BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sejarah tidak berkembang kearah masa
depan dengan tujuan pasti, melainkan bergerak seperti lingkaran yang tinggi
rendahnya diakibatkan oleh keadaan manusia. Artinya yang dipelajari dalam
sejarah adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau sebagai cermin
untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan. (Herodatus (484-425) (dalam
Jejen Jaelani, 2014: 2).
Danziger dan Johnson dalam Budianta
(2006: 7) melihat sastra sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang
menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa sebagai media dalam karya sastra
tentu saja bukan bahasa biasa seperti yang sering kali digunakan manusia
sehari-hari, melainkan bahasa yang khas yang telah diproses sedemikian rupa dan
terpilih menjadi media yang dapat mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan,
tatnggapan, fantasi, kehendak, cita-cita, dan perasaan penciptanya. Bahasa
menjadi sangat primer bagi kebutuhan pencipta sastra. (Jejen Jaelani, 2014: 2).
Sejarah sastra pada dasarnya membicarakan
mengenai peristiwa-peristiwa penting yang dijelaskan secara kronologis sehingga
terlihat adanya perkembangan pada bidang sastra. Peristiwa penting yang
dimaksud dalam sejarah sastra adalah peristiwa-pwristiwa yang berkaitan dengan
kesastraan, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya sastra,
pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta situasi
sosial-budaya-politik yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa penting
tersebut.
Ilmu sejarah ada karena dorongan dasar
manusia untuk mengabadikan peristiwa masa lampau dalam bentuk rangkaian cerita
yang disusun secara kronologis agar dapat diketahui oleh orang-orang yang akan
lahir di masa depan, difahami dan masyarakat bisa belajar dari pengalaman masa
lampau dengan harapan memperoleh masa depan yang lebih baik.
Namun pada kenyataannya ilmu sejarah di
Indonesia terbilang tidak popular, usianya juga masih muda jika dihitung dari
pertumbuhannya akhir tahun 1950-an. Masyarakat tak acuh terhadap sejarah dan
perkembangannya, sehingga Ilmu sejarah kurang begitu diminati, walaupun ada
beberapa masyarakat penggemar sejarah.
Maka dari itu, penulisan penelitian ini
dimaksudkan untuk mengetahui masa permulaan sejarah sastra serta
perkembangannya. Agar sejarah sastra tak hanya menjadi sebuah cerita sejarah,
tapi juga diketahui oleh masyarakat luas. Periode sastra yang akan kami terliti
adalah sejarah sastra periode 1900-1933.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:
1.
Peristiwa apa sajakah yang terjadi pada
periode sastra 1900-1933?
2.
Karya sastra apa sajakah yang terkenal
pada periode sastra 1900-1933?
3.
Siapa sajakah pengarang yang terkenal
pada periode sastra 1900-1933?
4.
Bagaimana karakteristik karya sastra
pada periode sastra 1900-1933?
C.
Tujuan
Penelitian
Tujuan penulisan penelitian ini adalah:
1.
Untuk mengetahui peristiwa apa sajakah
yang terjadi pada periode sastra 1900-1933.
2. Untuk
mengetahui karya sastra apa sajakah yang terkenal pada periode sastra
1900-1933.
3. Untuk
mengetahui siapa sajakah pengarang yang terkenal pada periode sastra 1900-1933.
4. Untuk
mengetahui bagaimana karakteristik karya sastra pada periode sastra 1900-1933.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Sastra
Secara
etimologi kata sastra, yang berasal dari bahasa Sansekerta, dibentuk dari akar
kata sas dan -tra. Sas mempunyai arti
'mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk'; sedangkan -tra mempunyai 'alat, atau sarana'. Karena itu, kata sastra dapat
berarti 'alat untuk mengajarkan atau buku petunjuk'. Dengan arti ini, dalam
bahasa Sanskerta dapat dijumpai istilah Silpasastra yang berarti 'buku
arsitektur', dan Kamasastra yang berarti 'buku petunjuk seni bercinta'.
Secara
harfiah kata sastra berarti 'huruf, tulisan, atau karangan'. Lalu karena tulisan
atau karangan biasanya berwujud buku, maka sastra berarti juga 'buku'. Itulah
sebabnya, dalam pengertian kesusatraan lama, istilah sastra berarti buku, baik
yang berisi tentang dongeng, pelajaran agama, sejarah, maupun peraturan dan
undang-undang.
Dalam
perkembangan selanjutnya, kata sastra mendapat imbuhan su, yang dalam bahsa
Jawa berarti 'baik atau indah'. Dengan demikian, pengertiannya berkembang juga
menjadi 'buku ynag baik dan indah', dalam arti baik isinya dan indah bahasanya.
Kata susastra itu pun berkembang juga dengan mendapat imbuhan gabungan
(konfiks) ke-an, sehingga menjadi kesusastraan yang berarti 'hal atau tentang
buku-buku yang baik isinya dan indah bahasanya'.
Kesusastraan
pada dasarnya adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai sarana
untuk mencapai target. Atau dengan kata lain, sastrawan hanya meminjam alat
komunikasi yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. (Wibowo, 1995: 55).
(Esten (2000: 7)
dalam Jejen Jaelani, 2014: 3) mengemukakan
bahwa pengertian kesusastraan berkembang melebihi pengertian etimologis
tersebut. kata “indah” amat luas maknanya, tidak saja menjangkau
pengertian-pengertian, tapi terutama adalah pengertian-pengertian yang bersifat
rohaniah. misalnya, bukankah pada wajah yang jelek orang masih bisa menemukan
hal-hal yang indah.
Selanjutnya
Danziger dan Jhonson dalam Budianta (2006 : 7) dalam Jejen
Jaelani, 2014: 4) melihat sastra
sebagai suatu “seni bahasa”, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Bahasa sebagai media dalam karya sastra tentu saja bukan bukan bahasa biasa
seperti yang seringkali digunakan manusia sehari-hari, melainkan bahasa yang
khas yang telah diproses sedemikian rupa dan terpilih menjadi media yang dapat
mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan, tanggapan, fantasi kehendak,
cita-cita, dan perasaan penciptanya. Bahasa menjadi sangat primer bagi
kebutuhan pencipta sastra.
Dari zaman ke
zaman, usaha untuk membatasi sastra rupanya berjalan terus. Dalam bahasa-bahasa Barat, gejala yang akan dicari
batasannya ialah literature (bahasa inggris), literature (bahasa jerman),
litterarure (bahasa perancis), literature (bahasa belanda),yang semuanya
berasal dari bahasa latin, yakni literatuur. Dengan demikian, kata literature, literature,
dan seterusnya pada umumnya berarti ‘ segala sesuatu yang tertulis, pemakaian
bahasa dalam bentuk tulis’.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa sastra dipandang sebagai kegiatan seni, yaitu
‘hasil kegiatan kreatif manusia yang dituangkan ke dalam media bahasa, baik
lisan maupun tulisan’.
