelaratan setelah Sutan Baringin Berperkara dengan saudaranya sendiri, karena harta mereka habis untuk berperkara. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Sekarang pulanglah ia ke kampong seorang diri, membawa malu, kehinaan, mendukung kemiskinan dan kemelaratan, karena harta telah habis musnah dalam waktu yang sekian pendek itu. (Siregar, 1920: 107)

Dengan hati yang gundah gulana si ibu menantikan suaminya pulang kembali. Malu, kemiskinan, kemelaratan tiada jauh lagi pada pemandangannya. Malu melihat orang banyak, miskin karena keadaan telah licin tandas, ada yang tinggal, harus dibagikan kepada Baginda Mulia, melarat karena perbuatan suaminya itu... (Siregar, 1920: 108)

b.      Lingkungan Sosial orang kaya
-          Keluarga Mariamin termasuk orang kaya sewaktu Mariamin kecil, dan ketika ayah Mariamin masih hidup. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... Pada waktu beberapa tahun yang lewat, tatkala suaminya masih hidup dan ketika harta mereka itu masih cukup, pendeknya pada masa kesukaan yang sudah lewat itu, bolehlah mereka dikatakan masuk bagian orang yang kaya dan yang ternama di Negeri Sipirok... (Siregar, 1920: 8)

Sutan Baringin seorang yang terbilang hartawan lagi bangsawan seantero penduduk Sipirok... (Siregar, 1920: 24)

-          Keluarga Aminu’ddin termasuk dalam keluarga yang kaya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Ayah Aminu’ddin bolehlah dikatakan seorang kepala kampong yang terkenal di antero luhak Sipirok. Harta bendanya amatlah banyaknya, dan kerbau lembunya pun cukup di Padang Lawas, apalagi sawahnya berlungguk-lungguk, sehingga harga padi yang dijualnya tiap tahun berates-ratus ruapiah, mana lagi hasil kebun kopi belum terhitung. (Siregar, 1920: 18)
... Apakah yang kurang lagi bagi mereka itu akan memperoleh anak dara yang patut-patut? Ayah Aminu’ddin seorang kepala kampong yang dimalui di luhak Sipirok. Uang banyak, sawah lebar, kerbau dan lembu pun cukup, sedang anaknya orang makan gaji, di Deli pula. (Siregar, 1920: 135)

-          Kasibuan (suami Mariamin) boleh dikatakan seorang yang berekonomi cukup, karena ia mendapatkan gaji dari pekerjaannya sebagai kerani (juru tulis). Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
... Di Medan, tempat ia makan gaji,...
 Orang yang jadi suami Mariamin itu pekerjaannya kerani... (Siregar, 1920: 163)

c.       Lingkungan Sosial yang bebas  (kehidupan malam)
-          Kasibuan (suami Mariamin) hidup dalam lingkungan soaial yang bebas, artinya tidak mengindahkan hukum yang berlaku di Medan sebelum menjadi suami Mariamin. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Memang Kasibuan mengandung penyakit yang berbahaya, yang mudah menular kepada istrinya. Maklumlah kehidupan orang di negeri yang besar-besar itu. Kuranglah orang mengindahkan hukum dan syarak dan larangan kitab. Godaan pun amat banyaknya. Karena itu banyaklah orang yang kurang berhati-hati akan memeliharakan dirinya,... (Siregar, 1920: 170)

4.      Latar Suasana
a.       Suasana mengharukan
-          Ketika Mariamin diselamatkan oleh Aminu’ddin dari banjir yang menghanyutkannya di sungai, suasana disana sangat mengharukan, karena akhirnya Aminu’ddin dapat juga menyelamatkan Mariamin. Hal tersebut tergambar dalam kutipan:
Pada waktu yang sekejap itu tampaklah oleh Aminu’ddin Mariamin terapung sebentar. Dengan secepat-cepatnya ia pun menangkap anak perempuan itu, lalu didekapnya dengan tangan kirinya, dan dengan tangan kanannya ia berenang. Meskipun ia amat payah, kedinginan, dan kekuatannya pun hampir habis,.. (Siregar, 1920: 53)

-          Saat ibu Mariamin dalam keadaan sakit, ia sangat prihatin pada kehidupannya dan anak-anaknya yang melarat. Sehingga kehidupan mereka terlihat sangat mengharukan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
Sekarang terpaksalah  mereka itu anak-beranak membawa periuk, piring dua tiga buah, ke rumah kecil yang di tepi sungai itu. Sungguh amat kasihan. Dahulu tinggal di gedung besar, sekarang dalam pondok kecil dan bamboo. Perkakas dan perhiasan rumah yang dahulu itu telah hilang, hanya yang buruk-buruk sajalah yang tinggal.  (Siregar, 1920: 113)

-          Suasana sebelum Sutan Baringin meninggal sangat mengharukan, karena Sutan Baringin akan berpisah untuk selamanya dengan anak dan istrinya. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Maka dipeluk dan dicium oleh Sutan Baringin anaknya itu berganti-ganti dan air matanya bercucuranlah. Sekaliannya menangislah teredu-sedu. “Selamat tinggal kepada kamu sekalian, Adinda yang kucintai dengan anakku berdua yang malang. Tuhanlah mengampuni dosaku yang besar itu!” ujar Sutan Baringin. (Siregar, 1920: 118)

-          Perpisahan Mariamin dengan Aminu’ddin karena pernikahan Aminu’ddin dengan gadis lain membuat keadaan Mariamin sangat memprihatinkan pembaca. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Mukanya yang penuh dahulunya, sekarang sudah kurus dan pucat, dan mata yang hitam jernih itu sudah kurang cahayanya, amat kasihanlah kita melihatnya. Seharusnya tubuhnya yang lemah itu jangan dahulu dibawanya kerja, tetapi apa boleh buat, orang yang miskin itu harus minum karingatnya dan makan dagingnya. (Siregar, 1920: 158)

-          Kehidupan rumah tangga Mariamin dan Kasibuan yang tidak harmonis, menyebabkan Mariamin tidak terlepas dari kesengsaraan. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Semalam-malaman itu Mariamin diusirnya dari tempat tidur, keluar dari kamar tiada boleh, pintu suah dikuncinya. Di atas lantai batu kamar itu tak ada tikar, sepotong pun tiada.  (Siregar, 1920: 178)

b.      Suasana menyedihkan
-          Kehidupan ibu Mariamin dan anak-anaknya selalu terlihat menyedihkan, karena ia selalu memikirkan nasib anak-anaknya yang mungkin tidak akan sanggup hidup dalam kemelaratan. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
Si ibu yang sakit itu tiada menjawab perkataan anaknya. Ia memandang muka Mariamin dengan mata yang menunjukkan, betapa besar cintanya dan kasih sayangnya pada anaknya itu. “Ya, Allah, ya, Tuhanku, kasihanilah hamba-Mu yang miskin ini,” mengucap ia dalam hatinya setelah anaknya itu pergi ke dapur. (Siregar, 1920: 7)

Si ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang air matanya bercucuran ke atas kepala anak yang hendak tertidur itu. Hatinya hancur sebagai kaca terhempas ke batu, memikirkan nasib mereka itu di belakang hari. (Siregar, 1920: 27)


-          Pertemuan kembali Mariamin dan Aminu’ddin setelah mereka berpisah karena pernikahan Aminu’ddin sangat menyedihkan hati Mariamin, karena ia teringat kembali sakit hatinya. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Hati siapakah yang takkan remuk redam, siapakah yang dapat menahan persuaan yang sesedih itu? Mungkin ada yang kuat imannya, tetapi Mariamin tidak. Bagi dia yang melarat itu, sedikit saja duri yang menyentuh hatinya adalah sebagai membelah dadanya, apalagi kedatangan Aminu’ddin yang tak disangka-sangka itu.  (Siregar, 1920: 174)

c.       Suasana Riang
-          Masa kecil Mariamin begitu bahagia, ketika keluarganya masih berkecukupan dan persahabatannya dengan Aminu’ddin masih sangat dekat. Mereka selalu bersama menjalani masa kecil mereka dengan keriangan/gembira. Hal tersebut terlihat dalam kutipan:
..., mereka itu pun berjalanlah bersama-sama menuju rumah sekolah, dengan langkah yang cepat. Budak yang dua itu berjalan serta dengan riangnya, tiada ubahnya sebagai orang yang bersaudara karib. Persahabatan siapa lagi yang lebih rapat dari mereka itu,.. (Siregar, 1920: 87)

-          Mariamin begitu girang saat ia menerima surat dari Aminu’ddin, yang menyatakan bahwa Aminu’ddin akan menikahi Mariamin. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan:
Surat yang dau pucuk itu sampai kepada alamatnya. Mariamin menerima dengan girang. Sekejap itu dibacanya di hadapan ibunya... (Siregar, 1920: 134)

-          Aminu’ddin diliputi kegirangan setelah menerima surat kawat dari ayahnya yang menyatakan bahwa ia akan membawa menantu ke Medan sebagaimana permintaan Aminu’ddin. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Setelah Aminu’ddin menerima surat kawat ayahnya, yang bunyinya demikian, “Aminu’ddin, bapak membawa menantu, songsong ke stasiun,” ia pun meminta permisi kepada sepnya, meskipun lima hari lagi ayahnya akan tiba. Dengan hati yang girang, pergilah ia kepada kaumnya yang mencarikan pekerjaan itu, dan diceritakannya kabar itu,.. (Siregar, 1920: 143)

d.      Suasana Tegang
-          Saat Aminu’ddin dan Mariamin terjebak oleh hujan yang sangat lebat di sebuah pondok di sawah, suasana akibat hujan itu menjadi menegangkan, karena mereka pada waktu itu masih kecil, dan hanya berdua saja berlindung dibawah hujan yang begitu lebat. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:

Sejurus lamanya mereka itu berdiam diri, hujan makin lebat, menderu-deru bunyinya dan kilat pun sabung-menyabung diikuti halilintar yang seolah-olah membelah bumi bunyinya. Anginpun berhembuslah dengan kencangnya serta berdengung-dengung. Bunyi hujan, angin dan guruh itu amat mendahsyatkan hati keduanya yang berlindung di pondok kecil ditengah sawah yang luas itu. (Siregar, 1920: 36)

