Saturday, January 16, 2016

ANALISIS NASKAH DRAMA MANGIR KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sastra tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial-budaya zamannya. Maka, membaca karya sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya juga. ((Siregar, 1920),  dalam Fadriah, 2014)

Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. (Sugianto Mas, 2012: 9)

Jika membaca karya sastra hakikatnya adalah membaca keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu, karena sastra menyimpan pemikiran sastrawannya yang mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. Maka membaca karya sastra membuat kita belajar tentang kehidupan, namun kita tidak menyadari betapa banyak manfaat yang kita dapat dari hasil membaca, sehingga kita kekurangan minat baca, apalagi memperdalam bacaan yang kita baca, terlepas dari apa saja yang kita baca.

Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk; puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12 (dalam Sugianto Mas, 2012: 12).

Salah satu bentuk sastra adalah drama, menurut Aan Sugianto Mas dalam bukunya “Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra”, mengatakan bahwa drama ialah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog. Drama mempunyai dua pengertian, yaitu drama sebagai karya sastra yang berbentuk naskah, dan drama sebagai seni pertunjukan. Kita akan membahas drama sebagai karya sastra, yang unsur intrinsiknya berupa tema, alur/plot, konflik, tokoh dan perwatakan, latar, dialog dan amanat. 
Shklovsky (1977: 84), dalam (Ratna, 2004: 320) mengemukakan bahwa sudut pandang, gaya bahasa, dan plot dianggap sebagai unsur-unsur utama keberhasilan karya sastra, bukan kejadian atau tokoh. Artinya keberhasilan karya sastra tidak bergantung pada pentingnya suatu kejadian atau tokoh-tokoh yang diceritakan, tetapi bagaimana sudut pandang, gaya, dan plot dioperasikan. Kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa, dan koherensi plot jelas merupakan jaminan keberhasilan karya sastra.
Jika kita ingin mengetahui keberhasilan sebuah karya sastra menjadi karya yang bagus, bukan ditinjau dari subjektivitas kita, kita dapat melihat pendapat Shklovsky bahwa yang menentukannya ialah sudut pandang, plot dan gaya bahasa. Maka kita perlu melakukan analisis unsur intrinsik sebuah karya terlebih dahulu untuk mengetahui keberhasilan karya sastra tersebut. Lebih jauh lagi kita dapat melakukan kajian unsur ekstrinsiknya juga agar lebih mengapresiasi sebuah karya.
Penulisan analisis ini dimaksudkan untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik yang ada pada naskah drama agar sebuah sebuah drama tak hanya dibaca, namun dapat difahami isi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya supaya berguna bagi kehidupan dan dapat dipentaskan sebagai bentuk apresiasi. Naskah drama yang menjadi bahan analisa saya adalah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Apa tema dari naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
2.      Bagaimana alur dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
3.      Siapa saja tokoh dan bagaimana perwatakannya dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
4.      Bagaimana konflik yang terjadi dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
5.      Bagaimana latar/setting dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
6.      Bagaimana dialog yang menjadi gaya pengarang Pramoedya Ananta Toer dalam naskah drama Mangir?
7.      Amanat apa saja yang terkandung dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?

C.    Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui:
1.         Tema dari naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
2.         Alur dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
3.         Tokoh dan bagaimana perwatakannya dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
4.         Konflik yang terjadi dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
5.         Latar/setting dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
6.         Dialog yang menjadi gaya pengarang Pramoedya Ananta Toer dalam naskah drama Mangir.
7.         Amanat yang terkandung dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.

D.    Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini untuk saya selaku penulis, dapat mengetahui unsur-unsur intrinsik seperti tema, plot, tokoh dan perwatakan, konflik, latar, dialog dan amanat yang terdapat pada drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer, juga mendapatkan pengalaman tentang bagaimana proses analisis unsur intrinsik yang terdapat pada sebuah naskah drama. Selaku penulis saya pun mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam drama, ilmu tentang kehidupan, sejarah, sosial, budaya, dan tentang menulis. Penulisan laporan ini juga dapat dirasakan manfaatnya oleh pembaca, pembaca mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam drama, ilmu tentang kehidupan, sejarah, sosial, budaya secara teoritis setelah membaca analisis drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer ini.

BAB II
LANDASAN TEORI
A.      Pengertian Sastra
Karya seni sebagai ungkapan kreatif manusia, keberadannya telah menjadi bagian dari kehidupan. Sebenarnya seseorang dalam menjalani kehidupan, ia mempunyai reaksi emosional yang akan mendorong manusia untuk menyatakan sikap dan mencantumkan nilai-nilai padanya. Kesemuanya itu bila kemudian dicurahkan dengan memperhitungkan estetika maka akan berwujud “karya seni”. Manusia penjelmanya sering disebut “seniman”. Seorang seniman menciptakan karya seni entah disengaja atau tidak pasti berangkat dari ide/gagasan dan sikap yang ingin ia sampaikan kepada orang lain.
Dalam menjelmakan sikapnya, seniman tidak menerjemahkan interpretasinya secara logis, sistematis, dan diuji kebenarannya seperti ilmuwan menjelmakan rumus-rumus atau teori-teori, melainkan dituntut pula perenungan, perhitungan yang dalam sewaktu mengolah media sebagai alat lontaran interpretasinya.
Dilihat dari media atau alat yang digunakan seniman untuk menjelaskan karyanya, dapat dibedakan adanya beberapa karya seni. Misalnya seni lukis yang menggunkaan kanvas, kuas, cat, dan garis sebagai mediaya, seni musik yang menggunakan alat-alat musik tertentu sebagai medianya, seni tari yang menggunakan gerakan tangan, kaki, jari, pinggul, mata, dan seni sastra yang menggunakan bahasa sebagai medianya, jadi yang membedakan satu karya seni dengan karya seni lain adalah medianya. (Sugianto Mas, 2012: 5)
Korrie Layun Rampan mengataka bahwa ahasa sebagai media dalam karya sastra tentu saja bukan bahasa biasa seperti yang digunakan manusia sehari-hari. Melainkan bahasa yang khas yang telah diproses sedemikian rupa dan terpilih dan menjadi media yang dapat mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan, tanggapan, fantasi, kehendak, cita-cita, dan perasaan penciptanya. Di dalam dirinya selalu timbul pertanyaan, bagaimana menciptakan bahasa kembali untuk mengungkapkan dunianya. (Sugianto Mas, 2012: 6)
Secara etimologi kata sastra, yang berasal dari bahasa Sansakerta, dibetuk dari akar kata sas dan –tra. Sas mempunyai arti ‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk’; sedangkan –tra mempunyai arti ‘alat, atau sarana’. Karena itu, kata sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajarkan atau buku petunjuk’. Dengan arti ini dalam bahasa Sansakerta dapat dijumpai istilah Silpasastra yang berarti ‘buku arsitektur’, dan Kamasastra yang berarti ‘buku petunjuk seni bercinta’. Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. (Sugianto Mas, 2012: 9)
Berdasarkan istilah tentang sasta secara harfiah, saya menyimpulkan sastra bukan hanya sebuah karya yang berbentuk huruf, tulisan, atau karangan. Sastra merupakan hasil kegiatan kreatif manusia yang bermula dari ide/gagasan, atau sikap manusia yang ingin disampaikan kepada orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai medianya, bahasa tersebut terlebih dahulu diberi bobot makna yang dipilih sedemikian rupa dengan memperhitungkan nilai estetika, sehingga mampu menyampaikan maksud yang ingin disampaikan seniman.
B.       Bentuk-Bentuk Sastra
Bentuk sastra berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian karangan; pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga bentuk, yaitu puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12  (dalam Sugianto Mas: 2012))
Sutardji Calzoum Bachrie dalam Kredo Puisi Antologi O Amuk Kapak mengatakan Bila kata dibebaskan, kreatifitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif. Dan bahwa dalam puisinya, ia membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelunggunya seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika. Menulis puisi bagi Sutardji Calzoum Bachrie adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah kata, dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi baginya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Prosa adalah ragam sastra yang dbedakan dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, dan kemerduan bunyi. Prosa lebih dekat dengan bahasa sehari-hari ((Panuti Sudjiman: 60) dalam Sugianto Mas: 2013).
Prosa dibagi menjadi dua; prosa imajinatif dan prosa non-imajinatif. Dalam prosa imajinatif unsur yang paling kuat adalah bentuk kreativitas mengolah bahasa yang sifatnya imajiner dan dalam bentuknya pun prosa imajinatif dipengaruhi oleh diksi dan gaya bahasa yang estetik. Prosa non-imajinatif, dalam hal ini bentuk tulisan cenderung atau bahkan tidak memperdulikan bagaimana sebuah bahasa diolah menjadi indah. Pada prosesnya merupakan interaksi yang kaku, karena diikat oleh aturan atau kaidah penulisan tulisan.
Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra, dalam bentuk wujudnya, drama merupakan susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum dipentaskan dalam sebuah seni pertunjukkan.
C.      Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani ‘draomai’ yang berarti ‘berbuat’. Kata itu muncul saat orang-orang Yunani masih mempunyai kepercayaan terhadap dewa-dewa. Mereka mempercayai bahwa dewa paling atas adalah Dewa Zeus. Dewa Zeus mempunyai dua keturunan yang masing-masing bernama Dewi Apolo dan Dewa Dyonesos. Dewi Apolo adalah dewi kesuburan, sedangkan Dewa Dyonesos adalah dewa pengrusak atau penghancur.
Apabila saat musim hujan, tanaman subur, dan binatang berkembang biak dengan baik, dipercayai bahwa pada saat itu Dewi Apolo sedang turun ke bumi. Sebaliknya apabila musim kering tiba, tanah gersang, tanaman mati, dan binatang tidak berkembang biak, maka itu pertanda Dewa Dyonesos sedang turun ke bumi. Berdasarkan kepercayaan pada peristiwa alam tersebut, maka orang-orang Yunani memerlukan upacara-upacara ritual dengan maksud mengajukan persembahan kepada dewa mereka. Pada saat subur mereka menyelenggarakan upacara persembahan rasa terima kasih pada Dewi Apolo. Mereka ‘kosmos’ (gembira). Kosmos itu sendiri akhirnya menjadi kata ‘komedi’. Sedangkan pada saat-saat menderita sewaktu menghadapi gejala alam yang kering kerontang, hujan tidak turun, tanaman mati, dan binatang tidak berkembang biak, mereka pun menyelenggarakan upacara persembahan pada Dewa Dyonesos. Upacara ritual yang mereka lakukan adalah mempersembahkan korban seekor ‘tragos’ atau kambing yang disembelih. Menurut kepercayaan mereka suara mengembiknya ‘tragos’ saat disembelih mewakili jeritan rakyat seluruh Yunani yang menandakan permintaan kepada Dewa Dyonesos. Jerit kambing yang disembelih disebut ‘tragodia’ yang lantas sekarang berkembang menjadi kata tragedi.
Semua upacara ritual itu, terutama upacara kosmos, mereka ‘draomai’ atau ‘suatu perbuatan’ menirukan gerak-gerik binatang lengkap dengan kostum kulit binatang yang mereka pakai. Oleh karena itu, istilah ‘perbuatan menirukan sesuatu’ selanjutnya berkembang menjadi kata drama.
Pada saat ini, kata drama berkembang menjadi sebuah bentuk karya seni. Karya seni tersebut bersumber pada gerak-gerak peniruan yang dilakukan orang-orang terhadap prilaku orang lain. Bahwa peniruan gerak tersebut pada akhirnya membentuk cerita dan menjadi sebuah pertunjukan adalah gejala kreativitas manusia yang selalu berkembang dari masa ke masa. Untuk lebih jelasnya kita ikuti sumber yang menjelaskan pengertian kata drama tersebut.
Menurut KBBI, Drama ialah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (peran) atau dialog yang dipentaskan. Drama juga berarti cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang disusun khusus untuk pertunjukan teater.
Menurut Aan Sugianto Mas dalam bukunya “Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra”, mengatakan bahwa drama ialah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog. (Sugianto Mas, 2012: 12)
Sedangkan dalam buku Drama karya Herman J. Waluyo, drama berarti perbuatan, tindakan atau aksi. Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre sastra, ataukah sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi, dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis, seni kostum, seni rias dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat tentang drama, pengertian drama bergantung pada bentuk drama itu sendiri, apakah sebagai karya sastra atau sebagai karya pentas. Pada dasarnya kedua pengertian tersebut mengarah pada satu inti, yaitu bentuk drama sebagai cerita yang diharapkan mampu menggambarkan kehidupan manusia.
D.      Klasifikasi Drama
Klasifikasi drama didasarkan atas jenis stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap kehidupan. Seorang pengarang drama dapat menghadapi kehidupan ini dari sisi yang menggembirakan dan sebaliknya juga dari sisi yang menyedihkan. Dapat juga seseorang memberikan variasi antara sedih dan gembira, mencampurkan dua sikap itu karena dalam kehidupan yang nyata, manusia tak selalu sedih dan tak selalu gembira. Karya yang mampu memadukan dua sisi sikap hidup manusia itu dipandang merupakan karya yang lebih baik, karena kenyataan hidup yang kita jumpai memang demikian adanya.
Ø  Klasifikasi Drama Berdasarkan Isi
Pada abad XVIII ada berbagai jenis naskah drama, diantaranya adalah: Lelucon, banyolan, opera balada, komedisentimental, komedi tinggi, tragedy borjuis, dan tragedy nonklasik. Selanjutnya berbagai macam jenis drama itu diklasifikasikan menjadi empat jenis berdasarkan isinya, yaitu sebagai berikut:
1.      Tragedi
Tragedi atau drama duka adalah drama yang melukiskan kisah sedih yang benar-besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat dalam bencana yang besar. Dengan kisah tentang bencana ini, penulis naskah mengharapkan agar pembaca atau penonton drama ini memangdang kehidupan secara optimis. Pengarang secara bervariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang ketidaksempurnaan manusia. Pengarang berusaha menempatkan dirinya secara tepat dalam kemelut kehidupan manusia itu. Kenyataan hidup yang dilukiskan berwarna romantis atau idealistis, sebab itu lakon yang dilukiskan seringkali mengungkapkan kekecewaan hidup karena pengarang mengharapkan sesuatu yang sempurna atau yang paling baik dari hidup ini. Drama tragedy juga dapat dibatasi sebagai drama duka yang berupa dialog bersajak yang menceritakan tokoh utama yang menemui kehancuran karena kelemahannya sendiri, seperti keangkuhan dan sifat iri hati. 
2.      Melodrama
Melodrama adalah lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan, Penggarapan alur dan penokohan yang kurang dipertimbangkan secara cermat. Maka cerita seperti dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan pembaca atau penonton.
Tokoh dalam melodrama adalah tokoh yang tidak ternama (bukan tokoh agung seperti dalam tragedi). Dalam kehidupan sehari-hari sebutan rtistictic kepada seseorang seringkali merendahkan martabat orang tersebut, karena dianggap berprilaku yang melebih-lebihkan perasaannya. Dalam melodrama yang lebih ekstrim, tokohnya digambarkan menerima nasibnya seperti apa yang terjadi, kualitas watak manusia bersifat unik dan individual.
3.      Komedi
Komedi adalah drama ringan yang sifatnya menghibur dan didalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi, tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan kelucuan atau tawa riang. Kelucuan bukan tujuan utama, maka nilai dramatik dari komedi (meskipun bersifat ringan) masih tetap terpelihara. Nilai dramatic tidak dikorbankan untuk kepentingan mencari kelucuan (“geer”).
Drama komedi ditampilkan tokoh yang tolol, konyol, atau tokoh bijaksana tapi lucu. Daya apresiasi pembaca atau penonton berhubungan dengan pemahaman latar belakang budaya sebuah komedi. Dengan apresiasi yang tinggi, seorang penonton mampu memahami sebuah komedi dan mampu ikut tertawa oleh kelucuan yang tersirat dalam dialog komedi itu. Kesesuaian budaya dan pengalaman berpengaruh terhadap lucu tidaknya komedi.


4.      Dagelan
Dagelan disebut juga banyolan merupakan drama kocak yang ringan. Sering kali jenis drama ini disebut dengan komedi murahan atau picisan atau ketengan. Sering pula disebut tontonan konyol atau tontonan murahan. Alurnya disusun berdasarkan situasi dan tidak berdasarkan situasi, tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik, dan perkembangan cerita tokoh. Isi cerita dagelan ini biasanya kasar, lentur, dan fulgar.
Ciri khas banyolan adalah mementingkan hasil tawa yang diakibatkan oleh lakon yang dibuat selucu mungkin. Segi hiburan lebih ditonjolkan daripada mutu artistik. Lelucon yang dikemukakan dalam banyolan adalah lelucon yang hidup di kalangan rakyat kebanyakan. Bisa saja masalahnya diulang-ulang dan menjadi klise, yang penting penonton tetap tertawa.
Ø  Klasifikasi Drama Berdasarkan Kurun Waktu
                        Berdasarkan kurun waktu drama terbagi pada drama tradisional dan drama modern. Perinciannya sebagai berikut:
1.      Drama Tradisional
      Drama tradisional adalah salah satu bentuk kesenian yang berakar dan bersumber dari tradisi masyarakat lingkungan. Dihasilkan oleh kreativitas suku bangsa Indonesia di beberapa daerah, dan bertolak dari tradisi yang sejalan dengan kebudayaannya. Oleh karena itu, drama tradisional sering juga disebut drama atau teater daerah, karena pada umumnya disajikan dalam media bahasa daerah.
      Ciri utama pada drama tradisional ini adalah ‘improvisasi’ yaitu drama pertunjukan yang tidak bersandar pada naskah. Dialog dilontarkan oleh pemeran secara spontan, tanpa persiapan matang. Cara penyajiannya tidak hanya dialog, tetapi dilakukan dengan menari, menyanyi, dan diiringi oleh tabuhan. Sisipan lelucon, dagelan, atau banyolan selalu mewarnai drama ini. Drama tradisional ini terbagi menjadi drama rakyat, drama klasik, dan drama transisi.


a.      Drama atau Teater Rakyat
                        Drama ini adalah drama yang timbul dan berkembang sesuai dengan festival rakyat yang ada terutama di daerah pedesaan. Drama rakyat juga diartikan sebagai drama tradisional yang berkembang di setiap kelompok suku bangsa. Secara bentuk penyampaiannya, ada yang disajikan dalam bentuk tutur atau lisan oleh seseorang pencerita atau penyanyi yang membawakan cerita. Ada juga yang disajikan sudah dalam pertunjukan drama pada umumnya, yaitu melalui gerak tubuh aktor yang memerankan tokoh cerita. Berikut ini penjelasan drama rakyat tutur dan drama rakyat yang bukan tutur.
1)      Drama atau Teater Tutur
      Drama atau Teater Tutur adalah suatu jenis drama yang bertolak dari sastra lisan yang dituturkan dan belum diperagakan secara lengkap. Dituturkan dalam pengertian yang luas dan sering dilakukan dengan menyanyi dengan diiringi oleh tabuhan. Berikut contoh-contoh drama tutur yang hidup di Indonesia.
a)      Kentrung (Jawa Timur)
            Kentrung adalah bentuk drama yang berupa cerita yang disampaikan secara lisan oleh dalang kentrung. Nama lain yang muncul untuk drama jenis ini adalah Emprak, Opak, Apem, Puja Rasul, dan Seni Timpul. Biasanya Kentrung dipentaskan pada acara sunatan,  tingkeban, perkawinan atau ruwatan. Cerita yang disajikan adalah prosa yang diselingi oleh puisi dan dilakukan dengan tabuhan rebana, gendang, angklung, lesung, terompet dan lain-lain. Isi cerita disesuaikan dengan maksud cerita. Kentrung ada yang diperagakan oleh pemeran dan ada yang tidak diperagakan.
b)      Pantun Sunda
            Sesuai dengan arti kata pantun yaitu ‘padi’, pada awalnya Pantun Sunda dihubungkan dengan pemujaan terhadap Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci, Kersa Nyai, atau Pohaci Sang Hiang Sri. Pada perkembangan selanjutnya sering dilaksanakan pada upacara keluarga, seperti ruwatan, kelahiran, khitanan, perkawinan, kematian, dan nazar. Cerita pantun kebanyakan memaparkan kerajaan-kerajaan Sunda lama seperti Galuh dan Pajajaran. Cerita lain yang sering muncul antara lain ‘Munding laya Dikusumah’, ‘Sangkuriang’, ‘Ciung Wanara’, ‘Sumur Bandung’, ‘Sulanjaya’, ‘Kidang Pananjung’, dan lain-lain.
c)      Dalang Jemblung
            Drama tutur ini sesungguhnya bersumber dari pertunjukan wayang kulit biasa, tetapi tuturan dialog, gamelan, dan lain-lainnya disuarakan oleh ujaran yang dilakukan oleh seorang atau beberapa dalang. Tradisi pertunjukan ini berasal dari ‘nguyen’ yaitu berjaga malam suntuk menunggu kelahiran bayi sambil mendengar ‘macapatan’. Isi cerita dipaparkan dalam bentuk puisi Jawa.
d)     Cepung (Lombok)
            Cepung berawalan dari tiruan bunyi alat musik yang diujarkan ‘cek...cek...cek...pung’. Cepung pada awalnya adalah seni membaca kitab lontar yang diiringi instrumen suling dan beberapa peniruan bunyi oleh alat musik ujaran. Pemain Cepung sedikitnya 6 orang pemusik dan penyanyi serta seorang pembaca lontar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sasak dengan penjelasan gerak tari, mimik wajah, dan lawakan.
e)      Sinrili (Sulawesi Selatan)
            Sinrili merupakan pertunjukan cerita tutur oleh seorang pasinrili yang diiringi musik keso-keso atau rebab. Pertunjukan dilakukan di anjungan rumah atau halaman pada acara tertentu seperti syukuran, pesta panen, membangun rumah, dan sebagainya. Sedangkan waktunya bisa siang hari atau malam setelah sembahyang Isya. Cerita dinyanyikan dalam bentuk nyanyian yang diiringi keso-keso, dan tidak lepas dari rasa humor.
f)       Babaka (Minangkabau)
            Babaka dituturkan oleh tukang cerita sekurang-kurangnya dua orang yang bercerita liris dengan dilagukan. Serta diiringi instrumen rebab, kecapi, dan rebana. Lagu disesuaikan dengan kebutuhan cerita. Pertunjukan biasanya dilaksanakan apabila salah satu anggota keluarga melangsungkan perkawinan atau menempati rumah baru , panen, dan sebagainya. Waktu pertunjukan dari malam sampai pagi. Terjadi keterlibatan penonton dengan penutur, komentar-komentar dan sebagainya.
g)      Wayang Beber (Pacitan)
            Wayang beber berbentuk lukisan di atas kertas tentang wayang yang bergambar seperti wayang kulit purwa. Lukisan wayang tergantung pada cerita yang disajikan, jadi semacam komik tanpa dialog. Lukisan wayang terdiri dari enam gulung berisi empat adegan. Sambil membeberkan lukisan itu, dalang bernarasi sambil diiringi seperangkat gamelan, rebab, kendang, kenong, gong, dan lainnya yang dipukul beberapa pemusik. Pertunjukan ini turun temurun, artinya tidak bisa diturunkan atau diajarkan pada orang lain selain keluarga. Biasanya pertunjukan untuk upacara ruwatan dan nadar saja.

