Benar-benar Sia-sia
Jangan menutup telinga jika ada suara yang
terdengar, karena setiap suara punya arti walau kau tak tahu kau membutuhkannya
atau tidak, setiap untaian kata dari suara-suara yang dirangkai manusia akan
berarti walau sepatah kata, tak dapat dielakkan bahwa mendengar adalah hal yang
membuktikan kalau kita tidak tuli.
Suara cicit burung didahan pohon seberang jalan itu yang
menggodaku untuk melihatnya saat aku berjalan, namun masih remang walau
kucari-cari asal suara itu. Mataku tertuju pada bangku kayu yang berada dibawah
pohon tempat biasa orang-orang menunggu angkot, ternyata bangku itu masih
kosong. “Mungkin Ina terlambat bangun,” pikirku. Lalu aku menunggu Ina dibangku
itu.
Sambil sesekali melihat jam tanganku, aku tak sabar
menunggu Ina yang tak juga kelihatan batang hidungnya. Ini hari MOS pertamaku,
jadi aku bangun pagi agar tak terlambat berangkat ke SMA idamanku sejak lama,
tapi yang lebih aku idam-idamkan sekarang adalah Ina segera datang agar kami
tak terlambat. Tak biasanya dia terlambat begini. Jalanan memang belum ramai
jam segini, memang baru saja jam 05.30, “Hehe…apa aku yang bangun terlalu pagi?
Tapi aku dan Ina berniat jadi peserta MOS teladan, jadi harus datang lebih awal.
Saat aku bernyanyi-nyanyi kecil untuk menghabiskan
waktu menunggu Ina. Sebuah mobil sedan keluar dari perumahan di seberang jalan.
Ternyata itu mobil Intan, anak seorang konglomerat yang terkenal dan sering
diperbincangkan di kampungku karena sangat dermawan. Tapi Intan malah dikenal
sebagai anak yang sombong, padahal dia cantik dan akan lebih cantik jika
sikapnya seperti Ayahnya. Saat mobil itu melintas dihadapanku, Intan
menjulurkan lidahnya meledek padaku. Aku hanya sedikit tersenyum membalasnya,
Intanpun berlalu dengan mobil yang disetir oleh supinya itu.
……………..
“Dorr!”,
tiba-tiba Ina datang mengagetkanku.
“Ahh
Ina nih lama, kita bisa telat tau?” protesku.
“Maaf
Uli cantik, hehe…tadi ibu menyuruhku memeriksa bawaanku terus,” sahut Ina
terlihat jujur.
“Ohh…ya
sudah, tuh angkot, ayo kita berangkat biar enggak telat!”
Aku dan Ina segera menaiki angkot dan menuju ke sekolah.
Saat kami turun dari angkot ternyata di sekolah masih sepi, memang sih jam
kumpul MOS masih sejam lagi, pantas saja masih sepi, tapi tak apalah karena aku
dan Ina bisa duduk santai sambil memeriksa barang bawaan untuk MOS yang sudah
ditentukan sehari sebelum MOS. Aku mengajak Ina untuk duduk di taman sekolah
dekat gerbang.
Mataku tertuju pada Intan yang duduk sendirian di
halte seberang sekolah. Aku sedikit heran melihat Intan duduk sendiri dengan
muka yang terlihat sangat kesal dan hampir menangis. Dia mengambil ponsel dari
tasnya dan terlihat marah-marah pada orang yang sedang ditelponnya itu. Aku
pikir dia dirampok, tapi bawaannya masih ada. Ahh… aku malah semakin heran
melihat tingkahnya.
Aku ingin mengajak Ina untuk menemani Intan disana,
tapi aku tahu Ina tak suka melihat tingkah Intan. Jadi kuurungkan niatku
mengajak Ina, namun mataku tetap memperhatikan tingkah Intan dan tak terlalu
menanggapi Ina yang sedari tadi mengajakku ngobrol, untung dia tak terlalu menyadari
kalau aku sedang memperhatikan Intan.
Beberapa menit kemudian Intan kembali menelpon
seseorang dan marah-marah lebih keras dari yang tadi, sampai aku bisa mendengar
sedikit perkataannya. Aku mendengar dia menyebut dasi kupu-kupu, awalnya aku
bingung apa yang dia bicarakan. Setelah aku mengamati penampilan Intan,
ternyata baru kusadari kalau Intan tidak memakai dasi kupu-kupu seperti yang
diperintahkan aturan baju MOS. Aku langsung berjalan menghampiri Intan, Ina
langsung menghampiriku saat aku berjalan, tanpa bertanya dia mengikutiku dan
kami duduk didekat Intan.
“Mau
apa kalian kesini?” Tanya Intan ketus.
“Ih
suka-suka dong, ini kan bukan halte punya nenek kamu”, sahut Ina sinis.