-          Ketika keadaan mulai gelap, Aminu’ddin dan Mariamin hendak pulang dari sawah, mereka pulang meskipun hujan lebat masih mengguyur bumi. Diperjalanan pulang Mariamin terhanyut kedalam sungai yang banjir, kejadian itu menegangkan sekali, karena Aminu’ddin berusaha menyelamatkan Mariamin. Hal tersebut dijelaskan dalam kutipan:
Dengan sekejap itu dilihatnya Mariamin jatuh ke air. Cangkul yang dibahunya pun dilemparkannya dan setelah bajunya ditanggalinya, ia pun mengucap, “Tolong, Tuhan!” Dengan perkataan yang dua patah itu, Aminu’ddin melompat ke dalam air akan menyusul Mariamin, yang dihanyutkan banjir yang tiada menaruh kasihan kepada kurbannya itu. (Siregar, 1920: 52)

e.       Suasana Tragis
-          Suasana ketika Sutan Baringin meninggal sangat tragis, karena sepanjang hidupnya Sutan Baringin tidak benar-benar menyayangi keluarganya, sedang ketika ia meninggal, berarti Sutan Baringin berpisah untuk selamanya dengan anak dan istrinya. Hal tersebut terlihat dari kutipan:
Kaki dan tangan si sakit itu tiada bergerak lagi, dadanya pun telah diam. Tiba-tiba ia membukakan matanya yang telah hilang cahayanya, seperti lampu yang malap. Sekali lagi ia menarik napas, dan matanya yang hidup itu memandang muka mereka yang berkeliling itu, mulai dari anak yang bungsu sampai kepada si ibu.
Itulah pandang yang penghabisan, karena sebentar itu juga ia pun menutupkan matanya. Arwahnya pun keluarlah meninggalkan jasadnya (tubuh), karena badan itu hendak kembali pada asalnya. (Siregar, 1920: 121)











3.7  Gaya
a.       Gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita
Gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah
1)      Pengarang mengungkapkan novel Azab dan Sengsara dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, pribahasa, pepatah, pantun, syair dan cerpen (cerpen di dalam novel). Hal tersebut dapat dilihat dari bukti di bawah ini:
-          Kutipan surat:
Kakanda yang tercinta!
Bahwa dengan surat ini tiadalah suatu apa yang Adinda kirimkan, hanya sekedar salam dan doa, mudah-mudahan Kakanda anak-beranak, di dalam sehat walafiyat adanya... (Siregar, 1920: 89)

-          Kutipan pribahasa:
... Kalau payungku telah berkembang, tak pedulilah aku, bagaimana sekalipun lebatnya hujan itu.” (Siregar, 1920: 95)
... “Luka di tangan dapat ditahan, luka hati apa obatnya?” (Siregar, 1920: 158)

-          Kutipan pepatah:
“Setinggi-tingginya batu melambung, surutnya ke tanah juga.” (Siregar, 1920: 92)
-          Kutipan pantun:
Jejuru dengan jurinya,
di tepi jalan orang berlari.
Setuju dengan istrinya,
seperti bulan dengan matahari. (Siregar, 1920: 73)

-          Kutipan syair:
Apabila bunda membuaikan kita,
Berapa banyak nyanyi dan kata:
“Besarlah buyung intan permata,
Buah hati permainan mata.... (Siregar, 1920: 110)

-          Kutipan cerpen:
“Dalam sebuah kampong, dekat hutan yang besar, tinggalah seorang perempuan yang sudah tua.” Aminu’ddin memulai ceritanya. “pekerjaan perempuan itu mencari kayu api. Kayu itu dijualnya ke pasar, uang yang sedikit yang diperolehnya dari harga kayu itu dibelikannya kepada beras dan garam serta apa yang berguna bagi hidupnya.... (Siregar, 1920: 38)

2)      Pengarang mengungkapkan novel ini dengan alur sorot balik/flash back.
3)      Pengarang mengungkapkan novel Azab dan sengsara ini dengan gaya deskriptif, gaya ekspositif dan pengarang banyak menggunakan gaya bahasa kiasan. Terbukti dengan kutipan:
-          Gaya deskriptif
Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, ke balik Gunung Silabuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok yang bagus itu. Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan sinar matahari yang turun itu tampaklah di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi, indah rupanya, sebagai disepuh emas juita. (Siregar, 1920: 1)

-          Gaya ekpositif
Untuk menjelaskan adat istiadat orang Batak, lebih-lebih adat perkawinannya, baiklah diterangkan sekadar aturan-aturan yang harus diturut orang dalam perkawinan itu.
Adapun masing-masing orang Batak mempunyai suku (marga). Seorang anak yang baru lahir beroleh marga Bapaknya.... (Siregar, 1920: 139)

b.      Gaya bahasa yang banyak dituangkan pengarang dalam memperkuat cerita novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
1.      Berdasarkan Segi Nonbahasa
Pengikut Aristoteles menerima style sebagai hasil dari bermacam-macam unsur. (Keraf, 2010 : 115)

a.       Berdasarkan Tempat
Gaya ini mendapat namanya dai lokasi geografis, karena cir-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. (Keraf, 2010 : 116).

Pengarang (Merari Siregar) dalam novel Azab dan Sengsara menggunakan gaya melayu, karena latar lingkungan tempat peristiwa-peristiwa terjadi di daerah Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara. Terbukti dengan kutipan:
-          Kota Sipirok kataku... akan tetapi janganlah pembaca membandingkan negeri itu dengan Sibolaga atau Padang. Tiadalah sampai sedemikian besar dan ramainya Sipirok itu, sungguhpun begitu adalah ia lebih besar daripada kampong atau dusun. Oleh sebab itu, saya menyebutnya “Kota Sipirok” tambahan pula itulah negeri atau kampong yang terbesar di dataran tinggi yang luas itu. (Siregar, 1920: 3)

b.      Berdasarkan Masa
Gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern, dan sebagainya. (Keraf, 2010: 116). Terbukti dengan kutipan:

§  Nyatalah sekarang betapa bahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada disertai cinta kasih keduanya. Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu akan membuang adat itu dan kebiasaan yang mendatangkan kecelakaan kepada manusia itu. (Siregar, 1920: 70)

Kutipan diatas menerangkan tentang  sebuah nilai yang tinggi, yaitu tentang adat kawin paksa. Saya menyimpulkan pengarang (Merari Siregar) menggunakan gaya klasik, karena dilihat dari tahun terbit novel yaitu tahun 1920. Dan diterangkan juga di permulaan kalam yang ditulis pengarang bahwa ia menulis karangan ini dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsanya.
c.       Berdasarkan Subjek
Subjek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan. Berdasarkan hal ini kita mengenal gaya: filsafat, ilmiah (hukum, teknik, teknik, sastra, populer, didaktik, dsb). (Keraf, 2010: 116).

Menurut saya pengarang mengungkapkan dengan gaya bahasa berdasarkan subjek (didaktik), yaitu bersifat mendidik. Terbukti dengan kutipan:

§  Sutan Baringin anak yang terlalu amat manja waktu  mudanya. Sudah besar, tiadalah berubah kelakuannya itu, ia tinggi hati, pemarah, pemalas serta pemboros. Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya, jadi bukan yang dicarinya dengan keringatnya. (Siregar, 1920: 78)

2.      Berdasarkan Nada
Gaya bahasa berdasarkan nada biasanya didasarkan pada sugesti yang dipancarkan dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. (Keraf, 2010: 121). Gaya bahasa berdasarkan nada:

a.       Gaya sederhana (biasanya cocok untuk memberi intruksi, pelajaran, perkuliahan, dan sejenisnya). Terdapat dalam kutipan:
§  Ya, di belakang hari, bila ia sudah besar, tentu mengertilah ia akan makna: “Utang mas dapat dibayar, utang budi dibawa mati.” (Siregar, 1920: 54)

§  Hal yang serupa itu acap kali terlihat di atas bumi ini. Jauhlah bertambah kerasnya cinta dan kasih sayang itu, bila orang yang berkaum atau bersaudara itu tinggal berjauhan, sedang tinggal bersama-sama itu kerap mendatangkan perselisihan. Dua cabang yang sepokok, kalau rapat bergesel juga, telur ayam yang seraga itu bergesel juga, meskipun tiada berkaki tangan. (Siregar, 1920: 93)

3.      Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. (Keraf, 2010 : 129).

Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna dibagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
Ø  Gaya Bahasa Retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untu mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidangn makna. (Keraf, 2010:130)

Menurut saya, pengarang (Merari Siregar) dalam novel Azab dan Sengsara menggunakan:
a.       Gaya bahasa hiperbola (pernyataan berlebihan dan membesar-besarkan suatu hal) terdapat dalam kutipan:
§  Siang-malam ia mendidik anaknya, supaya di belakang hari mejadi seorang yang rendah hati, berkelakuan yang baik dan percaya kepada Tuhan. (Siregar, 1920: 11)
Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau membesar-besarkan suatu hal, karena tidak mungkin ia mendidik anaknya tanpa henti.
§  ... Kita biarkan mereka tidur dengan senangnya, karena tidur yang nyenyak itu amat berguna kepada mereka, untuk menguatkan badannya menanggung kemiskinan yang akan datang waktu besok atau lusa. (Siregar, 1920: 17)

Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau membesar-besarkan suatu hal, karena pengarang mengatakan tidur untuk menguatkan badan menanggung kemiskinan yang akan datang. Jadi seolah-olah mereka (Keluarga Mariamin) akan kuat menanggung kemiskinan hanya dengan tidur 
§  ... Bila gurunya berkata-kata atau menerangkan sesuatu, matanya tiada lepas dari muka guru itu. Segala keterangan guru itu ditangkapnya dengan daun telinganya, serta diperhatikannya benar-benar, bolehlah dikatakan, sepatah kata pun tiada yang tak dikenalnya. (Siregar, 1920: 21)

Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau membesar-besarkan suatu hal, karena pengarang mengatakan matanya (Aminu’ddin) tiada lepas dari muka gurunya, dan bolehlah dikatakan sepatah kata pun tiada yang dikenalnya. Padahal pasti mata bisa berkedip, dan juga setiap kata yang diucapkan orang pasti tak akan diingat sama persis semua yang dikatakannya.
§  Siapakah yang tak suka  melihat jalannya Kuda Batak yang kencang itu, siapakah yang tak ingin menungganginya, karena meskipun ia berpacu atau mendua, pandailah ia menjaga, supaya tuannya yang mencucukinya itu diam dan tiada terlonjak-lonjak.  (Siregar, 1920: 167)

Pernyataan ini dirasakan berlebihan atau membesar-besarkan suatu hal, karena pengarang mengatakan pandailah ia (Kuda Batak) menjaga tuannya agar diam dan tidak terlonjak-lonjak, bisa kita lihat jika kuda berpacu/berlari kencang sudah pasti orang yang menunggangina melonjak-lonjak, dan mana bisa kuda tersebut mengatur jalannya untuk menjaga orang yang menungganginya.
b.      Gaya Bahasa Koreksio atau Epanortosis (mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya). Terdapat dalam kutipan:
§  Hanya sekali ini saja hendak dilukiskan apa yang kejadian di rumah yang malang itu. Inilah yang penghabisan. Oleh sebab itu marilah kita ke sana. Itulah dia, di pinggir sungai! O, bukan: itu pondok yang lain, ke hilir lagi.
Itulah dia tempat perumahan itu!  (Siregar, 1920: 182)

c.       Gaya Bahasa Aliterasi (berwujud perulangan konsonan yang sama), Terdapat dalam kutipan:
§  Sejurus lamanya dapatlah ditahannya sedikit tangisnya itu, air mata yang tersumbat itu, mendapat jalan keluar dengan memancar-mancar keluarlah dari dalam tanah, dan lama-kelamaan berkuranglah kuatnya air yang memancar itu. (Siregar, 1920: 12)

d.      Gaya Bahasa Asonansi (berwujud perulangan vokal yang sama), Terdapat dalam kutipan:
§  Ia terdiam pula, Perkataan yang akan dikatakannya seolah-olah menahan nafasnya dan keluarlah rasa lidahnya akan bercakap. (Siregar, 1920: 5)

e.       Gaya Bahasa Asidenton (Berupa acuan yang bersifat padat dan mapat di beberapa kata, frasa atau klausa yang tidak dihubungkan dengan kata penghubung). Terdapat dalam kutipan:
§  Di luar hari amat dingin, langit yang lebar itu ditutupi awan yang gelap, sebutir bintang pun tak tampak. Angin pun berhembuslah dengan kencangnya sehingga berdengung pada pohon-pohon yang tinggi-tinggi yang menghambat perjalanannya itu. Angin yang hebat itu bercampur pula dengan hujan rintik-rintik. (Siregar, 1920: 14)

f.       Gaya Bahasa  Tautologi, (mempergunakan kata-kata lebih banyak dari yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran dan kata itu sebenarnya mengandung perulangan dari sebuah kata yang lain). Terdapat dalam kutipan:
§  Meskipun Sutan Baringin kurang menyayangi istrinya itu, cinta yang sebenar-benarnya tiadalah terkandung di dadanya terhadap kepada Nuria adalah pemandangan orang luar,... (Siregar, 1920: 73)

§  Orang yang pandai menulis tiada susah beroleh gaji yang besar, dan pencarian pun amat mudah. Dengan jalan berdagang, berjuala dan lain-lain banyaklah orang menjadi kaya, karena pada waktu itu negeri Deli negeri baru, kebun banyak dibuka, dna pencarian amat banyak,... (Siregar, 1920: 91)




g.      Gaya Bahasa Erotesis/pertanyaan retoris (pernyataan yang sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban). Terdapat dalam kutipan:

§  “Wahai malangnya kau ini! Sampailah hatimu meninggalkan daku Udin?” Tangis Mariamin dengan sedihnya. (Siregar, 1920: 12)

§  “Perkataan apakah itu? Anak hanya satu kau, kausamakan lagi dengan anak yang telah besar. Bukankah ia masih kecil? Kalau sudah besar tentu ia tahu, mana yang salah, dan ia pun sudah tentu tak mau lagi berbuat yang salah itu.” (Siregar, 1920: 57)

§  Ia sudah beberapa kali diusir oleh suaminya, akan tetapi kemanakah ia akan pergi? Seorang tak ada kaumnya yang diknalnya di Medan. Kepada ibunya di Sipirok telah dua kali mengirim surat, akan tetapi siapakah orang yang akan datang mengambil dia? (Siregar, 1920: 179)

h.      Gaya bahasa periphrasis (mempergunakan kata lebih banyak dari yang diperlukan). Terdapat dalam kutipan:
§  Lihatlah kuburan yang baru itu! Tanahnya masih merah... itulah tempat Mariamin, anak dara yang saleh itu, untuk beristirahat selama-lamanya. (Siregar, 1920: 185)

i.        Gaya Bahasa Litotes (digunakan untuk menyatakan suatu tujuan merendahkan diri). Terdapat dalam kutipan:
§  ...dan meskipun ia tiada menghiasi dirinya atau memakai pakaian yang mahal-mahal, tiadalah berkurang kecantikan parasnya. Sebaliknya, kebaya dan sarung yang sederhana itu seolah-olah menambah kebagusannya. (Siregar, 1920: 80)

Ø  Gaya Bahasa Kiasan, dibentuk berdasarkan perandingan atau persamaan (Keraf, 2010: 136)
Menurut saya, berdasarkan gaya bahasa kiasan pengarang (Merari Siregar) dalam novel Azab dan Sengsar menggunakan:
a.       Gaya bahasa simile. Terdapat dalam kutipan:
§  Langit di sebelah barat pun merah kuning rupanya, dan sinar matahari yang turun itu tampaklah di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi, indah rupanya, sebagai disepuh dengan emas juwita. (Siregar, 1920: 1)