2)      Drama Rakyat yang Sudah Diperagakan
                  Drama atau teater rakyat yang lain muncul tidak hanya dengan tutur tetapi sudah lengkap dengan peragaan oleh para aktor yang memeran tokoh-tokoh cerita. Seperti juga drama tutur, drama jenis ini dilengkapi dengan musik tradisional, tarian-tarian, lagu, dan akrab dengan penontonnya. Humor dan banyolan selalu spontan muncul sebagai dialog segar dari para aktor yang kadang bisa dijawab oleh para penontonnya. Yang termasuk ke dalam drama jenis ini adalah:
a)      Ubrug (Jawa Barat)
                        Ubrug adalah drama rakyat yang muncul di daerah Banten. Memakai bahasa campuran Sunda, Jawa, Indonesia, dan bahkan Lampung. Drama ini menggunakan iringan musik gamelan dan goong buyung. Para pemeran berbusana sesuai cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, sedangkan para penari berbusana srimpian.
                        Drama rakyat jenis ini biasanya dilaksanakan dalam hajatan. Dipentaskan di ruang terbuka seperti halaman rumah atau tanah lapang, dengan penerangan obor atau petromaks yang disimpan di tengah arena pentas. Para pemain bertukar kostum dan berhias di tempat pemusik. Cerita yang sering disajikan adalah ‘Si Pitung’, ‘Si Jampang’, ‘Dalem Boncel’, ‘Jejaka Pecak’.
b)      Topeng Banjet (Jawa Timur)
            Topeng Banjet adalah drama rakyat yang muncul di daerah Karawang, Bekasi, Cisalak Bogor, dan sekitarnya. Sedangkan di wilayah priangan, drama jenis ini sering disebut banjet saja. Meski namanya Topeng Banjet. Tapi akhir-akhir ini para pemeran tidak lagi menggunakan topeng sewaktu berperan. Alat musik yang dipakai adalah rebab leher panjang dan gamelan. Cerrita yang disajikan biasanya ‘Si Jantuk’ dan ‘Sarkawi’.
c)      Longser (Jawa Barat)
            Longser adalah drama rakyat yang sering muncul di wilayah priangan seperti Subang, Bandung, dan sekitanya. Pada dasarnya hampir sama dengan drama rakyat Jawa Barat lainnya. Perbedaannya terdapat pada jenis-jenis tarian yang sering memasukan silat dan ketuk tilu, serta adanya sinden atau juru kawih. Gamelan yang dipakai adalah salendro dengan 12 nagaya.
d)     Sintren (Jawa Barat)
            Sintren adalah drama rakyat yang sering muncul di daerah Cirebon dan sekitarnya. Drama jenis ini mengandung sifat magis, yaitu dengan adanya kerasukan yang dialami oleh penari sintrennya. Penari sintren memakai kacamata hitam yang dimaksudkan untuk menutup biji matanya yang mendelik sewaktu kerasukan. Drama jenis ini dipimpin oleh orang dukun yang disebut ‘punduh’, dia menyediakan dupa, kurungan ayam, dan kain putih untuk penutup sintren, sehelai tikar untuk membungkus sintren yang telah diikat tali. Iringan musik menggunakan tabuhan kendang, gong, kecrek, dan ruas bambu atau duyung.
            Sewaktu sintren dimasukan ke dalam kurungan, dimulailah lakon atau perita babak pertama. Selanjutnya sintren dikeluarkan dengan yang berganti pakaian penari dan lepas dari ikatan. Kemudian sintren menari dan masuk lagi kedalam kurungan, dan babak berikutnya dimulai lagi. Demikian seterusnya.
e)      Manoreh atau Manorek (Jawa Barat)
            Manoreh adalah drama rakyat yang muncul di wilayah Ciamis Selatan. Drama jenis ini semula adalah media dakwah, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai tontonan dalam hajatan saja. Pertunjukan dilaksanakan siang hari atau malam hari. Bahasa yang digunakan campuran Jawa (karena merupakan sebaran dari Banyumas), dan Sunda. Seperti juga yang lainnya, drama jenis ini menggunakan iringan musik, tarian, dan lawakan.
f)       Ronggeng Gunung (Jawa Barat)
            Ronggeng Gunung muncul di daerah Ciamis Selatan. Sesungguhnya bentuk kesenian ini cenderung tarian biasa antara ronggeng dan sejumlah penonton. Unsur drama hanya nampak pada lirik-lirik lagu yang dinyanyikan pesinden menjelang ronggeng menari.
g)      Topeng Blandek (Jawa Barat)
Bojong Gede, Pondok Rajeg, Citayem, Ciseeng. Blandek artinya ‘campur aduk’ atau ‘tidak karuan’ cerita yang dimainkan biasanya pendek dan bernafas Islam, pada saat pergantian babak sering diperdengarkan lagu-lagu dzikir berbahasa Arab atau lagu-lagu berbahasa betawi. Musik terdiri dari rebab, kecrek, kromong, kenong, dan gong.
h)      Srandul (Jogja)
Srandul pertama diciptakan oleh seorang bangsawan Yogyakarta pecinta kesenian rakyat, yaitu Yudanegara III. Drama jenis ini memainkan jenis cerita dengan iringan musik bende, rebana, kendang, dan angklung. Pertunjukan bersifat hiburan dengan dialog prosa dan puisi dengan menggunakan bahasa Jawa dan Arab.
i)        Ande-ande Lumut
Ande-ande Lumut adalah drama rakyat yang dilaksanakan semalam suntuk dengan penari antara 20 sampai 40 orang. Gaya tarian mirip wayang orang Surakarta atau Yogyakarta. Semula pemerannya semua laki-laki. Cerita yang dimainkan adalah ‘Ande-ande Lumut’.
j)        Dadunggawuk
Dadunggawuk adalah drama rakyat yang diperankan semua oleh laki-laki. Pertunjukan dilaksanakan di halaman rumah atau pendopo pada malam hari. Dialog dilakukan dengan prosa dan tembang. Iringan musik menggunakan terbang, angklung, dan kendang. Cerita biasanya tentang dadunggawuk sebagai prajurit yang terbunuh oleh jaka tingkir dalam perebutan kesempatan mengabdi pada raja demak.
k)      Ketoprak
Ketoprak adalah drama rakyat yang amat populer di Jawa Tengah khususnya di Yogyakarta. Pada awalnya ketoprak bukan sebuah tontonan, tapi hanya merupakan permainan orang-orang desa menabuh lesung secara berirama pada bulan purnama. Lantas ditambah nyanyian. Ditemukan pertama kali di Klaten oleh Wreksodiningrat, lantas dikembangkan dengan menambah alat musik lain seperti kendang, terbang, suling, dan kecrek. Pada tahun 1909 dipentaskan pertama kali di depan penonton. Cerita yang disajikan biasanya seperti ‘Damarwulan’, ‘Aji Saka’, ‘Lara Mendut’, dan lain-lain.
l)        Ludruk
Ludruk adalah drama rakyat Jawa Timur. Diperankan oleh lelaki semua. Isi cerita adalah segala yang berhubungan dengan lingkungan yang disajikan dalam dialog segar penuh humor. Diiringi dengan musik gamelan lengkap, disertai dengan nyanyian dan tarian.
m)    Makyong (Riau)
Makyong adalah drama rakyat Melayu yang masih hidup sampai di Malaysia, Singapura, bahkan Muangthai. Drama ini dipertunjukan di tempat terbuka untuk keperluan hajatan. Semua pemeran menggunakan topeng dan sebagian besar wanita. Iringan musik yang dipakai menggunakan kendang, serunai, rebab, gong, mong-mong (gong kecil) masing-masing satu buah.
n)      Lenong
Lenong adalah drama rakyat dari daerah Betawi. Berbahasa Betawi kental yang segar, penuh humor, dan saling ledek. Drama jenis ini telah menggunakan panggung, dekorasi, dan properti yaitu satu meja dan dua buah kursi. Diiringi musik gembang kromong, terbang, suling, dan lain-lain. Cerita yang dimainkan biasanya cerita tentang kehidupan rakyat betawi sehari-hari.

2.      Drama atau Teater Klasik
      Ialah drama pertunjukan yang telah mapan. Drama jenis ini lahir di pusat-pusat kerajaan atau keraton dan masih terpelihara dengan baik sampai saat ini. Masuk ke dalam jenis drama ini antara lai Wayang Orang, Wayang Kulit, dan Wayang Golek.
a.         Wayang Orang atau Wayang Wong
          Wayang Orang adalah jenis drama klasik yang muncul di Keraton Yogyakarta pada pertengahan abad ke-18. Pertunjukan dilaksanakan dengan serius oleh para pemeran yang masing-masing memerankan tokoh wayang. Para pemeran harus pandai menari dan menyanyi. Pertunjukan sudah menggunakan panggung dengan set dekorasi lengkap bergambar realis hutan, alun-alun, gerbang keraton, jalan desa, pertapaan, dan lain-lain.

b.        Wayang Kulit
          Wayang Kulit (pada penggolongan berdasarkan gaya ungkapnya, termasuk drama boneka) adalah drama klasik yang tidak menggunakan orang sebagai medianya, tetapi menggunakan bentuk wayang dari kulit tipis yang dilukis cermat dengan warna-warni yang menjelaskan karakter. Wayang kulit akan digerakkan oleh seorang dalang yang bercerita dan berdialog sekaligus. Untuk dialog, dalang mampu mengubah suara sesuai dengan tokoh wayang yang sedang dimainkan. Jenis drama ini diiringi musik gamelan lengkap dan nyanyi oleh pesinden. Ciri khusus dari pertunjukan wayang kulit adalah menggunakan layar, artinya yang ditonton orang adalah bayangan wayang itu sendiri.

c.         Wayang Golek
          Wayang Golek (pada pernggolongan berdasarkan gaya ungkapnya, termasuk drama boneka) adalah drama klasik yang tidak menggunakan orang sebagai medianya, tetapi menggunakan boneka kayu berwujud tokoh wayang. Sama seperti wayang kulit, wayang golek pun dimainkan oleh dalang yang akan sekaligus berdialog mewakili para tokoh wayang. Untuk berdialog, dalang mampu mengubah suaranya sedemikian rupa sehingga menarik. Jenis drama ini pun menggunakan musik gamelan lengkap sebagai pengiringnya, dan dibantu beberapa sinden sebagai penyanyi yang isi suaranya memperjelas cerita.

3.      Drama atau Teater Transisi
                  Jenis drama atau teater transisi sesungguhnya juga bersumber pada drama tradisional pada umumnya, tapi gaya penyajiannya sudah dipengaruhi oleh teater barat. Drama jenis ini dapat dilihat pada zaman ‘Teater Bangsawan’, yang sering juga dinamankan ‘Komidi Stanbul’, dan ‘Sandiwara Dardanella’. Drama jenis ini populer disebut sandiwara. Untuk zaman sekarang terkenal di Surabaya dengan nama ‘Srimulat’, sedangkan di Jawa Barat ‘Sandiwara Sunda’. Drama jenis ini menggunakan panggung dan tata dekor, lampu, rias, dan lain-lain sebagai layaknya drama modern, tapi belum menggunakan naskah drama. Isi cerita seputar kehidupan sehari-hari yang disajikan dalam bentuk banyolan segar. Musik pengiring pun sudah modern sehingga sering menggunakan efek bunyi dari kaset.

4.      Drama atau Teater Modern
                  Drama ini selalu bersandar pada naskah drama, dan diikat oleh hukum-hukum dramaturgi. Struktur dan pengolahannya dipengaruhi sekali oleh ‘Teater Barat’. Artinya, susunan naskah, cara pentas, gaya penyuguhan, dan pola pemikiran, banyak bersumber dari pola pendekatan dan pemikiran ‘kebudayaan barat’.
                  Cerita atau lakon yang dipentaskan, selalu karya pengarang sastra atau dramawan yang mencoba mencipta drama baru, bahkan dengan aliran baru. Gaya penyajian bervariasi sesuai dengan perkembangan kreativitas para sutradara. Bahkan akhir-akhir ini muncul drama-drama ‘kontemporer’ atau ‘masa kini’ yang berangkat dari eksperimen para kreator drama. Lebih dari itu, kemodernan memungkinkan pertunjukan dengan menggunakan teknologi canggih, sehingga muncullah jenis pertunjukan drama yang bernama film dan sinetron.
                  Adapun ciri-ciri bentuk drama atau teater modern ini secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut.
a.       Bersandar pada naskah drama atau skenario.
b.      Pertunjukan dilakukan di tempat khusus, yaitu panggung yang memisahkan antara pemeran dan penonton. Di atas panggung tersebut telah dipasang layar yang dapat diangkat atau diturunkan sebagai tanda pertunjukan dimulai atau selesai.
c.       Penonton harus membayar.
d.      Penyelenggaraan benar-benar untuk pertunjukan itu sendiri. Tidak ada orang yang menyelenggarakan drama untuk kebutuhan lain seperti upacara, hajatan, dan lain-lain.
e.       Pertunjukan merupakan karya seni kolektif, antara perangkat administratif dan perangkat artistik, dan berupa cuatan ide baru yang dipertanggungjawabkan.
f.       Meski ada juga yang mengambil cerita masa lampau, tetapi kebanyakan dari drama modern memuat unsur cerita yang erat kaitannya dengan peristiwa sejaman.
g.      Ungkapan pertunjukan telah menggunakan peralatan modern, seperti peralatan musik modern, lampu, sound sistem, dan lain-lain. Bahkan belakangan timbul menggunakan rekaman yang hasilnya berupa film layar lebar, video, atau kaset.
                       
                        Berdasarkan uraian di atas, maka drama modern dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.      Drama Modern Konvensional
           Drama modern konvensional adalah drama yang bertolak dari lakon drama yang disajikan secara konvensional. Cerita bersandar pada naskah drama yang biasanya realis, dan disajikan dalam gaya pengungkapan pentas yang realis pula.



b.      Drama Modern Nonkonvensional atau Kontemporer
           Drama modern kontemporer adalah drama yang mendobrak konvensi-konvensi lama, dan penuh dengan pembaruan gagasan, penyajian, dan penggabungan konsep barat-timur. Cerita yang disajikan biasanya absurd.

Ø Penggolongan Berdasarkan Gaya Ungkapnya
           Penggolongan berdasarkan gaya ungkapnya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu gaya ungkap bahasanya, gaya ungkap media perannya, dan gaya ungkap pementasannya. Berikut penjelasannya.
1.         Dari Gaya Ungkap Bahasanya
a)        Drama Puisi
          Drama yang cerita atau lakonnya sebagian besar disusun dalam dialog berbentuk puisi, atau mengandung kaidah-kaidah dalam puisi. Dalam drama jenis ini akan ditemui dialog yang sama sekali jauh dari percakapan sehari-hari.
b)          Drama Prosa
          Drama yang cerita atau lakonnya sebagian atau seluruhnya  disusun dalam dialog berbentuk prosa. Tidak ada yang ganjil dalam drama jenis ini sebab dialog berdasarkan percakapan sehari-hari.
c)      Drama Prosa-Puisi
            Drama yang cerita atau lakonnya disusun dalam campuran prosa dan puisi. Biasanya gaya prosa mendominasi dialog, tetapi dibagian tertentu yang dianggap penting untuk menggambarkan suasana tertentu dipakai gaya puisi.

2.         Dari Gaya Ungkap Pemerannya
a)      Drama Boneka
           Drama yang diperankan bukan oleh manusia tetapi oleh boneka. Nampak di sini boneka sebagai media pengganti manusia, yang sesungguhnya masih digerakkan oleh manusia, mampu menggambarkan seluruh cerita dengan baik. Mengenai jenis ini telah dikenal ‘wayang golek’, ‘wayang kulit’, ‘drama boneka si unyil’, dan lain-lain.

b)      Drama Manusia
           Drama yang diperankan oleh manusia. Tidak ada hal asing dalam drama jenis ini sebab telah tercakup pada penjelasan drama sebelumnya.

3.         Dari Gaya Ungkap Pementasannya
a)      Drama
           Drama biasa yang pementasannya dilaksanakan di panggung atau arena, baik menggunakan naskah drama atau tidak.
b)      Pantomim
            Drama yang sama sekali tidak menggunakan dialog. Keterangan babak, adegan, atau apa saja kadang diberikan dalam bentuk tulisan yang diperlihatkan oleh pemerannya. Tokoh diperankan oleh tokoh aktor yang menonjolkan gerak tubuh sebagai medianya, tanpa menggunakan alat apapun. Biasanya wajah aktor di cat putih semua. Cerita ringan-ringan dan pendek.
c)      Opera
            Opera disebut juga operet. Yaitu jenis drama yang seluruh atau sebagian dialognya dinyanyikan oleh para pemeran, dengan iringan musik. Jenis drama ini merupakan perpaduan yang harmonis antara seni teater dan seni suara.
d)     Sendratari
            Drama yang penyajiannya dilakukan dengan menari. Adegan disajikan dalam bentuk tarian yang telah disesuaikan dengan karakter masing-masing tokoh. Tentu saja ada musik dan lagu untuk mengiringi tari tersebut.
e)      Kabaret
            Drama yang menggunakan teknik rekaman untuk dialog dan tata musiknya. Semua telah disajikan dalam bentuk rekaman, sehingga pemeran tinggal menggerakkan saja di atas panggung. Di masyarakat istilah ini sering tertukar dengan operet. Padahal operet sendiri bisa saja muncul dalam jenis kabaret.
f)       Drama Radio
           Drama yang khusus untuk diperdengarkan bukan untuk ditonton. Belakangan ini seluruh dialog, dan ilustrasi musik direkam agar dapat diawetkan dan diputar kapan saja. Para pemeran tidak perlu  bergerak tetapi cukup menghayati peran dan mengatur intonasi, tempo, artikulasi, dan lain-lain dalam dialognya.
g)      Drama Televisi
           Drama yang disajikan dalam televisi. Drama jenis ini pun direkam dalam video dan dapat diputar kapan saja sesuai waktu tayangnya. Belakangan ini muncul istilah baru untuk jenis ini, yaitu sinetron (Sinema Elektronik).
h)      Film
           Drama yang khusus untuk diputar di bioskop. Drama jenis ini pun telah direkam dalam film, sehingga bisa diputar dimana dan kapan saja. Film juga sering diputar di televisi
Ø  Klasifikasi Drama Berdasarkan Aliran
Berikut ini dikemukakan beberapa aliran dalam drama beserta sifat-sifatnya. Sifat-sifat tersebut tidak bercorak kaki tetapi hanya merupakan ciri pokok saja. Tidak ada drama yang serratus persen mengikuti salah satu aliran tertentu.
-          Aliran Klasik
Aliran klasik dengan tokoh-tokoh: Pierre Corneills, Jean Raccine, dan Joost van de Vondel. Ciri-ciri aliran klasik adalah:
(1)      Tunduk terhadap hokum trilogy Aristoteles dalam hal kesatuan tempat, waktu dan gerak
(2)     Acting-nya bergaya deklamasi
(3)     Drama lirik lebih banyak ditulis
(4)     Irama permainan lamban
(5)     Banyak diseling dengan monolog dan bersifat statis
(6)     Materi cerita bergaya Yunani dan Romawi

-          Aliran Romantik
Aliran romantik berkembang pada abad XVIII, dengan tokoh-tokohnya: Victor Hugp, Alfred de Musset, Heinrich van Kleist, dan Cristian Dietriech Crabbe. Dalam drama –drama romantic, trilogy Aristoteles tidak dipatuhi. Adapun ciri-cirinya adalah:
(1)     Isinya bersifat fantastis dan tidak logis
(2)     Menggunakan bahasa yang mengikuti kaidah tata bahasa
(3)     Aspek visual ditonjolkan dengan segala perlengkapan baik busana, rias, maupun panggung yan gemerlapan
(4)     Acting-nya sangat bersifat bombastis, dengan mimik yang berlebihan
(5)     Lakonnya biasanya tentang pembunuhan dengan tokoh-tokoh sentimental
(6)     Bentuk drama bersifat bebas, artinya bukan drama lirik seperti aliran klasik.

-          Aliran Realisme
Aliran realisme mementingkan kenyataan, yang digambarkan bukan hal-hal yang  berlebihan dan sentimental seperti dalam aliran romantik. Ada dua macam aliran realisme, yaitu:
(1)   Realisme sosial (realism murni), yang menggambarkan kepincangan sosial, penderitaan dan ketidakadilan untuk maksud mengadakan protes sosial. Cirinya adalah:
·           Pemeran utama biasanya rakyat jelata
·           Acting-nya bersifat wajar seperti kehidupan sehari-hari
·           Aspek visual dalam pertunjukan tidak berlebihan dan disesuaikan dengan realitas kehidupan sehari-hari
·           Cerita diambil dari kenyataan sosial di masyarakat dengan mengutamakan konflik sosial karena perbedaan status sosial.

(2)   Realisme Psikologis, yang menekankan kenyataan psikologis para pelakunya. Cirinya adalah:
·           Menonjolkan aspek kejiwaan atau aspek dalam diri tokoh
·           Setting-nya bersifat wajar dengan intonasi yang tepat
·           Suasana digambarkan dengan perlambangan (simbolis)
·           Sutradara mementingkan pembinaan konflik psikologis . menitikberatkan aspek psikologis daripada dandanan yang bersifat fisik.
-          Aliran Ekspresionisme
Aliran ekspresionisme menonjolkan pikiran atau perasaan pengarang. Ciri-cirinya adalah:
·           Adanya gerak kolektif
·           Banyak dipengaruhi psikoanalisis Freud, dan banyak pengaruh film karena keinginan menggambar ekspresi jiwa pengarang atau sutradara
·           Pergantian adegan bersifat cepat
·           Penggunaan pentas bersifat ekstrim
·           Fragmen-fragmen ditampilkan seperti dalam film.

-          Aliran Natruralisme
Naturalisme merupakan perkembangan lebih lanjut dari realisme, perbedaannya adalah bahwa dalam naturalisme kenyataan yang digambarkan mungkin mendekati kenyataan alam (natural). Tidak mengherankan jika dalam menggambarkan pohon-pohon dipanggung benar-benar pohon hidup, tampilan panggung sejauh mungkin mendekati alam, dan bukan tiruan alam.

-          Aliran Eksistensialisme
Dalam aliran eksistensialisme ingin ditampilkan tokoh-tokoh yang sadar akan eksistensinya, akan keberadaannya di dunia ini. Dialog-dialog yang dikemukakan actor dan aktrisnya menunjukkan sifat kemandirian yang kuat, karena ingin melukiskan manusia yang benar-benar mandiri secara psikis. Karya-karya demikian seringkali dinyatakan sebagai karya platonis, karya yang bersifat sukma, atau murni psikologis.
Dalam kesadaran akan keberadaannya, seseorang kemudian menghendaki kebebasan yang mutlak, yaitu kebebasan yang tidak ada taranya yang dalam kehidupan normal sulit kita jumpai. Kita dapat menghayati kebebasan semacam itu dalam masyarakat orang gelandangan. Dalam masyarakat seperti itu kebebasan rokhaniah dan jasmaniah lebih longgar, bahkan mungkin dapat dikatakan mutlak. Lukisan tentang tokoh-tokoh gelandangan bukan sekedar kegelandangannya itu ynag penting. Kemandirian itu menjadi ciri eksistensi diri yang menghendaki bentuk kebebasan yang setinggi-tingginya.

