BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sastra
tidak dibawa malaikat dari langit. Sastra tidak datang begitu saja. Ia lahir
melalui proses pergulatan sastrawan dengan kondisi sosial-budaya zamannya.
Maka, membaca karya sastra hakikatnya membaca keadaan masyarakat dan budaya
yang terungkap dalam karya itu. Jadi, sastra menyimpan pemikiran sastrawannya
juga. ((Siregar, 1920), dalam Fadriah,
2014)
Karya
sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang terdapat di dalam
masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya mengungkapkan
kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan pandangan,
tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi dan imajinasi
pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan. (Sugianto Mas,
2012: 9)
Jika membaca karya sastra hakikatnya adalah membaca
keadaan masyarakat dan budaya yang terungkap dalam karya itu, karena sastra menyimpan
pemikiran sastrawannya yang mengalir dari kenyataan-kenyataan hidup yang mencuatkan
pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi
dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
Maka membaca karya sastra membuat kita belajar tentang kehidupan, namun kita
tidak menyadari betapa banyak manfaat yang kita dapat dari hasil membaca,
sehingga kita kekurangan minat baca, apalagi memperdalam bacaan yang kita baca,
terlepas dari apa saja yang kita baca.
Bentuk
sastra berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian
karangan; pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga
bentuk; puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12 (dalam Sugianto Mas,
2012: 12).
Salah satu bentuk
sastra adalah drama, menurut Aan Sugianto Mas dalam bukunya “Langkah Awal Menuju Apresiasi
Sastra”, mengatakan bahwa drama ialah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya
dialog. Drama mempunyai dua pengertian, yaitu drama sebagai
karya sastra yang berbentuk naskah, dan drama sebagai seni pertunjukan. Kita
akan membahas drama sebagai karya sastra, yang unsur intrinsiknya berupa tema,
alur/plot, konflik, tokoh dan perwatakan, latar, dialog dan amanat.
Shklovsky (1977: 84), dalam (Ratna, 2004: 320)
mengemukakan bahwa sudut pandang, gaya bahasa, dan plot dianggap sebagai
unsur-unsur utama keberhasilan karya sastra, bukan kejadian atau tokoh. Artinya
keberhasilan karya sastra tidak bergantung pada pentingnya suatu kejadian atau
tokoh-tokoh yang diceritakan, tetapi bagaimana sudut pandang, gaya, dan plot
dioperasikan. Kompleksitas sudut pandang, kekayaan gaya bahasa, dan koherensi
plot jelas merupakan jaminan keberhasilan karya sastra.
Jika kita ingin
mengetahui keberhasilan sebuah karya sastra menjadi karya yang bagus, bukan ditinjau
dari subjektivitas kita, kita dapat melihat pendapat Shklovsky bahwa yang
menentukannya ialah sudut pandang, plot dan gaya bahasa. Maka kita perlu
melakukan analisis unsur intrinsik sebuah karya terlebih dahulu untuk
mengetahui keberhasilan karya sastra tersebut. Lebih jauh lagi kita dapat
melakukan kajian unsur ekstrinsiknya juga agar lebih mengapresiasi sebuah
karya.
Penulisan
analisis ini dimaksudkan untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik yang ada pada
naskah drama agar sebuah sebuah drama tak hanya dibaca, namun dapat difahami
isi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya supaya berguna bagi kehidupan
dan dapat dipentaskan sebagai bentuk apresiasi. Naskah drama yang menjadi bahan
analisa saya adalah drama Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa tema dari naskah drama Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer?
2. Bagaimana alur dalam naskah drama Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer?
3. Siapa saja tokoh dan bagaimana perwatakannya
dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
4. Bagaimana konflik yang terjadi dalam naskah
drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
5. Bagaimana latar/setting dalam naskah drama Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer?
6. Bagaimana dialog yang menjadi gaya pengarang Pramoedya
Ananta Toer dalam naskah drama Mangir?
7. Amanat apa saja yang terkandung dalam naskah
drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer?
C.
Tujuan
Berdasarkan perumusan
masalah tersebut, maka tujuan penulisan adalah untuk mengetahui:
1.
Tema
dari naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
2.
Alur
dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
3.
Tokoh
dan bagaimana perwatakannya dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
4.
Konflik yang terjadi
dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
5.
Latar/setting
dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
6.
Dialog
yang menjadi gaya pengarang Pramoedya Ananta Toer dalam naskah drama Mangir.
7.
Amanat
yang terkandung dalam naskah drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
D.
Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini untuk saya selaku penulis, dapat
mengetahui unsur-unsur intrinsik seperti tema, plot, tokoh dan perwatakan,
konflik, latar, dialog dan amanat yang terdapat pada drama Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer, juga mendapatkan pengalaman tentang bagaimana
proses analisis unsur intrinsik yang terdapat pada sebuah naskah drama. Selaku
penulis saya pun mendapatkan ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam drama,
ilmu tentang kehidupan, sejarah, sosial, budaya, dan tentang menulis. Penulisan
laporan ini juga dapat dirasakan manfaatnya oleh pembaca, pembaca mendapatkan
ilmu pengetahuan baru yang terdapat dalam drama, ilmu tentang kehidupan,
sejarah, sosial, budaya secara teoritis setelah membaca analisis drama Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer ini.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
Pengertian
Sastra
Karya seni sebagai ungkapan kreatif
manusia, keberadannya telah menjadi bagian dari kehidupan. Sebenarnya seseorang
dalam menjalani kehidupan, ia mempunyai reaksi emosional yang akan mendorong
manusia untuk menyatakan sikap dan mencantumkan nilai-nilai padanya. Kesemuanya
itu bila kemudian dicurahkan dengan memperhitungkan estetika maka akan berwujud
“karya seni”. Manusia penjelmanya sering disebut “seniman”. Seorang seniman
menciptakan karya seni entah disengaja atau tidak pasti berangkat dari
ide/gagasan dan sikap yang ingin ia sampaikan kepada orang lain.
Dalam menjelmakan sikapnya, seniman
tidak menerjemahkan interpretasinya secara logis, sistematis, dan diuji
kebenarannya seperti ilmuwan menjelmakan rumus-rumus atau teori-teori,
melainkan dituntut pula perenungan, perhitungan yang dalam sewaktu mengolah
media sebagai alat lontaran interpretasinya.
Dilihat
dari media atau alat yang digunakan seniman untuk menjelaskan karyanya, dapat
dibedakan adanya beberapa karya seni. Misalnya seni lukis yang menggunkaan
kanvas, kuas, cat, dan garis sebagai mediaya, seni musik yang menggunakan
alat-alat musik tertentu sebagai medianya, seni tari yang menggunakan gerakan
tangan, kaki, jari, pinggul, mata, dan seni sastra yang menggunakan bahasa
sebagai medianya, jadi yang membedakan satu karya seni dengan karya seni lain
adalah medianya. (Sugianto Mas, 2012: 5)
Korrie
Layun Rampan mengataka bahwa ahasa sebagai media dalam karya sastra tentu saja
bukan bahasa biasa seperti yang digunakan manusia sehari-hari. Melainkan bahasa
yang khas yang telah diproses sedemikian rupa dan terpilih dan menjadi media
yang dapat mewakili pengalaman, pengetahuan, kepekaan, tanggapan, fantasi,
kehendak, cita-cita, dan perasaan penciptanya. Di dalam dirinya selalu timbul
pertanyaan, bagaimana menciptakan bahasa kembali untuk mengungkapkan dunianya.
(Sugianto Mas, 2012: 6)
Secara
etimologi kata sastra, yang berasal
dari bahasa Sansakerta, dibetuk dari akar kata sas dan –tra. Sas mempunyai arti
‘mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk’; sedangkan –tra mempunyai arti ‘alat,
atau sarana’. Karena itu, kata sastra dapat berarti ‘alat untuk mengajarkan
atau buku petunjuk’. Dengan arti ini dalam bahasa Sansakerta dapat dijumpai
istilah Silpasastra yang berarti ‘buku arsitektur’, dan Kamasastra yang berarti
‘buku petunjuk seni bercinta’. Karya sastra mengalir dari kenyataan-kenyataan
hidup yang terdapat di dalam masyarakat. Akan tetapi karya sastra bukan hanya
mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif itu saja, melainkan juga mencuatkan
pandangan, tafsiran, sikap, dan nilai-nilai kehidupan berdasarkan daya kreasi
dan imajinasi pengarangnya, serta kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.
(Sugianto Mas, 2012: 9)
Berdasarkan istilah tentang sasta secara
harfiah, saya menyimpulkan sastra bukan hanya sebuah karya yang berbentuk
huruf, tulisan, atau karangan. Sastra merupakan hasil kegiatan kreatif manusia
yang bermula dari ide/gagasan, atau sikap manusia yang ingin disampaikan kepada
orang lain dengan menggunakan bahasa sebagai medianya, bahasa tersebut terlebih
dahulu diberi bobot makna yang dipilih sedemikian rupa dengan memperhitungkan
nilai estetika, sehingga mampu menyampaikan maksud yang ingin disampaikan
seniman.
B.
Bentuk-Bentuk
Sastra
Bentuk
sastra berarti cara dan gaya dalam penyususan dan pengaturan bagian-bagian
karangan; pola struktural karya sastra. Ke dalamnya dapat digolongkan tiga
bentuk, yaitu puisi, prosa, dan drama. (Panuti Sujiman, 1984: 12 (dalam Sugianto Mas: 2012))
Sutardji Calzoum Bachrie dalam Kredo
Puisi Antologi O Amuk Kapak mengatakan Bila kata dibebaskan, kreatifitas pun dimungkinkan. Karena
kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan
menentukan kemauan dirinya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena
kata yang biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba,
karena kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal
yang tak terduga sebelumnya, yang kreatif. Dan bahwa dalam
puisinya, ia membebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelunggunya
seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan
masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan
gramatika. Menulis puisi bagi Sutardji Calzoum Bachrie adalah membebaskan
kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya
adalah kata, dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi baginya adalah
mengembalikan kata kepada mantera.
Prosa adalah ragam sastra yang dbedakan
dari puisi karena tidak terlalu terikat oleh irama, rima, dan kemerduan bunyi.
Prosa lebih dekat dengan bahasa sehari-hari ((Panuti Sudjiman: 60) dalam
Sugianto Mas: 2013).
Prosa dibagi menjadi dua; prosa
imajinatif dan prosa non-imajinatif. Dalam prosa imajinatif unsur yang paling
kuat adalah bentuk kreativitas mengolah bahasa yang sifatnya imajiner dan dalam
bentuknya pun prosa imajinatif dipengaruhi oleh diksi dan gaya bahasa yang
estetik. Prosa non-imajinatif, dalam hal ini bentuk tulisan cenderung atau
bahkan tidak memperdulikan bagaimana sebuah bahasa diolah menjadi indah. Pada
prosesnya merupakan interaksi yang kaku, karena diikat oleh aturan atau kaidah
penulisan tulisan.
Drama
merupakan salah satu bentuk karya sastra, dalam bentuk wujudnya, drama
merupakan susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama
pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot,
tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun
sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum
dipentaskan dalam sebuah seni pertunjukkan.
C. Drama
Kata drama berasal dari bahasa Yunani
‘draomai’ yang berarti ‘berbuat’. Kata itu muncul saat orang-orang Yunani masih
mempunyai kepercayaan terhadap dewa-dewa. Mereka mempercayai bahwa dewa paling
atas adalah Dewa Zeus. Dewa Zeus mempunyai dua keturunan yang masing-masing
bernama Dewi Apolo dan Dewa Dyonesos. Dewi Apolo adalah dewi kesuburan,
sedangkan Dewa Dyonesos adalah dewa pengrusak atau penghancur.
Apabila saat musim hujan, tanaman subur, dan
binatang berkembang biak dengan baik, dipercayai bahwa pada saat itu Dewi Apolo
sedang turun ke bumi. Sebaliknya apabila musim kering tiba, tanah gersang,
tanaman mati, dan binatang tidak berkembang biak, maka itu pertanda Dewa
Dyonesos sedang turun ke bumi. Berdasarkan
kepercayaan pada peristiwa alam tersebut, maka orang-orang Yunani memerlukan
upacara-upacara ritual dengan maksud mengajukan persembahan kepada dewa mereka.
Pada saat subur mereka menyelenggarakan upacara persembahan rasa terima kasih
pada Dewi Apolo. Mereka ‘kosmos’ (gembira). Kosmos itu sendiri akhirnya menjadi
kata ‘komedi’. Sedangkan pada saat-saat menderita sewaktu menghadapi gejala
alam yang kering kerontang, hujan tidak turun, tanaman mati, dan binatang tidak
berkembang biak, mereka pun menyelenggarakan upacara persembahan pada Dewa
Dyonesos. Upacara ritual yang mereka lakukan adalah mempersembahkan korban
seekor ‘tragos’ atau kambing yang disembelih. Menurut kepercayaan mereka suara
mengembiknya ‘tragos’ saat disembelih mewakili jeritan rakyat seluruh Yunani
yang menandakan permintaan kepada Dewa Dyonesos. Jerit kambing yang disembelih
disebut ‘tragodia’ yang lantas sekarang berkembang menjadi kata tragedi.
Semua upacara ritual itu, terutama upacara kosmos,
mereka ‘draomai’ atau ‘suatu perbuatan’ menirukan gerak-gerik binatang lengkap
dengan kostum kulit binatang yang mereka pakai. Oleh karena itu, istilah
‘perbuatan menirukan sesuatu’ selanjutnya berkembang menjadi kata drama.
Pada saat ini, kata drama berkembang menjadi sebuah
bentuk karya seni. Karya seni tersebut bersumber pada gerak-gerak peniruan yang
dilakukan orang-orang terhadap prilaku orang lain. Bahwa peniruan gerak
tersebut pada akhirnya membentuk cerita dan menjadi sebuah pertunjukan adalah
gejala kreativitas manusia yang selalu berkembang dari masa ke masa. Untuk
lebih jelasnya kita ikuti sumber yang menjelaskan pengertian kata drama
tersebut.
