Sunday, May 31, 2020

SEJARAH SASTRA ANGKATAN 1900-1933



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Sejarah tidak berkembang kearah masa depan dengan tujuan pasti, melainkan bergerak seperti lingkaran yang tinggi rendahnya diakibatkan oleh keadaan manusia. Artinya yang dipelajari dalam sejarah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau sebagai cermin untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. (Herodatus (484-425) (dalam Jejen Jaelani, 2014: 2).
Danziger dan Johnson dalam Budianta (2006: 7) melihat sastra sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa sebagai media dalam karya sastra tentu saja bukan bahasa biasa seperti yang sering kali digunakan manusia sehari-hari, melainkan bahasa yang khas yang telah diproses sedemikian rupa dan terpilih menjadi media yang dapat mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan, tatnggapan, fantasi, kehendak, cita-cita, dan perasaan penciptanya. Bahasa menjadi sangat primer bagi kebutuhan pencipta sastra. (Jejen Jaelani, 2014: 2).
Sejarah sastra pada dasarnya membicarakan mengenai peristiwa-peristiwa penting yang dijelaskan secara kronologis sehingga terlihat adanya perkembangan pada bidang sastra. Peristiwa penting yang dimaksud dalam sejarah sastra adalah peristiwa-pwristiwa yang berkaitan dengan kesastraan, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi sosial-budaya-politik yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa penting tersebut.
Ilmu sejarah ada karena dorongan dasar manusia untuk mengabadikan peristiwa masa lampau dalam bentuk rangkaian cerita yang disusun secara kronologis agar dapat diketahui oleh orang-orang yang akan lahir di masa depan, difahami dan masyarakat bisa belajar dari pengalaman masa lampau dengan harapan memperoleh masa depan yang lebih baik.
Namun pada kenyataannya ilmu sejarah di Indonesia terbilang tidak popular, usianya juga masih muda jika dihitung dari pertumbuhannya akhir tahun 1950-an. Masyarakat tak acuh terhadap sejarah dan perkembangannya, sehingga Ilmu sejarah kurang begitu diminati, walaupun ada beberapa masyarakat penggemar sejarah.
Maka dari itu, penulisan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui masa permulaan sejarah sastra serta perkembangannya. Agar sejarah sastra tak hanya menjadi sebuah cerita sejarah, tapi juga diketahui oleh masyarakat luas. Periode sastra yang akan kami terliti adalah sejarah sastra periode 1900-1933.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Peristiwa apa sajakah yang terjadi pada periode sastra 1900-1933?
2.      Karya sastra apa sajakah yang terkenal pada periode sastra 1900-1933?
3.      Siapa sajakah pengarang yang terkenal pada periode sastra 1900-1933?
4.      Bagaimana karakteristik karya sastra pada periode sastra 1900-1933?

C.      Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan penelitian ini adalah:
1.    Untuk mengetahui peristiwa apa sajakah yang terjadi pada periode sastra 1900-1933.
2.    Untuk mengetahui karya sastra apa sajakah yang terkenal pada periode sastra 1900-1933.
3.    Untuk mengetahui siapa sajakah pengarang yang terkenal pada periode sastra 1900-1933.
4.    Untuk mengetahui bagaimana karakteristik karya sastra pada periode sastra 1900-1933.







