Tuesday, October 7, 2014

Cerpen Fifin



Benar-benar Sia-sia
Jangan menutup telinga jika ada suara yang terdengar, karena setiap suara punya arti walau kau tak tahu kau membutuhkannya atau tidak, setiap untaian kata dari suara-suara yang dirangkai manusia akan berarti walau sepatah kata, tak dapat dielakkan bahwa mendengar adalah hal yang membuktikan kalau kita tidak tuli.
Suara cicit burung didahan pohon seberang jalan itu yang menggodaku untuk melihatnya saat aku berjalan, namun masih remang walau kucari-cari asal suara itu. Mataku tertuju pada bangku kayu yang berada dibawah pohon tempat biasa orang-orang menunggu angkot, ternyata bangku itu masih kosong. “Mungkin Ina terlambat bangun,” pikirku. Lalu aku menunggu Ina dibangku itu.
Sambil sesekali melihat jam tanganku, aku tak sabar menunggu Ina yang tak juga kelihatan batang hidungnya. Ini hari MOS pertamaku, jadi aku bangun pagi agar tak terlambat berangkat ke SMA idamanku sejak lama, tapi yang lebih aku idam-idamkan sekarang adalah Ina segera datang agar kami tak terlambat. Tak biasanya dia terlambat begini. Jalanan memang belum ramai jam segini, memang baru saja jam 05.30, “Hehe…apa aku yang bangun terlalu pagi? Tapi aku dan Ina berniat jadi peserta MOS teladan, jadi harus datang lebih awal.
Saat aku bernyanyi-nyanyi kecil untuk menghabiskan waktu menunggu Ina. Sebuah mobil sedan keluar dari perumahan di seberang jalan. Ternyata itu mobil Intan, anak seorang konglomerat yang terkenal dan sering diperbincangkan di kampungku karena sangat dermawan. Tapi Intan malah dikenal sebagai anak yang sombong, padahal dia cantik dan akan lebih cantik jika sikapnya seperti Ayahnya. Saat mobil itu melintas dihadapanku, Intan menjulurkan lidahnya meledek padaku. Aku hanya sedikit tersenyum membalasnya, Intanpun berlalu dengan mobil yang disetir oleh supinya itu.
……………..
“Dorr!”, tiba-tiba Ina datang mengagetkanku.
“Ahh Ina nih lama, kita bisa telat tau?” protesku.
“Maaf Uli cantik, hehe…tadi ibu menyuruhku memeriksa bawaanku terus,” sahut Ina terlihat jujur.
“Ohh…ya sudah, tuh angkot, ayo kita berangkat biar enggak telat!”
Aku dan Ina segera menaiki angkot dan menuju ke sekolah. Saat kami turun dari angkot ternyata di sekolah masih sepi, memang sih jam kumpul MOS masih sejam lagi, pantas saja masih sepi, tapi tak apalah karena aku dan Ina bisa duduk santai sambil memeriksa barang bawaan untuk MOS yang sudah ditentukan sehari sebelum MOS. Aku mengajak Ina untuk duduk di taman sekolah dekat gerbang.
Mataku tertuju pada Intan yang duduk sendirian di halte seberang sekolah. Aku sedikit heran melihat Intan duduk sendiri dengan muka yang terlihat sangat kesal dan hampir menangis. Dia mengambil ponsel dari tasnya dan terlihat marah-marah pada orang yang sedang ditelponnya itu. Aku pikir dia dirampok, tapi bawaannya masih ada. Ahh… aku malah semakin heran melihat tingkahnya.
Aku ingin mengajak Ina untuk menemani Intan disana, tapi aku tahu Ina tak suka melihat tingkah Intan. Jadi kuurungkan niatku mengajak Ina, namun mataku tetap memperhatikan tingkah Intan dan tak terlalu menanggapi Ina yang sedari tadi mengajakku ngobrol, untung dia tak terlalu menyadari kalau aku sedang memperhatikan Intan.
Beberapa menit kemudian Intan kembali menelpon seseorang dan marah-marah lebih keras dari yang tadi, sampai aku bisa mendengar sedikit perkataannya. Aku mendengar dia menyebut dasi kupu-kupu, awalnya aku bingung apa yang dia bicarakan. Setelah aku mengamati penampilan Intan, ternyata baru kusadari kalau Intan tidak memakai dasi kupu-kupu seperti yang diperintahkan aturan baju MOS. Aku langsung berjalan menghampiri Intan, Ina langsung menghampiriku saat aku berjalan, tanpa bertanya dia mengikutiku dan kami duduk didekat Intan.
“Mau apa kalian kesini?” Tanya Intan ketus.
“Ih suka-suka dong, ini kan bukan halte punya nenek kamu”, sahut Ina sinis.