Cahaya matahari yang nampak di atas puncak kayu yang tinggi-tinggi itu, disamakan seperti disepuh atau dituakan warnanya dengan emas yang elok.
§  Batang padi yang tumbuh di sawah yang luas itu pun dibuai-buaikan angin, sebagai ombak berpalu-paluan diatas laut yang lebar, sawah yang seluas itu pun tiada ubahnya dengan lautan, sedang daun padi itu sebagai air yang hijau rupanya. (Siregar, 1920: 2)
Batang padi yang dibuai angin itu disamakan seperti ombak yang bergelombang di lautan, sawah digambarkan sebagai lautnya, dan daun padi itu seperti air laut yang hijau warnanya.
§  ... muram tampaknya muka orang muda itu. Ia duduk tiada bergerak, tetapi pikirannya tiada berhenti, berkisar-kisar sebagai roda yang digulingkan. (Siregar, 1920: 6)
Pikirannya (Mariamin) yang sedang muram itu disamakan dengan roda yang sedang berputar-putar yang digulingkan, oleh sebab itu ia terlihat muram.
§  ... bolehlah mereka itu dikatakan masuk bagian orang yang kaya dan ternama di negeri Sipirok. Akan tetapi sebagaimana kerap kali kejadian di dunia ini, kekayaan itu tiada kekal dan kesenangan itu fana jua adanya, karena nasib manusia sebagai roda, kadang-kadang ke atas, kadang-kadang ke bawah,... (Siregar, 1920: 8)
Kehidupan keluarga Mariamin yang berubah, dari yang kaya menjadi melarat, disamakan seperti roda yang berputar, yang kadang berada diatas, dan bisa juga berada dibawah.
§  Pada waktu makan, ibunya melihat awan yang menutup dahi anaknya itu. Sekarang tak tertahan lagi olehnya, sudah habis kekuatannya, ibarat mata air yang ditutup, demikianlah kemasygulannya itu, sekarang sudah datang waktunya akan meletus. (Siregar, 1920: 12)
Kesedihan Mariamin yang ditahan-tahan, digambarkan seperti mata air yang ditutup, dan Mariamin tak dapat lagi menahannya, hingga sekarang seperti hendak meletus mata air tersebut.
§  Hujan rintik-rintik itu sudah bertukar dengan hujan yang amat lebat, sehingga sebagai air yang dicurahkan dari langit rupanya. Angin yang keras itu makin kencang, dan kilatpun berturut-turut diiringi halilintar yang gemuruh, sebagai gunung runtuh lakunya. (Siregar, 1920: 16)
Hujan rintik-rintik yang berubah menjadi lebat digambarkan seperti air yang dicurahkan dari langit, dan kilat yang diiringi halilintar yang menderu-deru digambarkan seperti gerak-gerik gunung yang runtuh (terdengar sangat kacau)
§  Di negeri kecil, orang menamainya pokrol bambu. Lagak dan cakapnya sebagai orang yang pandai, yang ahli dalam ilmu hakim, akan tetapi pengetahuannya tiada suatu apa, ibarat gendang, kalau dipalu keras suaranya, dibelah tak ada isinya. (Siregar, 1920: 25)
Pokrol bambu (pembela perkara) di negeri kecil yang berlagak dan berbicara seperti orang pandai, namun pengetahuannya tidak seberapa digambarkan seperti gendang yang keras jika dipalu, namun kosong.   
§  Anak perempuan itu bernama Mariamin, ringkasan namanya Riam....
...... Lihatlah warna kulitnya yang jernih dan bersih itu, putih kuning sebagai kulit langsat! Matanya yang berkilat-kilat serta dengan terang itu, menunjukkan kepada kita bahwa anak itu mempunyai tabiat pengasih, pada bibirnya yang tipis dan merah itu selamanya terbayang senyum yang manis. Jika ia berkata-kata atau tertawa, tampaklah giginya yang putih dan halus berkilat-kilat sebagai mutiara. Kalau diamat-amati roman anak dara itu, tampaklah di mata, air mukanya yang hening dan jernih, suci dan bersih, sebagai seri gunung waktu matahari akan terbenam adanya. (Siregar, 1920: 28)
Kulit Mariamin yang jernih dan bersih digambarkan seperti kulit langsat (pohon yang tinggi, giginya yang putih dan halus digambarkan seperti mutiara saat ia tertawa, dan wajahnya digambarkan seperti keindahan gunung ssore hari, yaitu saat matahari akan terbenam.
§  Suara yang penghabisan itu didengar oleh Aminu’ddin dengan kesedihannya, hatinya sebagai diremas dan harapannya pun hampir putus, lebih-lebih setelah Mariamin tidak timbul lagi. (Siregar, 1920: 52)
Katika Mariamin hanyut di suangai yang banjir, ia hampir tenggelam, Aminu’ddin yang berusaha menolongnya sangat sedih karena suara Mariamin tidak terdengar lagi, hati digambarkan seperti sedang diremas dan harapannya hampir putus.
§  Hari sudah hampir gelap, suatu pun tak ada yang nampak, selain dari muka air yang berbuih itu. Maka adalah sungai itu sebagai berhantu pada pemandangan matanya. (Siregar, 1920: 53)
Ketika Mariamin terhanyut, dan hari semakin gelap, suangai itu digambarkan seperti berhantu atau berpenunggu bagi Aminu’ddin.
§  Bukankah anaknya itu nanti, sebagaimana harapannya yang akan membawa sinar kesukaan dan mengusir awan kedukaan, sebagai kabut yang lenyap oleh sinar matahari pagi? (Siregar, 1920: 64)
Saat Penulis menceritakan sebuah degresi, didalam degresi tersebut ada seorang ibu yang hidup melarat sedang mengandung, ketika ia bersedih hati karena hidupnya, ia teringat anaknya yang belum lahir, pengarang menggambarkan bahwa kedukaan si ibu akan lenyap yang disamakan seperti kabut yang diusir oleh kelahiran anak tersebut.
§  Sambil berpikir-pikir demikian itu, tiadalah diketahuinya air matanya jatuh bertitik-titik, sebagai air mayang enau baru dipacung. (Siregar, 1920: 114)
Nuria (ibu Mariamin) sangat sedih ketika suaminya akan meinggal, ia berpikir tentang kehidupannya jika ditinggal si suami, sambil berpikir ia menangis, air matanya yang jatuh disamakan dengan tongkol bunga aren yang bercucuran sehabis dipacung.
§   Kaki dan tangan si sakit itu tiada bergerak lagi, dadanya pun telah diam, tiba-tiba ia membuka matanya yang hilang cahayanya, seperti lampu yang malap. (Siregar, 1920: 121)
Sutan Baringin ketika ia akan meninggal, ia membuka matanya yang sudah hilang cahayanya disamakan seperti lampu yang suram/tidak nyala terang.
§  Hari yang peghabisan itu amatlah lamanya, tiada berkeputusan pada perasaannya, matahari itu pun seolah-olah tiada jemu memanasi bumi yang bercintakan malam. Tetapi meskipun ia lambat-lambat turun ke sebelah barat, sebagai raja berjalan lakunya, hari yang membosankan hati Aminu’ddin itu hampirlah bertukar dengan malam. (Siregar, 1920: 144)
Saat Aminu’ddin menerima surat balasan dari Mariamin, kerinduannya pada Mariamin makin besar, ia merasa hari begitu lama berlalu, siang dan malam lama berganti, tapi lambatnya matahari terbenam, ia terbenam juga, dan terbenamnya matahari itu yang disamakan dengan prilaku raja.
§  Di ruangan kalbunya terbayang-bayang wajah Mariamin yang cantik itu: Mukanya bundar sebagai bulan empat belas ... rambutnya hitam serta berkilat-kilat sanggulnya besar dan bulat, tergantung di atas tengkuk yang putih bersih itu... (Siregar, 1920: 145)
Aminu’ddin membayangkan wajah Mariamin, dalam bayangannya wajah Mariamin yang disamakan dengan bundarnya bulan empat belas (bundar bagus).
§  .... dada yang penuh itu, ditutupi oleh baju kebaya ... pinggang yang ramping ... paha yang tambun serta dengan lunaknya, keduanya dipalut sarung batikan Lasam ... dilihatnya pula betis bulat serta dengan halusnya itu, berjejak di atas tumit yang seperti telur burung ... (Siregar, 1920: 146)
Saat Aminu’ddin membayangkan tubuh Mariamin, betis Mariamin yang bulat berjejak/bertumpu pada tumit yang dibandingkan dengan telur burung yang budar lonjong.
§  ... ke sana-sini pada segenap lingkungan alam terpancarlah sinarnya yang amat permai itu, keluar daripada suatu benda yang bundar, sebagai anak panah yang melayang daripada busurnya. (Siregar, 1920: 148)
Suasana pagi di Sipirok digambarkan dengan sinar maatahari pagi yang terpancar kesana-sini yang amat permai, yang dibandingkan dengan anak panah yang dilayangkan dari busur panah.
§  Sesampai di Medan, ia pun menyewa sado akan pergi ke rumah kaumnya memberitahukan kedatangan ayahnya itu. Segala orang yang melihat Aminu’ddin , tiadalah diperdulikannya. Kuda Batak yang menarik sado itu pun berlarilah dengan kencangnya dan tangkas, sehingga rupanya sebagai burung terbang. (Siregar, 1920: 148)
Ketika Aminu’ddin akan mengabarkan kedatangan ayahnya ke Medan pada kaumnya, ia menaiki sado. Sado itu berjalan kencang. Wajah kuda yang menarik sado kencang itu, disamakan dengan burung yang sedang terbang.
§  Sebagai kijang yang luka kena tembak, Aminu’ddin pun berlarilah mendapatkan ayahnya itu. Akan tetapi saat yang nikmat itu bergantilah dengan ketika yang belum pernah dirasa anak muda itu. (Siregar, 1920: 151)
Ketika Aminu’ddin bertemu ayahnya, ia berlari menghampiri ayahnya, berlarinya itu disamakan dengan kijang yang terluka kena tembak.
§  Pendek kisah, Mariamin yayng malang itu hanyut juga, makin lama makin jauh, sehingga lenyap dari mata, sedang suaranya minta tolong itu sia-sia saja, sebagai batu jatuh ke lubuk. (Siregar, 1920: 152)
SuaraMariamin meminta tolong dalam mimpi Aminu’ddin diibaratkan/disamakan dengan batu yang jatuh ke lubuk/lubang.
§  Danau Toba yang jernih itu, seolah-olah dua orang bidadari yang berdiri di muka kaca besar, akan mempersaksikan parasnya yang elok. Bunga-bunga yang berkembangan di Pantai Laut Tawar serta cahaya embun yang berhamburan pada daun rumput-rumput, adalah pada mata kita sebagai halaman yang permai, penuh dengan intan permata. (Siregar, 1920: 166)
Ketika pengarang mendeskripsikan Danau Toba, pengarang menggambarkan cahaya embun yang berhamburan pada rumput-rumput itu seperti halaman yang permai, yang penuh dengan intan permata.


§  Sawah yang amat luas itu berganti kulit, sebagai dialas dengan bidai yang luas, karena waktunya mengerjakan sawah. (Siregar, 1920: 183)
Ketika pengarang mendeskripsikan keadaan negeri Sipirok di akhir cerita, ia menggambarkan sawah yang menguning itu dengan dialasi memakai jalinan bilah rotan (tikar/tirai penutup pintu) yang luas.
a.       Gaya bahasa personifikasi, terdapat dalam kutipan:
§  Angin gunung yang lemah lembut itu pun berhembuslah, sedap dan nyaman rasanya bagi orang-orang kampong yang sedang di perjalanan kmbali dari kebun kopi,....
..... maka angin itu pun bertambahlah sediki kerasnya, sehingga daun dan cabang-cabang kayu bergoyang-goyang perlahan-lahan sebagai menunjukkan kegirangannnya,.... (Siregar, 1920: 1)

Angin gunung yang lemah lembut, angin tersebut diibaratkan mempunyai sifat manusia, yaitu lemah lembut. Dan cabang kayu yang bergorang menunjukkan kegirangannya, diibaratkan mempunyai sifat manusia, yaitu girang.
§  Burung-burung pun berterbangan dari sana-sini, seraya berkumpul-kumpul di atas cabang beringin-beringin yang berdaun rimbun , masing-masing menyanyi memuji Tuhan dan memberi hormat kepada raja siang yang sedang turun ke balik gunung yang tinggi itu. (Siregar, 1920: 2)

Burung-burung yang berterbangan diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu berkumpul dan menyanyi memuji Tuhan, dan memberi hormat.
§  Hari makin gelap, cahaya bulan tak nampak, hanyalah bintang-bintang yang mengilap itu mencoba mengurangkan kegelapan yang menyelimuti bumi. (Siregar, 1920: 6)

Kegelapan diibaratkan berprilaku seperti manusia, yaitu menyelimuti bumi.

§  .... Akan tetapi sebagaimana kerap kali kejadian di dunia ini, kekayaan itu tiada kekal dan kesenangan itu fana jua adanya, karena nasib manusia sebagai roda, kadang-kadang ke atas, kadang-kadang ke bawah, hujan dan panas silih berganti menimpa bumi, dan bumi itu harus sabar menerima apa yang datang. (Siregar, 1920: 8)
Bumi diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu sabar menerima apa yang datang.
§  ... betul, ya, lampu kecil yang menyala di hadapan dara muda itu, melihat kawan sekamarnya bersusah hati. Ia seolah-olah berkata...
Banyak lagi ucapan hiburan lampu itu, tetapi Mariamin tidak mendengarnya. Telinganya sudah tertutup dan matanya pun tak melihat lagi, karena diserang angan-angan itu.  (Siregar, 1920: 13)
Lampu kecil di kamar mariamin diibaratkan mempunyai tingkah laku seperti manusia, yaitu melihat dan berkata-kata (ucapan), juga angan-angan diibaratkan mempunyai tingkah laku seperti manusia, yaitu menyerang.
§  ... Hanyalah lampu kecil yang terpasang di tepi dinding itu yang masih menyala dan cahayanya yang suram itu mencoba-coba melawan dan mngusir kekuatan dewi malam yang memerintahkan alam ini. (Siregar, 1920: 16)

Lampu kecl di kamar Mariamin, cahayanya diibaratkan mempunyai tingkah laku seperti manusia, yaitu melawan dan mengusir. Dan dewi malam (bulan) juga diibaratkan mempunyai tingkah laku seperti manusia, yaitu memerintahkan alam.
§  .... Aminu’ddin melompat ke dalam air akan menyusul Mariamin, yang dihanyutkan banjir yang tiada menaruh iba kasihan kepada kurbannya itu. (Siregar, 1920: 52)