E.      Unsur-unsur Drama
       Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi yaitu drama sebagai karya sastra (naskah) dan drama sebagai seni pertunjukan. Unsur drama sebagai seni pertunjukan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.         Pentas atau panggung;
b.         Pekerja pentas yang terdiri dari perangkat administratif dan perangkat artistik;
c.         Penonton, dan
d.        Naskah (karya sastra yang mempunyai unsur sendiri di dalamnya).
Di sini, unsur-unsur drama sebagai seni pertunjukan tidak akan dibahas secara detil. Hal ini disebabkan karena sangat bergantung pada setiap naskah drama yang akan dipentaskan, artinya akan berbeda-beda bahasan unsur seni pertunjukkan untuk setiap naskah drama.
Sedangkan drama dalam pengertian karya sastra, seperti juga bentuk puisi, prosa fiksi atau cerkan, mempunyai dua unsur pembentuk yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik diantaranya, agama, sejarah, adat istiadat, ekonomi, pendidikan, psikologi, dan lain-lain.
Sementara unsur intrinsiknya terdiri dari tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, konflik, latar/setting, dialog, dan amanat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk membentuk suatu karya drama yang padu dan utuh.
a)        Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama (Waluyo, 2001: 24). Secara sederhana, tema berarti suatu garis besar dari permasalahan atau persoalan yang diangkat oleh sang pengarang dalam karyanya. Dari sekian persoalan yang ada, pengarang naskah drama, memilih dan menangkap salah satu persoalan yang dianggap menarik, unik, dramatik, dan berkepentingan untuk diinformasikan kepada khalayak. Persoalan tersebut pasti persoalan tentang manusia baik lahir maupun batin yang penuh dengan permasalahan (konflik). Tentunya segala permasalahan tersebut merupakan pengalaman pengarang atau sesuatu yang pernah dirasakan oleh pengarang yang membuatnya merasa tergugah dan terangsang untuk diangkat menjadi sebuah karya sastra drama melalui proses kreatifnya.
Drama besar mengungkapkan tema yang abadi. Tema yang abadi biasanya yang bersifat interpersonal, artinya mengatasi kepentingan individu, golongan, suku bangsa, agama, kurun waktu, dan lain-lain. Tema drama yang besar dapat diterima di segala kurun waktu, oleh segala bangsa, pada semua umur dan dalam segala taraf budaya (Waluyo, 2001: 25).
Tema merupakan struktur dalam dari sebuah karya sastra. Tema berhubungan dengan sudut pandang, sudut dari mana pengarang memandang dunia ini, apakah dari segi bahagia, duka, mengejek, mencemooh, harapan, ataukah kehidupan ini sama sekali tidak bermakna. Sudut pandang sering juga dihubungkan apakah pengarang berperan dalam cerita itu.
Pokok persoalan yang ditangkap dan dijadikan ide cerita itulah yang lantas disebut tema. Tentu saja pokok persoalan atau tema itu tidak akan tersurat dalam naskah drama, tetapi ada dalam satu kesatuan cerita yang berjalan dari awal sampai cerita itu berakhir. Adalah pembaca yang harus menangkap tema yang ada dalam cerita tersebut, tergantung pada tingkat apresiasinya, dia akan menghidupkan kembali segala pokok persoalan ke permukaan, lantas memanfaatkannya bagi kehidupannya.
b)        Konflik
          Ada berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli tentang konflik. Diantaranya yang diungkapkan Putman dan Pool ((Sujak, 1987:130), dalam Wijono, 2011: 176), konflik didefinisikan sebagai interaksi antar individu, kelompok yang membuat tujuan berlawanan, dan merasa bahwa orang lain sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.
          Selanjutnya Mullins (( 1993: 658), dalam Wijono, 2011: 176) mendefinisikan bahwa konflik merupakan kondisi terjadinya ketidaksesuaian tujuan dan munculnya berbagai pertentangan prilaku, baik yang ada dalam diri individu, kelompok maupun lingkungan. Konflik dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur, yaitu: (2) konflik antara individu dengan dirinya sendiri, dan (2) konflik antara indovidu dengan lingkungan.
          Dalam drama, Konflik atau sering disebut tikaian, adalah suatu keadaan di mana ada daya-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama (Sugianto Mas, 2012: 95).
          Suatu darama yang baik selalu mengandung konflik, bahkan dapat dikatakan bahwa konflik adalah intisari dari sebuah karya drama. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Herman J Waluyo, dasar lakon drama adalah konflik manusia (Waluyo, 2001: 4).
          Konflik yang dipaparkan dalam sebuah drama harus mempunyai motif. Motif dari konflik yang dibangun itu akan meweujudkan kejadian-kejadian dan perisrtiwa-peristiwa. Motif dan kejadian haruslah wajar dan realistis, artinya benar-benar diambil dari kehidupan manusia. Konflik yang muncul dari kehidupan manusia.
          Motif dalam penulisan lakon merupakan dasar laku dan merupakan keseluruhan rangsang dinamis yang menjadi lantaran seseorang mengadakan respon. Motif yang dipilih bergantung pada selera pengarang. Lakon, baik sebagai peniru kehidupan, sugesti atau ilusi kehidupan, atau penggambaran tentang konflik dan masalah kehidupan, selau diatur dan dikendalikan oleh proses tingkah laku manusia. Sikap dan tindakan manusia diharapkan akan mengatasi konflik dan masalah manusia itu.
          Konflik bisa bersumber pada manusia yang berhadapan dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, manusia dengan kepercayaannya, manusia dengan alam, manusia dengan dirinya sendiri, dan lain-lain (Sugianto Mas, 2012: 96). Menurut Aan Sugianto Mas, konflik dalam drama ada beberapa macam, yaitu:
·           Konflik mendekat-mendekat, yaitu pertentangan dua kekuatan yang melanda tokoh sehingga berada pada valensi positif yang sama kuat.
·           Konflik menjauh-menjauh, yaitu pertentangan dua kekuatan yang melanda tokoh sehingga berada dalam valensi negatif  sama kuat.
·           Konflik mendekat-menjauh, yaitu pertentangan dua kekuatan yang melanda tokoh sehingga berada pada valensi negatif dan positif yang sama kuat.
Kita harus menyadari bahwa konflik-konflik di dalam drama terletak diantara kejadian-kejadian atau peristiwa yang membangun drama. Konflik mungkin saja merupakan satu peristiwa atau sekelompok peristiwa mana yang dapat dikategorikan sebagai konflik drama. Jika pembaca berhasil menemukan dan memahami konflik suatu drama, berarti pembaca dapat dikatakan telah menguasai dan memahami permasalahan utama drama tersebut.
c)             Alur atau Plot
        Plot adalah urutan peristiwa satu ke peristiwa lain yang terjalin berdasarkan hukum sebab akibat. Urutan peristiwa dari awal babak, dibukanya konflik, sampai akhir penyelesaian konflik, akan menjadi lakon atau cerita yang menarik. Menurut Hudson, plot drama tersusun menurut apa yang dinamai ‘garis lakon’ (dramatic line), yaitu :
1.         Perkenalan atau Eksposisi
                        Bagian ini dimaksudkan agar pembaca memperoleh keterangan-keterangan agar ada pengertian dalam membaca naskah drama, atau menonton pertunjukan drama. Perkenalan atau eksposisi ini akan menjelaskan bahwa cerita dimulai. Konflik memang belum ada, tapi tanda-tanda akan timbulnya konflik sudah dimunculkan. Biasanya pembaca tergiring untuk mengetahui peristiwa selanjutnya, yaitu situasi adanya insiden.
2.         Insiden Permulaan
                        Pada bagian ini mulai dihadirkan insiden permulaan yang menjadi benih-benih timbulnya konflik yang jadi inti drama. Insiden tersebut merupakan tenaga perangsang yang terjadi secara tiba-tiba dari bagian perkenalan atau eksposisi yang seterusnya menjadi motif dasar plot.


3.         Penanjakan Laku atau Rising Action
                        Pada bagian ini insiden yang muncul sebelumnya semakin bertambah ruwet. Konflik muncul dan mulai menajam, sedangkan jalan keluar masih jauh dan samar.
4.         Krisis atau Titik Balik
                        Krisis disebut juga klimaks adalah bagian yang paling tegang dari seluruh urutan peristiwa. Daya-daya yang bertentangan saling memperlihatkan kekuatannya, dan membutuhkan penyelesaian. Pertimbangan tertentu dalam cerita akan condong ke salah satu pihak sebagai jalan keluar yang selama ini ruwet.
5.         Penyelesaian atau Denoument
                        Pada bagian ini pengarang akan menyelesaikan konflik yang ada. Apakah akan berakhir dengan kesedihan atau kegembiraan, sangat tergantung pada kemauan dan sikap pengarang itu sendiri dalam menghadapi konflik yang dibuatnya. Ketegangan telah selesai. Perhatian pembaca akan tertuju pada rasa simpati terhadap tokoh yang telah menyelesaikan konflik.
6.         Keputusan atau Catastrophe
                        Pada bagian ini segalanya telah berakhir. Ada hasil dari semua penyelesaian dan cerita segera berakhir. Urutan peristiwa tesebut bukan berarti menjelaskan bahwa drama akan selalu terdiri dari lima atau enam babak. Melihat alur adalah melihat keseluruhan cerita tanpa harus terikat oleh jumlah babak. Oleh sebab itu, mungkin saja drama mungkin saja tersusun dari satu, dua, sepuluh, atau bahkan tiga puluh babak.
            Berbeda dengan plot dalam cerkan, maka dalam drama jarang terjadi plot ganda atau longgar. Hal itu disebabkan oleh terbatasnya ruang waktu seandainya cerita itu dipentaskan. Plot drama biasanya utuh dan erat sekali dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya.





d)            Tokoh dan Perwatakan
                    Unsur lain yang tak kalah penting adalah tokoh dan perwatakannya. Tokoh adalah manusia atau pelaku yang bergelut dengan konflik-konflik yang diciptakan oleh pengarang dalam drama. Tokoh dalam drama memegang peranan yang sangat penting dalam memelihara keutuhan suatu cerita, dengan karakternya masing-masing yang akan menghidupkan konflik dan mrndukung berjalannya plot/alur.
Pembagian tokoh berdasarkan tugas-tugas yang diembannya:
·           Tokoh Protagonis, yaitu tokoh utama yang muncul dan ingin mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi sewaktu mencapai keinginan.
·           Tokoh Antagonis, yaitu tokoh yang melawan atau menentang keinginan tokoh protagonis. Tokoh inilah yang merangsang timbulnya konflik dalam diri tokoh protagonis. Tokoh ini disebut juga sebagai tokoh penentang arus cerita
·           Tokoh Tritagonis, yaitu tokoh yang berada di luar kedua tokoh di atas. Tokoh ini merupakan tokoh yang dapat membantu mempertajam masalah (konflik) atau membantu memecahkan konflik. Tokoh ini dapat berposisi sebagai pembantu tokoh protagonis atau antagonis.
·           Tokoh Pembantu, yaitu tokoh yang secara tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi diperlukan guna menyelesaikan cerita.
Tokoh-tokoh tersebut tentunya mempunyai sifat, watak, atau karakter, yaitu sifat dasar manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya. Perwatakan ini menjadi sangat penting, karena dari perwatakan inilah suatu konflik akan muncul dalam drama. Layaknya dalam kehidupan nyata, setiap orang pasti memiliki sifat dan watak yang berbeda-beda. Begitu pun dalam drama, tokoh-tokohnya mempunyai watak yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Permasalahan dan konflik kemanusiaan di dalam drama tidak akan muncul melalui tokoh, tetapi dari pertemuan dua perang yang berpasangan atau yang berlawanan. Jadi pada prinsipnya seorang tokoh akan memunculkan beberapa permasalahan yang sesuai dengan peran yang dibebankan pengarang kepadanya. Dalam menjalankan fungsinya sebagai peran tertentu, tokoh dituntut untuk menciptakan kesesuaian karakter denga peran itu. Amat tidak logis jika karakter tokoh selalu monoton dan seragam untuk peran yang berbeda-beda. Keberhasilan pengarang dapat diukur sampai sejauh mana ia mengatur karakter yang berbeda diukur tokoh ceritanya dalam berbagai peran. Dengan menghadirkan tindakan-tindakan dan perilakuyang berulang dan dipola dengan cara tertentu, pengarang dapat memberikan sinyal, tokoh, peran, dan karakter seperti apa yang sedang ia tampilkan kepada pembaca.
Kita dapat melihat, menentukan, dan memahami watak tokoh melalui dialog-dialog. Dialog-dialog tersebut diantaranya:
·           Dialog tokoh (yang digambarkan wataknya) dengan tokoh lain (yang tidak digambarkan wataknya).
·           Dialog tokoh (yang tidak digambarkan wataknya) dengan tokoh (yang tidak digambarkan wataknya).
·           Dialog tokoh dengan tokoh (masing-masing sedang digambarkan wataknya).
e)             Latar atau Setting
        Latar merupakan identitas permasalahan drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan oleh penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melaui alur atau penokohan, maka latar atau ruang memperjelas suasana, tempat, serta waktu peristiwa itu terjadi. Latar dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan drama.
        Latar atau setting adalah penggambaran tempat, waktu, lingkingan sosial, dan suasana dalam cerita. Dalam lakon atau cerita drama akan menceritakan tempat, waktu, suasana, serta lingkungan sosial. Kesemua itu akan nampak dalam dialog para tokoh. Ada memang beberapa pengarang yang secara langsung menjelaskan setting tersebut dari keterangan atau kramagung yang dia buat sebelum memulai cerita. Tetapi, kebanyakan dari pengarang masa kini, persoalan setting sering diserahkan pada pembaca sebagai apresiator kreatif.
f)         Dialog
        Ciri khas suatu naskah drama adalah berbentuk dialog. Pembicaraan yang ditulis oleh pengarang naskah adalah pembicaraan yang akan diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan di atas panggung. Dialog yang ditulis harus mencerminkan pembicaraan sehari-hari.
        Sebagai salah satu bentuk karya sastra, unsur estetis dalam drama jangan sampai terlewatkan. Dialog merupakan faktor filosofis yang mempengaruhi struktur keindahan sebuah lakon. Dialog harus benar-benar menarik, plastis, sehingga memiliki sifat yang mampu menjelaskan keindahan semua unsur yang ada. Dalam hal itu harus diingat bahwa pada gilirannya semua dialog akan mengantarkan seluruh peristiwa yang membentuk cerita.
        Gaya dialog-dialog yang diciptakan oleh pengarang tentu akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa gaya dialog diantaranya dialog puitis, monolog, ping-pong, bombas, orator, dan lain-lain. Di dalam sebuah naskah drama, gaya-gaya tersebut pasti ada salah satunya dan tidak menutup kemungkinan juga semua gaya dialog terdapat dalam satu naskah drama. Tapi ini nampaknya kurang baik, karena di sini mencerminkan seorang pengarang yang tidak mempunyai ciri khas dan terkesan tidak konsisten dalam menciptakan sebuah naskah drama.
        Ragam bahasa dialog tokoh-tokoh drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hal ini disebabkan karena drama adalah potret kenyataan. Drama adalah kenyataan yang diangkat ke atas pentas. Nuansa-nuansa dialog mungkin tidak lengkap dan akan dilengkapi oleh gerakan, musik, ekspresi wajah, dan sebagainya. Dalam hal ini, kesempurnaan sebuah naskah drama akan terlihat setelah dipentaskan.
        Banyak naskah drama yang sulit dipentaskan karena dialognya nukan ragam bahasa tutur, tapi ragam bahasa tulis. Menggunakan ragam bahasa tulis sebagai sarana naskah drama berarti tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga ada celah kelemahan komunikasi dibandingkan dengan bahasa tutur/lisan ((Hassanudin, 2009: 119) dalam Hidayat, 2013: 24).
        Selain itu, diksi dan gaya bahasa pun harus menjadi pertimbangan kita. Karena bukankah bahasa (termasuk di dalamnya diksi dan gaya bahasa) merupakan salah satu unsur pembangun karya sastra, khusunya drama. Senada dengan hal di atas, dialog juga harus dialog yang hidup, artinya mewakili tokoh yang dibawakan. Watak secara psikologis, sosiologi, dan fisiologis dapat diwakili oleh dialog itu. Macam-macam dialog :
1.         Dialog Batin
Kata-kata yang diucapkan oleh pemain untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan tanpa ditujukan kepada pemain lain dalam drama.
2.         Dialog Pemancing
Kata-kata pemancing yang diucapkan pemain agar pemain lainnya dapat melanjutkan dialog karena lupa. Keadaan ini tentu akan menimbulkan cacat pementasan. Semakin berpengalaman seorang pemain di atas pentas, maka akan semakin baik teknik penampilan dialog pancingan. Hal ini dimungkinkan karena para pemain tersebut dapat melakukan inmprovisasi yang tidak kentara oleh penonton.
3.         Dialog Pribadi
Makna dari istilah ini adalah :
(1)     Penukaran dialog oleh pemain dengan kata-katanya sendiri.
(2)     Ucapan pemain kepada penonton, sedangkan ucapan tersebut tidak ada dalam teks.

4.         Dialog Tambahan
Kata-kata yang ditambahkan oleh pemain dalam dialog karena ia lupa dialog yang sebenarnya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan dialog pribadi. ((Ensiklopedi Sastra Indonesia, 2007 : 211-213) dalam Iswandi, 2013: 43).
g)        Amanat
          Di dalam sebuah karya sastra pasti terdapat pelajaran-pelajaran yang dapat kita petik. Pelajaran-pelajaran tersebutlah yang dinamakan amanat. Amanat bersifat pikiran-pikiran yang bersembunyi yang harus pembaca pikirkan, resapi, hayati, bahkan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pembaca harus benar-benar teliti dalam membaca atau menonton drama guna menemukan amanat yang tersirat itu. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan. Jadi berbobot atau tidaknya amanat dari suatu drama bergantung pada kepekaan pembaca dalam menangkap amanat yang ada di samping dari isi cerita dan penyelesaian konflik yang dikehendaki oleh pengarang.
          Amanat akan nampak sekali dari cara pengarang memecahkan persoalan atau konflik para tokoh dalam naskah drama. Amanat juga dapat diperoleh dari dialog-dialog yang dilontarkan oleh para tokoh-tokoh. Dengan demikian, penelitian teks drama tidaklah sekedar mencari tema dan amanat, tetapi mengungkapkan kehidupan manusia yang dirasakan pengarang.










BAB III
ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA MANGIR
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
A.      Sinopsis
Keruntuhan Majapahit pada tahun 1527 menyebabkan keadaan di daerah Jawa kacau balau, karena tidak ada pusat kekuasaan tertinggi. Terjadi perang terus-menerus di Jawa untuk memperebutkan kekuasaan tunggal. Ki Ageng Pamanahan menguasai Mataram dan mendirikan Kota Gede. Kemudian Panembahan Senapati, anaknya naik menjadi Raja Mataram, dan ingin mendapatkan kekuasaan tunggal di Jawa dengan cara memperluas daerah kekuasaan.
Disamping itu ada desa yang berbentuk Perdikan (desa yang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak kepada pemerintah penguasa) dan menjalankan sistem demokrasi desa, yaitu Perdikan Mangir dengan pemimpin atau biasa disebut tua Perdikan yang bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya, seorang pemuda gagah berani dan saudara angkatnya yang bernama Baru Klinting. Perdikan Mangir juga memperoleh bantuan dari beberapa orang demang yang masing-masing memiliki daerah kekuasaan pula, diantaranya Demang Patalan, Demang Jodog, Demang Pandak, dan Demang Pajangan. Perdikan ini yang menjadi sasaran perluasan kekuasaan raja Mataram.
Saat Mataram memerangi Mangir, Panglima Mangir Wanabaya berhasil membuat pasukan Mataram mundur. Setelah perang kecil tersebut usai, Mataram menyusun siasat untuk mengalahkan Mangir, mereka mengirim mata-mata (telik) untuk menyusup ke Mangir. Karena telik-telik yang dikirimkan tak berhasil menyusup, bahkan ada yang tertangkap. Raja Mataram memerintahkan putri sulungnya Putri Pambayun menyamar menjadi orang desa bersama para rombongan telik untuk menggoda Wanabaya.
Untuk merayakan kemenangan Wanabaya bersukaria dengan menari bersama wanita ronggeng keliling yang bernama Adisaroh, yang sebenarnya merupakan Putri Pambayun yang menyamar dengan rombongan telik Mataram. Sementara itu, para demang mengadu pada Baru Klinting tetang kelakuan Wanabaya yang sudah teralihkan perhatiannya oleh seorang wanita, dan membuatnya lupa perang. Wanabaya yang jatuh cinta pada Adisaroh, membawanya menghadap untuk mendapatkan restu Baru Klinting agar ia diperbolehkan menikah. Terjadi perdebatan diantara para demang, Baru Klinting dan rombongan telik Mataram. Namun akhirnya Wanabaya diijinkan menikah dengan Adisaroh, meski Para tetua Perdikan Mangir masih mencurigai rombongan Adisaroh.
Setelah menikah, Adisaroh tinggal di Perdikan Mangir, setiap hari ia melamun karena ditagih janji untuk membawa Wanabaya menghadap ke Mataram untuk dibunuh, karena semua rombongan telik Mataram sudah kemnali ke Mataram. Yang terakhir adalah pamannya Tumenggung Mandaraka, ia kembali ke Mataram membawa kuda Wanabaya, sehingga orang-orang Mangir mulai curiga pada Adisaroh. Adisarohpun jujur pada Wanabaya siapa ia sebenarnya, ia juga ragu menyampaikan perihal Wanabaya yang diminta untuk menghadap ke Mataram meminta restu, padahal ini hanya siasat orang Mataram untuk menjebak Wanabaya. Ia takut Wanabaya terbunuh, karena ia benar-benar mencintai Wanabaya.
Awalnya Wanabaya marah pada Putri Pambayun, namun karena ia mencintainya, ia mulai menerima istrinya itu orang Mataram, dan berunding dengan para tetua Perdikan Mangir tentang langkah mereka selanjutnya dalam perang dengan Mataram. Karena Putri Pambayun mengabarkan bahwa kunjungan ini bermaksud untuk perdamaian, semuanya sepakat pergi ke Mataram dengan tetap waspada jika ada yang mencurigakan.
Mataram sebenarnya sudah menyusun rencana dengan matang untuk menjebak para prajurit Mangir dijalan dengan para wanita Mataram, lalu jalan yang dipersempit dan para telik yang diperintahkan untuk mengabarkan perkembangan selanjutnya mengenai para prajurit Mangir. Para petinggi Mataram menunggu rombongan Mangir di istana, awalnya rencana berjalan dengan lancar, namun para prajurit Mataram menyerang Mangir terlebih dulu, maka terjadilah perang didepan istana Mataram. Putri Pambayun berada diluar saat perang berlangsung, namun berhasil dirampas oleh para pengawal Mataram dari Mangir, dan dibawa masuk ke istana Mataram.
Wanabaya dan Baru Klinting menerobos masuk istana untuk menyerang langsung Panembahan Senapati. Tumenggung Pringgalaya menipu Wanabaya dengan mengaku sebagai Senapati, saat akan diserang oleh Wanabaya, Wanabaya malah ditikam dengan keris oleh Pangeran Purbaya tepat dilambungnya, laluia dihujani tombak oleh prajurit Mataram. Sedangkan Baru Klinting, saat ia menangkis serangan dari Tumenggung Mandaraka dan Tumenggung Pringgalaya, Senapati menombak Baru Klinting dari belakang. Sedangkan Demang Patalan dihujani tombak oleh prajurit Mataram saat akan menyerang Senapati. Mereka bertiga tewas di Mataram.
Putri Pambayun meminta ayahnya membunuhnya juga, karena ia melihat suaminya Wanabaya terbunuh. Namun Senapati memerintahkan prajurit mengeluarkan pambayun dari Mataram, karena ia telah berhianat. Senapati segera meninggalkan ruang istana dengan diikuti Tumenggung Pringgalaya, Tumenggung Jagaraga dan Pangeran Purbaya. Tumenggung Mandarakan malah menghampiri Ki Ageng Pamanahan yang sudah lebih dulu menemui ajalnya sebelum perkara Mangir selesai. Putri Pambayun hanya bisa meratapi kematian suaminya di tangan Mataram.
B.       Sekilas Pengarang
Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Kemampuannya dalam menghasilkakn karya sastra disebabkan oleh perbedaan kualitas, yaitu kualitas dala. memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaan jenis. Untuk menghasilkan karangan, dalam usaha untuk  melakukan konsentrasi, pengarang tidak harus cacat atau dipenjarakan. Kasus seperti Pramoedya Ananta Toer, merupakan kebetulan, sebab sebagai seorang pengarang yang produktif, tanpa dipenjarakanpun ia pasti menghasilkan karya. Meskipun demikian perlu juga diberikan catatan bahwa seorang pengarang yang berada di penjara atau tempat pembuangan mengalami peningkatan aktivitas kreatif sebagai akibat adanya waktu luang. (Ratna, 2004: 303).
Pramoedya Ananta Toer, pengarang yang dilahirkan di Blora tanggal 2 Februari 1925 ini, meskipun sudah mulai mengarang sejak zaman Jepang dan pada masa awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949 ketika cerpennya ‘Blora’ yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Cerpen itu kemudia bersama dua buah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjara diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950).
Pram ditahan pada tahun 1947 dan baru keluar setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Selama dalam penjara ia banyak menulis. Kecuali roman Perburuan yang diselundupkan melalui Dr. G. J Resink dan H.B. Jassin untuk kemudian diikutkan pada sayembara mengarang Balai Pustaka juga ia menyelesaikan roman Keluarga Gerilya (1950) dan sejumlah cerpen. Cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu bersama-sama dengan beberapa cerpen yang ditulis sebelumnya, kemudia diterbitkan dalam buku Percikan Revolusi (1950).
Pram sangat produktif menulis, baik berupa cerpen, roman, esai maupun kritik. Buku-buku tak henti-hentinya mengalir darinya. Kecuali yang tadi sudah disebutk, juga Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid, terbit 1951/1953) berdasarkan pengalaman-pengalamannya di penjara. Cerita dari Blora (1952) sekumpulan cerita pendek yang berlatar belakang kota kelahirannya Blora, mendapat hadiah satra nasional BMKN tahun 1952 untuk kumpulan cerpen, Di Tepi Kali Bekasi (1950) roman yang melukiskan perjuangan para pemuda Indonesia sekitar Karawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam (1951); Gulat di Jakarta (1953); Midah, Si Manis bergigi Emas (1954); Cerita dari Jakarta (1957), Drama Mangir yang selesai ditulisya pada tahun 1976 berdasarkan cerita tutur yang masih diingat oleh masyarakat di Jawa Tengah terlambat diterbitkan, dan dicetak pertama kali pada tahun 2000.
Setapak demi setapak ia masuk ke dalam lingkungan Lekra dan pada awal tahun 1960-an ia sudah duduk menjadi salah seorang anggota pimpinan Lekra. Ia menjadi salah seorang ketua Lembaga Seni Sastra, yaitu seksi seni sastra dari Lekra. Ia memimpin ruangan Lentera dalam surat kabar Bintang Timur tak habis-habisnya menyerang para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka dengan berbagai fitnah dan insinuasi.
Ketika terjadi pemberontakan Gestapu, ia termasuk tokoh Lekra yang ditahan dan buku-bukunya dinyatakan terlarang. Karya-karya Pram banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing diantaranya ke dalam bahasa Inggris, belanda, Rusia, Cina, Jepang.