B.
Ilmu-ilmu
Sastra
1. Cabang-cabang Ilmu Sastra
Ilmu sasta meliputi tiga macam cabang
ilmu, yakni teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Dalam wilayah
studi sastra, perlu ditarik perbedaan antara teori sastra, sejarah sastra, dan
kritik sastra, sebab ketiga cabang ilmu tersebut mempunyai objek penyelidikan
yang tertentu.
Teori sastra menyelidiki dasar-dasar
pengertian tentang hal-hal yang bersangkut paut dengan sastra, misalnya hakikat
sastra, fungsi sastra, masyarakat sastra, bentuk sastra, aliran-aliran,
unsur-unsur sastra, dan yang lainnya.
Sejarah sastra adalah cabang ilmu sastra
yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra sejak dari mula pertumbuhannya
sampai kepada perkembangannya yang sekarang. Yang menjadi objek penyelidikannya
adalah periodisasi sastra, perkembangan aliran yang ada pada suatu periode,
karakteristik karya sastra pada suatu periode.
Kritik sastra adalah cabang ilmu sastra
yang mengadakan penyelidikan lagsung terhadap suatu karya sastra tertentu. H.B.
Jassin mengutarakan bahwa kritik sastra adalah
pertimbangan baik buruk suatu hasil kesusastraan. Pertimbangan itu
tentunya memberikan alasan-alasan mengenai isi dan bentuk hasil kesusastraan.
Sedangkan Andre Harjana mengatakan bahwa kritik sastra merupakan hasil usaha
mencari nilai hakiki karya sastra
melalui pemahaman, penafsiran dengan sistematik dalam bentuk tulisan. Dari dua
uraian tersebut cukup bisa disimpulkan bahwa kritik sastra adalah upaya
menentukan nilai-nilai hakiki sebuah karya sastra dalam bentuk memberi pujian,
menunjukan kesalahan, memberikan pertimbangan lewat pemahaman dan penafsiran
yang sistematis.
Kritik sastra yang baik adalah kritik
sastra yang mampu menghibur pembacanya (pada dasarnya membaca kritik sastra
adalah membaca “pengalaman baru”. Pengalaman baru jika dihayati dan kemudian
menimbulkan rasa penasaran pembaca, tentu berarti menghibur), mampu mendidik
pembacanya, mengingat banyak sekali kenyataan objektif dalam karya sasrta yang
berkaitan dengan masalah nilai-nilai luhur dan mampu mencerdaskan pembacanya
(pada dasarnya membaca kritik sastra, langsung tidak langsung membuat
pembacanya bersikap kritis terhadap uraian kritikus atau uraian sastrawannya,
sekalipun masih samar-samar karena belum melakukan kontak langsung dengan karya
sastranya). (Wibowo, 1995: 18).
2.
Hubungan
Timbal Balik antara Cabang-cabang Ilmu Sastra
Cabang ilmu sastra yang akan dibahas
pada uraian ini terbatas pada teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra.
Ketiga cakupan ilmu sastra tersebut
bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Masing-masing saling menunjang,
baik untuk kepentingan ilmu sastra itu sendiri maupun untuk kepentingan
perkembangan kehiduan sastra (Esten, 1984:15-16). Hubungan dari ketiga cabang
ilmu sastra tersebut bersifat timbal balik, artinya saling melengkapi.
a.
Hubungan
Sejarah Sastra dengan Teori Sastra
Penyelidikan tentang sejarah sastra
banyak memerlukan bahan-bahan pengetahuan tentang teori sastra. Pembicaraan
tentang suatu angkatan tidak akan terlepas dari pembicaraan tentang gaya
bahasa, aliran, genre sastra, tema, dan sebaliknya.
Sebaliknya teori sastra pun memerlukan
bahan-bahan dari hasil penyelidikan sejarah sastra. Pembicaraan tentang gaya
bahasa atau tentang suatu aliran tidak dapat dilepaskan dari perkembangan
sastra secara keseluruhan.
b.
Hubungan
Sejarah Sastra dengan Kritik Sastra
Penyelidikan sejarah sastra memerlukan
bantuan juga dari kritik sastra. Tidak semua karya sastra yang penuh terbit
dijadikan bahan penyelidikan sejarah sastra, melainkan terbatas pada sejumlah
karya tertentu.
Sebaliknya kritik sastra pun membutuhkan
bahan-bahan dari sejarah sastra terutama dalam usaha menentukan berhasil
tidaknya suatu karya atau ada tidaknya unsur pengaruh dari sastra lain.
c.
Hubungan
Kritik Sastra dengan Teori Sastra
Hubungan kedua cabang ilmu sastra
tersebut sangatlah jelas . usaha kritik sastra tidak akan berhasil tanpa
dilandasi oleh dasar-dasar pengetahuan tentang teori sastra. Esten (1984:16)
mengatakan bahwa kritik sastra memerlukan penguasaan terhadap bidang cakupan
teori satra seperti prinsip sastra, kategori sastra, dan kriteria sastra. Teori
sastra merupakan sebagian modal bagi pelaksanaan kritik sastra.
Sebaliknya teori sastra pun memerlukan
bahan-bahan dari kritik sastra bahkan sebaliknya kritik sastra merupakan
pangkal dari teori sastra. Teori tanpa data merupakan teori yang kosong (in vacuo).
C.
Sejarah
Sastra
Secara etimologi, kata sejarah (history) berasal dari kata benda Yunani
istoria yang berarti “ilmu”. Oleh
filsuf Aristoteles, kata tersebut diartikan sebagai suatu pertelaan sistematis
mengenai seperangkat gejala alam, enatah susunan kronologi merupakan factor
atau tidak di dalam pertelaan. (Jejen Jaelani, 2014: 1)
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa
sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra yang mempelajari pertumbuhan dan
perkembangan sastra suatu bangsa, misalnya sejarah sastra Indonesia, sejarah
sastra Belanda, dan sejarah sastra Inggris. Dengan pengertian dasar itu tampaklah
bahwa objek sejarah sastra adalah segala peristiwa yang terjadi pada rentang
masa pertumbuhan dan perkembangan sastra suatu bangsa.