“Aku
cuma mau tanya, kamu lupa bawa dasi kupu-kupu yah?” sambungku pelan.
“Kenapa,
kamu senang yah aku lupa bawa dasi kupu-kupu? Kamu senang kalau nanti aku
dihukum kakak senior?”
“Bu..bukan
begitu, aku…”
“Sudahlah,
sana pergi! Kalian Cuma mau meledek aku kan, pergi sana!” Intan terlihat mulai
marah dan membentak kami.
Tanpa
menjawab, Ina langsung menarik tanganku dan mengajakku duduk di taman.
Aku sebenarnya tak tega meninggalkan Intan sendiri,
dia pasti sangat bingung dan takut dihukum karena lupa membawa dasi
kupu-kupunya. Padahal aku hanya mau membantunya saja, tapi dia memang angkuh,
malah menyuruhku pergi.
Sambil tetap memperhatikan Intan, aku duduk di
bangku taman sambil mengobrol dengan Ina. Tak lama kemudian sebuah angkot
berhenti di halte. Kulihat pembantu Intan yang sudah tua turun dari angkot dan
tergopoh-gopoh menghampiri Intan sambil membawa dasi kupu-kupu ditangannya.
Ketika ia berjalan, kakinya terperosok ke selokan didekat halte. Dasi kupu-kupu
yang dipegangnya terjatuh ke selokan. Dalam hitungan detik Intan langsung
memekik, mukanya memerah dan terlihat tak sabar untuk meluapkan kekesalannya
pada pembantu tuanya itu.
Walaupun dengan wajah yang terlihat memerah karena
menahan kesal, Intan membantu pembantuya bangun dari selokan. Setelah
pembantunya itu naik dari selokan yang tak begitu dalam itu, ia langsung
memungut dasi kupu-kupu di selokan itu. Saat ia hendak memungutnya, ia kembali
terperosok ke selokan, kali ini tangannya yang masuk ke selokan itu dan bajunya
sedikit dibasahi air selokan. Intan kembali memekik, wajahnya makin memerah
karena tak tahan lagi melihat tingkah pembantunya itu. Intan juga terlihat
jijik melihat kaki dan tangan pembantunya yang kotor dan bau karena air
selokan, apalagi melihat dasi kupu-kupu basah dan kotor ditangan pembantunya.
Intan memarahi pembantunya dan langsung menampar
pembantunya yang tua itu, mungkin ia kesal menunggu pembantunya itu
mengantarkan dasi kupu-kupu dari tadi, sekarang malah dasi itu jatuh ke selokan
kotor dan bau. Pembantu itu terlihat kaget atas perlakuan Intan, ia diam tak
berani berbicara sambil terus memegangi dasi kupu-kupu di depan majikannya itu
setelah ditampar.
Aku yang kaget melihat kejadian itu langsung berlari
menghampiri Intan yang terus memarahi pembantunya itu sambil menangis, Ina
mengikutiku dari belakang. Aku berusaha meredam kemarahan Intan, tapi Intan
tetap saja mengoceh. Ia sangat kecewa pada pembantunya karena telah menjatuhkan
dasi kupu-kupunya. Ia takut akan dihukum karena tidak memakai dasi kupu-kupu,
sekarang dasi kupu-kupunya sudah ada tapi kotor dan bau.
“Heh
Intan, jangan kasar begitu dong sama orang tua. Dasar sombong!” Ina terlihat
kesal melihat tingkah Intan yang tak mau memaafkan pembantunya itu.
“Heh
anak kampong! Aku ini punya uang, dia ini dibayar untuk bekerja di keluargaku”.
Intan dengan angkuh membalas ucapan Ina.
Aku kasihan melihat pembantu Intan yang dari tadi
diam saja dimarahi Intan, aku menyuruhnya untuk pulang saja, daripada Intan
semakin mengamuk. Baru selangkah ia melangkah menghampiri angkot. Intan
langsung mencegahnya.
“Lalu
aku sekarang bagaimana mbok? Dasi kupu-kupu itu sekarang kotordan bau, aku bisa
dihukum gara-gara mbok tau.” Intan tetap saja bernafsu memarahi pembantunya
itu.
Pembantunya
hanya bisa diam ditanya seperti itu oleh Intan.
“kamu
tahu Intan, dari tadi aku cuma mau kasih tahu kamu, kalau dihalaman sekolah itu
ada penjual dasi kupu-kupu, tapi kamu malah menyuruhku pergi.”
Intan terlihat kaget mendengar ucapanku barusan dan
dia hanya bisa diam. Aku mengajak Ina masuk karena kegiatan MOS sudah akan
dimulai, sudah terdengar kakak-kakak senior menyuruh berkumpul dihalaman.
Dengan sedikit berlari kami masuk sekolah, meninggalkan Intan yang tetap diam
dan pembantunya yang juga diam.
….………selesai……………
No comments:
Post a Comment