C.      Analisis Unsur Intrinsik

1.      Tema
Berdasarkan analisis penulis, cerita drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer adalah cerita sejarah, karena drama ini ditulis berdasarkan cerita tutur yang masih diingat oleh masyarakat Jawa Tengah. Berdasarkan isinya, drama ini termasuk drama tragedi. Tema dalam cerita ini cukup serius, tentang strategi ekspansi, yaitu strategi atau cara perluasan wilayah suatu negara dengan menduduki wilayah negara lain.
 Demi memperkokoh sistim politik ekspansi, Mataram yang sedang dibangun oleh Senapati dan penasihatnya Juru Martani, Senapati menugaskan putrinya untuk menggoda Wanabaya, Panglima Mangir. Setelah Wanabaya dan Putri Pambayun menikah, Senapati memerintahkan putrinya mengajak orang-orang Mangir berkunjung ke Mataram dalam sebuah pertemuan keluarga, yang sebenarnya merupakan bagian dari rencana. Strategi licik tersebut berhasil, dan Mataram menang perang melawan Mangir. Senapati rela mengorbankan kebahagiaan putri, menantu dan calon cucunya yang dikandung Putri Pambayun.
2.      Alur
Alur drama Mangir adalah alur konvensional yang tidak sulit diikuti, karena pencerita (Troubadour) menjelaskan dari awal hingga akhir drama Mangir sebagai pembuka drama dalam babak pertama dan ketiga, dan adegan-adegan selanjutya berjalan berurutan. Ketegangan tidak begitu tajam pada setiap loncatan peristiwa, karena setiap perpindahan  peristiwa teratur, dan kita sebagai pembaca bisa menerka-nerka peristiwa selanjutnya. Urutan peristiwa dari awal sampai akhir dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.    Perkenalan atau Eksposisi
Pengarang Mangir memberikan paparan tokoh-tokoh yang akan mengisi cerita dengan penjelasan pencerita (troubadour) pada pembukaan drama sebelum para tokoh berdialog, yang menceritakan asal mula Perdikan Mangir, seperti berikut:
Pencerita (Troubadour) bercerita dengan iringan gendang kecil sebelum layar diangkat:

Siapa belum pernah dengar cerita lama tentang Perdikan Mangir sebelah barat daya Mataram?
Dengar, dengar, dengar: aku punya cerita
Tersebut Ki Ageng Mangir Tua, Tua Perdikan, wibawa ada dalam dadanya, bijaksana ada pada lidahnya, rakyat Mangir hanya tahu bersuka dan bekerja, semua usaha kembang, bumi ditanami jadi.

Datanglah hari setelah setahun menanti Pesta awal Sura
Ronggeng, wayang, persabungan, gelut, lomba tombak, dekat-jauh, tua-muda, bujang-perawan, semua datang di dapur Ki Ageng Mangir Tua, habis pisau perajang terpakai, datang perawan Mendes mohon pada Ki Ageng:
- Pinjami si Mendes ini pisau sebilah
- Hanya tinggal belati pusaka
boleh kau menggunakan, tapi jangan kau lupa dipangku dia jadi bahala.

Perawan Mendes terlupa belati pusaka dipangkunya
Ah, ah, bayi mendadak terkandung dalam rahimnya, lahir ke atas bumi berwujud ular sanca
- Inilah aku, ampuni, Bunda, jasadku begini rupa
Malu pada perdikannya, malu pada sanak tetangga, Ki Ageng lari seorang diri, jauh ke gunung Merapi, mohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Ki Ageng Mangir Tua bertapa. Dia bertapa!
Datang seekor ular padanya, melingkar mengangkat sembah
-        Inilah Baru Klinting sendiri. Datang untuk berbakti, biar menjijikkan begini adalah putramu sendiri.

Ki Ageng mengangkat muka, kecewa melihat sang putra
-        Tiada aku berputra seekor ular
Kecuali bila berbukti dengan kepala sampai ekor dapat lingkari Gunung Merapi.
Tepat di hadapan Ki Ageng Mangir Tua, Baru Klinting lingkari Gunung Merapi Tinggal hanya sejengkal lidah dijelirkan untuk penyambung, Ki Ageng memenggalnya dengan keris pusaka. Ular lari menghilang, tinggal sejengkal lidah, dijadikannya tombak pusaka
Itulah konon tombak pusaka Si Baru Klinting.

Petikan cerita diatas adalah cerita Perdikan Mangir yang diceritakan oleh pencerita sebagai pembuka drama ini, sangat jelas menceritakan asal mula Perdikan Mangir dan tokoh yang akan mengisi cerita dalam drama ini. Selanjutnya dalam dialog 1-97, ada tokoh yang menjelaskan diri sendiri, dan ada juga yang menjelaskan tokoh lain, seperti petikan dialog berikut:
SURIWANG       : …………………………………
  Inilah Suriwang, pandai tombak terpercaya Baru Klinting………………

SURIWANG       : (membawa ikatan mata tombak, bicara pada diri sendiri).
Baru Klinting! Seperti dewa turun ke bumi dari ketiadaan. (menganggukangguk). Anak desa ahli siasat – dengan Ronggeng Jaya Manggilingan digilingnya balatentara Mataram, pulang ke desa membawa kemenangan. (pada Baru Klinting). Masih kau biarkan Panembahan Senapati berpongah dengan tahta dan mahkota?         
Dari dialog-dialog diatas nampak gambaran tokoh-tokoh yang sedang membuka cerita. Siapa dan apa kedudukan tokoh dalam cerita. Bahkan tanda-tanda akan timbulnya konflik sudah dimunculkan pada petikan dialog lain, seperti berikut:
SURIWANG      : Ai-ai-ai tak bisa lain, Klinting. Perdikan Mangir sudah lima turunan berdiri. Lapanglah jalan bagi Sri Maharatu Dewi Suhita Majapahit. Demak tak berani raba, Pajang tak pernah jamah. Ai-ai-ai, Panembahan Senapati, anak ingusan kemarin, kini mau coba-coba kuasai Mangir.
SURIWANG      : Mataram bernafsu mengangkang di atas Mangir! Ai-ai-ai. Mengangkat diri jadi raja, kirimkan patihnya Singaranu – ke Mangir, Klinting, – menuntut takluk dan upeti, barang gubal dan barang jadi. Perdikan Mangir hendak dicoba! …………………………………………………………….

BARU KLINTING : Masih belum kenal kau apa itu raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal kau siapa Panembahan Senapati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang, ayahangkat yang mendidik-membesarkannya, kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhre Wijaya?

Petikan dialog diatas menjelaskan tentang Mataram yang ingin mencoba menguasai Mangir, dan tentang Panembahan Senapati yang ingin mendapatkan kekuasaan dengan cara apapun. Dapat kita lihat bahwa itu merupakan tanda-tanda timbulnya konflik. Ditengah Baru Klinting dan Suriwang berdialog tentang Mataram, nampak pula tanda-tanda timbulnya konflik dimunculkan kembali, ada orang baru bernama Kimong yang ingin mengabdi menjadi juru tangkai di Mangir, namun Baru Klinting dan Suriwang mencurigainya sebagai telik Mataram, mereka memperhatikan gerak-gerik orang tersebut dan mengusirnya, sambil berdialog:
SURIWANG       : (menggertak).
Kudengar suaramu seperti keluar dari kerongkongan orang Perdikan, bungkuk dan sembahmu benar-benar Mataram.
SURIWANG       :…………………………………………………………………………….
Telik Mataram takkan bisa kiprah di Mangir. Lolos dua empat kena! Semua akan masuk perangkap. Huh-huh, budak raja bukan orang mardika. Seribu telik Mataram, tak bakal bikin Mangir merangkak, seperti keong memikul upeti persembahan………………………………………………

b.   Insiden Permulaan
Insiden permulaan muncul pada peristiwa selanjutnya, setelah Suriwang meninggalkan Klinting di pendopo, Demang Patalan dan Demang Jodog masuk, disusul oleh Demang Pajangan dan Demang Pandak. Saat mereka membicarakan Mataram, mereka terlihat mulai kesal pada Wanabaya, Ki Ageng Mangir muda yang belum datang karena sedang asik menari dengan seorang penari cantik sebuah rombongan tandak yang belum jelas asalnya. Terlihat kekesalan mereka pada petikan dialog 98-353 berikut:

DEMANG PATALAN  : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda tidak semestinya terlambat datang. Hanya karena Adisaroh penari, juga Pajangan dan Pandak terlambat datang.

 

DEMANG PATALAN  :(menghampiri Demang Jodog yang duduk, menariknya berdiri )

Kau beranikan dia datangkan rombongan tandak entah dari mana asalnya, kau biarkan dia mabok kepayang, lupa darat lupa laut, lupa mula lupa wasana.

 

DEMANG PAJANGAN       : Kau akui hak Wanabaya, Klinting? Dengan bersuka, dia akan lekang di medan-perang.

Dari dialog-dialog diatas, Para demang merasa khawatir pada Wanabaya, sebagai seorang panglima, dia seharusnya memikirkan perang dengan Mataram, mereka takut Wanabaya mengabaikan peperangan, karena asik mengurusi perempuan cantik, namun Demang Jodog berpihak pada Wanabaya, mereka terus bertengkar hingga Baru Klinting menyuruh orang mamanggil Wanabaya.

Klinting mengambil keputusan memanggil Wanabaya agar semuanya jelas. Namun kedatangan Wanabaya yang menggandeng Putri Pambayun (Adisaroh), serta dibelakangnya menyusul rombongan wiyaga, diantaranya Tumenggung Mandaraka, Tumenggung Jagaraga, Tumenggung Pringgalaya dan Pangeran Purbaya, mereka adalah orang-orang Mataram yang menyamar memakai baju orang desa, membuat para demang dan Baru Klinting semakin kesal, seperti dijelaskan petikan dialog berikut:

BARU KLINTING : …………….. (mengangkat dagu menatap Wanabaya). Dan kau, wajahmu merah seperti masih di medan-perang, menggandeng putri cantik di hadapan kami. Katakan kandungan hati, sebelum salah terka kami menebak isi dadamu.

DEMANG PAJANGAN: Waranggana masyhur, lenggangnya membelah bumi, lenggoknya menyesak dada, senyumnya menawan hati, tariannya menggemaskan, sekarang tingkahnya bikin susah semua orang.

WANABAYA           : …(mengangkat gandengan tinggi-tinggi). Inilah Adisaroh, perawan waranggana, kubawa kemari akan kuambil untuk diriku sendiri.

DEMANG PATALAN    : Biar kami tahu apa di hatimu, bisa kami kaji dan uji-Oh, perang belum lagi selesai, kemenangan belum lagi terakhir… Kasmaran tandak lupa daratan, Mataram masih jaya berdiri.


Akhirnya insiden yang dirangsang oleh para demang tersebut bertambah rumit,  Wanabaya bermaksud untuk meminta izin pada Baru Klinting untuk menikahi Adisaroh, Para tetua Perdikan Mangir tidak begitu saja menerima kehadiran mereka dan maksud Wanabaya tadi. Namun Wanabaya terus mendesak agar diizinkan menikah, hal tersebut membuat ricuh suasana di pendopo. Penjelasan tersebut dapat ditangkap dari petikan dialog berikut:
DEMANG PATALAN : Kita semua bicara tentang nasib Mangir, nasib Mataram, hanya Wanabaya dan rombongan waranggana sibuk tawar-menawar. (pada Baru Klinting) Kau hanya punya kata-putus, putuskan sekarang juga, sebelum berlarut menjadi bencana.

WANABAYA           : Sudah kudengar semua suara keluar dari mulut kalian. Juga dalam perkara ini aku seorang panglima. Jangan dikira kalian bisa belokkan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda hendaki sesuatu, dia akan dapatkan untuk sampai selesai.


Para demang dan Baru Klinting memojokkan Wanabaya, agar Wanabaya sadar akan kedudukan dan kewajibannya di Mangir, mereka kesal atas perubahan sikap Wanabaya sejak kenal Adisaroh. Dan suasana makin tegang saat Wanabaya mendekati jagang tombak. Mereka mencoba menenangkan Wanabaya. Tergambar dari petikan dialog berikut:

 

DEMANG PANDAK           : Biasanya kau rendah hati, sehari dengan Adisaroh, kau berubah menjadi pongah, tekebur bermulut nyaring, berjantung kembung.

 

BARU KLINTING   : Apa guna kau coba dekati jagang tombak? Hanya karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, dengan jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru Mataram seperti babi hutan?

 

DEMANG JODOG : Tenang kau, Wanabaya. Buka hatimu, biar semua selesai sebagaimana dikehendaki. Memang perjaka berhak dapatkan perawan, tapi bukan cara berandalan macam itu, apa pula bagi seorang panglima. ……………………………

                                   

Dialog-dialog yang dilontarkan para demang dan Baru Klinting mengenai perang yang harus didahulukan daripada Adisaroh mulai didengar oleh Wanabaya, namun dia tetap mempertahankan keinginannya. Baru Klinting dengan tegas mengusir Wanabaya karena ia sudah kelewat batas. Hingga Wanabayapun mulai berfikir tentang keinginannya, Lalu ia mengatakan pernyataan agar ia tidak diusir namun tetap menikah dengan Adisaroh. Dijelaskan dalam petikan dialog berikut:

BARU KLINTING   : Turut semua untukmu ditempat lain! Ludah akan kau dapatinya pada mukamu. Kau boleh pergi dan coba sekarang juga.

 

                WANABAYA            : (membuang muka, merenung, bicara pada diri sendiri).

                                               Sekarang mereka pun dapat usir aku. Apakah kemudian aku jadi anggota waranggana? Berjual suara dari desa ke desa? Dari panglima jadi tawanan setiap muka? Adisarohpun boleh jadi tolak diriku pula.

           

WANABAYA           : Dengar kalian semua: terhadap Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Izinkan aku kini memperistri Adisaroh. Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas di sini juga. Jangan usir aku, terlepas dari Perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang ke atas pada orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini.

 

Baru Klinting menyetujui permintaan Wanabaya untuk menikahi Adisaroh setelah Wanabaya berjanji untuk tetap memperjuangkan Mangir dalam melawan Mataram, dan tak akan ingkar karena hal Adisaroh. Hal tersebut dapat disimpulkan dari petikan dialog berikut:

Para demang – mengambil tombak dari jagang, mengepung Wanabaya dengan mata tombak diacukan padanya.


BARU KLINTING   : Tombak-tombak ini akan tumpas kau, bila nyata kau punggungi leluhur, berbelah hati pada Perdikan, khianati teman-teman dan semua. Bicara kau!

 

WANABAYA           : (menatap ujung tombak satu per satu, dan mereka seorang demi seorang). Dengarkan leluhur suara darahmu di atas bumi ini, darahmu sendiri yang masih berdebar dalam tubuhku, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Darah ini tetap murni, ya leluhur di alam abadi, seperti yang lain-lain, lebih dari yang lain-lain dia sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri, untuk semua yang setia, karena dalam hati ini hanya ada satu kesetiaan. Tombak-tombak biar tumpas diri, kalau tubuh ini tak layak didiami darahmu lagi.

 

            WANABAYA                        :Adisaroh takkan bikin Wanabaya ingkar pada Perdikan.

                                                …………………………………………………………….

Leluhur dan siapa saja yang dengar, inilah Wanabaya, akan tetap melawan Mataram.

…………………………………………………………….

Membela semua kedemangan sahabat Mangir.


BARU KLINTING : Lihatlah aku. (mengangguk perlahan-lahan). Para demang (merangkul Wanabaya).

                                    ……………………………………….

                                    Pergi kau dapatkan pengantinmu.

 

BARU KLINTING : Kita semua masih curiga siapa waranggana dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang tidak bisa lain. Tanpa Wanabaya cerita akan mengambil suara lain. Dilarang diapun akan berkembang lain. Pukul tengara, pertanda pesta panen boleh dibuka.


Baru Klinting memang menyetujui pemintaan Wanabaya untuk menikah dengan Adisaroh, namun kecurigaannya belum hilang pada Adisaroh Waranggana yang sebenarnya adalah Putri Pambayun dan rombongan wiyaga yang sebenarnya adalah rombongan telik Mataram.

c.    Penanjakan Laku
Akhirnya insiden permulaan yang dirangsang oleh Wanabaya yang ingin menikah dengan Adisaroh berkembang setelah keinginannya tercapai, Konflik Adisaroh muncul ke permukaan, antara tugasnya sebagai Putri Sulung Senapati yang dituntut membawa Wanabaya ke Mataram, disisi lain ia mencintai Wanabaya dan takut suaminya dibunuh di Mataram dan ia menginginkan perdamaian. Sedangkan konflik Wanabaya muncul setelah konflk Adisaroh mencuat dan tak kalah tajamnya, yaitu harus menerima kenyataan bahwa istri yang sangat ia cintai adalah orang Mataram yang merupakan musuhnya dalam perang, atau memenuhi permintaan Adisaroh untuk menghadap mertuanya ke Mataram dan berdamai. Tergambar dari petikan dialog 369-660 berikut:
TUMENGGUNG MANDARAKA   : Terpaksa nenenda datang kini untuk menagih janji.
………………………………………………………………
Bukankah darah satria tak perlu diperingatkan? Dan janji ditepati seperti matari pada bumi setiap hari?

PUTRI PAMBAYUN            : Sekarang nenenda datang menagih janji, agar aku khianati suami sendiri.

TUMENGGUNG MANDARAKA : Bukan mengkhianati, hanya membawanya menghadap ayahanda baginda, ayahandamu sendiri.

PUTRI PAMBAYUN            : Betapa pandai nenenda berpilih kata. Tidak percuma jadi Juru martini Sultan Hadiwijaya, dengan warta dan kata menanggulangi Negara. Apalah arti Pambayun dalam pilinan kata nenenda? (Dengan mata menyala menghampiri Tumenggung Mandaraka). Sahaya sukai perdikan ini. Sahaya cintai suami sendiri. (meninggalkan Tumengguung Mandaraka).

Petikan dialog diatas memperlihatkan konflik Putri Pambayun yang tak ingin membawa suaminya ke Mataram, karena ia takut suami yang ia cintai itu dibunuh ayahnya sendiri. Lalu Tumenggung Mandaraka kembali ke Mataram membawa kuda Wanabaya, dengan tetap menuntut Putri Pambayun membawa Wanabaya ke Mataram. Akhirnya Putri Pambayun mengaku pada Wanabaya siapa ia sebenarnya dan menyampaikan maksudnya mengajak Wanabaya ke Mataram. Terlihat konflik Wanabaya pada petikan dialog berikut:
WANABAYA            : (membelalak memunggungi Putri Pambayun, berjalan mondar-mandir gelisah, anatara sebentar menoleh pada Putri Pambayun) Ma-ta-ram! Ma-ta-ram! Dia kelahiran Ma-ta-ram! Wanabaya beristrikan wanita Mataram! Karena tergila-gila kecantikannya diri kurang periksa. Ya, langit dan bumi, kemana mesti kusembunyikan mukaku ini? (Cepat berbalik pada putri Pambaun). Di luar atau dalam benteng kau tinggal.