Luxembrug (1984: 200-2012) menjelaskan
bahwa dalam sejarah sastra dibahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran,
jenis-jenis, pengarang-pengarang, dan juga reaksi pembaca. Semua itu
dihubungkan dengan perkembangan di luar sastra seperti sosial, politik, dan
filsafat. Jadi, sejarah sastra meliputi penulisan perkembangan sastra dalam
arus sejarah dan di dalam konteksnya. Hal tersebut senada dengan Teeuw
(1984:325) yang mengatakan bahwa penulisan sejarah sastra berada dalam tegangan
antara perkembangan intirinsik dan perkembangan sosial-budaya-politik dalam
masyarakat yang mengahsilkan sastra tersebut. Artinya sejarah sastra ditulis
dalam isolasi terhadap sejarah umum. Contoh jelas misalnya sejarah sastra
Indonesia modern, kitannya dengan sejarah sosio-budaya-politik indonesia tidak
dapat disangkal lagi. (Jejen Jaelani, 2014: 6).
Sejarah sastra pada dasarnya
membicarakan mengani peristiwa-peristiwa penting yang dijelaskan secara
kronologis sehingga terlihat adanya perkembangan pada bidang sastra. Peristiwa
penting yang dimaksud dalam sejarah sstra ialah peristiwa-peristiwa yang
berkaitan dengan kesatraan, yaitu yang bersangkutan dengan lahirnya karya-karya
sastra, pengarangnya, kualitas karya, munculnya konsep-konsep baru, serta
situasi sosial-budaya-politik yang melatarbelakangi terjadinya peristiwa
penting tersebut.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud sejarah sastra adalah pengetahuan atau uraian tentang
peristiwa kesastraan yang terjadi di masa lampau serta perkembangannya sampai
dengan sekarang.
D.
Sejarah
Sastra Indonesia Periode 1900-1933
Pada akhir abad ke-19 pemerintah banyak
membuka sekolah untuk orang-orang bumiputra, dengan tujuan untuk mendidik
pegawai-pegawai yang dibutuhkan oleh pemerintah Belanda. Akan tetapi
sekolah-sekolah yang tidak diharapkan akan tumbuh dan berkembang, justru
berkembang makin pesat, banyak masyarakat yang pandai membaca dan menulis.
Melihat minat masyarakat yang pesat dalam hal membaca, maka pemerintah Belanda
merasa khawatir jika rakyat membaca buku-buku dari luar negeri.
Sejalan dengan politik etis (politik
balas budi) yang ketika itu menjadi kebijaksanaan umum dalam menghadapi daerah
jajahanya, maka pemerintah Belanda punya pikiran untuk membendung bangkitnya
kesadaran nasional dengan mengadakan semacam bimbingan dalam soal bacaan
rakyat. Maka tahun 1908 didirikanlah Commissie
Voor de Inlandsche School en Volksslectuur (Komisi untuk Bacaan Rakyat dan
Sekolah-Sekolah Bumi Putra). Pada tahun 1917 namanya diganti menjadi Balai
Pustaka, dan Balai Pustaka kemudian berkembang dengan pesat. Adapun hal-hal
yang diusahakan oleh Balai Pustaka adalah sebagai berikut.
1. Membukukan
cerita-cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang tersebar di kalangan rakyat.
Jika tidak dibukukan, lama-kelamaan akan hilang.
2. Menerjemahkan
sastra Eropa yang bermutu dipandang dari segi sastra. Dengan demikian kita juga
dapat berkenalan dengan kesusastraan asing.
3. Menerbitkan
buku-buku bacaan sehat bagi rakyat Indonesia, juga buku-buku yang dapat
menambah pengetahuan dan kecerdasan rakyat. Misalnya, buku-buku yang berisi
petunjuk bagaimana menjaga kesehatan, cara bercocok tanam, beternak, dan
sebagainya.
Bagi perkembangan kesusastraan
Indonesia, berdirinya Balai Pustaka memberikan kesempatan dan kemungkinan
kepada rakyat Indonesia untuk berkarya sekaligus memperoleh bacaan sehat. Balai
Pustaka telah memberikan dorongan maju dalam bidang karang-mengarang atau
tulis-menulis. Dari sinilah kemudian muncul pengarang-pengarang yang kemudian
kita kenal sebagai pelopor Angkatan Balai Pustaka, seperti Nur Sutan Iskandar,
Marah Rusli, Abdul Muis dan sebagainya.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Peristiwa
Sastra Indonesia 1900-1933
Pada
tahun 1848 Pemerintah jajahan Hindia Belanda mendapat kekuasaan da Raja
mempergunakan uang sebanyak sebesar f25.000 setiap tahun untuk
keperluan sekolah. Sekolah itu didirikan untuk anak-anak bumiputera, terutama
para priyayi yang akan dijadikan pegawai setempat.
Dengan
didirikannya sekolah-sekolah itu meningkatlah pendidikan dan timbullah
kegemaran membaca rakyat Bumiputera. Beberapa orang berbakat mulai menulis
rupa-rupa karangan, baik berbentuk uraian maupun cerita yang sifatnya memberi
penerangan kepada Rakyat.
Banyak surat kabar yang dicetak, bukan
hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan dalam Bahasa Melayu juga, dan tersebar di
berbagai kota, misalnya pada
abad ke-19 di Surabaya terbit surat kabar Bintang Timoer (1862),
di Padang terbit Pelita Ketjil (1882), dan di Jakarta
terbit Bianglala (1867).
Tahun
1900 ada surat kabar yang memuat karangan yang bersifat sastra. Awal abad 20 di
Bandung ada surat kabar Medan Prijaji yang memuat
cerita-cerita bersambung yang berbentuk roman yang ditulis dalam Bahasa Melayu
dan mengisahkan kehidupan masyarakat Bumiputera pada masa itu, yang menarik
ialah sebuah roman yang berjudul Hikayat Siti Mariah yang
ditulis H. Moekti.
Disamping
itu pemimpin redaksi Medan
Prijaji, Raden Mas (Djoko Nomo) Tirto Adhisarjo (1875-1916) menulis dua
buah roman berjudul Bosuno (1910) dan Nyai Permana (1912).
Semaun
menulis sebuah roman berjudul Hikayat Kadiroen (1924) yang
dilarang beredar oleh pemerintah. Ketika tahun 1926, Semaun yang menjadi salah
seorang pemimpin Partai Komunis Indonesia gagal melakukan pemberontakan, ia
melarikan diri ke Rusia dan kembali saat Indonesia merdeka. Karena sifat-sifat
dan isi karangan-karangan semacam itu banyak menghasut rakyat untuk berontak, karangan-karangan
itu disebut “Bacaan Liar”, begitu juga dengan pengarangnya disebut “Pengarang
liar”.