BAB II
LANDASAN TEORI
A.      Pengertian Sastra
Secara etimologi kata sastra, yang berasal dari bahasa Sansekerta, dibentuk dari akar kata sas dan -tra. Sas mempunyai arti 'mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk'; sedangkan -tra mempunyai 'alat, atau sarana'. Karena itu, kata sastra dapat berarti 'alat untuk mengajarkan atau buku petunjuk'. Dengan arti ini, dalam bahasa Sanskerta dapat dijumpai istilah Silpasastra yang berarti 'buku arsitektur', dan Kamasastra yang berarti 'buku petunjuk seni bercinta'.
Secara harfiah kata sastra berarti 'huruf, tulisan, atau karangan'. Lalu karena tulisan atau karangan biasanya berwujud buku, maka sastra berarti juga 'buku'. Itulah sebabnya, dalam pengertian kesusatraan lama, istilah sastra berarti buku, baik yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan dan undang-undang.
Dalam perkembangan selanjutnya, kata sastra mendapat imbuhan su, yang dalam bahsa Jawa berarti 'baik atau indah'. Dengan demikian, pengertiannya berkembang juga menjadi 'buku ynag baik dan indah', dalam arti baik isinya dan indah bahasanya. Kata susastra itu pun berkembang juga dengan mendapat imbuhan gabungan (konfiks) ke-an, sehingga menjadi kesusastraan yang berarti 'hal atau tentang buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya'.
Kesusastraan pada dasarnya adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana untuk mencapai target. Atau dengan kata lain, sastrawan hanya meminjam alat komunikasi yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. (Wibowo, 1995: 55).
(Esten (2000: 7) dalam Jejen Jaelani, 2014: 3) mengemukakan bahwa pengertian kesusastraan berkembang melebihi pengertian etimologis tersebut. kata “indah” amat luas maknanya, tidak saja menjangkau pengertian-pengertian, tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat rohaniah. misalnya, bukankah pada wajah yang jelek orang masih bisa menemukan hal-hal yang indah.
Selanjutnya Danziger dan Jhonson dalam Budianta (2006 : 7) dalam Jejen Jaelani, 2014: 4) melihat sastra sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa sebagai media dalam karya sastra tentu saja bukan bukan bahasa biasa seperti yang seringkali digunakan manusia sehari-hari, melainkan bahasa yang khas yang telah diproses sedemikian rupa dan terpilih menjadi media yang dapat mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan, tanggapan, fantasi kehendak, cita-cita, dan perasaan penciptanya. Bahasa menjadi sangat primer bagi kebutuhan pencipta sastra.
Dari zaman ke zaman, usaha untuk membatasi sastra rupanya berjalan terus. Dalam  bahasa-bahasa Barat, gejala yang akan dicari batasannya ialah literature (bahasa inggris), literature (bahasa jerman), litterarure (bahasa perancis), literature (bahasa belanda),yang semuanya berasal dari bahasa latin, yakni literatuur. Dengan demikian, kata literature, literature, dan seterusnya pada umumnya berarti ‘ segala sesuatu yang tertulis, pemakaian bahasa dalam bentuk tulis’.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sastra dipandang sebagai kegiatan seni, yaitu ‘hasil kegiatan kreatif manusia yang dituangkan ke dalam media bahasa, baik lisan maupun tulisan’.
B.       Ilmu-ilmu Sastra
1.      Cabang-cabang Ilmu Sastra
Ilmu sasta meliputi tiga macam cabang ilmu, yakni teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Dalam wilayah studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra, sebab ketiga cabang ilmu tersebut mempunyai objek penyelidikan yang tertentu.
Teori sastra menyelidiki dasar-dasar pengertian tentang hal-hal yang bersangkut paut dengan sastra, misalnya hakikat sastra, fungsi sastra, masyarakat sastra, bentuk sastra, aliran-aliran, unsur-unsur sastra, dan yang lainnya.
Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula pertumbuhannya sampai kepada perkembangannya yang sekarang. Yang menjadi objek penyelidikannya adalah periodisasi sastra, perkembangan aliran yang ada pada suatu periode, karakteristik karya sastra pada suatu periode.
Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra yang mengadakan penyelidikan lagsung terhadap suatu karya sastra tertentu. H.B. Jassin mengutarakan bahwa kritik sastra adalah  pertimbangan baik buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu tentunya memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan. Sedangkan Andre Harjana mengatakan bahwa kritik sastra merupakan hasil usaha mencari nilai hakiki  karya sastra melalui pemahaman, penafsiran dengan sistematik dalam bentuk tulisan. Dari dua uraian tersebut cukup bisa disimpulkan bahwa kritik sastra adalah upaya menentukan nilai-nilai hakiki sebuah karya sastra dalam bentuk memberi pujian, menunjukan kesalahan, memberikan pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran yang sistematis.
Kritik sastra yang baik adalah kritik sastra yang mampu menghibur pembacanya (pada dasarnya membaca kritik sastra adalah membaca “pengalaman baru”. Pengalaman baru jika dihayati dan kemudian menimbulkan rasa penasaran pembaca, tentu berarti menghibur), mampu mendidik pembacanya, mengingat banyak sekali kenyataan objektif dalam karya sasrta yang berkaitan dengan masalah nilai-nilai luhur dan mampu mencerdaskan pembacanya (pada dasarnya membaca kritik sastra, langsung tidak langsung membuat pembacanya bersikap kritis terhadap uraian kritikus atau uraian sastrawannya, sekalipun masih samar-samar karena belum melakukan kontak langsung dengan karya sastranya). (Wibowo, 1995: 18).
2.      Hubungan Timbal Balik antara Cabang-cabang Ilmu Sastra