PUTRI PAMBAYUN            : (Berdiri menghampiri). Tiada kau hukum? Bumi dan langit tak dapat ingkari, Inilah Putri Pambayun Mataram istrimu, inilah bayi dalam kandungan anakmu, dua-duanya tetap bersetia kepadamu.

PUTRI PAMBAYUN            : Adisaroh dan Putri Pambayun sama, kakang, dua-duanya istri tunggal Ki Wanabaya. Pesan ayahanda baginda agar datang ke Mataram seminggu ini, untuk terima restu bagi perkawinan, mertua bertemu putra menantu, calon nenek dengan calon cucu.

WANABAYA            : (pergi ke bangku dibawah pohon manga, duduk bertopang dagu. Tiba-tiba menutup dua belah kuping) Baru Klinting, kurang apa si Wanabaya, mengapa dikutuk begini rupa hanya  karena cinta?

Mencuatnya konflik Putri Pambayun dan Wanabaya membuat penanjakan laku semakin jelas. Putri Pambayun dan Wanabaya saling mencintai, dan membuat para tetua Perdikan Mangir serba salah, mereka berunding untuk mengambil keputusan selanjutnya, Tergambar dalam petikan dialog berikut:
WANABAYA            : ……………..Pambayun, istriku, relakah kau mati bersama?
PUTRI PAMBAYUN            : Tak bercerai kita, Kakang Wanabaya, dalam hidup dan dalam mati.
WANABAYA            : Juga rela di medan-perang melawan Mataram?
PUTRI PAMBAYUN            : Untukmu dan perdikan, Kang, di mana, dan kapan saja.
BARU KLINTING    : Baik, seluruh kekuatan dikerahkan masuk ke benteng Mataram. Patalan! Berangkat kau sekarang juga ke Mataram, kibarkan tinggi bendera Mangir pertanda duta. Sampaikan, pada hari yang sama minggu mendatang. Ki Ageng Mangir Wanabaya dan istri, Putri Pambayun, akan datang bersembah pada Panembahan Senapati. (berpaling pada Wanabaya) Berperisai kalian berdua, kita akan langsung masuk benteng menyerang istana. Tetap kau pada pendirianmu Nyi Ageng Mangir Muda?
Konflik mereka tak berjalan berlarut-larut, karena mereka mendapatkan keputusan dari hasil perundingan dengan para tetua Perdikan Mangir. Mereka akan pergi ke Mataram untuk menghadap Panembahan Senapati. Peristiwa bagian akhir ini mengantarkan pada peristiwa selanjutnya, yaitu krisis atau klimaks.
d.   Krisis atau Titik Balik (Klimaks)
Krisis atau klimaks adalah peristiwa yang muncul sewaktu kekuatan-kekuatan saling memperlihatkan diri dan membutuhkan penyelesaian. Mataram menyusun strategi untuk menjebak prajurit Mangir, yaitu dengan para wanita Mataram yang menggoda dijalan menuju Mataram, lalu jalan yang dipersempit dan para telik yang diperintahkan untuk mengabarkan perkembangan selanjutnya mengenai perjalanan Mangir menuju Mataram. Dijelaskan oleh pencerita (Troubadour) diawal babak terakhir ini, dan dari petikan dialog 661-826, seperti berikut:
            Pencerita (Troubadour) sebelum layar dibuka:
Wanabaya dan Baru Klinting tombak pusaka
Dua belas depa panjang tangkai
Pambayun diiringi, benteng dimasuki.
                        Gapura-gapura penyambutan ini, mengapa?
                        Semakin dekati kraton semakin sempit dan rendah?
                        Baru Klinting sang tombak pantang menunduk,
                        Siap lewati tangkai dipotong biar tetap tegak.

TUMENGGUNG MANDARAKA   : Maka mereka dibikin tak bisa membuka gelar. Jalanan lebr dipersempit dengan pagar. Di desa Cepit balatentara Mangir akan dielu-elu, dengan tari dna tuak, dengan nyanyi dan tandak. Seluruh barisan akan dipenggal tengah dengan hiburan, tersekat di jalanan sempit, takkan dapat diteruskan perjalanan berlenggang tangan. Di depan benteng, separoh dari separoh lawan akan disambut oleh semua perawan benteng Mataram. Jembatan sungai Gajah Wong di dalam benteng telah dibongkar dan disempitkan. Di mulutnya akan menunggu barisan dara anak-anak nayaka, mempersembahkan diri dan sajian. Taka ada diantara prajurit desa itu akan tahan kena sintuhan tangan lembut para dara Mataram, mereka akan menggigil megemis kasih, tepat seperti Wanabaya di hadapan Pambayun. Begitu panglimanya, begitu juga prajuritnya.

Petikan cerita troubadour dan dialog tokoh diatas menerangkan strategi yang telah dirancang oleh Tumenggung Mandaraka atau Ki Juru Martani untuk melawan tentara Mangir, Sedangkan para tetinggi Mataram menunggu kedatangan Wanabaya dan baru Klinting di Istana sambil terus menerima kabar dari para telik. Perkembangan perjalanan Mangir dijelaskan pada petikan dialog berikut:
            KI AGENG PAMANAHAN : (kembali ke samping). Tak salah lagi, itu telik ketiga. (Berdiri mencangkung bertumpu pada tongkat, mengangguk-angguk, mendengarkan. Kemudian mengisyaratkan dengan tangan menyuruh pergi. Kembali pada Panembahan Senapati). Memang telik ketiga, membawa warta: Balatentara Mangir terlalu cepat bergerak. Mereka telah lewati Cepit. Ya-ya-ya, hmm, hmm, hmm katanya waktu tinggal tiga ratus hitungan jari. Telah diucapkan pidato elu-elu, ucapan selamat datang atas nama Sri Baginda Panembahan Senapati ing Ngalaga, Sayidin Panatagama ing Tanah Jawa untuk yang terhormat Tua Perdikan Mangir Wanabaya dan istri. Ya-ya-ya, berhasil mereka dibelah tengah dengan nyanyian dan tari, tuak dan tandak. Semangat perangnya lemas tersentuh jari-jemari perawan Mataram. Tepat seperti rencana Ki Juru Martani. Ya-ya-ya, begini jadinya, hmm, hmm, hmm.
            KI AGENG PAMANAHAN : Telik ke empat, yang terakhir telah tiba, hmm, hmm, hmm, wartanya: Sisa balatentara Mangir sedang dielu-elu di depan kraton. Ya-ya-ya, di depan kraton. Separoh dari separoh barisan tersekat dalam pesta pora dengan perawan para nayaka. Di mulut jembatan sungai Gajah Wong, ya-ya-ya, barisan Mangir tinggal seperenambela, dihibur oleh perawan-perawan pilihan.
Para telik telah mengabarkan perkembangan mengenai perjalanan Mangir ke Mataram yang semakin dekat, dan terperangkap oleh rencana Tumenggung Mandaraka. Sementara mereka menunggu Wanabaya dan Klinting serta Putri Pambayun,  Tumenggung Pringgalaya salah memberikan perintah menabuh gamelan kraton, karena gamelan kraton adalah perintah penyerangan, maka rencana Mataram kacau karena kesalahan tabuhan gamelan kraton, terjadi perang di depan istana Mataram karena prajurit Mataram lebih dulu menyerang Mangir. Tergambar dari petikan dialog berikut:
TUMENGGUNG JAGARAGA       : (masuk ke panggung; mengangkat sembah pada Panembahan Senapati kemudian pada Mandaraka dan Ki Ageng Pamanahan). Menghaturkan warta celaka, gusti baginda. Balatentara Mataram telah menyerang sebelum Wanabaya masuk menghadap gusti baginda. Perkelahian sedang terjadi di depan istana.
PANGERAN PURBAYA     : (masuk ke panggung, mengangkat sembah pada Pamanahan Senapati, Ki Ageng Pamanahan dan Tumenggung Mandaraka). Ampun ayahanda baginda, pasukan pengawal telah dapat merampas adinda Putri Pambayun dari tentara Mangir, sebentar lagi akan datang bersembah, telah patik bebaskan dari tangan pasukan pengawal.
Putri Pambayun berada diluar saat perang berlangsung, namun berhasil dirampas oleh pengawal Mataram dari Mangir, dan dibawa masuk ke istana Mataram. Namun ia terus memekik memanggil Wanabaya, ia juga pasrah meminta ayahandanya Panembahan Senapati membunuhnya demi membela Wanabaya. Lalu Wanabaya, Baru Klinting, dan Demang Patalan menerobos masuk istana, mereka bermaksud menyerang langsung Panembahan Senapati. Terjelaskan dari kutipan berikut:
WANABAYA, BARU KLINTING, DEMANG PATALAN: (masuk ke panggung dari belakang takhta, masing-masing dengan keris telanjang di tangan).
WANABAYA: Yang mana Panembahan Senapati? Inilah Wanabaya datang sendiri, tanpa tipu tanpa dusta, mari mengadu runcingnya keris.
TUMENGGUNG PRINGGALAYA : Inilah Panembahan Senapati ing Ngalaga, maju kau bedebah Mangir, jangan ragu.
WANABAYA : (melangkah hendak menyerbu Tumenggung Pringgalaya).
BARU KLINTING : Salah! Itulah Panembahan Senapati (menuding) yang berlindung dibalik semua orang
WANABAYA : (Ragu mengalihkan sasaran).
PANGERAN PURBAYA : (Melompat, menikam pada lambung Wanabaya).
WANABAYA : (keris terlepas dari tangan). Raja dari segala dusta… (dihujani tombak oleh prajurit-prajurit Pengawal dari belakang; rebah).
Saat Wanabaya masuk istana, ia langsung mencari Panembahan Senapati, tapi Tumenggung Pringgalaya menjebak Wanabaya dengan mengaku sebagai Senapati. Saat Wanabaya akan menyerangnya. Pangeran Purbaya menikam lambung Wanabaya, ia tersungkur dan dihujani tombak oleh prajurit Mataram. Krisispun berakhir dengan pertanyaan bagaimanakah akhir perang Mangir dan Mataram. Maka berlanjutlan peristiwa pada bagian selanjutnya, yaitu penyelesaian.
e.    Penyelesaian
Pada bagian penyelesaian ini, pengarang mulai memecahkan persoalan, setelah Wanabaya ditikam Pangeran Purbaya tepat dilambungnya dan dihujani tombak oleh prajurit Mataram. Baru Klinting ditombak Senapati dari belakang, saat ia menangkis serangan dari Tumenggung Mandaraka dan Tumenggung Pringgalaya untuk menyerang Senapati. Sedangkan Demang Patalan dihujani tombak oleh prajurit Mataram saat akan menyerang Senapati. Mereka bertiga tewas di Mataram. Tergambar dari petikan dialog 827-829 berikut:
PANEMBAHAN SENAPATI : (menombak Baru Klinting dari belakang).
BARU KLINTING    : (tersungkur) Be-de-bah!
DEMANG PATALAN : (dengan keris pada tangan kanan, dengan tangan kiri melemparkan sarungnya pada Tumenggung Mandaraka. Sebelum bisa berbuat apa-apa, dihujani tombak dari belakang oleh para prajurit pengawal; rebah).
TUMENGGUNG MANDARAKA : Selesai sudah perkara Mangir.
Petikan dialog diatas menjelaskan detail kematian Baru Klinting dan Demang Patalan yang mengakhiri perang Mangir dan Mataram yang memberi kemenangan Mataram atas Perdikan Mangir.
f.     Keputusan
Pada bagian ini, pengarang memberikan hasil dari penyelesaian, peristiwa ini menceritakan Putri Pambayun meminta ayahnya membunuhnya juga, karena ia melihat suaminya Wanabaya dibunuh. Namun Senapati memerintahkan prajurit mengeluarkan Pambayun dari Mataram, karena ia telah berhianat. Terlihat dari dialog 830-839 berikut:
PUTRI PAMBAYUN            : (di samping mayat Wanabaya). Jangan lupakan Pambayun, ayahanda baginda, antarkan sahaya pergi bersama dia……………
PANEMBAHAN SENAPATI : (tanpa menoleh pada Putri Pambayun). Haram bumi Mataram dengan hadirnya perempuan durjana hina ini. Keluarkan dia dari Mataram jaya! (cepat meninggalkan panggung).
Senapati meninggalkan ruang istana dengan diikuti Tumenggung Pringgalaya, Tumenggung Jagaraga dan Pangeran Purbaya. Tumenggung Mandarakan menghampiri Ki Ageng Pamanahan yang lebih dulu menemui ajalnya sebelum perkara Mangir selesai. Putri Pambayun hanya bisa meratapi kematian suaminya di tangan Mataram.
TUMENGGUNG PRINGGALAYA, TUMENGGUNG JAGARA, PANGERAN PURBAYA  : (sambil memasukkan keris ke dalam sarong dengan cepat mengikuti Panembahan Senapati)
TUMENGGUNG MANDARAKA : (menghampiri tubuh Ki Ageng Pamanahan). Pamanahan adinda, kau sudah terdahulu pergi. Tak kau lihat lagi hari ini, hari awal rencana aris ke timur sampai pantai.
PUTRI PAMBAYUN            : (pada Wanabaya). Mari Kang, mari aku antarkan tinggalkan tempat ini. Mari, mari Kang, mari. Bukankah Pambayun istrimu yang sejati? (berteriak). Mari, mari, mari.

……….CERITA USAI….…..

3.      Tokoh dan Perwatakannya
a.      Tokoh
Tokoh dalam drama Mangir ada tujuh belas orang,
1.      Wanabaya: Ki Ageng Mangir, pemuda, + 23 tahun, prajurit, pendekar, panglima Mangir, tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan gagah.
2.      Baru Klinting: tetua Perdikan Mangir, pemuda, + 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir, organisator.
3.      Pambayun: Putri pertama Panembahan Senapati dengan permaisuri, + 16 tahun, telik Mataram, berpikiran masak.
4.      Suriwang: pandai tombak, + 50 tahun, pengikut fanatik Baru Klinting.
5.      Kimong: telik Mataram, + 30 tahun.
6.      Tumenggung Mandaraka: pujangga dan penasihat kerajaan Mataram, + 92 tahun, kepala rombongan telik Mataram.
7.      Ki Ageng Pamanahan: Ayah Panembahan Senapati, + 90 tahun.
8.      Pangeran Purbaya: Anak pertama Panembahan Senapati, + 20 tahun.
9.      Tumenggung Jagaraga: Anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 35 tahun.
10.  Tumenggung Pringgalaya: Anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 45 tahun.
11.  Panembahan Senapati: Raja Pertama Mataram, + 45 tahun.
12.  Demang Pajang: Kepala Kademangan Pajang, + 42 tahun.
13.  Demang Patalan: Kepala Kademangan Patalan , + 35 tahun.
14.  Demang Pandak: Kepala Kademangan Pandak, + 46 tahun.
15.  Demang Jodog: Kepala Kademangan Jodog, + 55 tahun
16.  Pencerita (troubadour).
17.  Beberapa prajurit Mataram

Ø  Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis dalam cerita ini adalah Wanabaya. Wanabaya atau Ki Ageng Mangir Muda ialah tua Perdikan Mangir yang merupakan prajurit, pendekar, dan panglima Mangir. Tokoh Wanabaya ini menarik, karena ia tidak tahu bahwa ia jatuh cinta dan menikah dengan Putri Pambayun yang merupakan anak musuhnya, yaitu Panembahan Senapati, Raja Mataram.
Ø  Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis dalam cerita ini adalah Panembahan Senapati, Tumenggung Mandaraka dan Putri Pambayun.
1.      Panembahan Senapati yang merupakan Raja Mataram mempunyai keinginan untuk menjadi Raja tunggal di Jawa, sehingga ia ingin mengalahkan Mangir untuk menambah daerah kekuasaannya.
2.      Tumenggung Mandaraka merupakan pujangga dan penasihat kerajaan Mataram, yang membantu memberikan strateginya untuk mengalahkan Mangir.
3.      Putri Pambayun (Adisaroh) yang merupakan putri Panembahan Senapati juga menjadi inti dari strategi Mataram untuk mengalahkan Mangir, ia yang tadinya diperintahkan untuk menggoda Wanabaya dan menjebaknya agar datang ke Mataram, malah jatuh cinta pada Wanabaya.
Ø  Tokoh Tritagonis
Tokoh Tritagonis dalam cerita ini yaitu Baru Klinting, ia merupakan tetua Perdikan Mangir. Ia prajurit, ahli siasat, pemikir dan organistrator yang memimpin perang melawan Mataram. Di Mangir, pendapat dan keputusannya selalu dibutuhkan mengenai persoalan apapun. Tokoh ini termasuk penentu dalam penyelesaian, hal tersebut harus dicermati sungguh-sungguh oleh orang yang menganalisis cerita ini, sebab bisa jadi terkecoh dalam menentukan tokoh ini sebagai tokoh utama atau bukan.
Ø  Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu dalam cerita ini yaitu para demang Perdikan Mangir, yaitu Demang Pajang, Demang Patalan, Demang Pandak dan Demang Jodog. Mereka merupakan gegeduk Mangir, dan kepala kedemangan daerah Mangir yang membantu memunculkan tanda-tanda konflik pada insiden permulaan. Mereka juga ikut mempertajam konflik yang dihadirkan rombongan telik Mataram.
Pencerita (troubadour) yang membuka cerita pada awal setiap babak. Suriwang yang merupakan pandai tombak Perdikan Mangir dan pengikut Baru Klinting yang membantu mengawali cerita bersama Baru Klinting. Kimong yang merupakan telik Mataram yang membantu memunculkan tanda-tanda konflik pada insiden permulaan.
Ki Ageng Pamanahan yaitu Ayah Panembahan Senapati (Raja Pertama Mataram) yang muncul di akhir dan membantu jalannya peristiwa klimaks sebelum cerita selesai. Pangeran Purbaya (anak pertama Panembahan Senapati), serta anggota rombongannya, Tumenggung Jagaraga dan Tumenggung Pringgalaya membantu jalannya peristiwa klimaks di kerajaan Mataram bersama beberapa orang prajurit Mataram.

b.      Perwatakan Tokoh
Setiap tokoh tentunya mempunyai watak atau karakter, yang merupakan sifat dasar manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya. Watak ini dianggap sangat penting karena watak inilah yang menghidupkan gerak laku para pemeran dalam cerita drama, dan dengan watak konflik akan terasa tajam.
Watak dalam drama tidak dijelaskan secara langsung oleh pengarang, melainkan dengan cara tidak langsung melalui dialog. Kalaupun ada, hanya berupa keterangan pada awal naskah yang dijelaskan oleh pengarang dengan maksud untuk mempermudah drama tersebut saat akan dipentaskan. Berikut penggambaran watak tokoh:
1)      Tokoh Protagonis
§  Watak Wanabaya
Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya saat pertama muncul dalam drama, ia digambarkan sedang mengalami gejolak cinta pada Putri Pambayun yang menyamar menjadi Adisaroh. Ia menyombongkan kedudukannya sebagai Ki Ageng Mangir Muda dan panglima Mangir.
WANABAYA      : Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh rombongan jadi tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah Wanabaya Muda. Biar aku bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya. (dialog 251)
Keinginanya menikah membuat sikapnya berubah. Ia tidak bisa mengendalikan diri, ia yang biasanya rendah hati menjadi kasar dan pongah, omongannya menjadi tekebur dan sangat menyinggung orang lain. Bahkan dengan berani ia menantang terjadinya perpecahan dengan mangir karena perkara ini.
WANABAYA      : (melepas gandengan, maju menantang para demang seorang demi seorang). Dengarkan kalian, orang-orang nyinyir, tak mengerti perkara perang. Setajam-tajamnya senjata, bila digeletakkan takkan ada sesuatu terjadi. Sebagus-bagusnya panglima perang, bila ditinggalkan senjata dan balatentara, sebesar-besar pasukan akan binasa. Apakah kalian belum mengerti ini? (dialog 279)
WANABAYA      : Telah kalian cemarkan kewibawaan Wanabaya Muda di hadapan orang luar, kalian yang relakan perpecahan. (dialog 298)
DEMANG PANDAK : Biasanya kau randah hati, sehari dengan Adisaroh, kau berubah jadi pongah, tekebur bermulut nyaring, berjantung kembung. (dialog 309)
Perubahan sikap Wanabaya yang seperti diatas tidak terjadi lama, ia memang teguh mempertahankan keinginannya, namun ia menyadari kesalahannya. Ia sedikit demi sedikit kembali menjadi Wanabaya yang rendah diri, dan menjadi Panglima yang setia pada Mangir.
WANABAYA      : (membuang muka, merenung, bicara pada diri sendiri). Sekarang mereka pun dapat usir aku. Apakah kemudian aku jadi anggota waranggana? Berjual suara daridesa ke desa? Dari panglima jadi tertawaan setiap muka? Adisaroh pun boleh jadi tolak diriku pula? (dialog 329)
WANABAYA      : Dengar kalian semua: Terhadap Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Ijinkan aku kini memperistri Adisaroh. Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas disini juga. Jangan usir aku, terlepas dari perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang ke atas pad orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh damping hidup ini. (dialog 332)
WANABAYA      : Aku telah bersalah, Baru Klinting yang bijaksana! (dialog 349)
Setelah menikah Wanabaya menjadi suami yang penyayang, perhatian dan pengertian.
WANABAYA      : Kau melamu, adikku kekasih. Apakah tersinggung hatimu kularang merenung dan mengantih? (berdiri di hadapan Putri Pambayun). (dialog 358)
WANABAYA      : Apa yang masih kau lamunkan lagi? Lihat sejoli belibis si angkasa sana. Adakah mereka suka bermenung seperti kau? Tidak, Adisaroh kekasih kakang, karena semua sudah ada pada mereka. Katakan, Adisaroh belahan jiwa, apa yang masih kurang? (dialog 378)
WANABAYA      : (masuk ke panggung). Belum juga kau masuk , Adisaroh kekasih? Terlalu lama diluar tak baik untuk kandungan. Ah, aku lihat Suriwang lari seperti kerbau gila. Apa gerangan dia perbuat? (dialog 498)
Ketika Wanabaya dihadapkan pada konflik untuk menerima kenyataan bahwa Pambayun istrinya adalah Putri Panembahan Senapati, raja Mataram musuhnya. Ia menyadari kesalahannya karena kurang waspada, namun ia bisa menerima kenyataan tersebut karena cintanya pada istrinya, namun tidak melebihi kesetiannya pada Perdikan Mangir. 
WANABAYA      : (mebelalak memunggungi Putri Pambayun. Berjalan mondar-mandir gelisah, antara sebentar menoleh pada Putri Pambayun) Ma-ta-ram! Ma-ta-ram! Dia kelahiran Mataram! Wanabaya beristrikan wanita Mataram! Karena tergila-gila kecantikannya diri kurang periksa. Ya, langit dan bumi, kemana mesti kusembunyikn mukaku ini? (Cepat berbalik pada Putri Pambayun)……. (dialog 553)
WANABAYA      : Tak bakal aku khianati Perdikan ini. Kalau dia kau bunuh mati, aku takkan menghalangi, dengan syarat sandingkan mayatnya pada bangkaiku, bersatu lahat di dalam tanah, di bawah beringin lapangan Mangir. (dialog 623)
Perubahan watak yang terjadi pada Wanabaya ini disebut watak bulat. Tanpa disangka tiba-tiba watak seseorang dapat berubah dalam sekejap dan membuat sebuah cerita menjadi mengejutkan. Karakter Wanabaya adalah karakter pembangun cerita, bisa dikatakan semua bertumpu pada karakter Wanabaya.
2)      Tokoh Antagonis
§  Watak Panembahan Senapati
Panembahan Senapati adalah raja Mataram yang usianya kurang lebih 45 tahun. Ia ambisius. Ambisius disini adalah nafsu yang telah mempunyai arah dan tujuan tertentu yang disebut keinginan karena sebuah dorongan. Keinginan Panembahan Senapati adalah menjadi raja tunggal di Jawa. Dia memakai cara-cara kotor apapun untuk dapat memenuhi keinginannya. Terbukti dari percakapan Baru Klinting.
BARU KLINTING            : Masih belum kenal kau apa itu raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal kau siapa Panembahan Senapati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang, ayah-angkat yang mendidik-membesarkannya, kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhre Wijaya? (dialog 17)
Karena ia menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi keinginannya, Panembahan Senapati menjadi orang yang sadis dan keji membunuh siapapun yang menghalangi kehendaknya, ia licik dan rela mengorbankan siapapun untuk mencapai keinginan. Hal itu dikuatkan oleh pernyataan Pambayun, putri kandung Panembahan Senapati yang dijadikan mata-mata untuk menipu Wanabaya.
PUTRI PAMBAYUN        : Juga membunuh dan mengkhianati! (terjerit dari balik telapak tangan). Mengerti sahaya kini, mengapa kakanda Rangga, putra pertama ibu Jipang-Panolan, putra ayahanda sendiri, dibunuh oleh ayahanda, digantung pada puncak pohon ara. (dialog 421)
Ini membuktikan bahwa Panembahan Senapati adalah seorang raja yang kejam. Anak sendiri dijadikan korban demi tahta.
PUTRI PAMBAYUN        : (membelalak ketakutan dalam mengingat-ingat). Masih ingat sahaya, waktu itu, ayahanda baginda habis titahkan bunuh kakanda Rangga, agar digantung dengan tali pada puncak pohon ara. Kemudian datang warta, titah telah terlaksana, tubuhnya tergantung ditiup angin dari Laut Kidul, bakal habis dimangsa gagak dan elang. Menggigil ketakutan sahaya bersujud pada ayahanda, takut dibunuh maka persembahkan janji-bakti, apa saja baginda kehendaki. (dialog 433)
WANABAYA        : Dengan liciknya dikirimkan telik putrinya sendiri. (dialog 577)
…………………………………………………………
(pada dunia) Dikorbankannya putri kesayangan, hanya karena gentar mengeletar pada Mangir. Kau raja, yang mau tetap bertakhta, korbankan segala-gala asal tetap bermahkota...(dialog 581)
PANEMBAHAN SENAPATI: Mataram menjanjikan mati, bagi siapa saja pembikin lemah, retak dan pecah. (dialog 802)
Watak Senapati adalah watak datar. Wataknya konsisten dari awal hingga akhir berwatak jahat, tokoh yang dibenci penonton drama. Tokoh Senapati menggambarkan betapa keji dan liciknya seseorang yang buta jabatan.