Kaum
terpelajar Indonesia pada waktu itu telah membaca buku pengarang Belanda yang
membela hak kemerdekaan Pribumi. Misalnya Multatuli dalam bukunya Max
Havelaar sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran
kebangsaan dan keinginan merdeka bangsa Indonesia.
Pada
tahun 1914 terbit roman pertama dalam Bahasa Sunda karangan D. K. Ardiwinata
(1866-1947) berjudul Baruang Ka Nu Ngarora (Racun Bagi Para
Muda). Pada tahun 1918 terbitlah cerita Si
Jamin dan Si Johan yang disadur Merari Seregar dari Jan Smees karangan
J. Van Maurik.
Dua tahun kemudian terbit roman
pertama dalam bahasa Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak
Gadis (1920) karya Merari Siregar yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Kemudian roman Marah Rusli berjudul Sitti Nurbaya (1922),
kemudian disusul Muda Teruna (1922) karangan M. Kasim.
B.
Karya
Sastra dan Pengarang Periode 1900-1933
1.
Mohamad Yamin
Mohammad Yamin
dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903. Yamin mendapatkan pendidikan
dasarnya di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene
Middelbare School
(AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah
purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk melanjutkan
pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya meninggal dunia. Ia
kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool
te Batavia (Sekolah
Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas
Hukum Universitas Indonesia),
dan berhasil memperoleh gelar Meester
in de Rechten (Sarjana Hukum) pada
tahun 1932.
Mohammad Yamin
memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya ditulis
menggunakan bahasa
Melayu dalam jurnal Jong
Sumatera, sebuah jurnal berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada
bentuk-bentuk bahasa
Melayu Klasik. Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud
tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatera. Tanah Air
merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.
Himpunan Yamin
yang kedua, Tumpah Darahku, muncul
pada 28
Oktober 1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada
waktu itulah Yamin dan beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan
bentuk soneta yang dipinjamnya dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan
banyak eksperimen bahasa dalam puisi-puisinya, ia masih lebih menepati
norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbanding dengan generasi-generasi penulis
yang lebih muda. Sajak-sajaknya yang terkenal pada periode
1900-1933 adalah:
-
Tanah Air (1920)
-
Tumpah Darah Indonesia
-
Bahasa, bangsa (1920)
2.
Roestam Efendi
Roestam
Effendi lahir di Padang, Sumatera Barat, 13
Mei 1903 – meninggal di Jakarta, 24
Mei 1979 pada umur 76 tahun). Ia adalah seorang sastrawan
Indonesia asal Minangkabau dan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Keberadaannya dalam khasanah sastra Indonesia cukuplah penting. Semangat
perlawanan terhadap pemerintah penjajahan dituangkan dalam penulisan sajak dan
drama yang bersifat metaforik, dan menjadi pembaharu dalam gaya.
Roestam tamatan Sekolah Raja (Kweekschool) Bukittinggi
yang kemudian melanjutkan sekolahnya di Hogere
Kweekschool voor Indlanse Onderwijzers (Sekolah Guru Tinggi untuk Guru
Bumiputra) di Bandung. Pada tahun
1926 ia pergi ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan Hoofdakte. Sejak masih duduk di bangku sekolah, Roestam sudah
banyak menaruh minat pada soal-soal kebudayaan dan pernah bercita-cita hendak
memperbaharui dunia sandiwara yang saat itu lebih bersifat komedi stambul.
Sebelum pergi ke Belanda,
Roestam sempat beberapa lama menjadi kepala sekolah di Adabiah, Padang. Sebelum
di Adabiah, ia pernah diangkat menjadi Waarnemend
hoofd pada sekolah tingkatan HIS di Siak Sri Indrapura. Namun
pengangkatan tersebut ditolaknya. Ia kemudian mendirikan sekolah partikelir
yang diberi nama "Adabiah". Sebagai kepala sekolah, ia merasa
memiliki kemerdekaan untuk berbuat. Sehingga ketika ia mengepalai sekolah, ia
juga terjun ke dunia politik dan aktif menulis.
Selama 19 tahun (1928-1947) ia menetap di Belanda, dan
bergabung dengan Partai Komunis Belanda (Communistische Party Nederland, CPN) dan
selama 14 tahun (1933-1946) Roestam merupakan satu-satunya orang Hindia Belanda
yang pernah menjadi anggota Majelis Rendah (Tweede Kamer) mewakili partai
tersebut. Di dunia sastra, keseriusannya
untuk mengembangkan sastra Melayu
diperlihatkan dengan kegigihannya mempelajari hasil-hasil kesusastraan Melayu seperti
hikayat, syair,
dan pantun. Pada masa
awal kepengarangannya, Roestam sering menggunakan nama-nama samaran seperti
Rantai Emas, Rahasia Emas, dan Rangkayo Elok. Karya Roestam yang cukup terkenal
ialah Bebasari, yaitu naskah drama yang
ditulisnya pada tahun 1920-an. Naskah ini sempat dilarang oleh pemerintah
Belanda ketika ingin dipentaskan oleh siswa MULO
Padang dan para mahasiswa kedokteran di Batavia
(Jakarta). Pelarangan itu disebabkan karena karya ini dianggap sindiran
terhadap pemerintah Hindia-Belanda.
Sedangkan puisinya yang terkenal adalah:
-
Bukan
Beta Bijak Berperi
-
Mengeluh
3.
Nur
Sutan Iskandar
Nur
Sutan Iskandar dilahirkan pada tanggal 3 November 1893 di Sungai Batang,
Maninjau, Sumatra Barat. Namanya semasa kecil adalah Muhammad Nur, setelah
beristri menurut adat Minangkabau diberi gelar Sutan Iskandar. Pendidikannya
adalah Sekolah Melayu kelas II di Maninjau tamat tahun 1908. Ia menjadi guru
sekolah desa di sungai batang dan setelah itu menjadi guru bantu di Muara
Beliti (Palembang). Pada tahun 1914 ia dipindahkan ke sekolah kelas II di
Padang.
Selanjutnya
berturut-turut kedudukannya adalah menjadi korektor Balai Pustaka, Redaktur
Kepala pada Balai Pustaka, dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Sastra di
Universitas Indonesia Jakarta, salah seorang pengurus Budi Utomo, juga menjadi pengurus
Partai Indonesia Raya, pernah pula menjadi pengurus Partai Nasional Indonesia.