Banjir diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu tiada menaruh iba kasihan kepada kurbannya.
§  .... kayu tempat benalu itu tumbuh, makin lama makin kurus dan merana, kesudahannya binasa oleh benalu itu. (Siregar, 1920: 58)

Kayu diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu makin kurus dan merana, dan benalu diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu membinasakan.
§  Kalau ia (Sutan Baringin) pergi belum makan, terpaksalah istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa, bukan dipaksa orang, akan tetapi hatinyalah yang memaksa dia berbuat begitu. (Siregar, 1920: 79)

Hati diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu memaksa.
§  ... Maka ia (Nuria) pun bermimpilah: “Sedang matahari baru keluar dan memancarkann sinarnya, tiba-tiba diselimuti awan yang amat hitam serta dengan tebalnya, makin lama makin hilanglah matahari itu dan cahayanya pun tiada dapat lagi menerusi awan yang gelap itu....
... sedang Gunung Silabuali adalah asyik bekerja memuntahkan asap yang bergumpal-gumpal. (Siregar, 1920: 83)

Awan diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu menyelimuti. Dan Guung Silabuali diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu asyik bekerja.
§  Sementara itu matahari sudah rembang, segala makhluk dan tanam-tanaman beriang hati, karena bumi itu penuh dengan sinar yang amat bagus. (Siregar, 1920: 97)

Makhluk dan tanam-tanaman diibaratkan mempunyai sifat seperti manusia, yaitu beriang hati
§  Matahari itu makin lama makin tinggi, akan tetapi cahayanya dihambat oleh awan yang bergumpal-gumpal. Dataran tinggi Sipirok yang jongkat-jongkit itu tiada beroleh sinar raja siang, karena dilindungi oleh awan yang hitam itu. (Siregar, 1920: 120)

Dataran tinggi Sipirok diibaratkan bertingkah laku seperti manusia, yaitu berjongkat-jongkit (bergerak naik turun), dan awan diibaratkan bertingkah laku seperti manusia, yaitu melindungi.
§  ... Barangkali pakaiannya yang elok itu dapat menghilangkan mukanya yang dimakan panas dan angin itu, karena ia bekerja selalu kena panas dan angin. (Siregar, 1920: 149)

Panas dan angin diibaratkan bertingkah laku seperti manusia, yaitu memakan.
§  Perkawinan itu tiada akan memutuskan azab dan sengsara yang bertali-tali itu, tetapi akan menambah kemelaratan lagi bagi dia, anak gadis yang malang itu.
Semua itu dilihatnya, dirasanya, bukan dengan urat syarafanya, tetapi hatinya mengatakan padanya. (Siregar, 1920: 161)

Perkawinan itu diibaratkan bertingkah laku seperti manusia, yaitu memutuskan. Dan hati diibaratkan bertingkh laku seperti manusia yaitu mengatakan.
§  ... padang itu ingar oleh sura kerbau yang menguak, lembu yang mengeluh, dan kuda Bataknya yang termasyhur itu pun tiada kurang bilangannya, karna disinalah tempatnya, ... (Siregar, 1920: 167)
Kerbau diibaratkan bertingkah laku seperti manusia yaitu menguak, lembu diibaratkan bertingkah laku seperti manusia yaitu mengeluh, kuda Batak diibaratkan bertingkah laku seperti manusia yaitu termasyhur.
§  Sais itu pun membunyikan cambuknya dan kereta yang bagus itu pun berlarilah dengan kencangnya. (Siregar, 1920: 180)

Kereta kuda diibaratkan bertingkah laku seperti manusia yaitu berlari.
b.      Gaya bahasa metafora, terdapat dalam kutipan:
§  ... Kalau induk ayam itu mati, siapakah lagi yang mengaiskan makanan untuk anaknya yang kecil-kecil itu? Bila hari hujan, sayap siapakah lagi tempat mereka berlindung, supaya jangan mati kedinginan?  (Siregar, 1920: 9)

Induk ayam digunakan untuk  menganalogikan/membandingkan langsung seorang ibu, dan sayap digunakan untuk  menganalogikan/membandingkan langsung pelukan si ibu.

§  .... Jika sekiranya saya mati, apalah jadinya biji mataku kedua ini? ... (Siregar, 1920: 11)

Biji mataku, digunakan untuk  menganalogikan/membandingkan langsung anak Nuria (Mariamin dan Buyung).
§  Cahaya mata si ibu yang cemerlang itu menembus hati si laki, cahaya mata itu memancar dan masuk ke hatinya, masuk ke jantungnya, sehingga api hasrat dan kasihnya itu bernyala-nyala. (Siregar, 1920: 20)

Api hasrat digunakan untuk  menganalogikan/membandingkan langsung nafsu.
§  “Wahai biji mataku, bagaimanakah nasibmu dibelakang hari,” kata ibunya mengeluh, lalu ia brdiri akan menidurkan anak yang disukakannya itu ke bilik tempat tidurya. (Siregar, 1920: 27)

Biji mataku, digunakan untuk  menganalogikan/membandingkan langsung anak Nuria (Buyung).
§  Si ibu yang pengasih dan penyayang itu membetulkan selimut mereka itu. Sudah itu ia pun menundukkan kepalanya lalu mencium dahi si jantung hatinya itu berganti-ganti. (Siregar, 1920: 84)

Jantung hatinya, digunakan untuk  menganalogikan/membandingkan langsung anak Nuria (Mariamin dan Buyung).
§  Ibunya memeluk dan mencium cahaya matanya itu seraya berkata, “Ibu tidak meniadakan pemberian Allah, nafkah kita cukup selamanya, dan Riam lebih daripada permata yang mahal bagi ibu. (Siregar, 1920: 88)

Jantung hatinya, digunakan untuk  menganalogikan/membandingkan langsung anak Nuria (Mariamin).
§  ... Ia melompat seraya mendekap leher ibunya. Maka mulutnya dirapatkannya ke muka ibunya, dan bibir yang halus dan tipis itu pun mencium pipi ibunya. Barulah sekarang si ibu lupa akan susahnya itu, karena matahari kesukaannya, telah menyinari hatinya yang gundah gulana itu. (Siregar, 1920: 98)

Matahari kesukaannya, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung anak Nuria (Mariamin).
§  Karena meskipun dahulu Adinda kurang kuindahkan, sekarang mengakulah Kakanda, Adindalah cahaya dan biji mataku, Adindalah jiwa Kakanda, sayang Kakanda yang celaka ini tiada menurut nasihat Adinda menuju jalan yang sempurna itu. (Siregar, 1920: 98)

Cahaya dan biji mataku, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung kekasih/istri (Nuria/Istri Sutan Baringin) .
§  Karena suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada yang tinggal, terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari nafkah, sesuap pagi dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. (Siregar, 1920: 123)

Membanting tulang, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung bekerja, dan sesuap pagi dan sesuap petang digunakan untuk menganalogikan/membandingkan langsung makan.
§  Lepas dua bulan lagi akan diperolehnya angan-angan dan cita-citanya, sejak akil balig. Di situlah kelak ia merasa dirinya beruntung, karena tangkai kalbunya telah disisinya, yakni Mariamin buah hatinya itu. (Siregar, 1920: 134)

Tangkai kalbu dan buah hati, digunakan untuk menganalogikan/membandingkan  Mariamin (Kekasih Aminu’ddin).
c.       Gaya bahasa epitet, terdapat dalam kutipan:
§  Dari yang panas itu berangsur-angsur menjadi dingin, karena matahari, raja siang itu, akan masuk ke dalam peraduannya, ke balik Gunung Silabuali, yang menjadi watas dataran tinggi Sipirok yang bagus itu. (Siregar, 1920: 1)

Raja siang digunakan untuk menjelaskan/menggantikan matahari.
§  Malam itu amat dingin, karena angin amat kencang, bercampur hujan rintik-rintik. Sekali-sekali kilat menunjukkan sinarnya, seolah-oleh menerangi dewi malam yang memenuhi alam ini. (Siregar, 1920: 81)

Dewi malam digunakan untuk menjelaskan/menggantikan kegelapan.
§  Angin gunung pun berhembuslah sepoi-sepoi basa dan kebun tembakau itu berombak-ombak rupanya ditiup angin itu dan berwarna ilam-ilam, karena cahaya raja malam antara gelap dan terang. (Siregar, 1920: 145)

Cahaya raja malam digunakan untuk menjelaskan/menggantikan cahaya bulan.
§  Bintang Timur yang menandakan hari akan siang telah keluar dari sisi sebelah timur. Awan di langit pun mulailah merah kuning rupanya, makin lama makn nyata dan jernih, langit pun sebagai disepuh emas juita rupanya dan fajar pun menyingsinglah.
Meskipun si penerangi alam ini belum keluar daipada peraduannya, akan tetapi cahayanya yang elok itu tlah kelihatan.... (Siregar, 1920: 147)

Bintang Timur digunakan untuk menjelaskan/menggantikan fajar, dan si penerangi alam digunakan untuk menjelaskan/menggantikan matahari.



d.      Gaya bahasa sarkasme (pernyataannya menyakiti hati/kasar), terdapat dalam kutipan:
§  Kehinaan besar dipandang orang kalau seorang laki-laki menceraikan bininya. Perempuan yang meminta talak itu pun tiada berharga di mata orang, kawin kedua kalinya amat susah bagi dia, karena orang berkata dalam hatinya: “Perempuan itu tidak baik, ia tak setia kepada suaminya. Sudah tentu orang tiada mau mengambil dia akan istri. Sepanjang adat pun amatlah beratnya hukuman orang yang menceraikan kawan sehidupnya itu. “(Siregar, 1920: 76)

§  Sutan Baringin anak yang terlalu amat manja waktu mudanya. Sudah besar, tiadalah berubah kelakuannya itu, ia tinggi hati, pemarah, pemalas serta pemboros. Sekalian kekayaannya itu hanya peninggalan bapaknya, jadi bukan yang dicarinya dengan keringatnya. (Siregar, 1920: 78)