Cabang ilmu sastra yang akan dibahas pada uraian ini terbatas pada teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Ketiga cakupan ilmu sastra tersebut  bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Masing-masing saling menunjang, baik untuk kepentingan ilmu sastra itu sendiri maupun untuk kepentingan perkembangan kehiduan sastra (Esten, 1984:15-16). Hubungan dari ketiga cabang ilmu sastra tersebut bersifat timbal balik, artinya saling melengkapi.
a.         Hubungan Sejarah Sastra dengan Teori Sastra
Penyelidikan tentang sejarah sastra banyak memerlukan bahan-bahan pengetahuan tentang teori sastra. Pembicaraan tentang suatu angkatan tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang gaya bahasa, aliran, genre sastra, tema, dan sebaliknya.
Sebaliknya teori sastra pun memerlukan bahan-bahan dari hasil penyelidikan sejarah sastra. Pembicaraan tentang gaya bahasa atau tentang suatu aliran tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sastra secara keseluruhan.
b.        Hubungan Sejarah Sastra dengan Kritik Sastra
Penyelidikan sejarah sastra memerlukan bantuan juga dari kritik sastra. Tidak semua karya sastra yang penuh terbit dijadikan bahan penyelidikan sejarah sastra, melainkan terbatas pada sejumlah karya tertentu.
Sebaliknya kritik sastra pun membutuhkan bahan-bahan dari sejarah sastra terutama dalam usaha menentukan berhasil tidaknya suatu karya atau ada tidaknya unsur pengaruh dari sastra lain.
c.         Hubungan Kritik Sastra dengan Teori Sastra
Hubungan kedua cabang ilmu sastra tersebut sangatlah jelas . usaha kritik sastra tidak akan berhasil tanpa dilandasi oleh dasar-dasar pengetahuan tentang teori sastra. Esten (1984:16) mengatakan bahwa kritik sastra memerlukan penguasaan terhadap bidang cakupan teori satra seperti prinsip sastra, kategori sastra, dan kriteria sastra. Teori sastra merupakan sebagian modal bagi pelaksanaan kritik sastra.
Sebaliknya teori sastra pun memerlukan bahan-bahan dari kritik sastra bahkan sebaliknya kritik sastra merupakan pangkal dari teori sastra. Teori tanpa data merupakan teori yang kosong (in vacuo).
C.      Sejarah Sastra
Secara etimologi, kata sejarah (history) berasal dari kata benda Yunani istoria yang berarti “ilmu”. Oleh filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis mengenai seperangkat gejala alam, enatah susunan kronologi merupakan factor atau tidak di dalam pertelaan. (Jejen Jaelani, 2014: 1)
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia, sejarah sastra Belanda, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu tampaklah bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang masa pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa.
Luxembrug (1984: 200-2012) menjelaskan bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu dihubungkan dengan perkembangan di luar sastra seperti sosial, politik, dan filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam arus sejarah dan di dalam konteksnya. Hal tersebut senada dengan Teeuw (1984:325) yang mengatakan bahwa penulisan sejarah sastra berada dalam tegangan antara perkembangan intirinsik dan perkembangan sosial-budaya-politik dalam masyarakat yang mengahsilkan sastra tersebut. Artinya sejarah sastra ditulis dalam isolasi terhadap sejarah umum. Contoh jelas misalnya sejarah sastra Indonesia modern, kitannya dengan sejarah sosio-budaya-politik indonesia tidak dapat disangkal lagi. (Jejen Jaelani, 2014: 6).
Sejarah sastra pada dasarnya membicarakan mengani peristiwa-peristiwa penting yang dijelaskan secara kronologis sehingga terlihat adanya perkembangan pada bidang sastra. Peristiwa penting yang dimaksud dalam sejarah sstra ialah peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan kesatraan, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi sosial-budaya-politik yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa penting tersebut.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud sejarah sastra adalah pengetahuan atau uraian tentang peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai dengan sekarang.
D.      Sejarah Sastra Indonesia Periode 1900-1933
Pada akhir abad ke-19 pemerintah banyak membuka sekolah untuk orang-orang bumiputra, dengan tujuan untuk mendidik pegawai-pegawai yang dibutuhkan oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi sekolah-sekolah yang tidak diharapkan akan tumbuh dan berkembang, justru berkembang makin pesat, banyak masyarakat yang pandai membaca dan menulis. Melihat minat masyarakat yang pesat dalam hal membaca, maka pemerintah Belanda merasa khawatir jika rakyat membaca buku-buku dari luar negeri.
Sejalan dengan politik etis (politik balas budi) yang ketika itu menjadi kebijaksanaan umum dalam menghadapi daerah jajahanya, maka pemerintah Belanda punya pikiran untuk membendung bangkitnya kesadaran nasional dengan mengadakan semacam bimbingan dalam soal bacaan rakyat. Maka tahun 1908 didirikanlah Commissie Voor de Inlandsche School en Volksslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat dan Sekolah-Sekolah Bumi Putra). Pada tahun 1917 namanya diganti menjadi Balai Pustaka, dan Balai Pustaka kemudian berkembang dengan pesat. Adapun hal-hal yang diusahakan oleh Balai Pustaka adalah sebagai berikut.
1.    Membukukan cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat. Jika tidak dibukukan, lama-kelamaan akan hilang.
2.    Menerjemahkan sastra Eropa yang bermutu dipandang dari segi sastra. Dengan demikian kita juga dapat berkenalan dengan kesusastraan asing.
3.    Menerbitkan buku-buku bacaan sehat bagi rakyat Indonesia, juga buku-buku yang dapat menambah pengetahuan dan kecerdasan rakyat. Misalnya, buku-buku yang berisi petunjuk bagaimana menjaga kesehatan, cara bercocok tanam, beternak, dan sebagainya.