Ia adalah perintis kemerdekaan dan mendapat anugerah Satyalencana Kemerdekaan
dari Pemerintah Republik Indonesia. Kiranya semua orang akan sependapat kalau
dikatakan bahwa Nur Sutan Iskandar adalah orang yang sangat setia kepada
karyanya, yakni mengarang.
Banyak
sekali buku peninggalannya baik berupa karya asli, saduran, maupun terjamahan. Bahasanya
amat lancar dan terjaga dengan baik, dengan sangat teliti ia menggambarkan
lokasi cerita, hingga mampu membuat karyanya sangat menarik. Adapun karyanya
pada periode ini antara lain:
-
Cinta yang Membawa Maut (1926)
4.
Marah Rusli
Seorang
bangsawan yang lahir di Padang pada tahun 1889 dan meninggal pada tanggal 17
Januari 1968. Ia menjadi dokter hewan beberapa lama di Sumbawa dan terakhir di
Semarang. Akibat perkawinannya dengan gadis Sunda yang tidak disetujui
keluarganya maka ia diasingkan dari ikatan keluarga. Situasi demikian sedikit
banyak akan tercermin dalam, karya-karyanya. Roman Siti Nurbaya merupakan roman
karya Marah Rusli yang paling populer pada Angkatan Balai Pustaka, bahkan pada
zaman Belanda roman itu dicantumkan sebagai buku pelajaran di AMS, Yogyakarta.
Marah Rusli dianggap sebagai salah seorang pelopor atau pengakhir zaman
kesusasteraan lama. Persoalan yang dikemukakan di dalam bukunya bukan hal-hal
yang istana sentris lagi dan bukan hal-hal yang bersifat fantasi belaka,
melainkan lukisan realitas masyarakat. Adapun karangan Marah Rusli yang lain
adalah:
- Siti
Nurbaya (1922)
5.
Abdul Muis
Abdul
Muis dilahirkan di Bukittingi 3 Juli 1886. Ayahnya berasal dari Laras Sungai
Puar, Ibunya putri Jawa keturunan Sentot Alibasya. Ia meninggal pada tahun 1959
di Bandung. Pendidikannya adalah Stovia tetapi tidak tamat. Kemudian menjadi
wartawan dan pemimpin Serikat Islam, serta giat dalam gerakan untuk memperoleh
otonomi yang lebih besar bagi Hindia (Indies) sepanjang Perang Dunia I. Pernah
pula menjadi anggota delegasi Comite Indie Weerbaar (Panitia Pertahanan Hindia)
ke negeri Belanda. Dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat)
pada tahun 1920.
Sebagai
penulis, penerjemah, dan wartawan, dia hidup secara tidak menonjol di Jawa
Barat hingga meninggalnya. Romannya yang paling terkenal adalah Salah Asuhan. Roman
ini sangat menarik karena temanya dan cara pengarang mengungkakan tema itu.
Selain itu, roman ini menarik karena keterusterangannya dalam membicarakan
masalah diskriminasi ras (keturunan bangsa) dan masalah sosial, serta yang
lebih menarik lagi karena persoalan ini diungkap karya sastra.
6.
Merari Siregar
Merari
Siregar, lahir 13 juli 1896 di Sipirok, Tapanuli, Sumatra Utara. Kehidupan masa
kecilnya di Sipirok, membuat sikap, perbuatan, dan jiwanya terpengaruh oleh
kehidupan masyarakat Sipirok. Namun, ketika ia telah menempuh pendidikan, ia
menyaksikan kehidupan suku bangsanya tak lagi sesuai dengan tuntutan zaman. Hal
itulah yang melatarbelakangi dirinya menulis novel Azab dan Sengsara.
Merari
Pernah menimba pendidikan di Kweekschool (Sekolah Guru) dan Sekolah Guru Oost
en West (Timur dan Barat) di Gunung Sahari, Jakarta. Tahun 1923 Merari duduk di
bangku sekolah swasta yang didirikan oleh Vereeninging tot van Oost en West,
yang ketika masa itu merupakan organisasi yang aktif dalam mempraktikkan
politik etis Belanda.
Selepas
lulus dari sekolah, Merari Siregar mula-mula bekerja sebagai guru bantu di
Medan, kemudian pindah kerja ke Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit
Mangunkusumo). Setelah bekerja di rumah sakit, Merari Siregar pindah ke
Kalianget, Madura. Ia bekerja di Opium end Zouragie hingga akhir usianya.
Beliau tutup usia pada tanggal 23 April 1940 di Kalianget, Madura, meninggalkan
seorang isrti dan tiga orang anak bernama Florentinus Hasajangu MS, Suzzana
Tiurna Siregar, dan Theodorus Mulia Siregar.
Agaknya,
profesi Merari Siregar sebagai guru, mewarnai gaya bercerita pada hampir semua
karya-karyanya. Penggunaan bahasa yang lancer dan rapi serta kecenderungan
menasihati, mengecam, dan memuji-muji tindakan yang menurutnya baik, mewarnai
hampir semua karyanya.
Selain
dikenal sebagai pengarag, Merari juga dikenal sebagai penyadur. Karya
sadurannya yang terkenal adalah Si Jamin dan Si Johan yang merupakan saduran
dari Jan Smees karya sastrawan Belanda Justus van Murik yan terbit tahun 1979.
Konon cerita Jan Smees sendiri berasal dari cerita Oliver Twist karya Charles
Dicknes. Si Jamin dan Si Johan terbit pertama kali tahun 1918, dua tahun
sebelum Azab dan Sengsara diterbitkan (1920).
C.
Karakteristik
Karya Sastra Periode 1900-1933
Sastra Balai Pustaka lahir sekitar tahun
20-an, di mana kehidupan masyarakat Indonesia dalam masa penjajahan. Di bawah
penindasan kaum penjajah, masyarakat kita memiliki sikap, cita-cita, dan adat
istiadat yang isinya memberontak. Hal tersebut karena dalam kehidupan mereka
selalu diwarnai peristiwa-peristiwa sosial dan budaya yang sengaja diciptakan oleh
pihak penjajah, yakni pemerintah Belanda. Hal inilah yang menjadi ciri atau
karakteristik sastra pada masa itu. Umumnya karakteristik sastra suatu periode
dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu: (1) situasi dan kondisi masyarakat, (2) sikap
hidup dan cita-cita para pengarang, dan (3) sikap dan persyaratan yang
ditentukan oleh penguasa atau pemerintah. Bertolak dari hal-hal tersebut di
atas, maka karakteristik karya sastra peride 1900-1933 adalah sebagai berikut:
Ø Puisi
Puisi-puisi
yang terkenal pada periode 1900-1933 sebagai berikut:
1.