Menurut KBBI, Drama
ialah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan
dan watak melalui tingkah laku (peran) atau dialog yang dipentaskan. Drama juga
berarti cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang
disusun khusus untuk pertunjukan teater.
Menurut Aan
Sugianto Mas dalam bukunya “Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra”, mengatakan
bahwa drama ialah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog. (Sugianto
Mas, 2012: 12)
Sedangkan dalam buku Drama
karya Herman J. Waluyo, drama berarti perbuatan, tindakan atau aksi. Dalam
kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang luas ditinjau apakah drama
sebagai salah satu genre sastra, ataukah sebagai cabang kesenian yang mandiri.
Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi, dan
prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi
antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis, seni
kostum, seni rias dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat tentang drama, pengertian drama
bergantung pada bentuk drama itu sendiri, apakah sebagai karya sastra atau
sebagai karya pentas. Pada dasarnya kedua pengertian tersebut mengarah pada
satu inti, yaitu bentuk drama sebagai cerita yang diharapkan mampu
menggambarkan kehidupan manusia.
D.
Klasifikasi Drama
Klasifikasi drama didasarkan atas jenis
stereotip manusia dan tanggapan manusia terhadap kehidupan. Seorang pengarang
drama dapat menghadapi kehidupan ini dari sisi yang menggembirakan dan
sebaliknya juga dari sisi yang menyedihkan. Dapat juga seseorang memberikan
variasi antara sedih dan gembira, mencampurkan dua sikap itu karena dalam
kehidupan yang nyata, manusia tak selalu sedih dan tak selalu gembira. Karya
yang mampu memadukan dua sisi sikap hidup manusia itu dipandang merupakan karya
yang lebih baik, karena kenyataan hidup yang kita jumpai memang demikian
adanya.
Ø Klasifikasi
Drama Berdasarkan Isi
Pada abad XVIII
ada berbagai jenis naskah drama, diantaranya adalah: Lelucon, banyolan, opera
balada, komedisentimental, komedi tinggi, tragedy borjuis, dan tragedy
nonklasik. Selanjutnya berbagai macam jenis drama itu diklasifikasikan menjadi
empat jenis berdasarkan isinya, yaitu sebagai berikut:
1.
Tragedi
Tragedi atau drama duka adalah drama
yang melukiskan kisah sedih yang benar-besar dan agung. Tokoh-tokohnya terlibat
dalam bencana yang besar. Dengan kisah tentang bencana ini, penulis naskah
mengharapkan agar pembaca atau penonton drama ini memangdang kehidupan secara
optimis. Pengarang secara bervariasi ingin melukiskan keyakinannya tentang
ketidaksempurnaan manusia. Pengarang berusaha menempatkan dirinya secara tepat
dalam kemelut kehidupan manusia itu. Kenyataan hidup yang dilukiskan berwarna
romantis atau idealistis, sebab itu lakon yang dilukiskan seringkali
mengungkapkan kekecewaan hidup karena pengarang mengharapkan sesuatu yang
sempurna atau yang paling baik dari hidup ini. Drama tragedy juga dapat
dibatasi sebagai drama duka yang berupa dialog bersajak yang menceritakan tokoh
utama yang menemui kehancuran karena kelemahannya sendiri, seperti keangkuhan
dan sifat iri hati.
2.
Melodrama
Melodrama adalah lakon yang sangat
sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan,
Penggarapan alur dan penokohan yang kurang dipertimbangkan secara cermat. Maka
cerita seperti dilebih-lebihkan sehingga kurang meyakinkan pembaca atau
penonton.
Tokoh dalam melodrama adalah tokoh yang
tidak ternama (bukan tokoh agung seperti dalam tragedi). Dalam kehidupan
sehari-hari sebutan rtistictic kepada seseorang seringkali merendahkan martabat
orang tersebut, karena dianggap berprilaku yang melebih-lebihkan perasaannya.
Dalam melodrama yang lebih ekstrim, tokohnya digambarkan menerima nasibnya
seperti apa yang terjadi, kualitas watak manusia bersifat unik dan individual.
3.
Komedi
Komedi adalah drama ringan yang sifatnya
menghibur dan didalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan
biasanya berakhir dengan kebahagiaan. Lelucon bukan tujuan utama dalam komedi,
tetapi drama ini bersifat humor dan pengarangnya berharap akan menimbulkan
kelucuan atau tawa riang. Kelucuan bukan tujuan utama, maka nilai dramatik dari
komedi (meskipun bersifat ringan) masih tetap terpelihara. Nilai dramatic tidak
dikorbankan untuk kepentingan mencari kelucuan (“geer”).
Drama komedi ditampilkan tokoh yang
tolol, konyol, atau tokoh bijaksana tapi lucu. Daya apresiasi pembaca atau
penonton berhubungan dengan pemahaman latar belakang budaya sebuah komedi.
Dengan apresiasi yang tinggi, seorang penonton mampu memahami sebuah komedi dan
mampu ikut tertawa oleh kelucuan yang tersirat dalam dialog komedi itu.
Kesesuaian budaya dan pengalaman berpengaruh terhadap lucu tidaknya komedi.
4.
Dagelan
Dagelan disebut juga banyolan merupakan
drama kocak yang ringan. Sering kali jenis drama ini disebut dengan komedi
murahan atau picisan atau ketengan. Sering pula disebut tontonan konyol atau
tontonan murahan. Alurnya disusun berdasarkan situasi dan tidak berdasarkan
situasi, tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatik, dan perkembangan
cerita tokoh. Isi cerita dagelan ini biasanya kasar, lentur, dan fulgar.
Ciri khas banyolan adalah mementingkan
hasil tawa yang diakibatkan oleh lakon yang dibuat selucu mungkin. Segi hiburan
lebih ditonjolkan daripada mutu artistik. Lelucon yang dikemukakan dalam
banyolan adalah lelucon yang hidup di kalangan rakyat kebanyakan. Bisa saja
masalahnya diulang-ulang dan menjadi klise, yang penting penonton tetap
tertawa.
Ø Klasifikasi Drama Berdasarkan Kurun Waktu
Berdasarkan kurun waktu drama terbagi pada drama
tradisional dan drama modern. Perinciannya sebagai berikut:
1.
Drama Tradisional
Drama
tradisional adalah salah satu bentuk kesenian yang berakar dan bersumber dari
tradisi masyarakat lingkungan. Dihasilkan oleh kreativitas suku bangsa
Indonesia di beberapa daerah, dan bertolak dari tradisi yang sejalan dengan
kebudayaannya. Oleh karena itu, drama tradisional sering juga disebut drama
atau teater daerah, karena pada umumnya disajikan dalam media bahasa daerah.
Ciri
utama pada drama tradisional ini adalah ‘improvisasi’ yaitu drama pertunjukan
yang tidak bersandar pada naskah. Dialog dilontarkan oleh pemeran secara
spontan, tanpa persiapan matang. Cara penyajiannya tidak hanya dialog, tetapi
dilakukan dengan menari, menyanyi, dan diiringi oleh tabuhan. Sisipan lelucon,
dagelan, atau banyolan selalu mewarnai drama ini. Drama tradisional ini terbagi menjadi
drama rakyat, drama klasik, dan drama transisi.
a. Drama atau Teater Rakyat
Drama ini adalah drama yang timbul dan berkembang sesuai
dengan festival rakyat yang ada terutama di daerah pedesaan. Drama rakyat juga
diartikan sebagai drama tradisional yang berkembang di setiap kelompok suku
bangsa. Secara bentuk penyampaiannya, ada yang disajikan dalam bentuk tutur
atau lisan oleh seseorang pencerita atau penyanyi yang membawakan cerita. Ada
juga yang disajikan sudah dalam pertunjukan drama pada umumnya, yaitu melalui
gerak tubuh aktor yang memerankan tokoh cerita. Berikut ini penjelasan drama
rakyat tutur dan drama rakyat yang bukan tutur.
1) Drama atau Teater Tutur
Drama atau Teater Tutur adalah suatu jenis drama yang bertolak dari sastra
lisan yang dituturkan dan belum diperagakan secara lengkap. Dituturkan dalam
pengertian yang luas dan sering dilakukan dengan menyanyi dengan diiringi oleh
tabuhan. Berikut contoh-contoh drama tutur yang hidup di Indonesia.
a) Kentrung (Jawa Timur)
Kentrung adalah bentuk drama yang berupa cerita yang disampaikan secara
lisan oleh dalang kentrung. Nama lain yang muncul untuk drama jenis ini adalah
Emprak, Opak, Apem, Puja Rasul, dan Seni Timpul. Biasanya Kentrung dipentaskan
pada acara sunatan, tingkeban,
perkawinan atau ruwatan. Cerita yang disajikan adalah prosa yang diselingi oleh
puisi dan dilakukan dengan tabuhan rebana, gendang, angklung, lesung, terompet
dan lain-lain. Isi cerita disesuaikan dengan maksud cerita. Kentrung ada yang
diperagakan oleh pemeran dan ada yang tidak diperagakan.
b)
Pantun Sunda
Sesuai dengan arti kata pantun yaitu ‘padi’, pada awalnya Pantun Sunda
dihubungkan dengan pemujaan terhadap Dewi Padi yaitu Nyi Pohaci, Kersa Nyai,
atau Pohaci Sang Hiang Sri. Pada perkembangan selanjutnya sering dilaksanakan
pada upacara keluarga, seperti ruwatan, kelahiran, khitanan, perkawinan,
kematian, dan nazar. Cerita pantun kebanyakan memaparkan kerajaan-kerajaan
Sunda lama seperti Galuh dan Pajajaran. Cerita lain yang sering muncul antara
lain ‘Munding laya Dikusumah’, ‘Sangkuriang’, ‘Ciung Wanara’, ‘Sumur Bandung’,
‘Sulanjaya’, ‘Kidang Pananjung’, dan lain-lain.
c)
Dalang
Jemblung
Drama tutur ini sesungguhnya bersumber dari pertunjukan wayang kulit biasa,
tetapi tuturan dialog, gamelan, dan lain-lainnya disuarakan oleh ujaran yang
dilakukan oleh seorang atau beberapa dalang. Tradisi pertunjukan ini berasal
dari ‘nguyen’ yaitu berjaga malam suntuk menunggu kelahiran bayi sambil
mendengar ‘macapatan’. Isi cerita dipaparkan dalam bentuk puisi Jawa.
d)
Cepung
(Lombok)
Cepung berawalan dari tiruan bunyi alat musik yang diujarkan
‘cek...cek...cek...pung’. Cepung pada awalnya adalah seni membaca kitab lontar
yang diiringi instrumen suling dan beberapa peniruan bunyi oleh alat musik
ujaran. Pemain Cepung sedikitnya 6 orang pemusik dan penyanyi serta seorang
pembaca lontar. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sasak dengan penjelasan
gerak tari, mimik wajah, dan lawakan.
e)
Sinrili
(Sulawesi Selatan)
Sinrili merupakan pertunjukan cerita tutur oleh seorang pasinrili yang
diiringi musik keso-keso atau rebab. Pertunjukan dilakukan di anjungan rumah
atau halaman pada acara tertentu seperti syukuran, pesta panen, membangun
rumah, dan sebagainya. Sedangkan waktunya bisa siang hari atau malam setelah
sembahyang Isya. Cerita dinyanyikan dalam bentuk nyanyian yang diiringi
keso-keso, dan tidak lepas dari rasa humor.
f) Babaka (Minangkabau)
Babaka dituturkan oleh tukang cerita sekurang-kurangnya dua orang yang
bercerita liris dengan dilagukan. Serta diiringi instrumen rebab, kecapi, dan
rebana. Lagu disesuaikan dengan kebutuhan cerita. Pertunjukan biasanya
dilaksanakan apabila salah satu anggota keluarga melangsungkan perkawinan atau
menempati rumah baru , panen, dan sebagainya. Waktu pertunjukan dari malam
sampai pagi. Terjadi keterlibatan penonton dengan penutur, komentar-komentar
dan sebagainya.
g) Wayang Beber (Pacitan)
Wayang beber berbentuk lukisan di atas kertas tentang wayang yang bergambar
seperti wayang kulit purwa. Lukisan wayang tergantung pada cerita yang
disajikan, jadi semacam komik tanpa dialog. Lukisan wayang terdiri dari enam
gulung berisi empat adegan. Sambil membeberkan lukisan itu, dalang bernarasi
sambil diiringi seperangkat gamelan, rebab, kendang, kenong, gong, dan lainnya
yang dipukul beberapa pemusik. Pertunjukan ini turun temurun, artinya tidak
bisa diturunkan atau diajarkan pada orang lain selain keluarga. Biasanya
pertunjukan untuk upacara ruwatan dan nadar saja.
2) Drama Rakyat yang Sudah Diperagakan
Drama atau teater rakyat yang lain muncul tidak
hanya dengan tutur tetapi sudah lengkap dengan peragaan oleh para aktor yang
memeran tokoh-tokoh cerita. Seperti juga drama tutur, drama jenis ini
dilengkapi dengan musik tradisional, tarian-tarian, lagu, dan akrab dengan
penontonnya. Humor dan banyolan selalu spontan muncul sebagai dialog segar dari
para aktor yang kadang bisa dijawab oleh para penontonnya. Yang termasuk ke
dalam drama jenis ini adalah:
a) Ubrug (Jawa Barat)
Ubrug adalah drama rakyat yang muncul di daerah
Banten. Memakai bahasa campuran Sunda, Jawa, Indonesia, dan bahkan Lampung.
Drama ini menggunakan iringan musik gamelan dan goong buyung. Para pemeran
berbusana sesuai cerita yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, sedangkan para
penari berbusana srimpian.
Drama rakyat jenis ini biasanya dilaksanakan dalam
hajatan. Dipentaskan di ruang terbuka seperti halaman rumah atau tanah lapang,
dengan penerangan obor atau petromaks yang disimpan di tengah arena pentas.