§  Watak Tumenggung Mandaraka
Tumenggung Mandaraka atau Ki Juru Martani adalah pujangga dan penasihat Mataram. Usianya sekitar 92 tahun. Ia adalah kepala rombongan telik Mataram. Sebagai telik, ia merupakan penipu ulung, pandai berdusta, licik, penghasut dan pendendam, ia juga kejam seperti Panembahan Senapati. Wataknya dijelaskan dari dialog seperti berikut:

PUTRI PAMBAYUN        : Betapa nenenda bisa berdusta pada sahaya. (dialog 412)…………………………………………………… (merengut meninggalkan Tumenggung Mandaraka, menuding ke bawah padanya). Dusta! Semua dusta (menutup mata dengan dua belah tangan). Patutkah putri raja, sulung permaisuri, didustai seperti ini? (dialog 416)

Ia tak hanya berbohong pada warga Perdikan Mangir, tetapi juga pada Pambayun, sesama telik. Ia juga kejam seperti Panembahan Senapati, Ia penasihat yang kejam dan licik, karena perkataannya selalu menghasut, Ia ingin Wanabaya binasa. Seperti petikan dialog berikut:
TUMENGGUNG MANDARAKA: Cucu adinda sudah berpuluh, apa beratnya korbankan yang satu, toh hanya anak desa. (dialog 672)

TUMENGGUNG MANDARAKA : Bayi itu tetap cicit adinda. Hanya Wanabaya harus binasa. (dialog 720)
Ia ingin Wanabaya binasa karena menurutkan keinginan Senapati menjadi raja tunggal, dan ia juga dendam atas kekalahan Mataram dalam perang sebelumnnya, sehingga ia terlalu bernafsu membunuh Wanabaya.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Nah Pamanahan adinda, itulah tengara sang panglima, Berarti dwi-tunggal Klinting-Wanabaya sedang bergerak masuk ke dalam jebakan. Kenangkan hari ini menebus kekalahan, menebus dengan Perdikan Mangir dan kademangan-kademangan sekawan. Takluknya mereka akan bikin Mataram dapatkan tiga ribu prajurit tambahan. Maka baris ke timur akan segera dapat dirancang, dari Mataram ke Madiun, dari Gersik ke Blambangan. Laut selingkupan Jawa sebelah sana akan jadi pagar Mataram. (dialog 775)
TUMENGGUNG MANDARAKA : (juga berbisik) Seperti Pamanahan adinda sudah lupa siapa Ki Juru Martani ini. Jangankan cucu darahmu sendiri, begitu bisa akibatkan perpecahan kerajaan, seperti Rangga, seperti Wanabaya nanti, tempatnya yang paling tepat hanyalah akhirat. (dialog 784)

§  Watak Putri Pambayun
Menurut petunjuk dalam buku Mangir, Pambayun adalah perempuan berusia sekitar 16 tahun. Ia adalah putri pertama Panembahan Senapati. Ia berpikiran masak, ketika ia dijadikan telik oleh ayahandanya untuk menggoda Wanabaya, ia sebagai penipu berhasil membuat Wanabaya tergila-gila padanya. Namun penyamaran Pambayun tidak seratus persen sempurna, rahasianya pernah hampir terbongkar.
PUTRI PAMBAYUN : Biar aku bersujud padamu, untuk puji terimakasihku. (dialog 391)
WANABAYA         : Sujud padaku? (curiga) Bukan adat wanita desa bersujud pada guru-suami. Apakah kau kehendaki aku mati dahulu untuk bisa kau sujudi? (dialog 392)
Setelah menikah dengan Wanabaya, Pambayun yang tadinya setia pada ayahnya mulai merasa bahwa ia benar-benar mencintai suaminya, dan mulai menyadari kekejaman ayahnya. Dengan bijaksana ia mengambil keputusan untuk membela Perdikan Mangir dan berbakti kepada suaminya suaminya meski harus melawan ayahnya.
PUTRI PAMBAYUN : Tak ada yang lebih dari Kakang. Kalaupun Adisaroh mati, semoga matilah disini, di bawah naungan beringin, ditingkah kicauan burung tiada henti. (dialog 373)
PUTRI PAMBAYUN : (ragu-ragu dan berhenti) Tak ingin sahaya dengarkan kata nenenda lagi. (Menoleh) Pada suami sahaya hendak lebih berbakti. (dialog 441)
Saat sikap Pambayun berubah karena cintanya kepada Wanabaya, ia berani jujur pada Wanabaya tentang identitasnya. Saat Baru Klinting menyalahkan Wanabaya pun Pambayun mencoba membela Wanabaya. Ia meyakinkan pada Perdikan Mangir bahwa ia mencintai bayi dan suaminya serta Perdikan Mangir.
PUTRI PAMBAYUN : (berjalan dengan lutut dan tangan, merangkul kaki Wanabaya, menengadah). Ampuni istrimu yang berdusta, inilah aku, betul kau, Kakang dewa-suamiku, bukan Adisaroh namaku. (dialog 564) 
PUTRI PAMBAYUN : Ku cintai Perdikan ini, aku cintai suami sendiri... (dialog 615)
PUTRI PAMBAYUN : Tak bercerai kita, Kakang Wanabaya, dalam hidup dan dalam mati. (dialog 649)
Pambayun setia pada Wanabaya, ketika di hadapan ayahnya ia mengatakan ingin mati bersama Wanabaya karena ia sangat mencintai Wanabaya.
PUTRI PAMBAYUN: (di samping mayat Wanabaya). Jangan lupakan Pambayun, ayahanda baginda, antarkan sahaya pergi bersama dia... (dialog 830)
Dari uraian di atas, dapat dikatakan Putri Pambayun adalah perempuan yang labil, ia mulanya berbakti kepada ayahnya lalu setelah jatuh cinta ia berbalik menjadi berbakti pada musuh ayahnya. Namun disamping cintanya pada Wanabaya, karakternya berubah karena ia menyadari bahwa ayahnya salah, jadi ia berpikiran masak sebagai bukti bahwa ia semakin dewasa.

3)      Tokoh Tritagonis
§   Watak Baru Klinting
Baru Klinting adalah orang yang tegas baik dalam perbuatan dan perkataannya, ia juga bijaksana dalam memutuskan sesuatu, oleh karena itu ia menjadi seorang prajurit, dan organisator di Perdikan Mangir. Baru Klinting digambarkan sebagai sosok yang mempunyai visi dan misi kedepan. Ia optimis dan percaya diri pada kemampuannya. Selain terlihat dari saat ia berdialog, banyak dialog orang lain yang menjelaskan wataknya. Wataknya dapat dilihat dari petikan dialog berikut ini:
BARU KLINTING : (memperingatkan). Mangir akan tetap jadi perdikan, tak bakal jadi kerajaan. (dialog 15)
BARU KLINTING : Akan datang masanya masuki Mataram dengan tangan berlenggang. Tidak sekarang. Senapati masih terjaga oleh berlapis-lapis balatentara, benteng batu bata, dusun-dusun bersenjata sekitar benteng, seberangi Code, Gajah Wong sebelum sampai kei stana. Biar dulu Mataram terpagari dari selatannya. (dialog 136)
Ia juga ahli siasat dan pemikir. Ia tahu bagaimana harus melawan musuh. Ia juga tahu strategi apa yang akan dilakukan. Ia bijaksana dalam memutuskan sesuatu, dilihat dari petikan dialog orang lain yang menggambarkan wataknya.

DEMANG PATALAN : Kau, Klinting sang bijaksana, kaulah sekarang yang bicara. (dialog 129)

 

DEMANG PATALAN : Siapa tidak percaya? Di medan perang Klinting perwira, di Perdikan Klinting bijaksana, Ronggeng Jaya Manggilingan dengan dua puluh gegeduk bikin porak-poranda Mataram. …………………………(dialog 137)

 

BARU KLINTING            : Juga Wanabaya punya hak bicara, tak semestinya kita lindas hasrat dalam hatinya. Apa jadinya sungai yang tak boleh mengalir? Dia akan mengamuk melandakan banjir. (dialog 269)

WANABAYA      : Aku telah bersalah, Baru Klinting yang bijaksana! (dialog 349)

Sebagai seorang tetua Perdikan Mangir, prajurit, ahli siasat dan pemikir yang bijaksana, Baru Klinting selalu waspada pada setiap gerik yang mencurigakan, karena ia takut merugikan Perdikan Mangir.

BARU KLINTING            : Kita semua masih curiga siapa waranggana dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang bias lain. Tanpa Wanabaya cerita akan menggambil suara lain. Dilarang dia pun akan berkembang lain. Pukul tengara, pertanda pesta panen boleh dibuka. (dialog 353)
BARU KLINTING            : Tak kau jawab di mana mertuamu. Tak cukup dengan bilang tak bermertua lagi. (dialog 600)
4)      Tokoh Pembantu
§   Watak Demang Pajangan, Demang Patalan, Demang Pandak dan Demang Jodog tidak terjelaskan secara keseluruhan, karena dalam naskah ini mereka hanya muncul sebagai tokoh yang mempertajam konflik dan ikut menyelesaikan konflik. Namun dapat ditangkap dari dialog mereka sangat peduli dan setia kepada Perdikan Mangir. Terlihat dari petikan dialog berikut:
DEMANG PANDAK : Betul. Dia belum lagi melepas brahmacarya. Dia juga perjaka, hanya sayang tak tampan rupa. Tidak bisa, taka da yang berhak untuk bergila, juga Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda tidak. Tidak bisa! Tidak bisa! (dialog 125)
DEMANG PATALAN : Kita semua bicara tentang Mangir, nasib Mataram, hanya Wanabaya dan rombongan waranggana sibuk tawar-menawar. (Pada Baru Klinting) Kau hanya punya kata-putus, putuskan sekarang juga, sebelum berlarut menjadi bencana. (dialog 268)
DEMANG JODOG : Kau sendiri Wanabaya, mulaikah perang kau lupakan? (dialog 274)
DEMANG PAJANGAN : Menjawab pun kau tak sudi. Berat mana Mataram atau Adisaroh waranggana? (dialog 276)
                    Dialog para demang diatas memperlihatkan bahwa mereka setia pada perdikan Mangir, mereka selalu waspada pada setiap orang asing yang datang ke Mangir, karena tidak ingin ada bahaya menimpa Mangir akibat orang-orang asing tersebut.

§  Watak Suriwang
Suriwang adalah pandai tombak yang berusia sekitar 50 tahun. Ia adalah pengikut fanatik Baru Klinting. Ia patuh pada Baru Klinting. Selain itu, ia juga teliti dan selalu waspada. Seperti ketika ada telik Mataram yang menyusup ke Mangir, Suriwang tetap Waspada, bahkan kepada Putri Pambayun ia juga waspada, meski Pambayun adalah istri Wanabaya.
SURIWANG           : Kau anggap gampang menipu Perdikan? (mendengus menghinakan). Berapa lama kau membudak di istana Mataram. (dialog 36)
SURIWANG           : (masuk ke panggung). Benar dia telah lari, orang tua bangka, mampumencuri kuda Ki Ageng Mangir dan melarikannya. Klinting, panggil Nyi Ageng Mangir utnuk diperiksa. (lari meninggalkan panggung). (dialog 598)
Suriwang orang yang waspada pada setiap gerak-gerik yang mencurigakan, menandakan ia sangat setia pada Perdikan Mangir. Ia juga rela mati dalam perang untuk Perdikan ini.
SURIWANG           : Persetan dengan sanggar tombak! Akupun ikut dalam barisan serbu Mataram. (dialog 659)
§  Watak Ki Ageng Pamanahan
Ki Ageng Pamanahan adalah ayah dari Panembahan Senapati. Usianya kurang lebih 90 tahun. Sebenarnya ia menyanyangi cucunya Putri Pambayun dan menginginkan perdamaian dengan Wanabaya, karena Wanabaya adalah ayah dari cicitnya kelak. Ia pernah ingin Pambayun beserta suami dan cucunya tetap hidup. Ia tidak setuju dengan sikap Panembahan Senapati yang licik. Ia menentang anaknya, hanya saja ia sudah renta dan kata-katanya tak mampu mengubah apapun.
KI AGENG PAMANAHAN : hmm-hmm-hmm , kini Wanabaya, suami cucunda tercinta Pambayun Putri. Tega, tega, tega kau, Ki Juru Martani (melangkah maju dengan tongkat, pada tangan yang gemetar)……. (dialog 669)
KI AGENG PAMANAHAN : Hmm-hmm-hmm, bukankah juga seperti kita, dia bercinta, ingin mati hanya pada usia tua? (dialog 671)
KI AGENG PAMANAHAN : Ya-ya-ya, hati yang gemetar begini, pertanda tersintuh suara darah keturunan sendiri, ya-ya-ya Pambayun. Ah, Pambayun cucu tersayang ......(dialog 791)
Ia begitu menyayangi cucunya, namun setelah ia menerima komunikasi persuasi dari Tumenggung Mandaraka, yang meyakinkannya bahwa Wanabaya hanya akan menghalangi Mataram untuk jaya, Ia menerima rencana pembunuhan Wanabaya, ia berubah menjadi tak acuh pada Pambayun karena Pambayun berbalik membela Mangir, terlihat pada dialog 801-803:
PUTRI PAMBAYUN : Sahaya inginkan tangan ayahanda sendiri habisi Pambayun ini.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Kau setiawan Mataram, bukan di sini tempat meminta mati.
KI AGENG PAMANAHAN : Perempuan hina! (menendang Putri Pambayun sehingga lepas rangkulan pada kaki).
Karakter Ki Ageng Pamanahan tiba-tiba berubah dari penyayang menjadi pembenci. Perubahan sikapnya adalah karena ia menerima komunikasi persuasi dari Tumenggung Mandaraka dan Panembahan Senapati dan situasi peperangan sebelum ia meninggal.
§  Watak Tumenggung Pringgalaya, Tumenggung Jagaraga, Pangeran Purbaya   dan Kimong tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya sebentar dan tidak begitu banyak dialog yang dilontarkan. Ia hanya membantu dalam jalannya cerita.
§  Watak Pencerita (troubadour) tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk membacakan cerita.
§  Watak beberapa prajurit Mataram tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk membantu jalannya cerita.
Demikian penggambaran watak yang dapat digali dari naskah Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.

4.      Konflik
Konflik atau tikaian merupakan inti drama, karena dalam drama pasti mengandung konflik yang membuka alur cerita dan membuatnya menarik. Konflik berawal dari benih-benih konflik yang sengaja atau tidak sengaja tercipta oleh manusia itu sendiri. Konflik yang ada dalam cerita Mangir ini menyelimuti tokoh-tokohnya, yaitu Wanabaya, Baru Klinting, Panembahan Senapati, Putri Pambayun, Tumenggung Mandaraka, Demang Jodog, Demang Patalan, Demang Pajangan, Demang Pandak, dan Pangeran Purbaya.

Ø Konflik Wanabaya
ü  Konflik Wanabaya dengan Baru Klinting
Konflik Wanabaya dimulai saat orang-orang Perdikan Mangir kembali dari perang melawan Mataram. Saat Mangir mengadakan pesta, ia bertemu dengan seorang penari bernama Adisaroh dari rombongan tandak wiyaga. Ia berniat menjadikan Adisaroh sebagai istrinya. Terlebih dahulu ia harus mendapatkan restu dari baru Klinting sebagai tetua Perdikan Mangir. Namun Baru Klinting tak kunjung memberikan anggukan, karena ingin menyelidiki terlebih dulu rombongan wiyaga. Hal itu membuat Wanabaya marah karena tak sabar. Konflik ini selesai dengan keputusan Baru Klinting yang memberikan restunya, namun ia masih waspada terhadap rombongan Wiyaga. Konflik Wanabaya ini berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.

Ingin menikahi Adisaroh (Putri Pambayun)

Wanabaya


Baru Klinting tak kunjung merestui

ü  Konflik Wanabaya dengan para demang pengikut Perdikan Mangir
Konflik Wanabaya ini erat dengan konfliknya dengan Baru Klinting sebelumnya. Ia berniat menjadikan Adisaroh sebagai istrinya, dan meminta restu pada Baru Klinting. Namun para demang, yaitu Demang Patalan, Demang Pandak, Demang Pajang dan Demang Jodog tidak setuju atas permintaan Wanabaya tersebut. Karena mereka ingin Wanabaya mendahulukan perang melawan Mataram daripada mengurusi keinginannya menikah. Hal itu membuat Wanabaya marah karena merasa taka ada yang membelanya. Konflik ini selesai setelah Wanabaya berjanji tak akan mengabaikan urusan perang dibandingkan urusan Adisaroh setelah ia menikah. Konflik Wanabaya ini berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.

Ingin menikahi Adisaroh (Putri Pambayun)

Wanabaya


Para demang ingin Wanabaya mendahulukan perang
ü  Konflik Wanabaya dengan Putri Pambayun
Konflik Wanabaya dengan Putri Pambayun terjadi ketika Putri Pambayun jujur mengenai identitasnya sebagai putri raja Mataram, dan menyampaikan perintah Panembahan Senapati untuk mengajak Wanabaya ke Mataram. Wanabaya marah atas kejujuran Putri Pambayun, karena berarti selama ini Putri Pambayun berdusta kepadanya. Namun ia tak bisa memungkiri bahwa cintanya pada Putri Pambayun tulus, walaupun sang putri adalah anak dari musuhnya sendiri, raja Mataram dan menjadikannya kurang waspada pada orang-orang asing yang muncul disekitarnya. Konflik ini selesai ketika Wanabaya mengakui dan membela istrinya didepan Baru Klinting dan para demang. Walaupun awalnya Wanabaya marah pada Pambayun, tapi akhirnya mereka semua sepakat memenuhi permintaan Pambayun ke Mataram, namun harus tetap waspada dan siap jika akan terjadi perang. Konflik Wanabaya berada dalam dua kekuatan yang searah sama kuat, atau berada dalam valensi positif-positif atau mendekat-mendekat.

Pambayun jujur ia adalah putri raja Mataram


Wanabaya


Marah, namun ia mencintai Putri Pambayun

ü  Konflik Wanabaya dengan Panembahan Senapati
Konflik Wanabaya dengan Panembahan Senapati sebenarnya terjadi dari awal cerita, yaitu Panembahan Senapati ingin menguasai Mangir, namun pasukannya berhasil dikalahkan oleh Wanabaya. Saat Wanabaya dan Putri Pambayun beserta prajurit Mangir dijebak agar pergi ke Mataram, terjadi perang. Wanabaya menerobos masuk istana Mataram untuk membunuh sendiri Panembahan Senapati, namun ia ditipu oleh Tumenggung Pringgalaya yang mengaku sebagai Panembahasn Senapati. Konfliknya berlangsung singkat, saat Wanabaya bingung mengalihkan pandangan dari Tumenggung Pringgalaya ke Panembahan Senapati. Ia dibunuh oleh Pangeran Purbaya. Selesailah konflik Wanabaya, yang berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.

Menerobos Mataram untuk membunuh Panembahan Senapati


Wanabaya

Tumenggung Pringgalaya mengaku sebagai Panembahan Senapati

Ø  Konflik Baru Klinting
Baru Klinting mempunyai konflik yang berawal dari kerajaan Mataram. Baru Klinting ingin mempertahankan Mangir sebagai Perdikan. Namun Panembahan Senapati, raja Mataram ingin menguasai Mangir untuk memperluas daerah kekuasaannya. Ia melakukan berbagai cara untuk menaklukkan Mangir, seperti mengirimkan para telik Mataram untuk memata-matai Mangir. Sebisa mungkin Baru Klinting waspada pada setiap orang asing yang datang ke Mangir, namun akhirnya konflik ini selesai dengan kemenangan Mataram atas Mangir dalam perang di kraton Mataram. Konflik Baru Klinting berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.