Mohammad
Yamin
Tanah
Air (1920)
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah Hutan, rimba, dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula;
Langit yang hijau bertukar warna;
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku.
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah Hutan, rimba, dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula;
Langit yang hijau bertukar warna;
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata;
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, disebelah situ,
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera, namanya, yang kujunjungi.
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, disebelah situ,
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera, namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudera Hindia,
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah kepasir lalu berderai,
Ia memekik berandai-randai :
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera,
“Harumkan nama, selatan utara !”
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudera Hindia,
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah kepasir lalu berderai,
Ia memekik berandai-randai :
“Wahai Andalas, Pulau Sumatera,
“Harumkan nama, selatan utara !”
·
Puisi Tanah Air
termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema kebangsaan.
·
Puisi ini
merupakan karya pertama yang mencoba keluar dari pakem puisi lama yang lazim
ditulis dalam empat larik pada setiap baitnya, sementara Yamin menulisnya dalam
sembilan larik.
·
Yamin menulis
dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam
merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa
persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.
-
Tumpah
Darahku
Kita teguh
Bercerai kita runtuh
Duduk di pantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung-gunung bagus rupanya
Dilingkari air mulia tampaknya
Tumpah darahku Indonesia namanya
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-cerai
Memagar daratan aman kelihatan
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengejar bumi ayah dan ibu
Indonesia namanya. Tanah airku
Tanahku bercerai
seberang-menyeberang
Merapung di air, malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang
Sejak malam diberi kelam
Sampai purnama terang-benderang
Di sanalah bangsaku gerangan
menompang
Selama berteduh di alam nan lapar
Tumpah darah
Nusa India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di Indonesia
·
Puisi Tumpah
Daraku termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema Kesadaran
Nasionalisme.
·
Puisi ini
merupakan karya pertama yang mencoba keluar dari pakem puisi lama yang lazim
ditulis dalam empat larik pada setiap baitnya, sementara Yamin menulisnya dalam
tujuh larik.
·
Yamin menulis
dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam
merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa
persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.
-
Bahasa,
bangsa (1920)
Selagi
kecilberusia muda,
Tidur
si anak di pangkuan bunda.
Ibu
bernyanyi, lagu dn dendang
Memuji
si anak banyaknya sedang:
Berbuai
sayang malam dan siang
Buaian
tergantung di tanah moyang.
Terlahir
di bangsa, berbahasa sendairi
Diapit
keluarga kanan dan kiri
Besar
budiman di Tanah Melayu
Berduka
suka sertaka rayu;
Perasaan
tersikat menjadi padu
Dalam
bahasanya, permai merdu.
Menatap
menangis bersuka raya
Dalam
bahagia bala dan baya;
Bernafas
kita memanjangkan raya
Dalam
bahasa sambungan jiwa
Di
mana Sumatra, di situ bangsa,
Di
mana Perca, di sana bahasa.
Andalasku
sayang, jana bejana
Sejakkan
kecil muda taruna
Sampai
mati berkalang tanah
Lupa
ke bahasa tiadakan pernah;
Ingat
pemuda, Sumatera hilang
Tiada
bahasa, bangsa pun malang.
·
Puisi Bahasa,
Bangsa termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema Menjunjung
tinggi bahasa Indonesia.
·
Puisi ini
merupakan karya pertama yang mencoba keluar dari pakem puisi lama yang lazim
ditulis dalam empat larik pada setiap baitnya, sementara Yamin menulisnya dalam
enam larik.
·
Yamin menulis
dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam
merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa
persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.
2.
Roestam
Effendi
-
Bukan Beta Bijak Berperi
Bukan beta bjijak berperi,
Pandai mengubah madahan syair,
Bukan beta budak Negeri,
Musti menurut undangan mair.
Saraf-saraf saya mungkiri,
Untai rangkaian seloka lama,
Beta buang beta singkiri,
Sebab laguku menurut sukma.
Susa sungguh saya sampaikan,
Degup-degupan di dalam kalbu,
Lemah laun lagu dengungan
Matnya digamat rasain waktu.
Sering saya susah sesaat
Sebab madahan tidak nak datang.
Sering saya sulit menekat,
Sebab terkurang lukisan mamang.
Bukan beta bijak berlagu,
Dapat melemah bingkaian pantun,
Bukan beta berbuat baru,
Hanya mendengar bisikan alun.
·
Puisi Bukan Beta
Bijak Berperi termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema
kebangsaan.
·
Puisi ini
merupakan puisi yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
·
Roestam menulis
dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam
merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa
persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.
-
Mengeluh
Bukanlah beta berpijak bunga,
Melalui hidup menuju makam.
Setiap saat disumur sukar,
Bermandi darah, dicucurkan dendam.
Menangis mata melihat makhluk,
Berharap bukan, berhak pun bukan.
Inilah nasib negeri ‘nanda,
Memerah madu menguruskan badan.
Ba’mana beta bersuka cita,
Ratapan ra’yat riuh gaduh,
Membobos masuk menyanyu kalbu
Ba’mana boleh berkata beta,
Suara sebat, sedanan rusuh,
Menghimpit mandah, gubahan cintaku.
II
Bilakah bumi bertabur bunga,
Disebrakan tangan yang tiada
terikat,
Dipetik jari yang lemah lembut,
Ditanai sayup kemerdekaan ra’yat?
Bilakah lawang bersinar bebas,
Ditinggalkan dera yang tiada
berkata?
Bilakah susah yang kita benam,
Dihembus angin kemerdekaan kita?
Disanalah baru bermohon beta,
Supaya badanku berkubur bunga,
Bunga bingkisan, suara sya’irku.
Di situlah baru bersukar beta,
Pabila badanku bercerai nyawa,
Sebab menjemput menikam bangsaku.
·
Puisi mengeluh
termasuk karya sastra generasi pertama yang mengangkat tema perjuangan merebut
kebebasan.
·
Puisi ini
merupakan puisi yang sedapat mungkin lepas dari tradisi sastra Melayu.
·
Roestam menulis
dalam bahasa Melayu, dan ini dinilai sebagai bentuk kepeloporannya dalam
merintis penggunaan bahasa Indonesia yang kelak diikrarkan sebagai bahasa
persatuan pada Kongres Pemuda II, 1928 di Jakarta.
Berdasarkan analisis dari puisi-puisi
diatas, didapat beberapa karakteristik puisi pada periode ini, yaitu:
-
Kebanyakan tema yang diangkat dalam
puisi-puisi diatas adalah tema “kebangsangan”.
-
Isinya banyak menceritakan bangsa
sendiri.