Para pemain bertukar kostum dan berhias di tempat pemusik. Cerita yang sering
disajikan adalah ‘Si Pitung’, ‘Si Jampang’, ‘Dalem Boncel’, ‘Jejaka Pecak’.
b) Topeng Banjet (Jawa Timur)
Topeng Banjet adalah drama rakyat yang muncul di daerah Karawang, Bekasi,
Cisalak Bogor, dan sekitarnya. Sedangkan di wilayah priangan, drama jenis ini
sering disebut banjet saja. Meski namanya Topeng Banjet. Tapi akhir-akhir ini
para pemeran tidak lagi menggunakan topeng sewaktu berperan. Alat musik yang
dipakai adalah rebab leher panjang dan gamelan. Cerrita yang disajikan biasanya
‘Si Jantuk’ dan ‘Sarkawi’.
c) Longser (Jawa Barat)
Longser adalah drama rakyat yang sering muncul di wilayah priangan seperti
Subang, Bandung, dan sekitanya. Pada dasarnya hampir sama dengan drama rakyat
Jawa Barat lainnya. Perbedaannya terdapat pada jenis-jenis tarian yang sering
memasukan silat dan ketuk tilu, serta adanya sinden atau juru kawih. Gamelan
yang dipakai adalah salendro dengan 12 nagaya.
d) Sintren (Jawa Barat)
Sintren adalah drama rakyat yang sering muncul di daerah Cirebon dan
sekitarnya. Drama jenis ini mengandung sifat magis, yaitu dengan adanya
kerasukan yang dialami oleh penari sintrennya. Penari sintren memakai kacamata
hitam yang dimaksudkan untuk menutup biji matanya yang mendelik sewaktu
kerasukan. Drama jenis ini dipimpin oleh orang dukun yang disebut ‘punduh’, dia
menyediakan dupa, kurungan ayam, dan kain putih untuk penutup sintren, sehelai
tikar untuk membungkus sintren yang telah diikat tali. Iringan musik
menggunakan tabuhan kendang, gong, kecrek, dan ruas bambu atau duyung.
Sewaktu sintren dimasukan ke dalam kurungan, dimulailah lakon atau perita
babak pertama. Selanjutnya sintren dikeluarkan dengan yang berganti pakaian
penari dan lepas dari ikatan. Kemudian sintren menari dan masuk lagi kedalam
kurungan, dan babak berikutnya dimulai lagi. Demikian seterusnya.
e) Manoreh atau Manorek (Jawa Barat)
Manoreh adalah drama rakyat yang muncul di wilayah Ciamis Selatan. Drama
jenis ini semula adalah media dakwah, tetapi sekarang lebih berfungsi sebagai
tontonan dalam hajatan saja. Pertunjukan dilaksanakan siang hari atau malam
hari. Bahasa yang digunakan campuran Jawa (karena merupakan sebaran dari
Banyumas), dan Sunda. Seperti juga yang lainnya, drama jenis ini menggunakan
iringan musik, tarian, dan lawakan.
f) Ronggeng Gunung (Jawa Barat)
Ronggeng Gunung muncul di daerah Ciamis Selatan. Sesungguhnya bentuk
kesenian ini cenderung tarian biasa antara ronggeng dan sejumlah penonton.
Unsur drama hanya nampak pada lirik-lirik lagu yang dinyanyikan pesinden
menjelang ronggeng menari.
g) Topeng Blandek (Jawa Barat)
Bojong
Gede, Pondok Rajeg, Citayem, Ciseeng. Blandek artinya ‘campur aduk’ atau ‘tidak
karuan’ cerita yang dimainkan biasanya pendek dan bernafas Islam, pada saat
pergantian babak sering diperdengarkan lagu-lagu dzikir berbahasa Arab atau
lagu-lagu berbahasa betawi. Musik terdiri dari rebab, kecrek, kromong, kenong,
dan gong.
h) Srandul (Jogja)
Srandul
pertama diciptakan oleh seorang bangsawan Yogyakarta pecinta kesenian rakyat,
yaitu Yudanegara III. Drama jenis ini memainkan jenis cerita dengan iringan
musik bende, rebana, kendang, dan angklung. Pertunjukan bersifat hiburan dengan
dialog prosa dan puisi dengan menggunakan bahasa Jawa dan Arab.
i)
Ande-ande
Lumut
Ande-ande
Lumut adalah drama rakyat yang dilaksanakan semalam suntuk dengan penari antara
20 sampai 40 orang. Gaya tarian mirip wayang orang Surakarta atau Yogyakarta.
Semula pemerannya semua laki-laki. Cerita yang dimainkan adalah ‘Ande-ande
Lumut’.
j)
Dadunggawuk
Dadunggawuk
adalah drama rakyat yang diperankan semua oleh laki-laki. Pertunjukan
dilaksanakan di halaman rumah atau pendopo pada malam hari. Dialog dilakukan
dengan prosa dan tembang. Iringan musik menggunakan terbang, angklung, dan
kendang. Cerita biasanya tentang dadunggawuk sebagai prajurit yang terbunuh
oleh jaka tingkir dalam perebutan kesempatan mengabdi pada raja demak.
k) Ketoprak
Ketoprak
adalah drama rakyat yang amat populer di Jawa Tengah khususnya di Yogyakarta.
Pada awalnya ketoprak bukan sebuah tontonan, tapi hanya merupakan permainan
orang-orang desa menabuh lesung secara berirama pada bulan purnama. Lantas
ditambah nyanyian. Ditemukan pertama kali di Klaten oleh Wreksodiningrat,
lantas dikembangkan dengan menambah alat musik lain seperti kendang, terbang,
suling, dan kecrek. Pada tahun 1909 dipentaskan pertama kali di depan penonton.
Cerita yang disajikan biasanya seperti ‘Damarwulan’, ‘Aji Saka’, ‘Lara Mendut’,
dan lain-lain.
l)
Ludruk
Ludruk
adalah drama rakyat Jawa Timur. Diperankan oleh lelaki semua. Isi cerita adalah
segala yang berhubungan dengan lingkungan yang disajikan dalam dialog segar
penuh humor. Diiringi dengan musik gamelan lengkap, disertai dengan nyanyian
dan tarian.
m) Makyong (Riau)
Makyong
adalah drama rakyat Melayu yang masih hidup sampai di Malaysia, Singapura,
bahkan Muangthai. Drama ini dipertunjukan di tempat terbuka untuk keperluan
hajatan. Semua pemeran menggunakan topeng dan sebagian besar wanita. Iringan
musik yang dipakai menggunakan kendang, serunai, rebab, gong, mong-mong (gong
kecil) masing-masing satu buah.
n) Lenong
Lenong
adalah drama rakyat dari daerah Betawi. Berbahasa Betawi kental yang segar,
penuh humor, dan saling ledek. Drama jenis ini telah menggunakan panggung, dekorasi,
dan properti yaitu satu meja dan dua buah kursi. Diiringi musik gembang
kromong, terbang, suling, dan lain-lain. Cerita yang dimainkan biasanya cerita
tentang kehidupan rakyat betawi sehari-hari.
2.
Drama atau Teater Klasik
Ialah drama pertunjukan yang telah mapan.
Drama jenis ini lahir di pusat-pusat kerajaan atau keraton dan masih
terpelihara dengan baik sampai saat ini. Masuk ke dalam jenis drama ini antara
lai Wayang Orang, Wayang Kulit, dan Wayang Golek.
a.
Wayang
Orang atau Wayang Wong
Wayang Orang adalah jenis drama klasik yang muncul di Keraton Yogyakarta
pada pertengahan abad ke-18.
Pertunjukan dilaksanakan dengan serius oleh para pemeran yang masing-masing
memerankan tokoh wayang. Para pemeran harus pandai menari dan menyanyi.
Pertunjukan sudah menggunakan panggung dengan set dekorasi lengkap bergambar
realis hutan, alun-alun, gerbang keraton, jalan desa, pertapaan, dan lain-lain.
b.
Wayang Kulit
Wayang Kulit (pada penggolongan berdasarkan gaya ungkapnya, termasuk drama
boneka) adalah drama klasik yang tidak menggunakan orang sebagai medianya,
tetapi menggunakan bentuk wayang dari kulit tipis yang dilukis cermat dengan
warna-warni yang menjelaskan karakter. Wayang kulit akan digerakkan oleh
seorang dalang yang bercerita dan berdialog sekaligus. Untuk dialog, dalang
mampu mengubah suara sesuai dengan tokoh wayang yang sedang dimainkan. Jenis
drama ini diiringi musik gamelan lengkap dan nyanyi oleh pesinden. Ciri khusus
dari pertunjukan wayang kulit adalah menggunakan layar, artinya yang ditonton
orang adalah bayangan wayang itu sendiri.
c.
Wayang
Golek
Wayang Golek (pada pernggolongan berdasarkan gaya ungkapnya, termasuk drama
boneka) adalah drama klasik yang tidak menggunakan orang sebagai medianya,
tetapi menggunakan boneka kayu berwujud tokoh wayang. Sama seperti wayang
kulit, wayang golek pun dimainkan oleh dalang yang akan sekaligus berdialog
mewakili para tokoh wayang. Untuk berdialog, dalang mampu mengubah suaranya
sedemikian rupa sehingga menarik. Jenis drama ini pun menggunakan musik gamelan
lengkap sebagai pengiringnya, dan dibantu beberapa sinden sebagai penyanyi yang
isi suaranya memperjelas cerita.
3.
Drama atau Teater Transisi
Jenis drama atau teater transisi
sesungguhnya juga bersumber pada drama tradisional pada umumnya, tapi gaya penyajiannya
sudah dipengaruhi oleh teater barat. Drama jenis ini dapat dilihat pada zaman
‘Teater Bangsawan’, yang sering juga dinamankan ‘Komidi Stanbul’, dan
‘Sandiwara Dardanella’. Drama jenis ini populer disebut sandiwara. Untuk zaman
sekarang terkenal di Surabaya dengan nama ‘Srimulat’, sedangkan di Jawa Barat
‘Sandiwara Sunda’. Drama jenis ini menggunakan panggung dan tata dekor, lampu,
rias, dan lain-lain sebagai layaknya drama modern, tapi belum menggunakan
naskah drama. Isi cerita seputar kehidupan sehari-hari yang disajikan dalam
bentuk banyolan segar. Musik pengiring pun sudah modern sehingga sering
menggunakan efek bunyi dari kaset.
4.
Drama atau Teater Modern
Drama ini selalu bersandar pada naskah
drama, dan diikat oleh hukum-hukum dramaturgi. Struktur dan pengolahannya
dipengaruhi sekali oleh ‘Teater Barat’. Artinya, susunan naskah, cara pentas,
gaya penyuguhan, dan pola pemikiran, banyak bersumber dari pola pendekatan dan
pemikiran ‘kebudayaan barat’.
Cerita atau lakon yang dipentaskan, selalu
karya pengarang sastra atau dramawan yang mencoba mencipta drama baru, bahkan
dengan aliran baru. Gaya penyajian bervariasi sesuai dengan perkembangan
kreativitas para sutradara. Bahkan akhir-akhir ini muncul drama-drama
‘kontemporer’ atau ‘masa kini’ yang berangkat dari eksperimen para kreator
drama. Lebih dari itu, kemodernan memungkinkan pertunjukan dengan menggunakan
teknologi canggih, sehingga muncullah jenis pertunjukan drama yang bernama film
dan sinetron.
Adapun ciri-ciri bentuk drama atau teater modern
ini secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Bersandar pada naskah drama atau skenario.
b. Pertunjukan dilakukan di tempat khusus,
yaitu panggung yang memisahkan antara pemeran dan penonton. Di atas panggung
tersebut telah dipasang layar yang dapat diangkat atau diturunkan sebagai tanda
pertunjukan dimulai atau selesai.
c. Penonton harus membayar.
d. Penyelenggaraan benar-benar untuk
pertunjukan itu sendiri. Tidak ada orang yang menyelenggarakan drama untuk
kebutuhan lain seperti upacara, hajatan, dan lain-lain.
e. Pertunjukan merupakan karya seni kolektif,
antara perangkat administratif dan perangkat artistik, dan berupa cuatan ide
baru yang dipertanggungjawabkan.
f. Meski ada juga yang mengambil cerita masa
lampau, tetapi kebanyakan dari drama modern memuat unsur cerita yang erat
kaitannya dengan peristiwa sejaman.
g. Ungkapan pertunjukan telah menggunakan
peralatan modern, seperti peralatan musik modern, lampu, sound sistem, dan
lain-lain. Bahkan belakangan timbul menggunakan rekaman yang hasilnya berupa
film layar lebar, video, atau kaset.
Berdasarkan uraian di atas, maka drama
modern dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
a.
Drama Modern Konvensional
Drama modern konvensional adalah drama
yang bertolak dari lakon drama yang disajikan secara konvensional. Cerita
bersandar pada naskah drama yang biasanya realis, dan disajikan dalam gaya
pengungkapan pentas yang realis pula.
b.
Drama Modern Nonkonvensional atau
Kontemporer
Drama modern kontemporer adalah drama yang mendobrak konvensi-konvensi lama,
dan penuh dengan pembaruan gagasan, penyajian, dan penggabungan konsep
barat-timur. Cerita yang disajikan biasanya absurd.
Ø Penggolongan Berdasarkan Gaya Ungkapnya
Penggolongan berdasarkan gaya ungkapnya
dapat dibagi menjadi tiga, yaitu gaya ungkap bahasanya, gaya ungkap media
perannya, dan gaya ungkap pementasannya. Berikut penjelasannya.
1.