Bagi perkembangan kesusastraan Indonesia, berdirinya Balai Pustaka memberikan kesempatan dan kemungkinan kepada rakyat Indonesia untuk berkarya sekaligus memperoleh bacaan sehat. Balai Pustaka telah memberikan dorongan maju dalam bidang karang-mengarang atau tulis-menulis. Dari sinilah kemudian muncul pengarang-pengarang yang kemudian kita kenal sebagai pelopor Angkatan Balai Pustaka, seperti Nur Sutan Iskandar, Marah Rusli, Abdul Muis dan sebagainya.





BAB III
PEMBAHASAN
A.      Peristiwa Sastra Indonesia 1900-1933
Pada tahun 1848 Pemerintah jajahan Hindia Belanda mendapat kekuasaan da Raja mempergunakan uang sebanyak sebesar f25.000 setiap tahun untuk keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak bumiputera, terutama para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat.
Dengan didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatlah pendidikan dan timbullah kegemaran membaca rakyat Bumiputera. Beberapa orang berbakat mulai menulis rupa-rupa karangan, baik berbentuk uraian maupun cerita yang sifatnya memberi penerangan kepada Rakyat.
 Banyak surat kabar yang dicetak, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan dalam Bahasa Melayu juga, dan tersebar di berbagai kota, misalnya pada abad ke-19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862), di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta terbit Bianglala (1867).
Tahun 1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat sastra. Awal abad 20 di Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita-cerita bersambung yang berbentuk roman yang ditulis dalam Bahasa Melayu dan mengisahkan kehidupan masyarakat Bumiputera pada masa itu, yang menarik ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang ditulis H. Moekti. Disamping itu pemimpin redaksi Medan Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua buah roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Semaun menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang dilarang beredar oleh pemerintah. Ketika tahun 1926, Semaun yang menjadi salah seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia gagal melakukan pemberontakan, ia melarikan diri ke Rusia dan kembali saat Indonesia merdeka. Karena sifat-sifat dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, karangan-karangan itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang liar”.
Kaum terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia.
Pada tahun 1914 terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D. K. Ardiwinata (1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan J. Van Maurik. Dua tahun kemudian terbit roman pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922), kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.

B.       Karya Sastra dan Pengarang Periode 1900-1933
1.         Mohamad Yamin
Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903. Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik. Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Sajak-sajaknya yang terkenal pada periode 1900-1933 adalah:
-          Tanah Air (1920)
-          Tumpah Darah Indonesia
-          Bahasa, bangsa (1920)

2.         Roestam Efendi
Roestam Effendi lahir di Padang, Sumatera Barat, 13 Mei 1903 – meninggal di Jakarta, 24 Mei 1979 pada umur 76 tahun). Ia adalah seorang sastrawan Indonesia asal Minangkabau dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Keberadaannya dalam khasanah sastra Indonesia cukuplah penting. Semangat perlawanan terhadap pemerintah penjajahan dituangkan dalam penulisan sajak dan drama yang bersifat metaforik, dan menjadi pembaharu dalam gaya.
Roestam tamatan Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi yang kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere Kweekschool voor Indlanse Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk Guru Bumiputra) di Bandung. Pada tahun 1926 ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan Hoofdakte. Sejak masih duduk di bangku sekolah, Roestam sudah banyak menaruh minat pada soal-soal kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak memperbaharui dunia sandiwara yang saat itu lebih bersifat komedi stambul.
Sebelum pergi ke Belanda, Roestam sempat beberapa lama menjadi kepala sekolah di Adabiah, Padang. Sebelum di Adabiah, ia pernah diangkat menjadi Waarnemend hoofd pada sekolah tingkatan HIS di Siak Sri Indrapura. Namun pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia kemudian mendirikan sekolah partikelir yang diberi nama "Adabiah". Sebagai kepala sekolah, ia merasa memiliki kemerdekaan untuk berbuat. Sehingga ketika ia mengepalai sekolah, ia juga terjun ke dunia politik dan aktif menulis.
Selama 19 tahun (1928-1947) ia menetap di Belanda, dan bergabung dengan Partai Komunis Belanda (Communistische Party Nederland, CPN) dan selama 14 tahun (1933-1946) Roestam merupakan satu-satunya orang Hindia Belanda yang pernah menjadi anggota Majelis Rendah (Tweede Kamer) mewakili partai tersebut. Di dunia sastra, keseriusannya untuk mengembangkan sastra Melayu diperlihatkan dengan kegigihannya mempelajari hasil-hasil kesusastraan Melayu seperti hikayat, syair, dan pantun. Pada masa awal kepengarangannya, Roestam sering menggunakan nama-nama samaran seperti Rantai Emas, Rahasia Emas, dan Rangkayo Elok. Karya Roestam yang cukup terkenal ialah Bebasari, yaitu naskah drama yang ditulisnya pada tahun 1920-an. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia (Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda. Sedangkan puisinya yang terkenal adalah:
-          Bukan Beta Bijak Berperi
-          Mengeluh