§  Demikianlah budi Sutan Baringin terhadap kepadan saudaranya yang datang dari tanah rantau itu. Hati cemburu, loba, tamak, dengki, khizit, sekaliannya sudah berurat berakar dalam darahnya, itulah yang akan merusakkan diri Sutan Barignin. (Siregar, 1920: 90)
§  Sutan Baringin orang yang telah rusak binasa budinya dari kecilnya, tiada mempunyai hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba, tamak, dengki dan khianat, itu sajalah yang memenuhi pikirannya. (Siregar, 1920: 102)

e.       Gaya Bahasa Ironi (Sindiran), terdapat dalam kutipan:
§  Bukanlah orang yang miskin saja yang harus berhemat, orang yang berada pun patut demikian. (Siregar, 1920: 86)

§  Sejurus lamanya, ia pun berkata (Sutan Baringin), “Si Tongam itu tiada dapat dipercayai. Tiadakah engkau tahu orang yang biasa di negeri ramai itu amat pintarnya, tetapi pintar dalam kejahatan. Tuturnya manis seperti madu, sehingga kita tidak mengetahui anak panah didalamnya...” (Siregar, 1920: 94)

§  ...semua perkataan pokrol yang pintar itu hanya yang tiada mungkin dan yang bukan-bukan saja. Tetapi sebab pandainya berkata-kata serta dengan petah lidahnya, dapatlah ia membodoh-bodohkan sahabatnya itu. (Siregar, 1920: 100)

§  Kasarlah didengar telinga, bila orang berkata, “Di tengah-tengah Pulau Sumatra yang besar iu msih ada orang menjual anaknya yang perempuan.” (Siregar, 1920: 141)

f.       Gaya bahasa Sinisme (sindiran yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan), terdapat dalam kutipan:
§  Ya, kalau dikatakan laki-laki itu buas dan ganas tabiatnya, kasar didengar telinga, tetapi tiada salahnya lagi. Bukankah banyak perempuan yang melarat karena perbuatan laki-laki yang semacam itu? Sungguh amat keji perbuatan itu. (Siregar, 1920: 163)

g.      Gaya bahasa parable, terdapat dalam kutipan:
§  Perkawinan memang suatu adat dan kebiasaan yang harus dilakukan tiap-tiap manusia, bila sudah sampai waktunya. Tuhan yang menjadikan segala yang ada, itulah yang mengaturkan yang demikian bagi kita yang mendiami bumi ini, karena ia pun menjadikan seorang laki-laki dan seorang perempuan Adam dan Siti Hawa dan kedua manusia itu disuruhnya hidup bersama-sama, tolong-menolong dan berkasih-kasihan sama sendirinya. (Siregar, 1920: 60)

Untuk menyampaikan suatu kebenaran moral tentang suatu adat, yaitu pernikahan, pengarang menggunakan sebuah kisah Adam dan Siti Hawa untuk contoh pelajaran.

3.8  Titik Pengisahan
Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, titik pengisahan yang dipergunakan oleh Merari Siregar adalah sebagai pengamat, yaitu dengan cara titik pengisahan maha tahu. Karena Merari Siregar menyebut tokoh di dalam novel menggunakan kata ia/dia, dan menggunakan nama orang, lebih dari itu Merari Siregar menjelaskan secara pasti keadaan hati atau perasaan para tokoh, jalan fikirannya dan lain-lain. Titik pengisahan pengarang sebagai pengamat maha tahu nampak dari bukti berikut ini:
1.      ... akan tetapi, sebab hari yang gelap itu tak dapat ia melihat air mata yang mengalir di pipi orang muda itu. Cuma ia mengerti, ada yang disusahkan orang itu. (Siregar, 1920: 4)

2.      Ia terdiam pula. Perkataan yang akan dikatakannya seolah-olah menahan napasnya dan kelulah rasa lidahnya akan bercakap. Kemudian ia pun mengeraskan hatinya, sambil ia menyapukan saputangannya yang basah oleh air matanya itu,.. (Siregar, 1920: 5)

3.      ... Pikiran yang serupa itulah yang acap kali timbul, dan itulah yang menyusahkan hatinya. Bila dikenangkannya yang demikian itu, perasaannya penyakitnya bertambah berat dan kemiskinan mereka itu berlipat ganda. (Siregar, 1920: 11)

4.      ... ia menghempaskan dirinya ke atas tempat tidurnya. Sekuat-kuat tenaga ia tadi menahan dukacitanya, sejak bercerai dengan anak muda itu sampai meninggalkan ibunya. (Siregar, 1920: 12)

5.      ... maka pergilah Mariamin merebahkan dirinya diatas tempat tidurnya itu. Ia pun mengumpulkan kekuatannya akan mendiamkan pikirannya yang berkisar-kisar itu. (Siregar, 1920: 16)

6.      Suaminya termenung, ia teringat hal iparnya, Sutan Baringin, pada waktu hidupnya. (Siregar, 1920: 24)

7.      Istri yang baik itu tiada putus asa. Ia mengumpulkan kaum keluarganya, Ayah Aminu’ddin, kepala kampong A pun turutlah. (Siregar, 1920: 26)

8.      Si ibu memandang anaknya yang menyusu di pangkuannya, sedang air matanya bercucuran ke atas kepala anak yang hendak tertidur itu. Hatinya hancur sebagai kaca terhempas ke batu, memikirkan nasib merka itu di belakang hari. (Siregar, 1920: 27)

9.      Penaggungan perempuan yang sakit, aniaya suaminya yang bengis, dilupakannya, bila ia  melihat suaminya meminta ampun dihadapannya, kadng-kadang dengan air mata yang berhamburan, sebab kesedihan hatinya bercampur dengan sukacitanya, karena kecintaan suaminya kepadanya telah hidup kembali,... (Siregar, 1920: 30)

10.  Percakapan kedua orang anak itu berhenti. Mariamin berdiam, karena hatinya kepada pekerjaan itu saja. Aminu’ddin berdiam pula, akan tetapi adalah juga yang dipikir-pikirkannya. (Siregar, 1920: 33)

11.  Perkataan yang dua tiga patah itu menggembirakan hati Mariamin. Anak perempuan itu pun lupalah akan hal keadaan hari yang buruk itu. (Siregar, 1920: 37)

12.  Suara yang penghabiasan itu didengar oleh Aminu’ddin dengan kesedihannya, hatinya sebagai diremas dan harapannya pun hampir putus, lebih-lebih setelah Mariamin tiada timbul lagi. (Siregar, 1920: 52)

13.  ... Mariamin pun selalu merasa, bahwa ia berutang nyawa kepada angkangnya yang telah mengurbankan dirinya sendiri untuk keselamatannya itu. (Siregar, 1920: 52)

14.  ... Meskipun ia telah melihat dahulu kemelaratan yang akan menimpa dirinya, tiadalah sampai hatinya menolak dengan keras maksud orang tuanya, yang kadang mempergunakan ancam padanya. (Siregar, 1920: 62)

15.  Tahulah ia rupanya, apa-apa kewajiban perempun kepada suaminya. Oleh sebab itu tiadalah ia jemu dan bosan mengambil hati suaminya itu dengan sepenuh-penuh hati. (Siregar, 1920: 73)

16.  Setlah ibu Sutan Baringin meninggal, amatlah masygul hati istrinya itu, karena tahulah ia benar-benar, bahwa suaminya itu tiada akan mengubah kelakuannya itu lagi. (Siregar, 1920: 79)

17.  ... Bukanlah ia bosan, tetapi khawatir, kalau-kalau ia kehabisan tenaga, dan...,kesudahannya perkawinan putus dan dia serta anaknya melarat. (Siregar, 1920: 81)

18.  ... setelah itu tiadalah ia dapat tidur lagi. Hatinya gundah gulana, karena ia tiada mengerti akan takwil mimpinya itu. (Siregar, 1920: 83)

19.  Kain kiriman yang mahal dan bagus itu tiada diperdulikannya lagi. Pikiran yang buruk itulah timbul dalam hatinya, maksud yang tidak senonoh itulah balasan hati Baginda Mulia yang baik itu... (Siregar, 1920: 90)

20.  ... Begitu jugalah halnya dengan Baginda Mulia. Jemulah rasanya ia hidup di rantau orang, rindu ke negeri sendiri makin keras, sehingga ia minta dipindahkan ke negerinya.  (Siregar, 1920: 92)

21.  Sutan Baringin orang yang telah rusak binasa budinya dari kecilnya, tiada mempunyai hati yang baik, sedikit pun tidak. Loba dan tamak, dengki dan khianat, itu sajalah yang memenuhi pikirannya. (Siregar, 1920: 102)

22.  Sejurus lamanya si Ibu itu terdiam, karena hatinya terkena oleh syair yang dibacakan anak itu. Sayu dan rayu perasaannya mendengar suara anak itu. (Siregar, 1920: 112)

23.   ... akan tetapi si ibu itu seorang perempuan yang sabar dan keras hati. Beban itu dipikulnya dengan pikiran yang tenang. Karena, meskipun hidupnya di dunia ini makin sengasara, hatinya pun makin tetap juga dan imannya bertambah teguh. (Siregar, 1920: 122)

24.  Sudah tentu percakapan itu menerbitkan rindu dendamnya kepada sahabat karibnya itu. Sekalian perkataan Aminu’ddin waktu mereka bercerai, seolah-olah terdengar juga olehnya... (Siregar, 1920: 126)

25.  Ibunya duduk termenung memikirkan perkataan anaknya itu. Ia pun amat ingin, supaya kehendak Aminu’ddin dan anaknya itu lekas sampai. Akan tetapi apabila dikenangnya akan segala hal mereka itu kedua belah pihak, kuranglah harapnya, karena adalah cita-cita anakya itu sebagai pungguk bercintakan bulan di langit. (Siregar, 1920: 126)

26.  ... Demikian sakitnya kemiskinan itu, yang dahulunya biasa dalam kesenangan. Akan tetapi semuanya tiada menyusahkan hati Mariamin. Bukankah cita-cita mereka itu sudah dekat? Kalau ia nanti bersama-sama Aminu’ddin, tentu datanglah pertukaran dalam kehidupannya. (Siregar, 1920: 129)