Dari Gaya Ungkap Bahasanya
a)
Drama
Puisi
Drama yang cerita atau lakonnya sebagian besar disusun dalam dialog
berbentuk puisi, atau mengandung kaidah-kaidah dalam puisi. Dalam drama jenis
ini akan ditemui dialog yang sama sekali jauh dari percakapan sehari-hari.
b)
Drama
Prosa
Drama yang cerita atau lakonnya sebagian atau seluruhnya disusun dalam dialog berbentuk prosa. Tidak
ada yang ganjil dalam drama jenis ini sebab dialog berdasarkan percakapan
sehari-hari.
c) Drama Prosa-Puisi
Drama yang cerita atau lakonnya disusun dalam campuran prosa dan puisi.
Biasanya gaya prosa mendominasi dialog, tetapi dibagian tertentu yang dianggap
penting untuk menggambarkan suasana tertentu dipakai gaya puisi.
2.
Dari Gaya Ungkap Pemerannya
a)
Drama Boneka
Drama yang diperankan bukan oleh manusia tetapi oleh boneka. Nampak di sini
boneka sebagai media pengganti manusia, yang sesungguhnya masih digerakkan oleh
manusia, mampu menggambarkan seluruh cerita dengan baik. Mengenai jenis ini
telah dikenal ‘wayang golek’, ‘wayang kulit’, ‘drama boneka si unyil’, dan
lain-lain.
b) Drama Manusia
Drama yang diperankan oleh manusia. Tidak ada hal asing dalam drama jenis
ini sebab telah tercakup pada penjelasan drama sebelumnya.
3.
Dari Gaya Ungkap Pementasannya
a) Drama
Drama biasa yang pementasannya dilaksanakan di panggung atau arena, baik
menggunakan naskah drama atau tidak.
b) Pantomim
Drama yang sama sekali tidak menggunakan dialog. Keterangan babak, adegan,
atau apa saja kadang diberikan dalam bentuk tulisan yang diperlihatkan oleh
pemerannya. Tokoh diperankan oleh tokoh aktor yang menonjolkan gerak tubuh
sebagai medianya, tanpa menggunakan alat apapun. Biasanya wajah aktor di cat
putih semua. Cerita ringan-ringan dan pendek.
c) Opera
Opera disebut juga operet. Yaitu jenis drama yang seluruh atau sebagian
dialognya dinyanyikan oleh para pemeran, dengan iringan musik. Jenis drama ini
merupakan perpaduan yang harmonis antara seni teater dan seni suara.
d) Sendratari
Drama yang penyajiannya dilakukan dengan menari. Adegan disajikan dalam
bentuk tarian yang telah disesuaikan dengan karakter masing-masing tokoh. Tentu
saja ada musik dan lagu untuk mengiringi tari tersebut.
e) Kabaret
Drama yang menggunakan teknik rekaman untuk dialog dan tata musiknya. Semua
telah disajikan dalam bentuk rekaman, sehingga pemeran tinggal menggerakkan
saja di atas panggung. Di masyarakat istilah ini sering tertukar dengan operet.
Padahal operet sendiri bisa saja muncul dalam jenis kabaret.
f) Drama Radio
Drama yang khusus untuk diperdengarkan bukan untuk ditonton. Belakangan ini
seluruh dialog, dan ilustrasi musik direkam agar dapat diawetkan dan diputar
kapan saja. Para pemeran tidak perlu
bergerak tetapi cukup menghayati peran dan mengatur intonasi, tempo,
artikulasi, dan lain-lain dalam dialognya.
g) Drama Televisi
Drama yang disajikan dalam televisi. Drama jenis ini pun direkam dalam video
dan dapat diputar kapan saja sesuai waktu tayangnya. Belakangan ini muncul
istilah baru untuk jenis ini, yaitu sinetron (Sinema Elektronik).
h) Film
Drama yang khusus untuk diputar di bioskop. Drama jenis ini pun telah
direkam dalam film, sehingga bisa diputar dimana dan kapan saja. Film juga
sering diputar di televisi
Ø Klasifikasi Drama
Berdasarkan Aliran
Berikut ini dikemukakan beberapa aliran
dalam drama beserta sifat-sifatnya. Sifat-sifat tersebut tidak bercorak kaki
tetapi hanya merupakan ciri pokok saja. Tidak ada drama yang serratus persen
mengikuti salah satu aliran tertentu.
-
Aliran Klasik
Aliran klasik dengan
tokoh-tokoh: Pierre Corneills, Jean Raccine, dan Joost van de Vondel. Ciri-ciri
aliran klasik adalah:
(1)
Tunduk terhadap hokum trilogy Aristoteles
dalam hal kesatuan tempat, waktu dan gerak
(2)
Acting-nya
bergaya deklamasi
(3)
Drama lirik
lebih banyak ditulis
(4)
Irama permainan
lamban
(5)
Banyak diseling
dengan monolog dan bersifat statis
(6)
Materi cerita
bergaya Yunani dan Romawi
-
Aliran Romantik
Aliran romantik berkembang
pada abad XVIII, dengan tokoh-tokohnya: Victor Hugp, Alfred de Musset, Heinrich
van Kleist, dan Cristian Dietriech Crabbe. Dalam drama –drama romantic, trilogy
Aristoteles tidak dipatuhi. Adapun ciri-cirinya adalah:
(1)
Isinya bersifat
fantastis dan tidak logis
(2)
Menggunakan
bahasa yang mengikuti kaidah tata bahasa
(3)
Aspek visual
ditonjolkan dengan segala perlengkapan baik busana, rias, maupun panggung yan
gemerlapan
(4)
Acting-nya
sangat bersifat bombastis, dengan mimik yang berlebihan
(5)
Lakonnya
biasanya tentang pembunuhan dengan tokoh-tokoh sentimental
(6)
Bentuk drama
bersifat bebas, artinya bukan drama lirik seperti aliran klasik.
-
Aliran Realisme
Aliran realisme
mementingkan kenyataan, yang digambarkan bukan hal-hal yang berlebihan dan sentimental seperti dalam
aliran romantik. Ada dua macam aliran realisme, yaitu:
(1)
Realisme sosial
(realism murni), yang menggambarkan kepincangan sosial, penderitaan dan
ketidakadilan untuk maksud mengadakan protes sosial. Cirinya adalah:
·
Pemeran utama
biasanya rakyat jelata
·
Acting-nya
bersifat wajar seperti kehidupan sehari-hari
·
Aspek visual
dalam pertunjukan tidak berlebihan dan disesuaikan dengan realitas kehidupan
sehari-hari
·
Cerita diambil
dari kenyataan sosial di masyarakat dengan mengutamakan konflik sosial karena
perbedaan status sosial.
(2)
Realisme
Psikologis, yang menekankan kenyataan psikologis para pelakunya. Cirinya
adalah:
·
Menonjolkan
aspek kejiwaan atau aspek dalam diri tokoh
·
Setting-nya
bersifat wajar dengan intonasi yang tepat
·
Suasana
digambarkan dengan perlambangan (simbolis)
·
Sutradara
mementingkan pembinaan konflik psikologis . menitikberatkan aspek psikologis
daripada dandanan yang bersifat fisik.
-
Aliran Ekspresionisme
Aliran ekspresionisme
menonjolkan pikiran atau perasaan pengarang. Ciri-cirinya adalah:
·
Adanya gerak kolektif
·
Banyak
dipengaruhi psikoanalisis Freud, dan banyak pengaruh film karena keinginan
menggambar ekspresi jiwa pengarang atau sutradara
·
Pergantian
adegan bersifat cepat
·
Penggunaan
pentas bersifat ekstrim
·
Fragmen-fragmen
ditampilkan seperti dalam film.
-
Aliran Natruralisme
Naturalisme merupakan
perkembangan lebih lanjut dari realisme, perbedaannya adalah bahwa dalam
naturalisme kenyataan yang digambarkan mungkin mendekati kenyataan alam
(natural). Tidak mengherankan jika dalam menggambarkan pohon-pohon dipanggung
benar-benar pohon hidup, tampilan panggung sejauh mungkin mendekati alam, dan
bukan tiruan alam.
-
Aliran Eksistensialisme
Dalam aliran
eksistensialisme ingin ditampilkan tokoh-tokoh yang sadar akan eksistensinya,
akan keberadaannya di dunia ini. Dialog-dialog yang dikemukakan actor dan
aktrisnya menunjukkan sifat kemandirian yang kuat, karena ingin melukiskan
manusia yang benar-benar mandiri secara psikis. Karya-karya demikian seringkali
dinyatakan sebagai karya platonis, karya yang bersifat sukma, atau murni
psikologis.
Dalam kesadaran akan
keberadaannya, seseorang kemudian menghendaki kebebasan yang mutlak, yaitu
kebebasan yang tidak ada taranya yang dalam kehidupan normal sulit kita jumpai.
Kita dapat menghayati kebebasan semacam itu dalam masyarakat orang gelandangan.
Dalam masyarakat seperti itu kebebasan rokhaniah dan jasmaniah lebih longgar,
bahkan mungkin dapat dikatakan mutlak. Lukisan tentang tokoh-tokoh gelandangan
bukan sekedar kegelandangannya itu ynag penting. Kemandirian itu menjadi ciri
eksistensi diri yang menghendaki bentuk kebebasan yang setinggi-tingginya.
E.
Unsur-unsur Drama
Seperti yang sudah
dijelaskan di atas, bahwa drama adalah karya yang memiliki dua dimensi yaitu
drama sebagai karya sastra (naskah) dan drama sebagai seni pertunjukan. Unsur drama
sebagai seni pertunjukan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.
Pentas atau panggung;
b.
Pekerja pentas yang terdiri dari
perangkat administratif dan perangkat artistik;
c.
Penonton, dan
d.
Naskah (karya sastra yang mempunyai
unsur sendiri di dalamnya).
Di
sini, unsur-unsur drama sebagai seni pertunjukan tidak akan dibahas secara
detil. Hal ini disebabkan karena sangat bergantung pada setiap naskah drama
yang akan dipentaskan, artinya akan berbeda-beda bahasan unsur seni pertunjukkan
untuk setiap naskah drama.
Sedangkan
drama dalam pengertian karya sastra, seperti juga bentuk puisi, prosa fiksi
atau cerkan, mempunyai dua unsur pembentuk yaitu unsur intrinsik dan unsur
ekstrinsik. Unsur ekstrinsik diantaranya, agama, sejarah, adat istiadat,
ekonomi, pendidikan, psikologi, dan lain-lain.
Sementara
unsur intrinsiknya terdiri dari tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, konflik,
latar/setting, dialog, dan amanat. Unsur-unsur tersebut saling berkaitan dan
saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya untuk membentuk suatu karya drama
yang padu dan utuh.
a)
Tema
Tema merupakan gagasan pokok yang
terkandung dalam drama (Waluyo, 2001: 24). Secara sederhana, tema berarti suatu
garis besar dari permasalahan atau persoalan yang diangkat oleh sang pengarang
dalam karyanya. Dari sekian persoalan yang ada, pengarang naskah drama, memilih
dan menangkap salah satu persoalan yang dianggap menarik, unik, dramatik, dan
berkepentingan untuk diinformasikan kepada khalayak. Persoalan tersebut pasti
persoalan tentang manusia baik lahir maupun batin yang penuh dengan
permasalahan (konflik). Tentunya segala permasalahan tersebut merupakan
pengalaman pengarang atau sesuatu yang pernah dirasakan oleh pengarang yang
membuatnya merasa tergugah dan terangsang untuk diangkat menjadi sebuah karya
sastra drama melalui proses kreatifnya.
Drama besar mengungkapkan tema yang abadi.
Tema yang abadi biasanya yang bersifat interpersonal, artinya mengatasi
kepentingan individu, golongan, suku bangsa, agama, kurun waktu, dan lain-lain.
Tema drama yang besar dapat diterima di segala kurun waktu, oleh segala bangsa,
pada semua umur dan dalam segala taraf budaya (Waluyo, 2001: 25).
Tema merupakan struktur dalam dari sebuah
karya sastra. Tema berhubungan dengan sudut pandang, sudut dari mana pengarang
memandang dunia ini, apakah dari segi bahagia, duka, mengejek, mencemooh,
harapan, ataukah kehidupan ini sama sekali tidak bermakna. Sudut pandang sering
juga dihubungkan apakah pengarang berperan dalam cerita itu.
Pokok persoalan yang ditangkap dan dijadikan ide cerita itulah yang lantas disebut tema. Tentu saja pokok
persoalan atau tema itu tidak akan tersurat dalam naskah drama, tetapi ada
dalam satu kesatuan cerita yang berjalan dari awal sampai cerita itu berakhir.
Adalah pembaca yang harus menangkap tema yang ada dalam cerita tersebut,
tergantung pada tingkat apresiasinya, dia akan menghidupkan kembali segala
pokok persoalan ke permukaan, lantas memanfaatkannya bagi kehidupannya.
b)
Konflik
Ada
berbagai definisi yang diungkapkan oleh para ahli tentang
konflik. Diantaranya yang diungkapkan Putman dan Pool ((Sujak, 1987:130), dalam
Wijono, 2011: 176), konflik didefinisikan sebagai interaksi antar individu,
kelompok yang membuat tujuan berlawanan, dan merasa bahwa orang lain sebagai
pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka.
Selanjutnya
Mullins (( 1993: 658), dalam Wijono, 2011: 176) mendefinisikan bahwa konflik
merupakan kondisi terjadinya ketidaksesuaian tujuan dan munculnya berbagai
pertentangan prilaku, baik yang ada dalam diri individu, kelompok maupun
lingkungan. Konflik dapat dikelompokkan ke dalam dua unsur, yaitu: (2) konflik
antara individu dengan dirinya sendiri, dan (2) konflik antara indovidu dengan
lingkungan.
Dalam drama, Konflik atau sering
disebut tikaian, adalah suatu keadaan di mana ada daya-daya yang saling
bertentangan arah, tetapi dalam kadar kekuatan yang kira-kira sama (Sugianto
Mas, 2012: 95).
Suatu darama yang baik selalu
mengandung konflik, bahkan dapat dikatakan bahwa konflik adalah intisari dari
sebuah karya drama. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Herman J
Waluyo, dasar lakon drama adalah konflik manusia (Waluyo, 2001: 4).