Mempertahankan Mangir sebagai perdikan

Baru
Klinting

Panemabahan Senapati ingin menguasai Mangir

Ø Konflik Panembahan Senapati
Panembahan Senapati memiliki konflik yang muncul karena latar belakang cerita drama ini, yang berawal dari runtuhnya Kerajaan Majapahit dan tak ada pusat kekuasaan di Jawa. Dalam dirinya muncul dua daya yang sama kuat, yaitu keinginannya untuk mendapatkan kekuasaan tertinggi atau menjadi raja tunggal di Jawa, disisi lain Wanabaya dan Baru Klinting sangat kuat mempertahankan Perdikan Mangir. Konfliknya selesai dengan kemenangannya atas Perdikan Mangir dengan cara kotor, ia memerintahkan anaknya menjadi mata-mata, namun anaknya menjadi memusuhinya, karena cinta anaknya kepada Wanabaya panglima perdikan Mangir. Konflik Panembahan Senapati berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.

Menjadi raja tunggal di Jawa

Panembahan
Senapati
Baru Klinting dan Wanabaya mempertahankan Mangir

Ø  Konflik Putri Pambayun
ü  Konflik Putri Pambayun dengan Wanabaya.
Konflik Putri Pambayun dengan Wanabaya terjadi ketika Putri Pambayun hendak jujur mengenai identitasnya sebagai putri raja Mataram, dan menyampaikan perintah ayahnya untuk mengajak Wanabaya ke Mataram. Disisi lain, ia takut Wanabaya marah atas kejujurannya, karena perihal permusuhan Mangir dan Mataram. Konflik ini selesai ketika Putri Pambayun telah jujur pada Wanabaya, awalnya Wanabaya sangat marah karena kenyataan ia menikahi putri dari musuhnya sendiri. Namun ia tak bisa memungkiri ia mencintai Putri Pambayun dan menjadikannya kurang waspada pada orang-orang asing yang muncul disekitarnya. Konflik Putri Pambayun berada dalam dua kekuatan yang bertentangan arah sama kuat, atau berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat menjauh.

Jujur pada Wanabaya

Putri
Pambayun

Wanabaya akan marah dan menolaknya

ü  Konflik Putri Pambayun dengan Panembahan Senapati.
Konflik Putri Pambayun erat hubungannya dengan konlik ayahnya, Panembahan Senapati yang merupakan Raja Mataram. Berawal dari ayahnya yang memerintahkannya untuk menjadi mata-mata, menggoda Panglima Mangir Wanabaya sebagai strategi mengalahkan Mangir. Dalam dirinya muncul dua daya yang saling bertentangan arah dan kuat. Dia berada dalam keadaan rumit, yaitu ia harus menepati janji pada ayahnya untuk membawa Wanabaya ke Mataram setelah menikah, namun ia takut Wanabaya mati dibunuh ayahnya jika ia membawanya ke Mataram, karena ia sangat mencintai suaminya walaupun ia panglima Mangir yang merupakan musuh ayahnya. Konfliknya selesai saat Wanabaya setuju ke Mataram bersama para prajurit Mangir untuk memenuhi permintaan Panembahan Senapati dan akhirnya Wanabaya dibunuh disana. Putri Pambayun berbalik membenci ayahnya dan hanya bisa meratapi suaminya. Konflik Putri Pambayun berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat- menjauh. 

Menepati janji pada ayahnya

Putri
Pambayun

Wanabaya dibunuh ayahnya

Ø Konflik Tumenggung Mandaraka
ü  Konflik Tumenggung Mandaraka dengan Putri Pambayun
Konflik Tumenggung Mandaraka terjadi ketika ia dan Putri Pambayun masih menyamar menjadi orang desa di Perdikan Mangir. Semua orang Mataram sudah terlebih dulu kembali ke Mataram. Tinggal ia dan Putri Pambayun. Ia memperingatkan Putri Pambayun agar menepati janji pada Panembahan Senapati untuk membawa Wanabaya ke mataram setelah tiga kali tigapuluh hari lamanya Putri Pambayun menikah dengan Wanabaya. Namun Putri Pambayun terus membantah peringatan itu. Ia merasa didustai oleh Tumenggung Mandaraka tentang Wanabaya, sehingga ia jatuh cinta pada Wanabaya saat pertama bertemu. Kini ia malah mencintai Perdikan Mangir pula, sehingga ia enggan menepati janji pada ayahnya. Konflik ini selesai saat Tumenggung Mandaraka dengan tegas memperingatkan Putri Pambayun, lalu meninggalkan Mangir dengan membawa kabur kuda Wanabaya. Konflik Tumenggung Mandaraka ini berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.

memperingatkan Putri Pambayun

Tumenggung
Mandaraka

Putri Pambayun menolak diperingatkan


ü  Konflik Tumenggung Mandaraka dengan Ki Ageng Pamanahan
Konflik Tumenggung Mandaraka ini terjadi ketika ia telah kembali dari Perdikan Mangir ke Mataram. Saat Para tetinggi Mataram menunggu kedatangan Wanabaya dan Putri Pambayun serta para prajurit Mangir, ia berdialog dengan Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senapati soal Mangir. Pada hari ini, Mataram berencana membunuh Wanabaya untuk menghancurkan Mangir. Tumenggung Mandaraka menyarankan Pembunuhan Wanabaya, demi takhta yang akan didapat Panembahan Senapati. Namun Ki Ageng Pamanahan ragu atas usulan tersebut. Ia ingin rencana tersebut dibatalkan demi cucunya Pambayun dan suaminya Wanabaya. Konflik ini selesai saat Ki Ageng Pamanahan sedikit-demi sedikit menyetujui rencana pembunuhan Wanabaya demi kejayaan Mataram. Konflik Tumenggung Mandaraka ini berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.

 Ingin Wanabaya mati

Tumenggung
Mandaraka

Ki Ageng Pamanahan ingin cucunya dan Wanabaya selamat

Ø  Konflik Demang Jodog
Konflik Demang Jodog ada dalam diri Wanabaya. Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan tandak yang tidak jelas asal usulnya. Demang Jodog membenarkan tingkah Wanabaya, karena dia menganggap Wanabaya berhak bersuka ria setelah memenangkan perang. Namun ternyata Wanabaya tak sekedar bersuka, ia bermaksud menikahi penari itu dan membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting dan para demang. Konflik ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru Klinting dan para demang untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan terbelah antara Adisaroh dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Jodog ini berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.

 Menyetujui Wanabaya berhak bersuka setelah perang

Demang
Jodog

Wanabaya ingin menikahi penari bernama Adisaroh

Ø  Konflik Demang Patalan
Konflik Demang Patalan ada dalam diri Wanabaya. Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan tandak yang tidak jelas asal usulnya. Demang Patalan tidak menyukai tingkah Wanabaya. Apalagi ternyata Wanabaya tak sekedar bersuka, ia bermaksud menikahi penari itu dan membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting dan para demang. Konflik ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru Klinting dan para demang untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan terbagi antara Adisaroh dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Patalan ini searah dan sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.

 Wanabaya mendatangkan rombongan tandak yang tidak jelas
asal- usulnya


Demang
Patalan

Wanabaya ingin menikahi penari bernama Adisaroh

Ø  Konflik Demang Pajangan
Konflik Demang Pajangan ada dalam diri Wanabaya. Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan tandak yang tidak jelas asal usulnya. Demang Pajangan tidak menyukai tingkah Wanabaya. Apalagi ternyata Wanabaya tak sekedar bersuka, ia bermaksud menikahi penari itu dan membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting dan para demang. Demang Pajangan takut Wanabaya akan terbelah hatinya antara perang dan Adisaroh. Konflik ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru Klinting dan para demang untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan terbagi antara Adisaroh dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Pajangan ini searah dan sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.

Wanabaya ingin menikahi Adisaroh

Demang
Pajangan
Tak ingin Wanabaya terbelah perhatiannya antara perang dan Adisaroh

Ø  Konflik Demang Pandak
Konflik Demang Pandak ada dalam diri Wanabaya. Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan tandak yang tidak jelas asal usulnya. Demang Pandak tidak suka karena Wanabaya hanya bersuka sendiri dengan Adisaroh si penari. Apalagi ternyata Wanabaya tak sekedar bersuka, ia tak bisa mengendalikan diri dekat Adisaroh, ia bermaksud menikahi penari itu dan membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting dan para demang. Demang Pandak takut Wanabaya akan terbelah hatinya antara perang dan Adisaroh. Konflik ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru Klinting dan para demang untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan terbagi antara Adisaroh dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Pandak ini searah dan sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.

Wanabaya bersuka sendiri dengan Adisaroh

Demang
Pandak

Wanabaya tak bisa kendalikan diri dekat dengan Adisaroh

Ø  Konflik Pangeran Purbaya
Konflik Pangeran Purbaya ini terjadi saat para tetinggi Mataram menunggu kedatangan Wanabaya dan Putri Pambayun serta para prajurit Mangir, ia berdialog dengan Ki Ageng Pamanahan, nenendanya soal Mangir. Hari ini, pangeran Purbaya diperintahkan membunuh Wanabaya, namun ia ragu karena Wanabaya adalah adik iparnya sendiri. Sedangkan Ki Ageng Pamanahan menyuruhnya melaksanakan tugasnya itu demi sembah bakti pada ayahnya Panembahan Senapati atau ia tidak akan mengakuinya sebagai cucu lagi. Konflik ini selesai saat Pangeran Purbaya akhirnya membunuh Wanabaya demi kejayaan Mataram. Konflik Pangeran Purbaya ini berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.

 Ragu diperintahkan membunuh Wanabaya

Pangeran
Purbaya

Tak diakui cucu oleh Ki Ageng Pamanahan jika tugas tak dilaksanakan

5.      Latar/setting
Setiap cerita pasti punya latar, baik latar tempat, waktu, lingkup sosial maupun suasana. Latar cerita ada yang secara jelas diterangkan oleh pengarang, ada juga yang tak begitu jelas. Dalam cerita drama Mangir terdapat latar sebagai berikut:
a.      Latar Tempat
Ø  Di dalam ruangan
Latar tempat di ruangan dijelaskan oleh pengarang dalam pembukaan pada babak pertama dan ketiga. Latarnya sebagai berikut:
-       Pada permulaan cerita di babak pertama, latar tempat yaitu di pendopo Perdikan Mangir, dijelaskan oleh pengarang dalam kutipan berikut:
Setting: Pendopo Perdikan Mangir, di bawah soko-soko guru terukir berwarna ( polichromed), dilengkapi dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu. Di atas meja berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru berdiri sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak berdiri padanya. Latar belakang adalah dinding rumah-dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu berukir dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong. (Toer, 2000: 2)

-       Pada permulaan cerita di babak ketiga, latar tempat yaitu di Balariung kraton Mataram, dijelaskan oleh pengarang seperti berikut:
Setting: Balariung kraton Mataram, di samping takhta terdapat kursi kayu biasa. (Toer, 2000: 79)



Ø  Di luar ruangan
Latar tempat di luar ruangan dijelaskan oleh pengarang dalam pembukaan babak kedua, latarnya di taman bunga di samping rumah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Dijelaskan oleh pengarang seperti berikut:
Setting: Taman bunga di samping rumah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya Di atas tanah yang ditinggikan 20 cm, ditahan dengan papan, berdiri sebatang pohon manga besar, dikelilingi bangku-bangku panjang dari kayu. Latar belakang: samping rumah yang dihias dengan sangkar-sangkar burung dan ayam aduan. (Toer, 2000: 40 )

b.      Latar Waktu
Latar waktu tidak dijelaskan secara tersurat oleh pengarang dalam naskah, tapi setidaknya dapat ditentukan, tiga gambaran waktu, yaitu malam, pagi, dan siang.
Ø  Babak pertama
Pada babak pertama ini dapat diterapkan latar waktu malam, latar tempat pada babak ini yaitu di pendopo perdikan Mangir. Pada babak ini, Wanabaya sedang menari dengan Adisaroh, seorang penari dari rombongan tandak untuk merayakan pesta kemenangan Mangir mengusir prajurit Mataram dalam perang. Pesta biasanya dilaksanakan malam hari, jadi dapat diperkirakan latar waktunya adalah malam hari. Disini juga diterangkan bahwa mereka belum lama pulang dari perang, yang ikut menguatkan latar waktu malam. Tergambarkan dari dialog 117-128:
DEMANG PATALAN          : Heran aku Klinting, belum setengah hari kau tinggalkan garis depan, pesta panen telah selesai kau persiapkan.
DEMANG JODOG     : Diawali pesta ini dengan tandak di Balai Perdikan. Luarbiasa, tak pernah terjadi sebelumnya.
DEMANG PAJANGAN: Semua kita telah perang. Semua punya hak untuk bersuka. Juga kau, Klinting.
Petikan dialog diatas menjelaskan bahwa mereka belum lama pulang dari medan perang, dan belum setengah hari pulang dari medan perang telah diadakan pesta di Perdikan Mangir, dapat diterka bahwa pesta diadakan pada malam hari.

Ø  Babak kedua
Pada babak kedua ini, dapat diterapkan latar waktu pagi. Latar tempat pada babak ini yaitu di taman bunga samping rumah Ki Wanabaya. Yang memperkuat latar waktu pagi ialah ketika Tumenggung Mandaraka datang menghampiri Putri Pambayun di taman membawa cangkul kayu, seolah ia hendak bekerja. Kemudian saat Suriwang bertanya Ki Ageng Mangir sudah berangkat perang atau belum, dapat diterka bahwa peperangan akan dimulai pagi, bukan malam atau sore hari. Terjelaskan dari petikan dialog berikut:
TUMENGGUNG MANDARAKA: (memasuki panggung membawa cangkul kayu dengan mata berlapis baja, berdiri pada suatu jarak di hadapan Putri Pambayun, meletakkan cangkul di tanah dengan tangan masih memegangi tangkai, mata curiga ditebarkan ke mana-mana). (dialog 397)
SURIWANG      : Nyi Ageng, sudahkah Ki Ageng berangkat? (dialog 486)

Ø  Babak ketiga
Pada babak ketiga ini dapat diterapkan latar waktu pagi dan siang, latar tempat pada babak ini yaitu di Balariung Kraton Mataram. Disini para petinggi kerajaan Mataram berisap menunggu Wanabaya yang akan datang dengan Putri Pambayun. Mereka menganggap hari ini hari pesta, karena Wanabaya akan mengutip kebinasaannya sendiri di Mataram. Tergambar dari petikan dialog berikut:
TUMENGGUNG MANDARAKA   : (melintasi depan takhta menghampiri Ki Ageng Pamanahan). Hari ini hari pesta, hari besar segala, takkan terlupakan sepanjang jaman. Wanabaya akan datang mengutip kebinasaannya sendiri. …………(dialog 662)
Dari petikan dialog diatas, terjelaskan bahwa pagi hari mereka menunggu Mangir ke Mataram. Sedangkan untuk latar waktu siang diterapkan pada adegan Mangir sampai ke Mataram. Terlebih dahulu dijelaskan perjalanan dari Mangir ke Mataram sekitar lima belas ribu langkah kaki, dijelaskan dalam dialog 40-41pada awal babak pertama:
SURIWANG  : Dari Mangir ke Mataram?
KIMONG       : Lima belas ribu langkah.
Jaraknya sekitar lima belas ribu langkah, diawal naskah juga dijelaskan jaraknya 20 km, tidak begitu jauh jika ditempuh dari pagi hari dengan menggunakan kuda, dan prajurit yang berjalan kaki, akan sampai siang hari di Mataram, maka diperkirakan latar waktu siang pada klimaks drama ini, yaitu saat Wanabaya sampai di Mataram dan dibunuh oleh Pangeran Purbaya, maka selesailah perkara perang Mangir dan Mataram.
c.       Latar Sosial
Latar sosial dalam naskah Mangir, dapat ditangkap dari latar tempat yang dijelaskan pada tiap babak, dan beberapa dialog tokoh, namun tidak menjelaskan keseluruhan latar sosial semua tokoh, hanya beberapa tokoh yang terjelaskan latar sosialnya. Berikut gambaran latar sosial tokoh:
1.    Wanabaya
Wanabaya berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, yaitu seorang prajurit, pendekar, panglima perang Mangir, tua perdikan Mangir, tampan dan gagah, ia termahsyur di desanya. Jika dilihat dari segi ekonomi, ia juga berada dalam latar sosial tinggi, dilihat dari penjelasan pengarang dalam menjelaskan setting pada babak kedua.
Setting: Taman bunga di samping rumah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Di atas tanah yang ditinggikan 20 cm, ditahan dengan papan, berdiri sebatang pohon manga besar, dikelilingi bangku-bangku panjang dari kayu. Latar belakang: samping rumah yang dihias dengan sangkar-sangkar burung dan ayam aduan. (Toer, 2000: 40)
            Selain dari penjelasan tentang gambaran tempat tinggal Wanabaya, juga dapat ditangkap melalui dialog, seperti berikut:
WANABAYA: Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh rombongan jadi tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah Wanabaya Muda. Biar bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya. (Toer, 2000: 28)



2.    Baru Klinting
Baru Klinting berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan tetua perdikan Mangir, prajurit, ahli siasat, pemikir dan organistrator di perdikan Mangir. Jika dilihat dari segi ekonomi, ia juga berada dalam latar sosial tinggi, dilihat dari penjelasan pengarang dalam menjelaskan setting pada babak pertama.
Pendopo Perdikan Mangir, di bawah soko-soko guru terukir berwarna ( polichromed), dilengkapi dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu. Di atas meja berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru berdiri sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak berdiri padanya. Latar belakang adalah dinding rumah-dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu berukir dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong. (Toer, 2000: 4)

3.    Putri Pambayun
Putri Pambayun berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia putri permana Panembahan Senapati, raja Mataram dengan Permaisuri. Dia berpikiran masak, Sehingga bisa diprediksi bahwa anak seorang raja berpendidikan.
4.    Panembahan Senapati
Panembahan Senapati berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia raja Mataram. Dari statusnya sebagai raja dapat dilihat bahwa dari segi ekonomi juga ia berada dalam latar sosial tinggi, ia tinggal di kraton Mataram, dijelaskan oleh pengarang saat menjelaskan latar tempat pada babak ketiga.
5.    Tumenggung Mandaraka
Tumenggung Mandaraka atau Ki Juru Martani berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia seorang pujangga dan penasehat kerajaan Mataram, dan kepala rombongan telik Mataram. Dilihat dari statusnya sebagai pujangga dan penasehat, ia memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi, karena tidak mungkin orang yang pendidikannya biasa saja dapat berbahasa ringkat tinggi.
6.    Pangeran Purbaya
Pangeran Purbaya berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan anak pertama Panembahan Senapati dengan Lembayung, putri Ki Ageng Giring. Ia merupakan anak raja, sehingga bisa diprediksi bahwa ia berpendidikan. 
7.    Demang Patalan
Demang Patalan berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala Kademangan Patalan.
8.    Demang Pandak
Demang Pandak berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala Kademangan Pandak.
9.    Demang Jodog
Demang Jodog berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala Kademangan Jodog.
10.                        Demang Pajangan
Demang Pajangan berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala Kademangan Pajangan.

d.      Latar Suasana
Latar suasana dalam naskah Mangir harus dicari dengan hati-hati, apalagi pengarang tidak memberi keterangan bagian adegan-adegan dalam tiap babak, sehingga untuk menganalisisnya harus memperkirakan adegan-adegan dalam tiap babak agar mudah menentukan latar suasananya. Drama ini terdiri dari tiga babak, dan berdasarkan pengamatan dari semua babak, terdapat suasana serius, ricuh, romantic, sedih/haru, bersemangat, kacau, dan tegang. Penjelasan suasana sebagai berikut:

Ø  Babak Pertama
ü  Suasana serius terasa saat adegan Baru Klinting berdialog dengan Suriwang Percakapan mereka serius membicarakan tentang Mataram yang ingin menguasai Mangir untuk kekuasaan tunggal Panembahan Senapati. Karena Panembahan Senapati akan melakukan cara apapun untuk mendapatkan kekuasaan, pernah anaknya sendiri dibunuh karena menghalangi rencananya.
ü  Seasana tegang terasa saat Wanabaya datang menemui para demang gegeduk Mangir dan Baru Klinting bersama penari bernama Adisaroh dan rombongannya dengan maksud meminta ijin untuk menikah. Suasana menjadi ricuh saat Wanabaya tidak bisa mengendalikan diri, ia menyombongkan diri dan berbicara kasar karena keinginannya tak juga mendapat restu dari Klinting, dan juga ditentang oleh para demang.
ü  Suasana haru saat Wanabaya ditanya tentang kesetiannya pada Mangir dengan dikelilingin mata tombak oleh para demang, lalu berjanji setia pada Mangir. Para demang melemparkan tombak den membantu Wanabaya berdiri dan memeluknya. Lalu Baru Klinting mengijinkan Wanabaya menikah dengan Adisaroh.

Ø  Babak Kedua
ü  Suasana haru terasa ketika Putri Pambayun sudah menjadi istri Wanabaya, Putri Pambayun sering melamun karena ia ditagih janji oleh ayahnya untuk membawa Wanabaya ke Mataram, ia takut Wanabaya dibunuh karena ia mencintainya.
ü  Ketika Pambayun berdialog dengan Tumenggung Mandaraka suasana mencekam nampak, karena Pambayun teringat kenangan pahit kelakuan ayahandanya Panembahan Senapati membunuh kakaknya Rangga demi takhta.
ü  Terasa suasana tegang saat Putri Pambayun mengaku pada Wanabaya bahwa ia putri Panembahan Senapati raja Mataram, musuh Mangir. Wanabaya marah padanya, namun berusaha menahan kemarahannya dan terus mengeluh atas kelalaiannya yang tak waspada sehingga bisa tertipu.
ü  Suasana romantis timbul ketika Wanabaya berusaha menerima kenyataan bahwa istrinya Pambayun yang sangat ia cintai adalah anak musuhnya sendiri. Dan mereka berdua saling berjanji untuk tetap bersama meski harus melawan Mataram dan mati disana.
ü  Suasana bersemangat terasa saat Baru Klinting, para demang gegeduk Mangir dan Suriwang sepakat bersama Wanabaya dan Pambayun memenuhi permintaan Panembahan Senapati untuk berkunjung ke Mataram, dan siap jika terjadi perang dan mengorbankan nyawa demi Mangir.