3.         Nur Sutan Iskandar
Nur Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang, Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di Padang.
Selanjutnya berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur Kepala pada Balai Pustaka, dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di Universitas Indonesia Jakarta, salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus Partai Indonesia Raya, pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia. Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada karyanya, yakni mengarang.
Banyak sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya amat lancar dan terjaga dengan baik, dengan sangat teliti ia menggambarkan lokasi cerita, hingga mampu membuat karyanya sangat menarik. Adapun karyanya pada periode ini antara lain:
-            Cinta yang Membawa Maut (1926)

4.        Marah Rusli
Seorang bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17 Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan pada zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta. Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka, melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain adalah:
-       Siti Nurbaya (1922)





5.        Abdul Muis
Abdul Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai Puar, Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959 di Bandung. Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi wartawan dan pemimpin Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh otonomi yang lebih besar bagi Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah pula menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia) ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1920.
Sebagai penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa Barat hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman ini sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu. Selain itu, roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan masalah diskriminasi ras (keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang lebih menarik lagi karena persoalan ini diungkap karya sastra.
6.        Merari Siregar
Merari Siregar, lahir 13 juli 1896 di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara. Kehidupan masa kecilnya di Sipirok, membuat sikap, perbuatan, dan jiwanya terpengaruh oleh kehidupan masyarakat Sipirok. Namun, ketika ia telah menempuh pendidikan, ia menyaksikan kehidupan suku bangsanya tak lagi sesuai dengan tuntutan zaman. Hal itulah yang melatarbelakangi dirinya menulis novel Azab dan Sengsara.
Merari Pernah menimba pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) dan Sekolah Guru Oost en West (Timur dan Barat) di Gunung Sahari, Jakarta. Tahun 1923 Merari duduk di bangku sekolah swasta yang didirikan oleh Vereeninging tot van Oost en West, yang ketika masa itu merupakan organisasi yang aktif dalam mempraktikkan politik etis Belanda.
Selepas lulus dari sekolah, Merari Siregar mula-mula bekerja sebagai guru bantu di Medan, kemudian pindah kerja ke Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Mangunkusumo). Setelah bekerja di rumah sakit, Merari Siregar pindah ke Kalianget, Madura. Ia bekerja di Opium end Zouragie hingga akhir usianya. Beliau tutup usia pada tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura, meninggalkan seorang isrti dan tiga orang anak bernama Florentinus Hasajangu MS, Suzzana Tiurna Siregar, dan Theodorus Mulia Siregar.
Agaknya, profesi Merari Siregar sebagai guru, mewarnai gaya bercerita pada hampir semua karya-karyanya. Penggunaan bahasa yang lancer dan rapi serta kecenderungan menasihati, mengecam, dan memuji-muji tindakan yang menurutnya baik, mewarnai hampir semua karyanya.
Selain dikenal sebagai pengarag, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya sadurannya yang terkenal adalah Si Jamin dan Si Johan yang merupakan saduran dari Jan Smees karya sastrawan Belanda Justus van Murik yan terbit tahun 1979. Konon cerita Jan Smees sendiri berasal dari cerita Oliver Twist karya Charles Dicknes. Si Jamin dan Si Johan terbit pertama kali tahun 1918, dua tahun sebelum Azab dan Sengsara diterbitkan (1920).

C.      Karakteristik Karya Sastra Periode 1900-1933
Sastra Balai Pustaka lahir sekitar tahun 20-an, di mana kehidupan masyarakat Indonesia dalam masa penjajahan. Di bawah penindasan kaum penjajah, masyarakat kita memiliki sikap, cita-cita, dan adat istiadat yang isinya memberontak. Hal tersebut karena dalam kehidupan mereka selalu diwarnai peristiwa-peristiwa sosial dan budaya yang sengaja diciptakan oleh pihak penjajah, yakni pemerintah Belanda. Hal inilah yang menjadi ciri atau karakteristik sastra pada masa itu. Umumnya karakteristik sastra suatu periode dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) situasi dan kondisi masyarakat, (2) sikap hidup dan cita-cita para pengarang, dan (3) sikap dan persyaratan yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah. Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka karakteristik karya sastra peride 1900-1933 adalah sebagai berikut:

Ø  Puisi
Puisi-puisi yang terkenal pada periode 1900-1933 sebagai berikut:


1.        Mohammad Yamin
Tanah Air (1920)
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;

Tampaklah Hutan, rimba, dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula;
Langit yang hijau bertukar warna;
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata;
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, disebelah situ,
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera, namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudera Hindia,
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah kepasir lalu berderai,
Ia memekik berandai-randai :
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera,
“Harumkan nama, selatan utara !”
·        Puisi Tanah Air termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema kebangsaan.
·        Puisi ini merupakan karya pertama yang mencoba keluar dari pakem puisi lama yang lazim ditulis dalam empat larik pada setiap baitnya, sementara Yamin menulisnya dalam sembilan larik.
·       Yamin menulis dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.