Konflik yang dipaparkan dalam sebuah
drama harus mempunyai motif. Motif dari konflik yang dibangun itu akan
meweujudkan kejadian-kejadian dan perisrtiwa-peristiwa. Motif dan kejadian
haruslah wajar dan realistis, artinya benar-benar diambil dari kehidupan
manusia. Konflik yang muncul dari kehidupan manusia.
Motif dalam penulisan lakon merupakan
dasar laku dan merupakan keseluruhan rangsang dinamis yang menjadi lantaran
seseorang mengadakan respon. Motif yang dipilih bergantung pada selera
pengarang. Lakon, baik sebagai peniru kehidupan, sugesti atau ilusi kehidupan,
atau penggambaran tentang konflik dan masalah kehidupan, selau diatur dan
dikendalikan oleh proses tingkah laku manusia. Sikap dan tindakan manusia
diharapkan akan mengatasi konflik dan masalah manusia itu.
Konflik bisa bersumber pada manusia
yang berhadapan dengan manusia lain, manusia dengan masyarakat, manusia dengan
kepercayaannya, manusia dengan alam, manusia dengan dirinya sendiri, dan
lain-lain (Sugianto Mas, 2012: 96). Menurut Aan Sugianto Mas, konflik dalam
drama ada beberapa macam, yaitu:
·
Konflik mendekat-mendekat, yaitu
pertentangan dua kekuatan yang melanda tokoh sehingga berada pada valensi positif
yang sama kuat.
·
Konflik menjauh-menjauh, yaitu
pertentangan dua kekuatan yang melanda tokoh sehingga berada dalam valensi
negatif sama kuat.
·
Konflik mendekat-menjauh, yaitu
pertentangan dua kekuatan yang melanda tokoh sehingga berada pada valensi negatif
dan positif yang sama kuat.
Kita
harus menyadari bahwa konflik-konflik di dalam drama terletak diantara
kejadian-kejadian atau peristiwa yang membangun drama. Konflik mungkin saja
merupakan satu peristiwa atau sekelompok peristiwa mana yang dapat dikategorikan
sebagai konflik drama. Jika pembaca berhasil menemukan dan memahami konflik
suatu drama, berarti pembaca dapat dikatakan telah menguasai dan memahami
permasalahan utama drama tersebut.
c)
Alur atau Plot
Plot adalah urutan peristiwa satu ke peristiwa lain yang terjalin
berdasarkan hukum sebab akibat. Urutan peristiwa dari awal babak, dibukanya
konflik, sampai akhir penyelesaian konflik, akan menjadi lakon atau cerita yang
menarik. Menurut Hudson, plot drama tersusun
menurut apa yang dinamai ‘garis lakon’ (dramatic line), yaitu :
1.
Perkenalan
atau Eksposisi
Bagian ini dimaksudkan agar pembaca memperoleh
keterangan-keterangan agar ada pengertian dalam membaca naskah drama, atau
menonton pertunjukan drama. Perkenalan atau eksposisi ini akan menjelaskan
bahwa cerita dimulai. Konflik memang belum ada, tapi tanda-tanda akan timbulnya
konflik sudah dimunculkan. Biasanya pembaca tergiring untuk mengetahui
peristiwa selanjutnya, yaitu situasi adanya insiden.
2.
Insiden
Permulaan
Pada bagian ini mulai dihadirkan insiden permulaan
yang menjadi benih-benih timbulnya konflik yang jadi inti drama. Insiden
tersebut merupakan tenaga perangsang yang terjadi secara tiba-tiba dari bagian
perkenalan atau eksposisi yang seterusnya menjadi motif dasar plot.
3.
Penanjakan
Laku atau Rising Action
Pada bagian ini insiden yang muncul sebelumnya
semakin bertambah ruwet. Konflik muncul dan mulai menajam, sedangkan jalan
keluar masih jauh dan samar.
4.
Krisis
atau Titik Balik
Krisis disebut juga klimaks adalah bagian
yang paling tegang dari seluruh urutan peristiwa. Daya-daya yang bertentangan
saling memperlihatkan kekuatannya, dan membutuhkan penyelesaian. Pertimbangan
tertentu dalam cerita akan condong ke salah satu pihak sebagai jalan keluar
yang selama ini ruwet.
5.
Penyelesaian
atau Denoument
Pada bagian ini pengarang akan menyelesaikan
konflik yang ada. Apakah akan berakhir dengan kesedihan atau kegembiraan,
sangat tergantung pada kemauan dan sikap pengarang itu sendiri dalam menghadapi
konflik yang dibuatnya. Ketegangan telah selesai. Perhatian pembaca akan
tertuju pada rasa simpati terhadap tokoh yang telah menyelesaikan konflik.
6.
Keputusan
atau Catastrophe
Pada bagian ini segalanya telah berakhir. Ada
hasil dari semua penyelesaian dan cerita segera berakhir. Urutan peristiwa tesebut bukan berarti
menjelaskan bahwa drama akan selalu terdiri dari lima atau enam babak. Melihat
alur adalah melihat keseluruhan cerita tanpa harus terikat oleh jumlah babak.
Oleh sebab itu, mungkin saja drama mungkin saja tersusun dari satu, dua, sepuluh,
atau bahkan tiga puluh babak.
Berbeda dengan plot dalam cerkan, maka dalam drama jarang terjadi plot
ganda atau longgar. Hal itu disebabkan oleh terbatasnya ruang waktu seandainya
cerita itu dipentaskan. Plot drama biasanya utuh dan erat sekali dari satu
peristiwa ke peristiwa lainnya.
d)
Tokoh dan Perwatakan
Unsur lain yang tak
kalah penting adalah tokoh dan perwatakannya. Tokoh adalah manusia atau pelaku
yang bergelut dengan konflik-konflik yang diciptakan oleh pengarang dalam
drama. Tokoh dalam drama memegang peranan yang sangat penting dalam memelihara
keutuhan suatu cerita, dengan karakternya masing-masing yang akan menghidupkan
konflik dan mrndukung berjalannya plot/alur.
Pembagian tokoh berdasarkan tugas-tugas yang diembannya:
·
Tokoh Protagonis, yaitu tokoh utama yang
muncul dan ingin mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi sewaktu mencapai
keinginan.
·
Tokoh Antagonis, yaitu tokoh yang
melawan atau menentang keinginan tokoh protagonis. Tokoh inilah yang merangsang
timbulnya konflik dalam diri tokoh protagonis. Tokoh ini disebut juga sebagai
tokoh penentang arus cerita
·
Tokoh Tritagonis, yaitu tokoh yang
berada di luar kedua tokoh di atas. Tokoh ini merupakan tokoh yang dapat
membantu mempertajam masalah (konflik) atau membantu memecahkan konflik. Tokoh
ini dapat berposisi sebagai pembantu tokoh protagonis atau antagonis.
·
Tokoh Pembantu, yaitu tokoh yang secara
tidak langsung terlibat dalam konflik, tetapi diperlukan guna menyelesaikan
cerita.
Tokoh-tokoh
tersebut tentunya mempunyai sifat, watak, atau karakter, yaitu sifat dasar
manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah lakunya. Perwatakan ini
menjadi sangat penting, karena dari perwatakan inilah suatu konflik akan muncul
dalam drama. Layaknya dalam kehidupan nyata, setiap orang pasti memiliki sifat
dan watak yang berbeda-beda. Begitu pun dalam drama, tokoh-tokohnya mempunyai
watak yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Permasalahan
dan konflik kemanusiaan di dalam drama tidak akan muncul melalui tokoh, tetapi
dari pertemuan dua perang yang berpasangan atau yang berlawanan. Jadi pada
prinsipnya seorang tokoh akan memunculkan beberapa permasalahan yang sesuai
dengan peran yang dibebankan pengarang kepadanya. Dalam menjalankan fungsinya
sebagai peran tertentu, tokoh dituntut untuk menciptakan kesesuaian karakter
denga peran itu. Amat tidak logis jika karakter tokoh selalu monoton dan
seragam untuk peran yang berbeda-beda. Keberhasilan pengarang dapat diukur
sampai sejauh mana ia mengatur karakter yang berbeda diukur tokoh ceritanya
dalam berbagai peran. Dengan menghadirkan tindakan-tindakan dan perilakuyang
berulang dan dipola dengan cara tertentu, pengarang dapat memberikan sinyal,
tokoh, peran, dan karakter seperti apa yang sedang ia tampilkan kepada pembaca.
Kita
dapat melihat, menentukan, dan memahami watak tokoh melalui dialog-dialog.
Dialog-dialog tersebut diantaranya:
·
Dialog tokoh (yang digambarkan wataknya)
dengan tokoh lain (yang tidak digambarkan wataknya).
·
Dialog tokoh (yang tidak digambarkan
wataknya) dengan tokoh (yang tidak digambarkan wataknya).
·
Dialog tokoh dengan tokoh (masing-masing
sedang digambarkan wataknya).
e)
Latar atau Setting
Latar merupakan identitas permasalahan
drama sebagai karya fiksionalitas yang secara samar diperlihatkan oleh
penokohan dan alur. Jika permasalahan drama sudah diketahui melaui alur atau
penokohan, maka latar atau ruang memperjelas suasana, tempat, serta waktu
peristiwa itu terjadi. Latar dan ruang di dalam drama memperjelas pembaca untuk
mengidentifikasi permasalahan drama.
Latar atau setting adalah penggambaran
tempat, waktu, lingkingan sosial, dan suasana dalam cerita. Dalam lakon atau
cerita drama akan menceritakan tempat, waktu, suasana, serta lingkungan sosial.
Kesemua itu akan nampak dalam dialog para tokoh. Ada memang beberapa pengarang
yang secara langsung menjelaskan setting tersebut dari keterangan atau
kramagung yang dia buat sebelum memulai cerita. Tetapi, kebanyakan dari
pengarang masa kini, persoalan setting sering diserahkan pada pembaca sebagai
apresiator kreatif.
f)
Dialog
Ciri
khas suatu naskah drama adalah berbentuk dialog. Pembicaraan yang ditulis oleh
pengarang naskah adalah pembicaraan yang akan diucapkan dan harus pantas untuk
diucapkan di atas panggung. Dialog yang ditulis harus mencerminkan pembicaraan
sehari-hari.
Sebagai salah satu bentuk karya sastra,
unsur estetis dalam drama jangan sampai terlewatkan. Dialog merupakan faktor
filosofis yang mempengaruhi struktur keindahan sebuah lakon. Dialog harus
benar-benar menarik, plastis, sehingga memiliki sifat yang mampu menjelaskan
keindahan semua unsur yang ada. Dalam hal itu harus diingat bahwa pada
gilirannya semua dialog akan mengantarkan seluruh peristiwa yang membentuk
cerita.
Gaya dialog-dialog yang diciptakan oleh
pengarang tentu akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak faktor. Beberapa gaya dialog diantaranya dialog puitis, monolog,
ping-pong, bombas, orator, dan lain-lain. Di dalam sebuah naskah drama,
gaya-gaya tersebut pasti ada salah satunya dan tidak menutup kemungkinan juga
semua gaya dialog terdapat dalam satu naskah drama. Tapi ini nampaknya kurang
baik, karena di sini mencerminkan seorang pengarang yang tidak mempunyai ciri
khas dan terkesan tidak konsisten dalam menciptakan sebuah naskah drama.
Ragam bahasa dialog tokoh-tokoh drama
adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hal ini
disebabkan karena drama adalah potret kenyataan. Drama adalah kenyataan yang
diangkat ke atas pentas. Nuansa-nuansa dialog mungkin tidak lengkap dan akan
dilengkapi oleh gerakan, musik, ekspresi wajah, dan sebagainya. Dalam hal ini,
kesempurnaan sebuah naskah drama akan terlihat setelah dipentaskan.
Banyak naskah drama yang sulit
dipentaskan karena dialognya nukan ragam bahasa tutur, tapi ragam bahasa tulis.
Menggunakan ragam bahasa tulis sebagai sarana naskah drama berarti tidak
berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga ada celah kelemahan komunikasi
dibandingkan dengan bahasa tutur/lisan ((Hassanudin, 2009: 119) dalam Hidayat,
2013: 24).
Selain itu, diksi dan gaya bahasa pun
harus menjadi pertimbangan kita. Karena bukankah bahasa (termasuk di dalamnya
diksi dan gaya bahasa) merupakan salah satu unsur pembangun karya sastra,
khusunya drama. Senada dengan hal di atas, dialog juga harus dialog yang hidup,
artinya mewakili tokoh yang dibawakan. Watak secara psikologis, sosiologi, dan
fisiologis dapat diwakili oleh dialog itu. Macam-macam dialog :
1.
Dialog
Batin
Kata-kata
yang diucapkan oleh pemain untuk mengungkapkan pikiran atau perasaan tanpa
ditujukan kepada pemain lain dalam drama.
2.
Dialog
Pemancing
Kata-kata
pemancing yang diucapkan pemain agar pemain lainnya dapat melanjutkan dialog
karena lupa. Keadaan ini tentu akan menimbulkan cacat pementasan. Semakin
berpengalaman seorang pemain di atas pentas, maka akan semakin baik teknik
penampilan dialog pancingan. Hal ini dimungkinkan karena para pemain tersebut
dapat melakukan inmprovisasi yang tidak kentara oleh penonton.
3.
Dialog
Pribadi
Makna dari istilah ini adalah :
(1) Penukaran
dialog oleh pemain dengan kata-katanya sendiri.
(2) Ucapan
pemain kepada penonton, sedangkan ucapan tersebut tidak ada dalam teks.
4.