Ø  Babak Ketiga
ü  Suasana tegang terasa dari awal babak ketiga ini, karena peristiwa klimaks ada pada babak ini, saat para petinggi Mataram menunggu kedatangan orang-orang Mangir bersama Putri Pambayun, serta yang sangat mereka harapkan yaitu Wanabaya dan baru Klinting yang akan mengutip kebinasaannya di Mataram.
ü  Suasana senang atau bahagia timbul saat para telik Mataram menyampaikan berita bahwa strategi perang yang direncanakan oleh Tumenggung Mandaraka berjalan lancar, mereka menunggu kedatangan Mangir yang semakin dekat.
ü  Ketika terjadi sedikit kesalahan penabuhan gamelan sebagai perintah penyerangan, membuat suasana kacau nampak, terjadi peperangan di depan kraton Mataram.
ü  Suasana sangat menegangkan saat Wanabaya, Baru Klinting dan Demang Patalan masuk menerobos kraton Mataram, Wanabaya bermaksud untuk membunuh langsung Panembahan Senapati yang merupakan musuh besar Mangir.
ü  Suasana haru timbul saat Wanabaya, Baru Klinting dan Demang Patalan  terbunuh dalam perang dan Putri Pambayun meratapi kematian suaminya Wanabaya dengan sangat menyesal, sehingga ia meminta ayahnya untuk mengantarkannya mengikuti suaminya yang telah mati, dan kekalahan Mangir oleh Mataram mengakhiri cerita ini.
6.      Dialog
Gaya mencipta dialog setiap pengarang naskah drama tentunya berbeda satu sama lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh banyak faktor dalam proses penciptaannya. Dalam naskah Mangir ini banyak bentuk dialog yang mengandung gaya bahasa kiasan. Berikut gaya bahasa kiasan yang digunakan pengarang:
-       Simile, yaitu persamaan yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain. Biasanya ditandai dengan kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana dan sebagainya.
SURIWANG         : Ai-ai-ai tak bisa lain. Segala apa yang baik untuk Suriwang, lebih baik lagi untuk Klinting, laksana kebajikan menghias wanita jelita, laksana bintang menghias langit lebih. Lebih baik lagi untuk Wanabaya Ki Angeng Mangir. (dialog 4)

BARU KLINTING           : Hati dalam dadanya compang-camping Suriwang, seperti sayap elang tua. (dialog 57)

SIRIWANG          : Takkan aku lupakan, Klinting, raja dan telik laksana celeng dengan penciumannya. (dialog 71)

BARU KLINTING           : Kau masih seperti di medan-perang, masih merah seperti kepiting panggang. (dialog 86)

DEMANG JODOG : Dan masih menari dia di sana seperti gila, laksana merak jantan, kembangkan bulu kejantanan dan ketampanan, mengigal dan menggereki si Adisaroh penari. Patalan tidak setuju. (dialog 97)

WANABAYA      : Kalian melongok seperti melihat naga. Mata kalian pancarkan curiga dan hati tak suka. Katakana, siapa tak suka Wanabaya menggandeng perawan jelita. Katakan, ayoh katakana siapa tidak suka. (dialog 184)

DEMANG PANDAK : Bersahut-sahut seperti burung di pagi hari. (dialog 244)

BARU KLINTING           : Patalan takkan dilanda Mataram dalam sebulan ini. Lakumu seperti tertimpa kebakaran. (dialog 270)

BARU KLINTING           : Memalukan, seorang panglima, karena kecantikan perawan telah relakan perpecahan. Berapa banyak perawan cantik di atas bumi ini? Setiap kau tergila-gila seperti seekor ayam jantan, tahu sarang tapi tak kenal kandang. (dialog 297)

WANABAYA      : Suaranya yang berubah, hati dalam dadanya tetap utuh seperti laut kidul. (dialog 312)

TUMENGGUNG MANDARAKA : Bukankah darah satria tak patut diperingatkan? Dan janji ditepati seperti matari pada bumi setiap hari? (dialog 401)

TUMENGGUNG MANDARAKA : (memasuki panggung membawa cambuk kuda). Siapa tega tengahi kebahagiaan dua merpati, rukun seia-sekata seperti gigi dengan gusinya, laksana tangan dengan jari-jarinya………………..(dialog 483)

Penggunaan kata laksana dan seperti pada petikan dialog diatas menandai adanya penggunaan gaya bahasa simile, yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
-       Metafora, yaitu analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tapi dalam bentuk yang singkat.
DEMANG PATALAN      : Dia lupa, semua membikin dia jadi Tua Perdikan dan panglima perang. Sendiri, Wanabaya taka da arti, sebutir pasir berkelap-kelip sepi di bawah matari. (dialog 198)

WANABAYA       : …………………………………………………………………….
(Pada Putri Pambayun) Sejak detik ini kau tinggal di sini, jadi rembulan bagi hidupku, jadi matari untuk rumahku. (dialog 247)

        Penggunaan kata-kata atau frase yang bercetak tebal dan miring dalam petikan dialog diatas digunakan untuk memperbandingkan sesuatu secara langsung dalam bentuk singkat.

-       Personifikasi, yaitu menggambarkan benda-benda mati atau yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
BARU KLINTING           : Dengan mulutnya yang berdusta, hatiya setia mengabdi hanya pada diri sendiri. (dialog 53)
WANABAYA      : ……………………………………………………………………..
                               Dara Adisaroh hanya untukku seorang. Bumi dan langit tak bisa ingkari. ………………….(dialog 247)

WANABAYA      : (tertawa). Makin hari makin pelamun, adikku kekasih, membikin hati kakang meraba-raba. (dialog 366)


TUMENGGUNG MANDARAKA : ……………………………………………………
                               Kelak dikemudian hari, bila orang bicara tentang Mataram, dia akan berkata: Mataram? Itulah kerajaan bikinan Ki Juru Martani, Tumenggung Mandaraka, pujangga dan penasihat Panembahan Senapati. Inilah aku. Kerajaan tenggelam, kerajaan bangun karena tanganku. (meninggalkan panggung). (dialog 483)

Kalimat yang dicetak miring diatas menjelaskan adanya penggunaan gaya bahasa personifikasi,  yaitu menggambarkan benda-benda mati atau yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Selain gaya bahasa kiasan seperti simile, metafora, dan personifikasi, juga ada bentuk dialog puitis, yaitu yang memperhitungkan efek bunyi atau perhitungan rima, gaya puisi mencuat ke permukaan, sehingga bahasa yang muncul seperti bukan bahasa sehari-hari, melainkan bahasa tulis yang perlu dilisankan. Seperti pada petikan dialog berikut:
BARU KLINTING   : Mereka yang telah teteskan keringat pada bumi ini, berhak berpesta syukur untuk Sri Dewi. Tak pernah ada tahun lewat sejak leluhur pertama buka perdikan ini. (dialog 118)
DEMANG JODOG   : Klinting!- Seorang perjaka tampan dan bergaya, menang perang berlepas brahmacarya, lelah perang baru pulang dari medan – Apakah dia tidak berhak bersuka? (dialog 123)
BARU KLINTING   : Untuk bersuka sekedarnya tak ada celanya. Dia berhak sebagai panglima, telah selamatkan kalian semua, kedemangan dan semua rakyatnya. (dialog 154) 
WANABAYA           : (Masih tetap menggandeng Putri Pambayun). Kalian terlongok-longok seperti melihat naga. Mata kalian pancarkan curiga dan hati tak suka. Katakana, siapa tak suka Wanabaya datang menggandeng perawan jelita. Katakan, ayoh katakana siapa tidak suka. (dialog 184)
DEMANG PATALAN : …………………………………………………………………...
                                    Sendiri, Wanabaya tak ada arti, sebutir pasir berkelap-kelip sepi dibawah matari. (dialog 198)
WANABAYA           : Kau melamun, adikku kekasih. Apakah tersinggung hatimu kularang menenun dan mengantih? (bersdiri dihadapan Putri Pambayun). (dialog 358)
PUTRI PAMBAYUN            : Kakang, diriku merasa hidup di sorga, tanpa duka tanpa nestapa, setiap hari kesukaan semata. (dialog 365)
Pada bagian-bagian tertentu usaha memperhitungkan rima itu menghilang. Pada adegan perdebatan, pengarang menghilangkan efek rima tersebut dan membuat bentuk dialog ping-pong demi terciptanya tempo yang agak cepat. Seperti pada petikan dialog 185-191 berikut:
DEMANG PATALAN            : (Menghampiri Wanabaya). Sungguh tidak patut, seakan perdikan tak bisa berikan untukmu lagi.
WANABAYA                        : Siapa lagi akan katakana tidak patut?
DEMANG PANDAK                                    : Tidak patut untuk seorang panglima.
DEMANG JODOG                : Semula kukira sekedar bersuka.
DEMANG PAJANGAN        : Benar Patalan, kalau berkembang begini rupa.
WANABAYA                        : Juga akan kau katakana tidak patut?
DEMANG PANDAK           : Juga tidak patut untuk seorang Tua Perdikan.

Dalam menciptakan dialog, pengarang mempertimbangkan unsur estetis dan juga komunikatif. Hal ini berarti bahwa naskahnya tidak semata-mata mementingkan keindahan bahasa, tetapi juga tidak semata-mata seperti percakapan biasa, namun mampu memadukan keduanya, antara unsur estetis dan komunikatif. Agar maksud dari dialog-dialog tersebut sampai pada pembaca atau penonton pertunjukan. 

7.      Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang pada pembaca dari karyanya, agar pembaca dapat memikirkan, meresapi, menghayati, memaknai atau bahkan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Amanat yang disiratkan pengarang dalam naskah drama Mangir yang dapat ditangkap yaitu:
ü  Harus teguh pada pendirian.
Ketika Panembahan Senapati ingin menaklukkan Mangir untuk kejayaan Mataram, Baru Klinting teguh mempertahankan Mangir agar tetap menjadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan. Ia mengatakan semua berhak atas segala dan tak perlu menyembah yang lain.

ü  Harus selalu hati-hati dan waspada pada orang yang belum kita kenal betul.
Mangir kalah dalam perang melawan Mataram karena  kurang waspadanya Wanabaya dalam memilih istri, yang ternyata merupakan anak musuh Mangir sendiri. Sehingga Mangir terjebak dalam sebuah pertemuan keluarga yang menyebabkan Wanabaya sendiri dan baru Klinting mati dan menjadikan Mangir kalah dalam perang. Dari hal tersebut, kita mendapatkan pelajaran bahwa kita harus berhati-hati dan wapada pada orang yang belum kita kenal betul. 
ü  Harus bijaksana dalam memutuskan suatu perkara.
Baru Klinting bijaksana dalam memutuskan suatu perkara, ketika Wanabaya ingin menikah dengan Pambayun, baru Klinting tak langsung memberi restu, ia bermusyawarah dengan para demang untuk memutuskan perkara tersebut hingga mendapatkan penyelesaian terbaik.
ü  Harus menjunjung tinggi kejujuran.
Seperti yang dilakukan Putri Pambayun, ia jujur pada Wanabaya tentang identitasnya meski ia takut Wanabaya marah padanya. Bebannya jadi hilang setelah ia jujur bahwa ia adalah putri Panembahan Senapati, yang merupakan raja Mataram musuh Mangir.
ü  Harus menyayangi orang dengan tulus.
Wanabaya menyayangi istrinya Pambayun dengan tulus, saat istrinya mengandung. Wanabaya sangat memperhatikan kesehatan dan kebahagiaan istrinya.
ü  Harus menerima kenyataan walaupun sulit.
Seperti yang dilakukan Wanabaya ketika mendengar kejujuran bahwa Istrinya Putri Pambayun merupakan anak musuhnya sendiri, namun ia menerimanya karena peasaan cintanya pada istrinya.
ü  Harus berbahasa dan berprilaku sopan santun.
Putri Pambayun sangat sopan dalam tutur kata dan perbuatan, saat berbicara dengan siapapun ia menggunakan bahasa yang sopan dan santun, karena ia terdidik. Dalam keadaan marahpun ia masih menggunakan bahasa yang sopan.
ü  Harus setia pada pasangan kita.
Ketika Baru Klinting bersama para demang dan Wanabaya berniat untuk memenuhi undangan raja Mataram, mereka bersiap jika nanti akan terjadi perang. Putri Pambayunpun siap mati bersama Wanabaya suaminya, walaupun di tangan ayahnya raja Mataram.
ü  Harus menggunakan cara yang baik untuk mendapatkan keinginan.
Panembahan Senapati, raja Mataram menggunakan srategi yang licik unduk mendapatkan kekuasaan. Sehingga ia memenangkan perang melawan Mangir. Kekuasaan yang didapatnya terasa kurang sempurna karena ia menggunakan cara yang licik. Kekuasaan yang diinginkan sebenarnya akan terasa sempurna jika kita menggunakan cara yang baik dalam proses pemerolehannya.















BAB IV
SIMPULAN
Berdasarkan analisis drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer di atas, penulis dapat menyimpulkan:
1.        Naskah drama ini merupakan drama sejarah, karena ditulis pengarang berdasarkan cerita tutur yang masih diingat oleh masyarakat Jawa Tengah. Berdasarkan isinya, naskah ini termasuk naskah tragedi. Naskah ini adalah salah satu naskah serius, keseriusan itu terlihat dari tema yang diangkat dan dialog-dialog yang ada di dalamnya. Tema dari naskah atau permasalahan yang diangkat oleh pengarang tentang strategi ekspansi. Naskah ini mengajak para pembaca untuk membuka mata mengenai konflik-konflik dibalik perebutan kekuasaan dan strategi yang digunakan untuk memperluas daerah kekuasaan.
2.        Naskah ini beralur konvensional, dengan berturut-turut pengarang membangun sebuah cerita dimulai dari eksposisi, insiden permulaan, penanjakkan laku, klimaks, penyelesaian dan keputusan yang disajikan dengan teratur.
3.        Tokoh dalam naskah ini dihadirkan pengarang dan diberi penjelasan diawal, agar orang yang hendak membacanya tidak kebingungan mengenai kedudukan tokoh-tokoh dalam memahami carita, karena didalamnya terdapat cukup banyak tokoh. Untuk perwatakannya, pengarang tidak terlalu menonjolkan watak dari tiap tokohnya. Hanya tokoh-tokoh yang dianggap penting digambarkan secara lebih jelas daripada tokoh yang berkedudukan sebagai tokoh pembantu. Berikut tokoh-tokoh dan perwatakannya:
Ø  Tokoh Protagonis
-            Wanabaya. Ia adalah Ki Ageng Mangir, tua Perdikan Mangir, pemuda, + 23 tahun, prajurit, pendekar, panglima Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan gagah. Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya saat pertama muncul, ia digambarkan sedang mengalami gejolak cinta pada Putri Pambayun. Ia sombong, tidak bisa mengendalikan diri, biasanya ia rendah hati, namun menjadi kasar dan pongah, omongannya tekebur dan menyinggung. Perubahan sikap Wanabaya tidak terjadi lama, ia memang teguh mempertahankan keinginannya, namun ia menyadari kesalahannya. Ia sedikit demi sedikit kembali menjadi Wanabaya yang rendah diri, dan menjadi Panglima yang setia pada Mangir. Setelah menikah Wanabaya menjadi suami yang penyayang, perhatian, pengertian dan setia.
Ø  Tokoh Antagonis
-            Panembahan Senapati, Raja Pertama Mataram, + 45 tahun. Ia adalah raja yang ambisius. Ia memakai cara-cara kotor untuk dapat memenuhi keinginannya menjadi raja tunggal di Jawa. Ia sadis, kejam, keji, licik dan rela mengorbankan atau membunuh siapapun yang menghalangi kehendaknya.
-            Putri Pambayun ialah putri pertama Panembahan Senapati dengan permaisuri, + 16 tahun, telik Mataram. Ia berpikiran masak, Setelah menikah dengan Wanabaya, Pambayun yang tadinya penurut pada ayahnya mulai merasa bahwa ia benar-benar mencintai suaminya, dan mulai menyadari kekejaman ayahnya. Dengan bijaksana ia mengambil keputusan untuk membela Perdikan Mangir dan berbakti dan setia kepada suaminya meski harus melawan ayahnya.
-            Tumenggung Mandaraka ialah pujangga dan penasihat kerajaan Mataram, + 92 tahun, kepala rombongan telik Mataram. Sebagai telik, ia merupakan penipu ulung, pandai berdusta, licik, penghasut dan pendendam, ia juga kejam seperti Panembahan Senapati. Ia tak hanya berbohong pada warga Perdikan Mangir, tetapi juga pada Pambayun, sesama telik. Ia juga kejam seperti Panembahan Senapati, Ia penasihat yang kejam dan licik, karena perkataannya selalu menghasut, Ia ingin Wanabaya binasa.
Ø  Tokoh Tritagonis
-            Baru Klinting ialah tetua Perdikan Mangir, pemuda, + 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir, organisator. Baru Klinting adalah orang yang tegas baik dalam perbuatan dan perkataannya, ia juga bijaksana dalam memutuskan sesuatu. Baru Klinting digambarkan sebagai sosok yang mempunyai visi dan misi kedepan. Ia optimis dan percaya diri pada kemampuannya, ia tahu strategi untuk melawan musuh. Ia selalu waspada pada setiap gerik yang mencurigakan.
Ø  Tokoh Pembantu
-            Demang Pajang ialah Kepala Kademangan Pajang, + 42 tahun, Demang Patalan ialah Kepala Kademangan Patalan , + 35 tahun, Demang Pandak ialah Kepala Kademangan Pandak, + 46 tahun, dan Demang Jodog ialah Kepala Kademangan Jodog, + 55 tahun. Watak mereka  tidak terjelaskan secara keseluruhan, karena mereka hanya muncul sebagai tokoh yang mempertajam konflik dan ikut menyelesaikan konflik. Namun dapat ditangkap dari dialog, mereka sangat peduli dan setia kepada Perdikan Mangir. Mereka selalu waspada pada setiap orang asing yang datang ke Mangir.
-            Suriwang ialah pandai tombak, + 50 tahun, pengikut fanatik Baru Klinting. Ia patuh pada Baru Klinting, ia juga teliti dan waspada pada setiap gerak-gerik yang mencurigakan, menandakan ia sangat setia pada Perdikan Mangir. Ia juga rela mati dalam perang untuk Mangir.
-            Ki Ageng Pamanahan ialah Ayah Panembahan Senapati, + 90 tahun. Ia menyanyangi cucunya Putri Pambayun dan menginginkan perdamaian dengan Wanabaya, karena Wanabaya adalah ayah dari cicitnya kelak. Ia tidak setuju dengan sikap Panembahan Senapati yang licik. Namun setelah ia menerima komunikasi persuasi dari Tumenggung Mandaraka, yang meyakinkannya bahwa Wanabaya hanya akan menghalangi Mataram untuk jaya, ia menjadi tak acuh pada Pambayun karena Pambayun berbalik membela Mangir. Karakter Ki Ageng Pamanahan tiba-tiba berubah dari penyayang menjadi pembenci.
-            Pangeran Purbaya ialah anak pertama Panembahan Senapati, + 20 tahun. Tumenggung Jagaraga ialah anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 35 tahun. Tumenggung Pringgalaya ialah anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 45 tahun. Kimong ialah telik Mataram, + 30 tahun. Watak mereka tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya sebentar dan tidak begitu banyak dialog yang dilontarkan. Mereka hanya membantu dalam jalannya cerita.
-            Pencerita (troubadour). Wataknya tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk membacakan cerita.
-            Beberapa prajurit Mataram, watak mereka tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk membantu jalannya cerita.

4.        Konflik yang terjadi di dalam naskah ini terjadi antara pihak Perdikan Mangir dengan Kerajaan Mataram. Konflik yang ada dalam cerita Mangir ini menyelimuti tokoh-tokohnya, yaitu:
Ø  Konflik Wanabaya
-            Konflik Wanabaya dengan Baru Klinting, berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.
-            Konflik Wanabaya dengan para demang pengikut Perdikan Mangir, berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.
-            Konflik Wanabaya dengan Putri Pambayun, berada dalam valensi positif-positif atau mendekat-mendekat.
-            Konflik Wanabaya dengan Panembahan Senapati, berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Ø  Konflik Baru Klinting dengan Panembahan Senapati berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.
Ø  Konflik Panembahan Senapati dengan Wanabaya berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Ø  Konflik Putri Pambayun
-            Konflik Putri Pambayun dengan Wanabaya, berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
-            Konflik Putri Pambayun dengan Panembahan Senapati, berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat- menjauh.
Ø  Konflik Tumenggung Mandaraka
-            Konflik Tumenggung Mandaraka dengan Putri Pambayun, berada pada valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
-            Konflik Tumenggung Mandaraka dengan Ki Ageng Pamanahan, berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Ø  Konflik Demang Jodog ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Ø  Konflik Demang Patalan ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
Ø  Konflik Demang Pajangan ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
Ø  Konflik Demang Pandak ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
Ø  Konflik Pangeran Purbaya dengan Ki Ageng Pamanahan, berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
5.        Latar/tempat kejadian terjadi di beberapa tempat, diantaranya:
Ø  Latar tempat di ruangan dijelaskan oleh pengarang dalam pembukaan pada babak pertama dan ketiga. Pada babak pertama, latar tempat di pendopo Perdikan Mangir. Pada babak ketiga, latar tempat di Balariung kraton Mataram.
Ø  Latar tempat di luar ruangan dijelaskan oleh pengarang dalam pembukaan babak kedua, latarnya di taman bunga di samping rumah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya.
Ø  Latar waktu tidak dijelaskan secara tersurat oleh pengarang dalam naskah, tapi setidaknya dapat ditentukan, tiga gambaran waktu, yaitu malam pada babak pertama, pagi pada babak kedua, lalu pagi dan siang pada babak ketiga.
Ø  Latar sosial setiap tokoh dalam naskah Mangir tidak semuanya terjelaskan, hanya beberapa tokoh yang terjelaskan latar sosialnya:
-            Wanabaya berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Baru Klinting berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Putri Pambayun berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Panembahan Senapati berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Tumenggung Mandaraka atau Ki Juru Martani berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Pangeran Purbaya berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Demang Patalan berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya
-            Demang Pandak berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Demang Jodog berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-            Demang Pajangan berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya.
Ø  Latar suasana dalam naskah Mangir  yang terdiri dari tiga babak, dan berdasarkan pengamatan dari semua babak, terdapat suasana serius, ricuh, romantic, sedih/haru, bersemangat, kacau, dan tegang.
6.        Dalam naskah Mangir ini banyak bentuk dialog yang mengandung gaya bahasa kiasan seperti simile, metafora, dan personifikasi. Ada bentuk dialog puitis yang memperhitungkan efek bunyi atau perhitungan rima. Pada adegan perdebatan, pengarang menghilangkan efek rima tersebut dan membuat bentuk dialog ping-pong demi terciptanya tempo yang agak cepat.
7.        Banyak amanat yang dapat saya petik dari naskah Mangir ini, seperti pelajaran tentang pengendalian diri, kesetiaan, kesopanan, keikhlasan, kasih sayang, kejujuran, kebijaksanaan, kewaspadaan dan kehati-hatian, serta keteguhan pendirian.




















DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Fadriah, Fifin. 2013. Analisis Novel Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Kuningan: Universitas Kuningan.
Hidayat, Ade. 2014. Laporan Analisis Unsur Intrinsik Drama Syekh Siti Jenar (Babad Geger Pengging). Kuningan: Universitas Kuningan.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muchtar, Achmad. 2013. Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer, Analisis Struktur Karakter dan Tema. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Rafiek, M. 2010. Teori Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT. Rafika Aditama. 
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rosidi, Ajip. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: Pustaka jaya.
Sugianto Mas, Aan. 2012. Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra. Kuningan: Universitas Kuningan.
Sugianto Mas, Aan. 2013. Kajian Prosa Fiksi dan Drama. Kuningan: Universitas Kuningan.
Taylor, Shelley E., et al. 2009. Psikologi Sosial (edisi kedua belas). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Mangir. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Waluyo, Herman J. 2001. Drama ‘Teori dan Pengajarannya’. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Wijono, Sutarto. 2011. Psikologi Industri dan Organisasi: Dalam Suatu Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana.

1 comment:

  1. Kadangpintar: Online Casino | Get Bonus Money for - Kadangpintar
    Kadangpintar 카지노사이트 offers all kinds of entertainment and entertainment from world septcasino renowned designer and renowned designer, K-S-H-B, for you to 온카지노 see the

    ReplyDelete

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2