27.  Kedua laki-istri bermohon diri, lalu pulang ke rumah, istrinya dengan hati kesal, karena yang diinginkannya tak jadi, suaminya dengan girang hati, karena kehendaknyalah yang mesti diturut. Akan tetapi dijalan tidak memperlihatkan sukacitanya itu, takut kalau-kalau istrinya itu sakit hati. (Siregar, 1920: 137)

28.  Hati aminu’ddin gundah gulana dan darah di dalamnya berdebar-debar, karena perasaan hatinya yang demikian itu membuat jantungnya lebih kencang bergerak dan darahnya mengalir cepat dalam seluruh urat-urat badannya. (Siregar, 1920: 147)

29.  Sebenar-benarnya Aminu’ddin setia juga kepada adindanya itu, akan tetapi  terpaksalah ia menurut kehendak orang tuanya. Amat berat lidahnya, tatkala akan mengiakan perkataan bapaknya itu. (Siregar, 1920: 152)

30.  ... ia menyesal akan perbuatannya yang sudah-sudah itu, karena terkena hatinya oleh budi bahasa abak gadis miskin itu, sikap dan tertibnya pun adalah menarik hatinya. Muka yang pucat itu pun menerbitkan belas kasihan dalam hatinya. Bukan belas kasihan saja, tetapi dengan sesalnya. Sekarang ia amatlah menyesal sebab melalui keinginan anak muda yang berdua itu. (Siregar, 1920: 159)

31.  Perkawinan itu tiada akan memutuskan azab dan sengsara yang bertali-tali itu, tetapi akan menambah kemelaratan lagi bagi dia, anak gadis yang malang itu. Semuanya itu dilihatnya, dirasakannya, bukan dengan urat sarafnya, tetapi hatinya mengatakan padanya. (Siregar, 1920: 161)

32.  Kebenaran dan pertimbangan yang dituturkan ibunya itu, benar pula dalam hati Mariamin, tetapi terasa dalam hatinya bahwa perkawinan itu, yang akan dilakukannya akan membawa dia ke jalan kemelaratan. Akan tetapi dia merasa demikian dalam hatinya, jadi tiadalah dapat diberi keterangan... (Siregar, 1920: 162)

33.  Tempat pekuburan yang sunyi itu menambah kesedihan hati si ibu, karena waktu kegirangan yang sudah-sudah tergambar dalam hatinya, dan gambar itu amat menyedihkan hatinya, karena sekaliannya itu telah hilang terkubur,.. (Siregar, 1920: 164)

34.  ... Pada ketika itu ia mengenang-ngenangkan perjalanan kehidupannya sejak kecil, sebagaimana kebiasaan perempuan yang baru kawin. Apabila ia memikirkan hal suaminya itu, berdebarlah hatinya sebab ketakutan. (Siregar, 1920: 169)

35.  Sedang Mariamin berpikir-pikir demikian, maka ia pun berdirilah hendak melihat dari pintu itu ke luar, inginlah ia hendak mengetahui yang sebenarnya. Lagipula ia berlari ke dalam itu bukan disebabkan jaiznya, hanya hendak meneduhkan ombak gelora yang hebat dalam dadanya jua. (Siregar, 1920: 172)

36.  Hati siapakah yang takkan remuk redam, siapakah yang dapat menahan persuaan yang sesedih itu? Mungkin ada yang kuat imannya, tetapi Mariamin tidak. Bagi dia yang melarat itu, sedikit saja duri yang menyentuh hatinya adalah sebagai membelah dadanya, apalagi kedatangan Aminu’ddin yang tak disangka-sangka itu. (Siregar, 1920: 174)

37.  Aminu’ddin melihat air mata Mariamin bercucuran, tak meneruskan percakapan lagi, takutlah ia kalau hati Mariamin bertambah-tambah sedih. Akan tetapi dalam pikirannya tahulah ia hidup Mariamin amat sengsara dan suaminya kurang mengasihi dia. (Siregar, 1920: 176)

38.  ... itu benar. Kasih tak ada dalam hatinya, sebaliknya kebencian yang tumbuh, karena Mariamin tak suka menuntut kehendaknya, meskipun ia yang salah. (Siregar, 1920: 177)

39.  Polisi yang berdiri di pintu itu terkejut melihat orang itu, akan tetapi hatinya belas melihat mukanya yang teraniaya itu. Dari pakaiannya, tahulah ia bahwa Mariamin orang Batak, seorang bangsanya. (Siregar, 1920: 180)




3.9  Amanat
a.       Amanat Umum
Amanat umum yang dapat diambil dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
1)      Kita harus menjaga hubungan baik dengan siapapun, apa lagi dengan saudara! Karena dalam novel ini diceritakan bagaimana sebuah hubungan keluarga yang tidak dijaga menjadi awal dari kesengsaraan yang menimpa sebuah keluarga.
2)      Kita harus menerima apapun jalan hidup yang telah digariskan untuk kita! Karena dalam novel ini diceritakan bahwa Mariamin dan ibunya selalu sabar menerima kemelaratan yang mereka jalani.
3)      Kita tidak boleh membedakan orang, baik miskin dan kaya. Karena bahagianya atau selamatnya kehidupan tak dijamin oleh kekayaan dan kemiskinan!
Karena dalam novel ini diceritakan bahwa kisah cinta Aminu’ddin dan Mariamin dipisahkan oleh adat dan kepercayaan orang tua Aminu’ddin yang beranggapan bahwa keluarga kaya harus menikah dengan kaum yang sederajat, karena Mariamin miskin, takutlah ia kalau anaknya akan terkena bencana.
4)      Kita tidak boleh memaksakan kehendak kita terhadap orang lain! Karena dalam novel ini diceritakan Mariamin dinikahkan oleh ibunya dengan orang yang tak ia kenal dan tak dicintainya. Dan pernikahan yang seperti itu malah membuat Mariamin makin sengsara.
5)      Kita harus berani jika kita berbuat benar!
Karena dalam novel ini diceritakan Mariamin memberanikan diri melaporkan suaminya ke kantor polisi karena perbuatan suaminya bengis.











b.      Amanat Khusus
Amanat khusus yang dapat diambil dari novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah sebagai berikut:
1)      Tentang Kesederhanaan
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-          Kalau ia pergi ke lading atau ke sawah, selamanya ia mencari pembawaan akan menyenangkan hatiku, meskipun yang dibawanya tiada seberapa harganya, speperti tadi cuma kol dan sayur-sayuran yang dibawa untuk saya, karena telah lama tak ada nafsuku makan. Sayur yang direbus  anakku itu, tentu lebih sedap nanti kumakan, lebih sedap dari sup daging atau ayam waktu hari kesukaanku. (Siregar, 1920: 9)

2)      Tentang kasih sayang terhadap makhluk hidup
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-          “Jangan dibunuh binatang itu, Buyung!” katanya sambil memeluk dan memangku budak itu, lalu dibawanya ke tempat dudukya. (Siregar, 1920: 108)

3)      Tentang menjaga hubungan persaudaraan
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-          Setelah ia menerima surat kepindahannya, ia pun berkirim surat kepada Sutan Baringin akan menceritakan kegirangan hatinya itu. Hati persaudaraan adlah lebih rapat padanya daripada Sutan Baringin. Ia tiada mempunyai kakak atau adik kandung, oleh sebab itu adalah pada perasannya Sutan Baringin itu jadi kakak kandung bagi dia. Waktu kesusahan dan kedukaan mereka itu selalu berkirim-kirim surat. Baginda Mulia berbuat demikian karena cinta akan saudara, Sutan Baringin sebab muslihat. (Siregar, 1920: 93)

4)      Tentang Keagamaan
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-          Hatinya gundah gulana, karena tiada mengerti akan takwil mimpiya itu. Setelah fajar menyingsing, ia pun berdirilah, lain mengambil air sembahyang. Perempuan yang saleh itu pun menyerahkan dirinya kepada Tuhan. (Siregar, 1920: 84)

5)      Tentang Kebijaksanaan
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
-          “... Berapa tahun, beberapa bulanlah saya sudah mengandung kenang-kenangan akan bersama-sama dengan engkau, akan tetapi barulah kuketahui, mustahillah rupanya saya mencapai maksudku, kalau tiada dengan jalan yang lain, yakni saya harus pergi ke tanah lain akan mencari pekerjaan. Janganlah terkejut, jangan berdukacita engkau Riam, ingatlah, saya pergi bukan meninggalkan engkau, tetapi mendapatkan engkau.” (Siregar, 1920: 5)



6)      Tentang Kesetiaan
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
Kalau ia pergi belum makan, terpaksalah istrinya menunggu-nunggu dia. Ia terpaksa, bukan dipaksa orang, akan tetapi hatinyalah yang memaksa dia berbuat begitu. “Seharusnyalah kami bersama-sama makan, karena kuranglah baiknya, kalau istri itu lebih dahulu makan daripada suaminya.” Demikianlah pikiran ibu yang setia itu. (Siregar, 1920: 79)

7)      Tentang kesopanan
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
... Setelah dilihatnya orang tua Aminu’ddin datang itu maka ia pun berlari ke luar mengajak mereka masuk. Dengan muka yang ramah ia mempersilahkan jamu itu duduk di atas tikar,yaitu tikar yang diaaannnyamnya sendiri itu, untuk tempat duduk ayah Aminu’ddin dua laki-istri. (Siregar, 1920: 158)

8)      Tentang kasabaran
Hal tersebut nampak dari bukti di bawah ini:
Karena suaminya tiada lagi, harta benda pun tiada lai yang tinggal, terpaksalah si ibu membanting tulang akan mencari nafkah, sesuap pagi dan sesuap petang, untuknya anak-beranak. Tiadalah malu ia mencari upahan, pada waktu mengerjakan sawah... (Siregar, 1920: 123)

























BAB IV
SIMPULAN

Sastra tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi social-budaya zamannya. Maka, membaca karya sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga. (Siregar, 1920)

Seperti yang saya baca di permukaan kalam novel Azab dan Sengsara, Merari Siregar selaku penulisnya berkata bahwa ia mengarang cerita dalam novel ini dengan maksud menunjukkan adat dan kebiasaan yang kurang baik dan sempurna di tengah-tengah bangsanya, lebih-lebih diantara orang berlaki-istri. Setelah saya membaca dan menganalisis unsure intrinsic novel tersebut, saya menyimpulkan:
(1)   Tema dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar adalah Kesengsaraan (Keluarga Mariamin) karena adat dan kebiasaan di Negeri Sipirok (Tanah Batak). Dalam novel tersebut diceritakan berbagai kesengsaraan yang diderita dalam sebuah keluarga, disebabkan karena perbuatan yang tidak baik, juga karena adat dan kebiasaan yang berlaku di Negeri Sipirok (latar tempat dalam novel).