Dialog
Tambahan
Kata-kata yang
ditambahkan oleh pemain dalam dialog karena ia lupa dialog yang sebenarnya. Hal
ini tidak jauh berbeda dengan dialog pribadi. ((Ensiklopedi Sastra Indonesia,
2007 : 211-213)
dalam Iswandi, 2013: 43).
g)
Amanat
Di
dalam sebuah karya sastra pasti terdapat pelajaran-pelajaran yang dapat kita
petik. Pelajaran-pelajaran tersebutlah yang dinamakan amanat. Amanat bersifat
pikiran-pikiran yang bersembunyi yang harus pembaca pikirkan, resapi, hayati,
bahkan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pembaca
harus benar-benar teliti dalam membaca atau menonton drama guna menemukan
amanat yang tersirat itu. Setiap pembaca dapat berbeda-beda menafsirkan makna
karya itu bagi dirinya, dan semuanya cenderung dibenarkan. Jadi berbobot atau
tidaknya amanat dari suatu drama bergantung pada kepekaan pembaca dalam
menangkap amanat yang ada di samping dari isi cerita dan penyelesaian konflik
yang dikehendaki oleh pengarang.
Amanat akan nampak sekali dari cara
pengarang memecahkan persoalan atau konflik para tokoh dalam naskah drama.
Amanat juga dapat diperoleh dari dialog-dialog yang dilontarkan oleh para
tokoh-tokoh. Dengan demikian, penelitian teks drama tidaklah sekedar mencari
tema dan amanat, tetapi mengungkapkan kehidupan manusia yang dirasakan
pengarang.
BAB III
ANALISIS UNSUR INTRINSIK DRAMA
MANGIR
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
A.
Sinopsis
Keruntuhan Majapahit
pada tahun 1527 menyebabkan keadaan di daerah Jawa kacau balau, karena tidak
ada pusat kekuasaan tertinggi. Terjadi perang terus-menerus di Jawa untuk
memperebutkan kekuasaan tunggal. Ki Ageng Pamanahan menguasai Mataram dan
mendirikan Kota Gede. Kemudian Panembahan Senapati, anaknya naik menjadi Raja
Mataram, dan ingin mendapatkan kekuasaan tunggal di Jawa dengan cara memperluas
daerah kekuasaan.
Disamping itu ada desa
yang berbentuk Perdikan (desa yang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak
kepada pemerintah penguasa) dan menjalankan sistem demokrasi desa, yaitu
Perdikan Mangir dengan pemimpin atau biasa disebut tua Perdikan yang bernama Ki
Ageng Mangir Wanabaya, seorang pemuda gagah berani dan saudara angkatnya yang
bernama Baru Klinting. Perdikan Mangir juga memperoleh bantuan dari beberapa
orang demang yang masing-masing memiliki daerah kekuasaan pula, diantaranya
Demang Patalan, Demang Jodog, Demang Pandak, dan Demang Pajangan. Perdikan ini
yang menjadi sasaran perluasan kekuasaan raja Mataram.
Saat Mataram memerangi
Mangir, Panglima Mangir Wanabaya berhasil membuat pasukan Mataram mundur. Setelah
perang kecil tersebut usai, Mataram menyusun siasat untuk mengalahkan Mangir, mereka
mengirim mata-mata (telik) untuk menyusup ke Mangir. Karena telik-telik yang
dikirimkan tak berhasil menyusup, bahkan ada yang tertangkap. Raja Mataram
memerintahkan putri sulungnya Putri Pambayun menyamar menjadi orang desa
bersama para rombongan telik untuk menggoda Wanabaya.
Untuk merayakan
kemenangan Wanabaya bersukaria dengan menari bersama wanita ronggeng keliling
yang bernama Adisaroh, yang sebenarnya merupakan Putri Pambayun yang menyamar
dengan rombongan telik Mataram. Sementara itu, para demang mengadu pada Baru
Klinting tetang kelakuan Wanabaya yang sudah teralihkan perhatiannya oleh
seorang wanita, dan membuatnya lupa perang. Wanabaya yang jatuh cinta pada
Adisaroh, membawanya menghadap untuk mendapatkan restu Baru Klinting agar ia
diperbolehkan menikah. Terjadi perdebatan diantara para demang, Baru Klinting
dan rombongan telik Mataram. Namun akhirnya Wanabaya diijinkan menikah dengan
Adisaroh, meski Para tetua Perdikan Mangir masih mencurigai rombongan Adisaroh.
Setelah menikah,
Adisaroh tinggal di Perdikan Mangir, setiap hari ia melamun karena ditagih
janji untuk membawa Wanabaya menghadap ke Mataram untuk dibunuh, karena semua
rombongan telik Mataram sudah kemnali ke Mataram. Yang terakhir adalah pamannya
Tumenggung Mandaraka, ia kembali ke Mataram membawa kuda Wanabaya, sehingga
orang-orang Mangir mulai curiga pada Adisaroh. Adisarohpun jujur pada Wanabaya
siapa ia sebenarnya, ia juga ragu menyampaikan perihal Wanabaya yang diminta
untuk menghadap ke Mataram meminta restu, padahal ini hanya siasat orang
Mataram untuk menjebak Wanabaya. Ia takut Wanabaya terbunuh, karena ia
benar-benar mencintai Wanabaya.
Awalnya Wanabaya marah
pada Putri Pambayun, namun karena ia mencintainya, ia mulai menerima istrinya
itu orang Mataram, dan berunding dengan para tetua Perdikan Mangir tentang
langkah mereka selanjutnya dalam perang dengan Mataram. Karena Putri Pambayun
mengabarkan bahwa kunjungan ini bermaksud untuk perdamaian, semuanya sepakat
pergi ke Mataram dengan tetap waspada jika ada yang mencurigakan.
Mataram sebenarnya
sudah menyusun rencana dengan matang untuk menjebak para prajurit Mangir
dijalan dengan para wanita Mataram, lalu jalan yang dipersempit dan para telik
yang diperintahkan untuk mengabarkan perkembangan selanjutnya mengenai para
prajurit Mangir. Para petinggi Mataram menunggu rombongan Mangir di istana,
awalnya rencana berjalan dengan lancar, namun para prajurit Mataram menyerang
Mangir terlebih dulu, maka terjadilah perang didepan istana Mataram. Putri
Pambayun berada diluar saat perang berlangsung, namun berhasil dirampas oleh
para pengawal Mataram dari Mangir, dan dibawa masuk ke istana Mataram.
Wanabaya dan Baru
Klinting menerobos masuk istana untuk menyerang langsung Panembahan Senapati.
Tumenggung Pringgalaya menipu Wanabaya dengan mengaku sebagai Senapati, saat
akan diserang oleh Wanabaya, Wanabaya malah ditikam dengan keris oleh Pangeran
Purbaya tepat dilambungnya, laluia dihujani tombak oleh prajurit Mataram.
Sedangkan Baru Klinting, saat ia menangkis serangan dari Tumenggung Mandaraka
dan Tumenggung Pringgalaya, Senapati menombak Baru Klinting dari belakang.
Sedangkan Demang Patalan dihujani tombak oleh prajurit Mataram saat akan
menyerang Senapati. Mereka bertiga tewas di Mataram.
Putri Pambayun meminta
ayahnya membunuhnya juga, karena ia melihat suaminya Wanabaya terbunuh. Namun
Senapati memerintahkan prajurit mengeluarkan pambayun dari Mataram, karena ia
telah berhianat. Senapati segera meninggalkan ruang istana dengan diikuti
Tumenggung Pringgalaya, Tumenggung Jagaraga dan Pangeran Purbaya. Tumenggung
Mandarakan malah menghampiri Ki Ageng Pamanahan yang sudah lebih dulu menemui
ajalnya sebelum perkara Mangir selesai. Putri Pambayun hanya bisa meratapi
kematian suaminya di tangan Mataram.
B.
Sekilas Pengarang
Pengarang adalah anggota
masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Kemampuannya dalam menghasilkakn
karya sastra disebabkan oleh perbedaan kualitas, yaitu kualitas dala.
memanfaatkan emosionalitas dan intelektualitas, bukan perbedaan jenis. Untuk menghasilkan
karangan, dalam usaha untuk melakukan
konsentrasi, pengarang tidak harus cacat atau dipenjarakan. Kasus seperti
Pramoedya Ananta Toer, merupakan kebetulan, sebab sebagai seorang pengarang
yang produktif, tanpa dipenjarakanpun ia pasti menghasilkan karya. Meskipun
demikian perlu juga diberikan catatan bahwa seorang pengarang yang berada di
penjara atau tempat pembuangan mengalami peningkatan aktivitas kreatif sebagai
akibat adanya waktu luang. (Ratna, 2004: 303).
Pramoedya Ananta Toer,
pengarang yang dilahirkan di Blora tanggal 2 Februari 1925 ini, meskipun sudah
mulai mengarang sejak zaman Jepang dan pada masa awal revolusi telah
menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh
(1947), baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949 ketika
cerpennya ‘Blora’ yang ditulisnya dalam penjara diumumkan dan romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah
sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Cerpen itu kemudia
bersama dua buah cerpen lainnya yang juga ditulis Pram dalam penjara diterbitkan
menjadi sebuah buku berjudul Subuh (1950).
Pram ditahan pada tahun
1947 dan baru keluar setelah pengakuan kedaulatan pada akhir tahun 1949. Selama
dalam penjara ia banyak menulis. Kecuali roman Perburuan yang diselundupkan melalui Dr. G. J Resink dan H.B.
Jassin untuk kemudian diikutkan pada sayembara mengarang Balai Pustaka juga ia
menyelesaikan roman Keluarga Gerilya
(1950) dan sejumlah cerpen. Cerpen-cerpen yang ditulisnya dalam penjara itu
bersama-sama dengan beberapa cerpen yang ditulis sebelumnya, kemudia
diterbitkan dalam buku Percikan Revolusi
(1950).
Pram sangat produktif
menulis, baik berupa cerpen, roman, esai maupun kritik. Buku-buku tak
henti-hentinya mengalir darinya. Kecuali yang tadi sudah disebutk, juga Mereka yang Dilumpuhkan (dua jilid,
terbit 1951/1953) berdasarkan pengalaman-pengalamannya di penjara. Cerita dari Blora (1952) sekumpulan
cerita pendek yang berlatar belakang kota kelahirannya Blora, mendapat hadiah
satra nasional BMKN tahun 1952 untuk kumpulan cerpen, Di Tepi Kali Bekasi (1950) roman yang melukiskan perjuangan para
pemuda Indonesia sekitar Karawang dan Bekasi; Bukan Pasar Malam (1951); Gulat
di Jakarta (1953); Midah, Si Manis
bergigi Emas (1954); Cerita dari
Jakarta (1957), Drama Mangir yang
selesai ditulisya pada tahun 1976 berdasarkan cerita tutur yang masih diingat
oleh masyarakat di Jawa Tengah terlambat diterbitkan, dan dicetak pertama kali
pada tahun 2000.
Setapak demi setapak ia
masuk ke dalam lingkungan Lekra dan pada awal tahun 1960-an ia sudah duduk
menjadi salah seorang anggota pimpinan Lekra. Ia menjadi salah seorang ketua
Lembaga Seni Sastra, yaitu seksi seni sastra dari Lekra. Ia memimpin ruangan Lentera dalam surat kabar Bintang Timur tak habis-habisnya
menyerang para pengarang yang tidak sependirian dengan mereka dengan berbagai
fitnah dan insinuasi.
Ketika terjadi
pemberontakan Gestapu, ia termasuk tokoh Lekra yang ditahan dan buku-bukunya
dinyatakan terlarang. Karya-karya Pram banyak yang sudah diterjemahkan ke dalam
berbagai bahasa asing diantaranya ke dalam bahasa Inggris, belanda, Rusia,
Cina, Jepang.
C.
Analisis Unsur Intrinsik
1.
Tema
Berdasarkan analisis penulis, cerita drama Mangir karya
Pramoedya Ananta Toer adalah cerita sejarah, karena drama ini ditulis
berdasarkan cerita tutur yang masih diingat oleh masyarakat Jawa Tengah. Berdasarkan
isinya, drama ini termasuk drama tragedi. Tema dalam cerita ini cukup serius, tentang
strategi ekspansi, yaitu strategi atau cara perluasan wilayah suatu negara
dengan menduduki wilayah negara lain.
Demi
memperkokoh sistim politik ekspansi, Mataram yang sedang dibangun oleh Senapati
dan penasihatnya Juru Martani, Senapati menugaskan putrinya untuk menggoda
Wanabaya, Panglima Mangir. Setelah Wanabaya dan Putri Pambayun menikah,
Senapati memerintahkan putrinya mengajak orang-orang Mangir berkunjung ke
Mataram dalam sebuah pertemuan keluarga, yang sebenarnya merupakan bagian dari
rencana. Strategi licik tersebut berhasil, dan Mataram menang perang melawan
Mangir. Senapati rela mengorbankan kebahagiaan putri, menantu dan calon cucunya
yang dikandung Putri Pambayun.
2.
Alur
Alur drama Mangir adalah alur konvensional yang tidak sulit
diikuti, karena pencerita (Troubadour) menjelaskan dari awal hingga akhir drama
Mangir sebagai pembuka drama dalam babak pertama dan ketiga, dan adegan-adegan selanjutya
berjalan berurutan. Ketegangan tidak begitu tajam pada setiap loncatan
peristiwa, karena setiap perpindahan
peristiwa teratur, dan kita sebagai pembaca bisa menerka-nerka peristiwa
selanjutnya. Urutan peristiwa dari awal sampai akhir dapat disimpulkan sebagai
berikut:
a.
Perkenalan atau Eksposisi
Pengarang Mangir memberikan paparan tokoh-tokoh yang akan mengisi
cerita dengan penjelasan pencerita (troubadour) pada pembukaan drama sebelum
para tokoh berdialog, yang menceritakan asal mula Perdikan Mangir, seperti
berikut:
Pencerita
(Troubadour) bercerita dengan iringan gendang kecil sebelum layar diangkat:
Siapa belum
pernah dengar cerita lama tentang Perdikan Mangir sebelah barat daya Mataram?