“Aku cuma mau tanya, kamu lupa bawa dasi kupu-kupu yah?” sambungku pelan.
“Kenapa, kamu senang yah aku lupa bawa dasi kupu-kupu? Kamu senang kalau nanti aku dihukum kakak senior?”
“Bu..bukan begitu, aku…”
“Sudahlah, sana pergi! Kalian Cuma mau meledek aku kan, pergi sana!” Intan terlihat mulai marah dan membentak kami.
Tanpa menjawab, Ina langsung menarik tanganku dan mengajakku duduk di taman.
Aku sebenarnya tak tega meninggalkan Intan sendiri, dia pasti sangat bingung dan takut dihukum karena lupa membawa dasi kupu-kupunya. Padahal aku hanya mau membantunya saja, tapi dia memang angkuh, malah menyuruhku pergi.
Sambil tetap memperhatikan Intan, aku duduk di bangku taman sambil mengobrol dengan Ina. Tak lama kemudian sebuah angkot berhenti di halte. Kulihat pembantu Intan yang sudah tua turun dari angkot dan tergopoh-gopoh menghampiri Intan sambil membawa dasi kupu-kupu ditangannya. Ketika ia berjalan, kakinya terperosok ke selokan didekat halte. Dasi kupu-kupu yang dipegangnya terjatuh ke selokan. Dalam hitungan detik Intan langsung memekik, mukanya memerah dan terlihat tak sabar untuk meluapkan kekesalannya pada pembantu tuanya itu.
Walaupun dengan wajah yang terlihat memerah karena menahan kesal, Intan membantu pembantuya bangun dari selokan. Setelah pembantunya itu naik dari selokan yang tak begitu dalam itu, ia langsung memungut dasi kupu-kupu di selokan itu. Saat ia hendak memungutnya, ia kembali terperosok ke selokan, kali ini tangannya yang masuk ke selokan itu dan bajunya sedikit dibasahi air selokan. Intan kembali memekik, wajahnya makin memerah karena tak tahan lagi melihat tingkah pembantunya itu. Intan juga terlihat jijik melihat kaki dan tangan pembantunya yang kotor dan bau karena air selokan, apalagi melihat dasi kupu-kupu basah dan kotor ditangan pembantunya.
Intan memarahi pembantunya dan langsung menampar pembantunya yang tua itu, mungkin ia kesal menunggu pembantunya itu mengantarkan dasi kupu-kupu dari tadi, sekarang malah dasi itu jatuh ke selokan kotor dan bau. Pembantu itu terlihat kaget atas perlakuan Intan, ia diam tak berani berbicara sambil terus memegangi dasi kupu-kupu di depan majikannya itu setelah ditampar.
Aku yang kaget melihat kejadian itu langsung berlari menghampiri Intan yang terus memarahi pembantunya itu sambil menangis, Ina mengikutiku dari belakang. Aku berusaha meredam kemarahan Intan, tapi Intan tetap saja mengoceh. Ia sangat kecewa pada pembantunya karena telah menjatuhkan dasi kupu-kupunya. Ia takut akan dihukum karena tidak memakai dasi kupu-kupu, sekarang dasi kupu-kupunya sudah ada tapi kotor dan bau.
“Heh Intan, jangan kasar begitu dong sama orang tua. Dasar sombong!” Ina terlihat kesal melihat tingkah Intan yang tak mau memaafkan pembantunya itu. 
“Heh anak kampong! Aku ini punya uang, dia ini dibayar untuk bekerja di keluargaku”. Intan dengan angkuh membalas ucapan Ina.
Aku kasihan melihat pembantu Intan yang dari tadi diam saja dimarahi Intan, aku menyuruhnya untuk pulang saja, daripada Intan semakin mengamuk. Baru selangkah ia melangkah menghampiri angkot. Intan langsung mencegahnya.
“Lalu aku sekarang bagaimana mbok? Dasi kupu-kupu itu sekarang kotordan bau, aku bisa dihukum gara-gara mbok tau.” Intan tetap saja bernafsu memarahi pembantunya itu.
Pembantunya hanya bisa diam ditanya seperti itu oleh Intan.
“kamu tahu Intan, dari tadi aku cuma mau kasih tahu kamu, kalau dihalaman sekolah itu ada penjual dasi kupu-kupu, tapi kamu malah menyuruhku pergi.”
Intan terlihat kaget mendengar ucapanku barusan dan dia hanya bisa diam. Aku mengajak Ina masuk karena kegiatan MOS sudah akan dimulai, sudah terdengar kakak-kakak senior menyuruh berkumpul dihalaman. Dengan sedikit berlari kami masuk sekolah, meninggalkan Intan yang tetap diam dan pembantunya yang juga diam.

….………selesai……………

No comments:

Post a Comment

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2