-            Tumpah Darahku
Kita teguh
Bercerai kita runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya. Tanah airku
Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di alam nan lapar
Tumpah darah Nusa India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia
·        Puisi Tumpah Daraku termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema Kesadaran Nasionalisme.
·        Puisi ini merupakan karya pertama yang mencoba keluar dari pakem puisi lama yang lazim ditulis dalam empat larik pada setiap baitnya, sementara Yamin menulisnya dalam tujuh larik.
·       Yamin menulis dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.

-            Bahasa, bangsa (1920)
Selagi kecilberusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda.
Ibu bernyanyi, lagu dn dendang
Memuji si anak banyaknya sedang:
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang.

Terlahir di bangsa, berbahasa sendairi
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di Tanah Melayu
Berduka suka sertaka rayu;
Perasaan tersikat menjadi padu
Dalam bahasanya, permai merdu.

Menatap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernafas kita memanjangkan raya
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatra, di situ bangsa,
Di mana Perca, di sana bahasa.

Andalasku sayang, jana bejana
Sejakkan kecil muda taruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa tiadakan pernah;
Ingat pemuda, Sumatera hilang
Tiada bahasa, bangsa pun malang.
·        Puisi Bahasa, Bangsa termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema Menjunjung tinggi bahasa Indonesia.
·        Puisi ini merupakan karya pertama yang mencoba keluar dari pakem puisi lama yang lazim ditulis dalam empat larik pada setiap baitnya, sementara Yamin menulisnya dalam enam larik.
·       Yamin menulis dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.





2.        Roestam Effendi
-          Bukan Beta Bijak Berperi
Bukan beta bjijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.

Saraf-saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.

Susa sungguh saya sampaikan,
Degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasain waktu.

Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit menekat,
Sebab terkurang lukisan mamang.

Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
·        Puisi Bukan Beta Bijak Berperi termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema kebangsaan.
·       Puisi ini merupakan puisi yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
·       Roestam menulis dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.

-          Mengeluh
Bukanlah beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disumur sukar,
Bermandi darah, dicucurkan dendam.

Menangis mata melihat makhluk,
Berharap bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.

Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
Membobos masuk menyanyu kalbu
Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat, sedanan rusuh,
Menghimpit mandah, gubahan cintaku.

II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebrakan tangan yang tiada terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayup kemerdekaan ra’yat?

Bilakah lawang bersinar bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?

Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.

Di situlah baru bersukar beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput menikam bangsaku.

·        Puisi mengeluh termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema perjuangan merebut kebebasan.
·       Puisi ini merupakan puisi yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
·       Roestam menulis dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.
Berdasarkan analisis dari puisi-puisi diatas, didapat beberapa karakteristik puisi pada periode ini, yaitu:
-            Kebanyakan tema yang diangkat dalam puisi-puisi diatas adalah tema “kebangsangan”.
-            Isinya banyak menceritakan bangsa sendiri.
-            Bentuk puisinya mencoba keluar dari pakem puisi lama yang berbentuk empat larik dalam satu bait.
-            Bahasa yang digunakan bahasa Melayu, sebagai bentuk kepeloporan dalam merintis Bahasa Indonesia.
-            Berdasarkan alirannya, puisi-puisi periode ini masuk aliran ekspresionisme , aliran ini biasanya subjektif atau mengutamakan pendapat pribadi si penulis.



Ø  Roman
Roman-roman yang terkenal pada periode 1900-1933:
1.        Azab dan Sengsara (Merari Siregar), temanya adalah kesengsaraan (keluarga Maryamin) karena adat dan kebiasaan di daerah Sipirok. Dibuktikan dengan kutipan:
Nyatalah sekarang betapa bahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada disertai cinta kasih keduanya. Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu akan membuang adat itu dan kebiasaan yang mendatangkan kecelakaan kepada manusia itu. (Siregar, 1920: 70).

Sedangkan gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-          Pengarang mengungkapkan novel Azab dan Sengsara dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, pribahasa, pepatah, pantun, syair dan cerpen (cerpen di dalam novel).
-          Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.
-          Pengarang mengungkapkan novel ini dengan alur nonkonvensional/ sorot balik/ flash back.
-          Pengarang menggunakan gaya melayu, karena latar lingkungan tempat peristiwa-peristiwa terjadi di daerah Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara.