Dengar,
dengar, dengar: aku punya cerita
Tersebut
Ki Ageng Mangir Tua, Tua Perdikan, wibawa ada dalam dadanya, bijaksana ada pada
lidahnya, rakyat Mangir hanya tahu bersuka dan bekerja, semua usaha kembang,
bumi ditanami jadi.
Datanglah hari
setelah setahun menanti Pesta awal Sura
Ronggeng,
wayang, persabungan, gelut, lomba tombak, dekat-jauh, tua-muda, bujang-perawan,
semua datang di dapur Ki Ageng Mangir Tua, habis pisau perajang terpakai,
datang perawan Mendes mohon pada Ki Ageng:
- Pinjami si Mendes ini pisau sebilah
- Hanya tinggal belati pusaka
boleh kau
menggunakan, tapi jangan kau lupa dipangku dia jadi bahala.
Perawan Mendes
terlupa belati pusaka dipangkunya
Ah, ah, bayi
mendadak terkandung dalam rahimnya, lahir ke atas bumi berwujud ular sanca
- Inilah aku,
ampuni, Bunda, jasadku begini rupa
Malu pada
perdikannya, malu pada sanak tetangga, Ki Ageng lari seorang diri, jauh ke
gunung Merapi, mohon ampun pada Yang Maha Kuasa. Ki Ageng Mangir Tua bertapa.
Dia bertapa!
Datang seekor
ular padanya, melingkar mengangkat sembah
-
Inilah
Baru Klinting sendiri. Datang untuk berbakti, biar menjijikkan begini adalah
putramu sendiri.
Ki Ageng
mengangkat muka, kecewa melihat sang putra
-
Tiada
aku berputra seekor ular
Kecuali bila
berbukti dengan kepala sampai ekor dapat lingkari Gunung Merapi.
Tepat di hadapan
Ki Ageng Mangir Tua, Baru Klinting lingkari Gunung Merapi Tinggal hanya
sejengkal lidah dijelirkan untuk penyambung, Ki Ageng memenggalnya dengan keris
pusaka. Ular lari menghilang, tinggal sejengkal lidah, dijadikannya tombak
pusaka
Itulah konon
tombak pusaka Si Baru Klinting.
Petikan cerita diatas adalah cerita Perdikan Mangir
yang diceritakan oleh pencerita sebagai pembuka drama ini, sangat jelas
menceritakan asal mula Perdikan Mangir dan tokoh yang akan mengisi cerita dalam
drama ini. Selanjutnya dalam
dialog 1-97, ada tokoh yang menjelaskan diri sendiri, dan ada juga yang
menjelaskan tokoh lain, seperti petikan dialog berikut:
SURIWANG :
…………………………………
Inilah
Suriwang, pandai tombak terpercaya Baru Klinting………………
SURIWANG : (membawa ikatan mata tombak, bicara pada
diri sendiri).
Baru
Klinting! Seperti dewa turun ke bumi dari ketiadaan. (menganggukangguk).
Anak desa
ahli siasat – dengan Ronggeng Jaya Manggilingan digilingnya balatentara Mataram,
pulang ke desa membawa kemenangan. (pada Baru Klinting). Masih kau
biarkan Panembahan Senapati berpongah dengan tahta dan mahkota?
Dari dialog-dialog
diatas nampak gambaran tokoh-tokoh yang sedang membuka cerita. Siapa dan apa
kedudukan tokoh dalam cerita. Bahkan tanda-tanda akan timbulnya konflik sudah
dimunculkan pada petikan dialog lain, seperti berikut:
SURIWANG :
Ai-ai-ai
tak bisa lain, Klinting. Perdikan Mangir sudah lima turunan berdiri. Lapanglah
jalan bagi Sri Maharatu Dewi Suhita Majapahit. Demak tak berani raba, Pajang
tak pernah jamah. Ai-ai-ai, Panembahan Senapati, anak ingusan kemarin, kini mau
coba-coba kuasai Mangir.
SURIWANG : Mataram bernafsu mengangkang di atas
Mangir! Ai-ai-ai. Mengangkat diri jadi raja, kirimkan patihnya Singaranu – ke
Mangir, Klinting, – menuntut takluk dan upeti, barang gubal dan barang jadi.
Perdikan Mangir hendak dicoba! …………………………………………………………….
BARU
KLINTING : Masih belum kenal kau apa itu raja? Raja
jaman sekarang? Masih belum kenal kau siapa Panembahan Senapati? Mula-mula
membangkang pada Sultan Pajang, ayahangkat yang mendidik-membesarkannya,
kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja Mataram? Adakah kau lupa
bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai abangnya? Apakah kau
sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri dengan dusta, mengaku
putra Sri Baginda Bhre Wijaya?
Petikan dialog diatas menjelaskan tentang
Mataram yang ingin mencoba menguasai Mangir, dan tentang Panembahan Senapati
yang ingin mendapatkan kekuasaan dengan cara apapun. Dapat kita lihat bahwa itu
merupakan tanda-tanda timbulnya konflik. Ditengah Baru Klinting dan Suriwang
berdialog tentang Mataram, nampak pula tanda-tanda timbulnya konflik
dimunculkan kembali, ada orang baru bernama Kimong yang ingin mengabdi menjadi
juru tangkai di Mangir, namun Baru Klinting dan Suriwang mencurigainya sebagai
telik Mataram, mereka memperhatikan gerak-gerik orang tersebut dan mengusirnya,
sambil berdialog:
SURIWANG : (menggertak).
Kudengar suaramu seperti keluar dari
kerongkongan orang Perdikan, bungkuk dan sembahmu benar-benar Mataram.
SURIWANG :…………………………………………………………………………….
Telik
Mataram takkan bisa kiprah di Mangir. Lolos dua empat kena! Semua akan masuk
perangkap. Huh-huh, budak raja bukan orang mardika. Seribu telik Mataram, tak
bakal bikin Mangir merangkak, seperti keong memikul upeti persembahan………………………………………………
b.
Insiden Permulaan
Insiden permulaan muncul pada peristiwa
selanjutnya, setelah Suriwang meninggalkan Klinting di pendopo, Demang Patalan
dan Demang Jodog masuk, disusul oleh Demang Pajangan dan Demang Pandak. Saat
mereka membicarakan Mataram, mereka terlihat mulai kesal pada Wanabaya, Ki
Ageng Mangir muda yang belum datang karena sedang asik menari dengan seorang
penari cantik sebuah rombongan tandak yang belum jelas asalnya. Terlihat
kekesalan mereka pada petikan dialog 98-353 berikut:
DEMANG PATALAN : Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda tidak semestinya terlambat datang. Hanya karena Adisaroh penari, juga Pajangan dan Pandak terlambat datang.
DEMANG PATALAN :(menghampiri Demang Jodog yang duduk, menariknya berdiri )
Kau beranikan dia datangkan rombongan tandak entah dari mana asalnya, kau biarkan dia mabok kepayang, lupa darat lupa laut, lupa mula lupa wasana.
DEMANG PAJANGAN : Kau akui hak Wanabaya, Klinting? Dengan bersuka, dia akan lekang di medan-perang.
Dari dialog-dialog diatas, Para demang merasa khawatir pada Wanabaya, sebagai seorang panglima, dia seharusnya memikirkan perang dengan Mataram, mereka takut Wanabaya mengabaikan peperangan, karena asik mengurusi perempuan cantik, namun Demang Jodog berpihak pada Wanabaya, mereka terus bertengkar hingga Baru Klinting menyuruh orang mamanggil Wanabaya.
Klinting mengambil keputusan memanggil
Wanabaya agar semuanya jelas. Namun kedatangan Wanabaya yang menggandeng Putri
Pambayun (Adisaroh), serta dibelakangnya menyusul rombongan wiyaga, diantaranya
Tumenggung Mandaraka, Tumenggung Jagaraga, Tumenggung Pringgalaya dan Pangeran
Purbaya, mereka adalah orang-orang Mataram yang menyamar memakai baju orang
desa, membuat para demang dan Baru Klinting semakin kesal, seperti dijelaskan
petikan dialog berikut:
BARU
KLINTING : …………….. (mengangkat dagu menatap Wanabaya). Dan kau, wajahmu
merah seperti masih di medan-perang, menggandeng putri cantik di hadapan kami.
Katakan kandungan hati, sebelum salah terka kami menebak isi dadamu.
DEMANG
PAJANGAN: Waranggana masyhur, lenggangnya membelah bumi, lenggoknya menyesak dada,
senyumnya menawan hati, tariannya menggemaskan, sekarang tingkahnya bikin susah
semua orang.
WANABAYA : …(mengangkat
gandengan tinggi-tinggi). Inilah Adisaroh, perawan waranggana, kubawa
kemari akan kuambil untuk diriku sendiri.
DEMANG PATALAN : Biar kami tahu apa di hatimu, bisa kami kaji dan uji-Oh, perang belum lagi selesai, kemenangan belum lagi terakhir… Kasmaran tandak lupa daratan, Mataram masih jaya berdiri.
Akhirnya insiden yang dirangsang oleh para
demang tersebut bertambah rumit, Wanabaya bermaksud untuk meminta izin pada
Baru Klinting untuk menikahi Adisaroh, Para tetua Perdikan Mangir tidak begitu
saja menerima kehadiran mereka dan maksud Wanabaya tadi. Namun Wanabaya terus mendesak agar diizinkan
menikah, hal tersebut membuat ricuh suasana di pendopo. Penjelasan tersebut
dapat ditangkap dari petikan dialog berikut:
DEMANG
PATALAN : Kita semua bicara tentang nasib Mangir,
nasib Mataram, hanya Wanabaya dan rombongan waranggana sibuk tawar-menawar. (pada
Baru Klinting) Kau hanya punya kata-putus, putuskan sekarang juga, sebelum
berlarut menjadi bencana.
WANABAYA : Sudah kudengar semua suara keluar dari mulut kalian. Juga dalam perkara ini aku seorang panglima. Jangan dikira kalian bisa belokkan Wanabaya. Sekali Wanabaya Muda hendaki sesuatu, dia akan dapatkan untuk sampai selesai.
Para demang dan Baru
Klinting memojokkan Wanabaya, agar Wanabaya sadar akan kedudukan dan
kewajibannya di Mangir, mereka kesal atas perubahan sikap Wanabaya sejak kenal
Adisaroh. Dan suasana makin tegang saat Wanabaya mendekati jagang tombak.
Mereka mencoba menenangkan Wanabaya. Tergambar dari petikan dialog berikut:
DEMANG PANDAK : Biasanya kau rendah hati, sehari dengan Adisaroh, kau berubah menjadi pongah, tekebur bermulut nyaring, berjantung kembung.
BARU KLINTING : Apa guna kau coba dekati jagang tombak? Hanya karena wanita hendak robohkan teman sebarisan? Tidakkah kau tahu, dengan jatuhnya semua temanmu kau akan diburu-buru Mataram seperti babi hutan?
DEMANG JODOG : Tenang kau, Wanabaya. Buka hatimu, biar semua selesai sebagaimana dikehendaki. Memang perjaka berhak dapatkan perawan, tapi bukan cara berandalan macam itu, apa pula bagi seorang panglima. ……………………………
Dialog-dialog yang dilontarkan para demang dan
Baru Klinting mengenai perang yang harus didahulukan daripada Adisaroh mulai
didengar oleh Wanabaya, namun dia tetap mempertahankan keinginannya. Baru Klinting dengan tegas mengusir Wanabaya karena
ia sudah kelewat batas. Hingga Wanabayapun mulai berfikir tentang keinginannya,
Lalu ia mengatakan pernyataan agar ia tidak diusir namun tetap menikah dengan
Adisaroh. Dijelaskan dalam petikan dialog berikut:
BARU KLINTING : Turut semua untukmu ditempat lain! Ludah akan kau dapatinya pada mukamu. Kau boleh pergi dan coba sekarang juga.
WANABAYA : (membuang muka, merenung, bicara pada diri sendiri).
Sekarang mereka pun dapat usir aku. Apakah kemudian aku jadi anggota waranggana? Berjual suara dari desa ke desa? Dari panglima jadi tawanan setiap muka? Adisarohpun boleh jadi tolak diriku pula.
WANABAYA : Dengar kalian semua: terhadap Mataram sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Izinkan aku kini memperistri Adisaroh. Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas di sini juga. Jangan usir aku, terlepas dari Perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting, dan kalian para tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut dengan tangan terkembang ke atas pada orang-orang di hadapannya). Aku lihat tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh dampingi hidup ini.
Baru Klinting menyetujui permintaan Wanabaya
untuk menikahi Adisaroh setelah Wanabaya berjanji untuk tetap memperjuangkan
Mangir dalam melawan Mataram, dan tak akan ingkar karena hal Adisaroh. Hal
tersebut dapat disimpulkan dari petikan dialog berikut:
Para demang – mengambil tombak dari jagang, mengepung Wanabaya dengan mata tombak diacukan padanya.
BARU KLINTING : Tombak-tombak ini akan tumpas kau, bila nyata kau punggungi leluhur, berbelah hati pada Perdikan, khianati teman-teman dan semua. Bicara kau!
WANABAYA : (menatap ujung tombak satu per satu, dan mereka seorang demi seorang). Dengarkan leluhur suara darahmu di atas bumi ini, darahmu sendiri yang masih berdebar dalam tubuhku, Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Darah ini tetap murni, ya leluhur di alam abadi, seperti yang lain-lain, lebih dari yang lain-lain dia sedia mati untuk desa yang dahulu kau buka sendiri, untuk semua yang setia, karena dalam hati ini hanya ada satu kesetiaan. Tombak-tombak biar tumpas diri, kalau tubuh ini tak layak didiami darahmu lagi.
WANABAYA :Adisaroh takkan bikin Wanabaya ingkar pada Perdikan.
…………………………………………………………….
Leluhur dan siapa saja yang dengar, inilah Wanabaya, akan tetap melawan Mataram.
…………………………………………………………….
Membela semua kedemangan sahabat Mangir.