(2)   Susunan plot/alur novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar dapat dikatakan sebagai plot sorot balik atau flash back, kerena cerita dalam novel ini dimulai dari pertengahan, yaitu saat peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak. Dimulai saat Aminu’ddin berpamitan pada Mariamin kekasihya untuk bekerja ke Medan, karena ia ingin mewujudkan cita-citanya menikahi Mariamin, selanjutnya menceritakan kehidupan kecil mereka dan seterusnya diceritakan kisah cinta mereka hingga akhir hayat Mariamin.
Sedangkan gambaran alur secara kualitatif adalah alur erat, karena ada hubungan yang erat antara satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Apalagi alurnya tidak runtut, tetapi sorot balik, ketika kita selaku pembaca melewatkan satu saja kisah atau penggalan cerita, maka kita tidak akan mengerti isi novel ini secara keseluruhan. karena ada hubungan yang erat antara satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Apalagi alurnya tidak runtut, tetapi sorot balik, ketika kita selaku pembaca melewatkan satu saja kisah atau penggalan cerita, maka kita tidak akan mengerti isi novel ini secara keseluruhan. karena ada hubungan yang erat antara satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Sedangkan gambaran susunan alur/plot secara kuantitatif, novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar ini merupakan novel yang memunyai alur/plot ganda, karena mengalami degresi (cerita baru yang masuk).

(3)   Dalam penokohan novel Azab dan Sengsara, ada 12 tokoh yang mendukung cerita dalam novel tersebut, dan penokohan sebagai berikut:
-          Mariamin (Riam) sebagai tokoh utama, karena intensitas keterlibatan tokoh Mariamin dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sangat dominan. Ia mempunyai watak ramah, ia tidak pernah marah-marah pada orang lain, ia  periang, pengiba dan suka berfikir, juga anak yang penurut dan patuh pada orang tua, selain berparas cantik dan berkulit jernih dan bersih, dari matanya terlihat bahwa ia seorang yang pengasih, ia tabah dalam menjalani hidupnya yang berada dalam kemelaratan dengan apa adanya. Ia seorang yang berhati keras dan teguh dalam mempertahankan keyakinannya. Ia perhatian, pengertian dan rajin bekerja, bijaksana, penyayang, apik (bersih dan bagus pekerjaannya), terlihat dari perbuatannya sehari-hari dalam bekerja dirumahnya dan ia menghargai pertolongan orang lain.
-          Aminu’ddin (Udin) sebagai tokoh utama karena intensitas keterlibatan tokoh Aminu’ddin dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita sangat dominan. ia seorang yang rajin dan baik di sekolahnya waktu muda, ia disayangi oleh orang lain, pandai, rendah hati, berkelakuan baik dan bahasanya halus, bijaksana, dan dia anak yang penurut kepada orang tua, suka menolong, setia, berbesar hati mengakui kesalahan, bijaksana, dan ia orang yang tawakal, seperti ketika ia hendak berpisah dengan Mariamin karena ia akan bekerja.
-          Ibu Mariamin (Nuria), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang baik, setia, penyabar, pengiba, peramah, dan menghormati orang, hemat, ia tak suka menghamburkan uang jika tidak untuk sesuatu yang diperlukannya. Ia orang yang bertawakal kepada Tuhannya, saat ia hidup dalam kemelaratan, semakin teguh imannya. Ia suka kesederhanaan dan berwajah cantik, dari romannya terlihat bahwa ia orang yang perendah, penyayang, dan perhatian. Selain pandai memanfaatkan waktu, ia seorang istri shaleh, ia tak lupa sembahyang, bijaksana, bertoleransi, mudah terharu, rajin bekerja dan suka kebersihan, namun ia berkecil hati ketika hidup dalam kemelaratan, namun ia suka menolong dan cinta persaudaraan.
-          Ayah Mariamin (Sutan Baringin), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin), ia orang yang suka berperkara, sehingga hartanya yang banyak itu habis karena kesukaannya tersebut, ia keras kepala, dan ia anak yang manja dan nakal waktu kecilnya, tidak menghormati orang lain dan ia tidak menjadi orang yang berkelakuan baik, karena kecilnya sagat dimanja oleh ibunya. Ia pemarah, bengis, angkuh dan tidak hormat kepada orang lain, pemalas dan pemboros, selain itu ia tamak, dengki dan khizit, tabiat itu sudah menyatu dalam darahnya, mudah terpengaruh, loba dan khianat, dan ia orang yang tak acuh terhadap keluarga, licik, kasar, berfikiran negative, pemarah. Namun ternyata ia cepat putus asa dan ketika ia akan meninggal ia mau mengakui kesalahan.
-          Baginda Mulia (Saudara Sutan Baringin), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin).  Ia orang yang baik hati, tenang dan penyabar, cinta persaudaraan dan senang berdamai. Ia pekerja keras, saat ayaahnya meninggal dunia, ketika ia sudah besar, ia merantau ke Deli untuk mencari pekerjaan, namun ia cinta tanah air/tempat kelahirannya jadi ia tak melupakan tanah klahirannya.
-          Ibu Sutan Baringin, sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang penyayang dan bijaksana.
-          Ayah Sutan Baringin, sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). ia orang yang penyabar, orang yang keras, jika ia mendidik anak tak segan-segan dengan pukulan jika anak tersebut salah, namun ia orang yang bijaksana.
-          Kasibun (Suami Riam), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang pandai memelihara diri, badannya yang agak tua lebih muda dipandang daripada yang sebenarnya, karena pandainya ia merawat diri. Ia pintar dan cerdik namun ia sombong, tak acuh dan berkelakuan bengis.
-          Ibu Aminuddin, sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ibu Aminu’ddin orang yang berbudi baik, dan bijaksana.
-          Ayah Aminuddin (Baginda Diatas), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang berbudi baik dan bijaksana, sehingga ia disegani, namun ia orang yang pemilih-milih, apalagi kalau memilihkan menantu untuknya.
-          Marah Sait (Sahabat Sutan Baringin), sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). ia orang yang pandai berkata-kata, karena ia seorang pokrol bambu, sudah tentu ia pandai berkata-kata untuk urusan berperkara, namun ia pandai membodohi orang, ia cerdik, setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya memang digunakannya untuk mencari keuntungan dari orang yang membutuhkan bantuannya jika hendak berperkara, namun ia tidak memperdulikan orang lain, ia hanya mengambil keuntungan dari orang yang meminta bantuannya, ia mata duitan, picik.
-          Kepala Pengadilan Sipirok sebagai tokoh bawahan karena tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya mendukung tokoh utama (Mariamin dan Aminu’ddin). Ia orang yang suka menasihati tentang kebaikan, dan ia suka mengingatkan tentang kebaikan.

(4)   Latar dalam novel tersebut yaitu Latar Tempat: Di Rumah Mariamin, kamar Mariamin, Kota Sipirok, Kota Deli, di dapur, sawah, sungai, ruang makan, pengadilan, kantor pos, rumah datu/dukun, beranda rumah, stasiun kereta, kamar Aminu’ddin, kuburan,  perahu, rumah Kasibuan, Medan, kantor polisi. Latar waktu: Fajar, pagi, siang, petang, dan malam. Latar Lingkungan Sosial: Lingkungan Sosial ekonomi rendah, lingkungan orang kaya, lingkungan yang bebas  (kehidupan malam). Latar Suasana: Suasana mengharukan, menyedihkan, riang, tegang dan  tragis

(5)   Pengarang mengungkapkan novel Azab dan Sengsara dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, pribahasa, pepatah, pantun, syair dan cerpen (cerpen di dalam novel). Dan pengarang menggunakan gaya deskriptif, gaya ekspositif dan gaya bahasa kiasan.


(6)   Dalam novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, titik pengisahan yang dipergunakan oleh Merari Siregar adalah sebagai pengamat, yaitu dengan cara titik pengisahan maha tahu. Karena Merari Siregar menyebut tokoh di dalam novel menggunakan kata ia/dia, dan menggunakan nama orang, lebih dari itu Merari Siregar menjelaskan secara pasti keadaan hati atau perasaan para tokoh, jalan fikirannya dan lain-lain.

(7)   Dalam novel terdapat amanat umum dan amanat khusus, tentang kesederhanaan, tentang kasih sayang terhadap makhluk hidup, tentang menjaga hubungan persaudaraan, tentang keagamaan, kebijaksanaan, kesetiaan, kesopanan dan tentang kasabaran.

















DAFTAR PUSTAKA

Calzoum, Sutardji Bachrie. 2002. O Amuk Kapak. Jakarta: Yayasan Obor dan Majalah Horison.
Feist, Jess dan Feist J. Greory. 2010. Teori Kepribadian (Theories of Personality.) Jakarta: Salemba Humanika.
Ferdinand, S. Howard dan Schustack, W. Miriam. 2010. Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: ERLANGGA.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Marhijanto, Bambang. 1999. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini. Surabaya: Terbit Terang.
Minderop, Albertine. 2011. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2010. Pengkajian PUISI. Yogyakarta: GADJAH MADA UNIVERSITY PRESS.
Sadikin, S.s Mustofa. 2010. Kumpulan Sastra Indonesia. Jakarta: Gudang Ilmu
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero)
Sugianto Mas, Aan. 2013. Kajian Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan. Universitas Kuningan.
Sugianto Mas, Aan. 2012. Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra. Kuningan. Universitas Kuningan.





2 comments:

  1. sangat membantu, izin copas ya sist untuk tugas

    ReplyDelete
  2. thank you. ini lengkap banget! gua gaperlu repot2 baca.

    ReplyDelete

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2