2.        Salah Asuhan (Abdul Muis), temanya adalah tentang perbedaan adat istiadat.
Kawin campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh manusia juga Corrie! Karena masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu penyakit ‘kesombongan bangsa’. Sekalian orang, masing-masing dengan peerasaannya sendiri, menyalahia akan bangsanya, yang menghubungkan hidup kepada bangsa lain, meskipun kedua suami itu isteri itu sangat berkasih-kasihan.(Muis, 1928)
Sedangkan gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-            Isi keseluruhan cerita yang menjadi perhatiannya bukan lagi tentang adat kawin paksa, tetapi ialah akibat-akibat lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke anak-anak bangsanya melalui pendidikan sekolah colonial Belanda.
-            Secara kuantitatif susunan laur/plot novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis adalah alur tunggal. Karena cerita hanya mempunyai satu susunan peristiwa.
-            Dalam novel Salah Asuhan pengarang banyak menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Belanda
-            Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.

3.        Siti Nurbaya (Marah Rusli), temanya adalah kesetiaan pada kekasih.
Sedangkan gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-          Pengarang mengungkapkan novel Siti Nurbaya dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, dan pepatah.
-          Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.
-          Pengarang mengungkapkan novel ini dengan alur konvensional.
-          Pengarang menggunakan gaya melayu, karena latar lingkungan tempat peristiwa-peristiwa terjadi di Sumatra Utara.

4.        Cinta yang membawa maut (Nur St. Iskandar), temanya adalah kesengsaraan  (Syamsiah dan Dahlan) karena adat dan kebiasaan di daerah Minangkabau.
Sedangkan gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-          Pengarang mengungkapkan novel Cinta yang membawa maut dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, dan pepatah.
-          Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.
-          Pengarang mengungkapkan novel ini dengan alur konvensional.
-          Pengarang menggunakan gaya melayu, karena latar lingkungan tempat peristiwa-peristiwa terjadi di Sumatra Utara.

Berdasarkan analisis dari roman-roman diatas, didapat beberapa karakteristik roman pada periode ini, yaitu:
-          Bahasa yang digunakan penulis dalam novelnya kebanyakan menggunakan gaya Melayu, karena dipengaruhi latar dalam novel.
-          Tema-temanya kebanyakan mengenai adat, dan pertentangan kaum muda dan golongan orang tua.
-          Pada umumnya berisi perjuangan kaum muda yang gagal dalam menghadapi kejanggalan-kejanggalan adat pada masa itu.
-          Ada juga yang berisi pertentangan antara kaum muda yang bersifat modern dan kaum tua yang bersifat kolot.
-          Masih disisipkan bentuk-bentuk lama pribahasa, pantun, dan syair, padahal tidak ada hubungannya dengan jalan cerita.
-          Penokohan atau karakter tokoh dalam sebuah roman kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.
-          Seorang penulis yang penuh dengan idealisme cenderung untuk mempertentangkan dua dunia secara ekstrem, sehingga menjadi stereotaip. Jadi kita berhadapan dengan dunia yang mempunyai hubungan genetic dengan stereotaip ((cf. A. Lorenzer, 1976: 140), dalam Junus, 1986: 8).
-          Seorang pengarang dalam membuat karya sastra, menghubungkan kenyataan dengan sosial budaya atau adat istiadat di daerah tersebut.
-          Berdasarkan alirannya, kebanyakan novel pada periode ini termasuk aliran impresionisme. Aliran ini memperlihatkan kesan atau sesuatu yang disimpulkan, setelah mengamati suatu kejadian. Kesan tersebut diceritakan kembali secara objektif dan sesuai dengan kenyataan.

Ø  Drama
Tak banyak drama yang terkenal pada periode 1900-1933, ada satu drama pertama yang ditulis oleh Rustam Effendi, yaitu “Bebasari”, karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah Hindia-Belanda.
Di dalamnya dikisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari cengkraman keserakahan Rahwana. Sebagai drama, Bebasari barangkali kurang menarik dan sulit dimainkan di panggung, sehingga disebut closet drama. Mungkin memang bukan itu maksud pengarangnya , bahwa drama ini merupakan sebuah perlambangan atau simbolisme dari cita-cita pengarangnya, agaknya jelas dari judulnya yang mengandung perkataan “bebas”. Kekasih yang hendak dibebaskan si pemuda dari Rahwana itu mudah diterka sebagai lambang tanah air yang sedang berada dalam cengkraman penjajah. Karena itu tidak usah heran kalau buku ini segera dilarang beredar oleh pemerintahan jajahan Belanda. Dari segi sejarah sastra Indonesia buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Berdasarkan analisis drama tersebut dapat dilihat karakteristik drama pada periode ini, yaitu:
-          Temanya tentang perjuangan meraih kebebasan,
-          Bentuk dialog-dialognya kebanyakan dialog puitis,
-          Isinya berupa sindiran tentang hidup yang tertekan di bawah penjajahan,
-          Bahasa yang digunakan terasa kaku.
-          Berdasarkan aliran sastra drama ini termasuk ke dalam aliran ekspresionisme simbolisme, yaitu aliran yang mengutamakan pendapat pribadi si penulis yang penulisannya menggunakan lambang.