-
Bentuk puisinya mencoba keluar dari pakem
puisi lama yang berbentuk empat larik dalam satu bait.
-
Bahasa yang digunakan bahasa Melayu,
sebagai bentuk kepeloporan dalam merintis Bahasa Indonesia.
-
Berdasarkan alirannya, puisi-puisi
periode ini masuk aliran ekspresionisme , aliran ini biasanya subjektif atau
mengutamakan pendapat pribadi si penulis.
Ø Roman
Roman-roman
yang terkenal pada periode 1900-1933:
1.
Azab dan Sengsara (Merari Siregar),
temanya adalah kesengsaraan (keluarga Maryamin) karena adat dan kebiasaan di
daerah Sipirok. Dibuktikan dengan kutipan:
Nyatalah
sekarang betapa bahayanya perkawinan yang dipaksakan itu, yang tiada disertai
cinta kasih keduanya. Maka jadi kewajibanlah bagi tiap-tiap orang yang tahu
akan membuang adat itu dan kebiasaan yang mendatangkan kecelakaan kepada
manusia itu. (Siregar, 1920: 70).
Sedangkan
gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-
Pengarang mengungkapkan novel Azab dan
Sengsara dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, pribahasa, pepatah,
pantun, syair dan cerpen (cerpen di dalam novel).
-
Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan
langsung oleh pengarang.
-
Pengarang mengungkapkan novel ini dengan
alur nonkonvensional/ sorot balik/ flash back.
-
Pengarang menggunakan gaya melayu,
karena latar lingkungan tempat peristiwa-peristiwa terjadi di daerah Sipirok,
Tapanuli, Sumatra Utara.
2.
Salah Asuhan (Abdul Muis), temanya adalah
tentang perbedaan adat istiadat.
Kawin
campuran itu sesungguhnya banyak benar rintangannya, yang ditimbulkan oleh
manusia juga Corrie! Karena masing-masing manusia dihinggapi oleh suatu
penyakit ‘kesombongan bangsa’. Sekalian orang, masing-masing dengan
peerasaannya sendiri, menyalahia akan bangsanya, yang menghubungkan hidup
kepada bangsa lain, meskipun kedua suami itu isteri itu sangat
berkasih-kasihan.(Muis, 1928)
Sedangkan
gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-
Isi keseluruhan cerita yang menjadi
perhatiannya bukan lagi tentang adat kawin paksa, tetapi ialah akibat-akibat
lebih jauh dari pertemuan kebudayaan Eropa yang masuk ke anak-anak bangsanya
melalui pendidikan sekolah colonial Belanda.
-
Secara kuantitatif susunan laur/plot
novel Salah Asuhan karya Abdul Moeis adalah alur tunggal. Karena cerita hanya
mempunyai satu susunan peristiwa.
-
Dalam novel Salah Asuhan pengarang
banyak menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Belanda
-
Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan
langsung oleh pengarang.
3.
Siti Nurbaya (Marah Rusli), temanya
adalah kesetiaan pada kekasih.
Sedangkan
gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-
Pengarang mengungkapkan novel Siti
Nurbaya dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, dan pepatah.
-
Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan
langsung oleh pengarang.
-
Pengarang mengungkapkan novel ini dengan
alur konvensional.
-
Pengarang menggunakan gaya melayu,
karena latar lingkungan tempat peristiwa-peristiwa terjadi di Sumatra Utara.
4.
Cinta yang membawa maut (Nur St.
Iskandar), temanya adalah kesengsaraan (Syamsiah
dan Dahlan) karena adat dan kebiasaan di daerah Minangkabau.
Sedangkan
gaya pengarang dalam mengungkapkan seluruh cerita adalah:
-
Pengarang mengungkapkan novel Cinta yang
membawa maut dengan bentuk penulisan ada yang berjenis; surat, dan pepatah.
-
Karakter tokoh kebanyakan dijelaskan
langsung oleh pengarang.
-
Pengarang mengungkapkan novel ini dengan
alur konvensional.
-
Pengarang menggunakan gaya melayu,
karena latar lingkungan tempat peristiwa-peristiwa terjadi di Sumatra Utara.
Berdasarkan
analisis dari roman-roman diatas, didapat beberapa karakteristik roman pada periode
ini, yaitu:
-
Bahasa yang digunakan penulis dalam
novelnya kebanyakan menggunakan gaya Melayu, karena dipengaruhi latar dalam
novel.
-
Tema-temanya kebanyakan mengenai adat,
dan pertentangan kaum muda dan golongan orang tua.
-
Pada umumnya berisi perjuangan kaum muda
yang gagal dalam menghadapi kejanggalan-kejanggalan adat pada masa itu.
-
Ada juga yang berisi pertentangan antara
kaum muda yang bersifat modern dan kaum tua yang bersifat kolot.
-
Masih disisipkan bentuk-bentuk lama
pribahasa, pantun, dan syair, padahal tidak ada hubungannya dengan jalan
cerita.
-
Penokohan atau karakter tokoh dalam
sebuah roman kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.
-
Seorang penulis yang penuh dengan idealisme
cenderung untuk mempertentangkan dua dunia secara ekstrem, sehingga menjadi
stereotaip. Jadi kita berhadapan dengan dunia yang mempunyai hubungan genetic
dengan stereotaip ((cf. A. Lorenzer, 1976: 140), dalam Junus, 1986: 8).
-
Seorang pengarang dalam membuat karya
sastra, menghubungkan kenyataan dengan sosial budaya atau adat istiadat di
daerah tersebut.
-
Berdasarkan alirannya, kebanyakan novel
pada periode ini termasuk aliran impresionisme. Aliran ini memperlihatkan kesan
atau sesuatu yang disimpulkan, setelah mengamati suatu kejadian. Kesan tersebut
diceritakan kembali secara objektif dan sesuai dengan kenyataan.
Ø Drama
Tak banyak drama yang terkenal pada
periode 1900-1933, ada satu drama pertama yang ditulis oleh Rustam Effendi,
yaitu “Bebasari”, karya ini dianggap sindiran terhadap pemerintah
Hindia-Belanda.
Di
dalamnya dikisahkan perjuangan seorang pemuda yang membebaskan kekasihnya dari
cengkraman keserakahan Rahwana. Sebagai drama, Bebasari barangkali kurang
menarik dan sulit dimainkan di panggung, sehingga disebut closet drama. Mungkin
memang bukan itu maksud pengarangnya , bahwa drama ini merupakan sebuah
perlambangan atau simbolisme dari cita-cita pengarangnya, agaknya jelas dari
judulnya yang mengandung perkataan “bebas”. Kekasih yang hendak dibebaskan si
pemuda dari Rahwana itu mudah diterka sebagai lambang tanah air yang sedang
berada dalam cengkraman penjajah. Karena itu tidak usah heran kalau buku ini
segera dilarang beredar oleh pemerintahan jajahan Belanda. Dari segi sejarah
sastra Indonesia buku ini penting karena merupakan sandiwara pertama yang ditulis
dalam bahasa Indonesia dalam bentuk sajak.
Berdasarkan
analisis drama tersebut dapat dilihat karakteristik drama pada periode ini,
yaitu:
-
Temanya
tentang perjuangan meraih kebebasan,
-
Bentuk dialog-dialognya kebanyakan
dialog puitis,
-
Isinya berupa sindiran tentang hidup yang
tertekan di bawah penjajahan,
-
Bahasa yang digunakan terasa kaku.
-
Berdasarkan aliran sastra drama ini
termasuk ke dalam aliran ekspresionisme simbolisme, yaitu aliran yang
mengutamakan pendapat pribadi si penulis yang penulisannya menggunakan lambang.
BAB IV
SIMPULAN
Sejarah
sastra adalah cabang ilmu sastra yang berusaha menyelidiki perkembangan sastra
sejak dari mula pertumbuhannya sampai kepada perkembangannya yang sekarang.
Yang menjadi objek penyelidikannya adalah periodisasi sastra, perkembangan
aliran yang ada pada suatu periode, karakteristik karya sastra pada suatu
periode yang mencangkup gaya bahasa, aliran, genre sastra, tema dari karya
sastra.
Berdasarkan
analisis dari beberapa jenis karya sastra seperti puisi, prosa fiksi dan drama
dari beberapa pengarang, kami menyimpulkan karakteristik karya sastra pada
periode 1900-1933 sebagai berikut:
1.
Puisi
Berdasarkan analisis dari puisi-puisi
diatas, didapat beberapa karakteristik puisi pada periode ini, yaitu:
-
Kebanyakan tema yang diangkat dalam
puisi-puisi diatas adalah tema “kebangsangan”.
-
Isinya banyak menceritakan bangsa
sendiri.
-
Bentuk puisinya mencoba keluar dari
pakem puisi lama yang berbentuk empat larik dalam satu bait.
-
Bahasa yang digunakan bahasa Melayu,
sebagai bentuk kepeloporan dalam merintis Bahasa Indonesia.
-
Berdasarkan alirannya, puisi-puisi
periode ini masuk aliran ekspresionisme , aliran ini biasanya subjektif atau
mengutamakan pendapat pribadi si penulis.
2.
Prosa
Fiksi
Berdasarkan analisis beberapa roman
dari beberapa pengarang, didapat beberapa karakteristik roman pada periode ini,
yaitu:
-
Bahasa yang digunakan penulis dalam
novelnya kebanyakan menggunakan gaya Melayu, karena dipengaruhi latar dalam
novel.
-
Tema-temanya kebanyakan mengenai adat,
dan pertentangan kaum muda dan golongan orang tua.
-
Pada umumnya berisi perjuangan kaum muda
yang gagal dalam menghadapi kejanggalan-kejanggalan adat pada masa itu.
-
Ada juga yang berisi pertentangan antara
kaum muda yang bersifat modern dan kaum tua yang bersifat kolot.
-
Masih disisipkan bentuk-bentuk lama
pribahasa, pantun, dan syair, padahal tidak ada hubungannya dengan jalan
cerita.
-
Penokohan atau karakter tokoh dalam
sebuah roman kebanyakan dijelaskan langsung oleh pengarang.
-
Seorang penulis yang penuh dengan
idealisme cenderung untuk mempertentangkan dua dunia secara ekstrem, sehingga
menjadi stereotaip. Jadi kita berhadapan dengan dunia yang mempunyai hubungan
genetic dengan stereotaip ((cf. A. Lorenzer, 1976: 140), dalam Junus, 1986: 8).
-
Seorang pengarang dalam membuat karya
sastra, menghubungkan kenyataan dengan sosial budaya atau adat istiadat di
daerah tersebut.
-
Berdasarkan alirannya, kebanyakan novel
pada periode ini termasuk aliran impresionisme. Aliran ini memperlihatkan kesan
atau sesuatu yang disimpulkan, setelah mengamati suatu kejadian. Kesan tersebut
diceritakan kembali secara objektif dan sesuai dengan kenyataan.
3.
Drama
Berdasarkan
analisis drama Bebasari yang merupakan drama pertama pada periode ini, dapat
dilihat karakteristik drama pada periode ini, yaitu:
-
Bentuk dialog-dialognya kebanyakan
dialog puitis,
-
Isinya berupa sindiran tentang hidup yang
tertekan di bawah penjajahan,
-
Bahasa yang digunakan terasa kaku.
-
Berdasarkan aliran sastra drama ini
termasuk ke dalam aliran ekspresionisme simbolisme, yaitu aliran yang
mengutamakan pendapat pribadi si penulis yang penulisannya menggunakan lambang.
-
Temanya
tentang perjuangan meraih kebebasan,
DAFTAR PUSTAKA
Fadriah,
Fifin. (2014). Analisis Unsur Intrinsik Novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar.
Kuningan. Universitas Kuningan.
Jejen
Jaelani, Asep. (2014). Sejarah Sastra
Indonesia. Kuningan. Universitas Kuningan.
Junus,
Umar. (1986). Sosiologi Sastra Persoalan
Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian
Pelajaran Malaysia.
Keraf,
Gorys. (2010). Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Nuraeni,
Maya H. (2014). Analisis Unsur Intrinsik
Novel Salah Asuhan karya Abdul Muis. Kuningan. Universitas Kuningan.
Rosidi,
Ajip. (2013). Ikhtisar Sejarah Sastra
Indonesia. Bandung: Pustaka Jaya.
Siregar,
Merari. (1920). Azab dan Sengsara.
Jakarta: PT Balai Pustaka (Persero)
Sugianto
Mas, Aan. (2012). Langkah Awal Menuju
Apresiasi Sastra. Kuningan: Universitas Kuningan.
Sugianto
Mas, Aan. (2013). Kajian Prosa Fiksi dan
Drama. Kuningan: Universitas Kuningan.
Supradjarto,
Drs. Emm. Toto. (1991). Kesusastraan
Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta: SMA KANISIUS.
Wibowo,
Wahyu. (1995). Konglomerasi Sastra. Jakarta:
Paronpes.
_____.
(2006). Antologi Drama Indonesia
1895-1930. Jakarta: Amanah Lontar
No comments:
Post a Comment