BAB IV
SIMPULAN
Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula pertumbuhannya sampai kepada perkembangannya yang sekarang. Yang menjadi objek penyelidikannya adalah periodisasi sastra, perkembangan aliran yang ada pada suatu periode, karakteristik karya sastra pada suatu periode yang mencangkup gaya bahasa, aliran, genre sastra, tema dari karya sastra.
Berdasarkan analisis dari beberapa jenis karya sastra seperti puisi, prosa fiksi dan drama dari beberapa pengarang, kami menyimpulkan karakteristik karya sastra pada periode 1900-1933 sebagai berikut:
1.        Puisi
Berdasarkan analisis dari puisi-puisi diatas, didapat beberapa karakteristik puisi pada periode ini, yaitu:
-          Kebanyakan tema yang diangkat dalam puisi-puisi diatas adalah tema “kebangsangan”.
-          Isinya banyak menceritakan bangsa sendiri.
-          Bentuk puisinya mencoba keluar dari pakem puisi lama yang berbentuk empat larik dalam satu bait.
-          Bahasa yang digunakan bahasa Melayu, sebagai bentuk kepeloporan dalam merintis Bahasa Indonesia.
-          Berdasarkan alirannya, puisi-puisi periode ini masuk aliran ekspresionisme , aliran ini biasanya subjektif atau mengutamakan pendapat pribadi si penulis.

2.        Prosa Fiksi
Berdasarkan analisis beberapa roman dari beberapa pengarang, didapat beberapa karakteristik roman pada periode ini, yaitu:
-            Bahasa yang digunakan penulis dalam novelnya kebanyakan menggunakan gaya Melayu, karena dipengaruhi latar dalam novel.
-            Tema-temanya kebanyakan mengenai adat, dan pertentangan kaum muda dan golongan orang tua.
-            Pada umumnya berisi perjuangan kaum muda yang gagal dalam menghadapi kejanggalan-kejanggalan adat pada masa itu.
-            Ada juga yang berisi pertentangan antara kaum muda yang bersifat modern dan kaum tua yang bersifat kolot.
-            Masih disisipkan bentuk-bentuk lama pribahasa, pantun, dan syair, padahal tidak ada hubungannya dengan jalan cerita.
-            Penokohan atau karakter tokoh dalam sebuah roman kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.
-            Seorang penulis yang penuh dengan idealisme cenderung untuk mempertentangkan dua dunia secara ekstrem, sehingga menjadi stereotaip. Jadi kita berhadapan dengan dunia yang mempunyai hubungan genetic dengan stereotaip ((cf. A. Lorenzer, 1976: 140), dalam Junus, 1986: 8).
-            Seorang pengarang dalam membuat karya sastra, menghubungkan kenyataan dengan sosial budaya atau adat istiadat di daerah tersebut.
-            Berdasarkan alirannya, kebanyakan novel pada periode ini termasuk aliran impresionisme. Aliran ini memperlihatkan kesan atau sesuatu yang disimpulkan, setelah mengamati suatu kejadian. Kesan tersebut diceritakan kembali secara objektif dan sesuai dengan kenyataan.

3.        Drama
Berdasarkan analisis drama Bebasari yang merupakan drama pertama pada periode ini, dapat dilihat karakteristik drama pada periode ini, yaitu:
-          Bentuk dialog-dialognya kebanyakan dialog puitis,
-          Isinya berupa sindiran tentang hidup yang tertekan di bawah penjajahan,
-          Bahasa yang digunakan terasa kaku.
-          Berdasarkan aliran sastra drama ini termasuk ke dalam aliran ekspresionisme simbolisme, yaitu aliran yang mengutamakan pendapat pribadi si penulis yang penulisannya menggunakan lambang.
-          Temanya tentang perjuangan meraih kebebasan,
DAFTAR PUSTAKA

Fadriah, Fifin. (2014).  Analisis Unsur Intrinsik Novel Azab dan Sengsara karya Merari               Siregar. Kuningan. Universitas Kuningan.
Jejen Jaelani, Asep. (2014). Sejarah Sastra Indonesia. Kuningan. Universitas Kuningan.
Junus, Umar. (1986). Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Keraf, Gorys. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nuraeni, Maya H. (2014). Analisis Unsur Intrinsik Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Kuningan. Universitas Kuningan.
Rosidi, Ajip. (2013). Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.
Siregar, Merari. (1920). Azab dan Sengsara. Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero)
Sugianto Mas, Aan. (2012). Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra. Kuningan: Universitas Kuningan.
Sugianto Mas, Aan. (2013). Kajian Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan: Universitas Kuningan.
Supradjarto, Drs. Emm. Toto. (1991). Kesusastraan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: SMA KANISIUS.
Wibowo, Wahyu. (1995). Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paronpes.
_____. (2006). Antologi Drama Indonesia 1895-1930. Jakarta: Amanah Lontar



No comments:

Post a Comment

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2