BARU KLINTING : Lihatlah aku. (mengangguk perlahan-lahan). Para demang (merangkul Wanabaya).
……………………………………….
Pergi kau dapatkan pengantinmu.
BARU KLINTING : Kita semua masih curiga siapa waranggana dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang: Ai-ai-ai memang tidak bisa lain. Tanpa Wanabaya cerita akan mengambil suara lain. Dilarang diapun akan berkembang lain. Pukul tengara, pertanda pesta panen boleh dibuka.
Baru Klinting memang
menyetujui pemintaan Wanabaya untuk menikah dengan Adisaroh, namun
kecurigaannya belum hilang pada Adisaroh Waranggana yang sebenarnya adalah
Putri Pambayun dan rombongan wiyaga yang sebenarnya adalah rombongan telik
Mataram.
c.
Penanjakan Laku
Akhirnya insiden permulaan yang dirangsang
oleh Wanabaya yang ingin menikah dengan Adisaroh berkembang setelah
keinginannya tercapai, Konflik Adisaroh muncul ke permukaan, antara tugasnya sebagai
Putri Sulung Senapati yang dituntut membawa Wanabaya ke Mataram, disisi lain ia
mencintai Wanabaya dan takut suaminya dibunuh di Mataram dan ia menginginkan
perdamaian. Sedangkan konflik Wanabaya muncul setelah konflk Adisaroh mencuat
dan tak kalah tajamnya, yaitu harus menerima kenyataan bahwa istri yang sangat
ia cintai adalah orang Mataram yang merupakan musuhnya dalam perang, atau
memenuhi permintaan Adisaroh untuk menghadap mertuanya ke Mataram dan berdamai.
Tergambar dari petikan dialog 369-660 berikut:
TUMENGGUNG
MANDARAKA : Terpaksa nenenda datang kini
untuk menagih janji.
………………………………………………………………
Bukankah darah satria tak perlu diperingatkan? Dan janji ditepati
seperti matari pada bumi setiap hari?
PUTRI PAMBAYUN
: Sekarang nenenda datang menagih janji, agar aku khianati suami sendiri.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Bukan mengkhianati,
hanya membawanya menghadap ayahanda baginda, ayahandamu sendiri.
PUTRI PAMBAYUN
: Betapa pandai nenenda berpilih kata. Tidak percuma jadi Juru martini Sultan
Hadiwijaya, dengan warta dan kata menanggulangi Negara. Apalah arti Pambayun
dalam pilinan kata nenenda? (Dengan mata
menyala menghampiri Tumenggung Mandaraka). Sahaya sukai perdikan ini.
Sahaya cintai suami sendiri. (meninggalkan
Tumengguung Mandaraka).
Petikan dialog
diatas memperlihatkan konflik Putri Pambayun yang tak ingin membawa suaminya ke
Mataram, karena ia takut suami yang ia cintai itu dibunuh ayahnya sendiri. Lalu
Tumenggung Mandaraka kembali ke Mataram membawa kuda Wanabaya, dengan tetap
menuntut Putri Pambayun membawa Wanabaya ke Mataram. Akhirnya Putri Pambayun
mengaku pada Wanabaya siapa ia sebenarnya dan menyampaikan maksudnya mengajak
Wanabaya ke Mataram. Terlihat konflik Wanabaya pada petikan dialog berikut:
WANABAYA :
(membelalak memunggungi Putri Pambayun,
berjalan mondar-mandir gelisah, anatara sebentar menoleh pada Putri Pambayun) Ma-ta-ram!
Ma-ta-ram! Dia kelahiran Ma-ta-ram! Wanabaya beristrikan wanita Mataram! Karena
tergila-gila kecantikannya diri kurang periksa. Ya, langit dan bumi, kemana
mesti kusembunyikan mukaku ini? (Cepat
berbalik pada putri Pambaun). Di luar atau dalam benteng kau tinggal.
PUTRI PAMBAYUN :
(Berdiri menghampiri). Tiada kau hukum?
Bumi dan langit tak dapat ingkari, Inilah Putri Pambayun Mataram istrimu,
inilah bayi dalam kandungan anakmu, dua-duanya tetap bersetia kepadamu.
PUTRI PAMBAYUN :
Adisaroh dan Putri Pambayun sama, kakang, dua-duanya istri tunggal Ki Wanabaya.
Pesan ayahanda baginda agar datang ke Mataram seminggu ini, untuk terima restu
bagi perkawinan, mertua bertemu putra menantu, calon nenek dengan calon cucu.
WANABAYA :
(pergi ke bangku dibawah pohon manga,
duduk bertopang dagu. Tiba-tiba menutup dua belah kuping) Baru Klinting,
kurang apa si Wanabaya, mengapa dikutuk begini rupa hanya karena cinta?
Mencuatnya konflik Putri Pambayun dan Wanabaya
membuat penanjakan laku semakin jelas. Putri Pambayun dan Wanabaya saling
mencintai, dan membuat para tetua Perdikan Mangir serba salah, mereka berunding
untuk mengambil keputusan selanjutnya, Tergambar dalam petikan dialog berikut:
WANABAYA : ……………..Pambayun,
istriku, relakah kau mati bersama?
PUTRI PAMBAYUN : Tak
bercerai kita, Kakang Wanabaya, dalam hidup dan dalam mati.
WANABAYA : Juga rela
di medan-perang melawan Mataram?
PUTRI PAMBAYUN :
Untukmu dan perdikan, Kang, di mana, dan kapan saja.
BARU KLINTING : Baik, seluruh
kekuatan dikerahkan masuk ke benteng Mataram. Patalan! Berangkat kau sekarang
juga ke Mataram, kibarkan tinggi bendera Mangir pertanda duta. Sampaikan, pada
hari yang sama minggu mendatang. Ki Ageng Mangir Wanabaya dan istri, Putri
Pambayun, akan datang bersembah pada Panembahan Senapati. (berpaling pada Wanabaya) Berperisai kalian berdua, kita akan
langsung masuk benteng menyerang istana. Tetap kau pada pendirianmu Nyi Ageng
Mangir Muda?
Konflik mereka tak berjalan berlarut-larut,
karena mereka mendapatkan keputusan dari hasil perundingan dengan para tetua
Perdikan Mangir. Mereka akan pergi ke Mataram untuk menghadap Panembahan
Senapati. Peristiwa bagian akhir ini mengantarkan pada peristiwa selanjutnya,
yaitu krisis atau klimaks.
d.
Krisis atau Titik Balik (Klimaks)
Krisis
atau klimaks adalah peristiwa yang muncul sewaktu kekuatan-kekuatan saling
memperlihatkan diri dan membutuhkan penyelesaian. Mataram menyusun strategi
untuk menjebak prajurit Mangir, yaitu
dengan para wanita Mataram yang menggoda dijalan menuju Mataram, lalu jalan
yang dipersempit dan para telik yang diperintahkan untuk mengabarkan
perkembangan selanjutnya mengenai perjalanan Mangir menuju Mataram. Dijelaskan
oleh pencerita (Troubadour) diawal babak terakhir ini, dan dari petikan dialog 661-826,
seperti berikut:
Pencerita
(Troubadour) sebelum layar dibuka:
Wanabaya
dan Baru Klinting tombak pusaka
Dua belas depa
panjang tangkai
Pambayun
diiringi, benteng dimasuki.
Gapura-gapura
penyambutan ini, mengapa?
Semakin dekati kraton
semakin sempit dan rendah?
Baru Klinting sang
tombak pantang menunduk,
Siap lewati tangkai
dipotong biar tetap tegak.
TUMENGGUNG MANDARAKA : Maka mereka dibikin tak bisa membuka gelar.
Jalanan lebr dipersempit dengan pagar. Di desa Cepit balatentara Mangir akan
dielu-elu, dengan tari dna tuak, dengan nyanyi dan tandak. Seluruh barisan akan
dipenggal tengah dengan hiburan, tersekat di jalanan sempit, takkan dapat
diteruskan perjalanan berlenggang tangan. Di depan benteng, separoh dari
separoh lawan akan disambut oleh semua perawan benteng Mataram. Jembatan sungai
Gajah Wong di dalam benteng telah dibongkar dan disempitkan. Di mulutnya akan
menunggu barisan dara anak-anak nayaka, mempersembahkan diri dan sajian. Taka
ada diantara prajurit desa itu akan tahan kena sintuhan tangan lembut para dara
Mataram, mereka akan menggigil megemis kasih, tepat seperti Wanabaya di hadapan
Pambayun. Begitu panglimanya, begitu juga prajuritnya.
Petikan cerita
troubadour dan dialog tokoh diatas menerangkan strategi yang telah dirancang
oleh Tumenggung Mandaraka atau Ki Juru Martani untuk melawan tentara Mangir, Sedangkan
para tetinggi Mataram menunggu kedatangan Wanabaya dan baru Klinting di Istana
sambil terus menerima kabar dari para telik. Perkembangan perjalanan Mangir
dijelaskan pada petikan dialog berikut:
KI AGENG PAMANAHAN : (kembali
ke samping). Tak salah lagi, itu telik ketiga. (Berdiri mencangkung bertumpu pada tongkat, mengangguk-angguk,
mendengarkan. Kemudian mengisyaratkan dengan tangan menyuruh pergi. Kembali
pada Panembahan Senapati). Memang telik ketiga, membawa warta: Balatentara
Mangir terlalu cepat bergerak. Mereka telah lewati Cepit. Ya-ya-ya, hmm, hmm,
hmm katanya waktu tinggal tiga ratus hitungan jari. Telah diucapkan pidato
elu-elu, ucapan selamat datang atas nama Sri Baginda Panembahan Senapati ing
Ngalaga, Sayidin Panatagama ing Tanah Jawa untuk yang terhormat Tua Perdikan
Mangir Wanabaya dan istri. Ya-ya-ya, berhasil mereka dibelah tengah dengan
nyanyian dan tari, tuak dan tandak. Semangat perangnya lemas tersentuh
jari-jemari perawan Mataram. Tepat seperti rencana Ki Juru Martani. Ya-ya-ya,
begini jadinya, hmm, hmm, hmm.
KI AGENG PAMANAHAN : Telik ke empat, yang terakhir telah tiba,
hmm, hmm, hmm, wartanya: Sisa balatentara Mangir sedang dielu-elu di depan
kraton. Ya-ya-ya, di depan kraton. Separoh dari separoh barisan tersekat dalam
pesta pora dengan perawan para nayaka. Di mulut jembatan sungai Gajah Wong,
ya-ya-ya, barisan Mangir tinggal seperenambela, dihibur oleh perawan-perawan
pilihan.
Para telik telah
mengabarkan perkembangan mengenai perjalanan Mangir ke Mataram yang semakin
dekat, dan terperangkap oleh rencana Tumenggung Mandaraka. Sementara mereka
menunggu Wanabaya dan Klinting serta Putri Pambayun, Tumenggung Pringgalaya salah memberikan
perintah menabuh gamelan kraton, karena gamelan kraton adalah perintah
penyerangan, maka rencana Mataram kacau karena kesalahan tabuhan gamelan
kraton, terjadi perang di depan istana Mataram karena prajurit Mataram lebih
dulu menyerang Mangir. Tergambar dari petikan dialog berikut:
TUMENGGUNG JAGARAGA : (masuk
ke panggung; mengangkat sembah pada Panembahan Senapati kemudian pada Mandaraka
dan Ki Ageng Pamanahan). Menghaturkan warta celaka, gusti baginda.
Balatentara Mataram telah menyerang sebelum Wanabaya masuk menghadap gusti
baginda. Perkelahian sedang terjadi di depan istana.
PANGERAN PURBAYA : (masuk
ke panggung, mengangkat sembah pada Pamanahan Senapati, Ki Ageng Pamanahan dan
Tumenggung Mandaraka). Ampun ayahanda baginda, pasukan pengawal telah dapat
merampas adinda Putri Pambayun dari tentara Mangir, sebentar lagi akan datang
bersembah, telah patik bebaskan dari tangan pasukan pengawal.
Putri Pambayun berada
diluar saat perang berlangsung, namun berhasil dirampas oleh pengawal Mataram
dari Mangir, dan dibawa masuk ke istana Mataram. Namun ia terus memekik
memanggil Wanabaya, ia juga pasrah meminta ayahandanya Panembahan Senapati
membunuhnya demi membela Wanabaya. Lalu Wanabaya, Baru Klinting, dan Demang
Patalan menerobos masuk istana, mereka bermaksud menyerang langsung Panembahan
Senapati. Terjelaskan dari kutipan berikut:
WANABAYA, BARU KLINTING, DEMANG
PATALAN: (masuk ke panggung dari belakang
takhta, masing-masing dengan keris telanjang di tangan).
WANABAYA: Yang mana Panembahan
Senapati? Inilah Wanabaya datang sendiri, tanpa tipu tanpa dusta, mari mengadu
runcingnya keris.
TUMENGGUNG PRINGGALAYA : Inilah
Panembahan Senapati ing Ngalaga, maju kau bedebah Mangir, jangan ragu.
WANABAYA : (melangkah hendak menyerbu Tumenggung Pringgalaya).
BARU KLINTING : Salah! Itulah
Panembahan Senapati (menuding) yang
berlindung dibalik semua orang
WANABAYA : (Ragu mengalihkan sasaran).
PANGERAN PURBAYA : (Melompat, menikam pada lambung Wanabaya).
WANABAYA : (keris terlepas dari tangan). Raja dari segala dusta… (dihujani tombak oleh prajurit-prajurit
Pengawal dari belakang; rebah).
Saat Wanabaya masuk istana, ia langsung mencari
Panembahan Senapati, tapi Tumenggung Pringgalaya menjebak Wanabaya dengan
mengaku sebagai Senapati. Saat Wanabaya akan menyerangnya. Pangeran Purbaya
menikam lambung Wanabaya, ia tersungkur dan dihujani tombak oleh prajurit
Mataram. Krisispun berakhir dengan pertanyaan bagaimanakah akhir perang Mangir
dan Mataram. Maka berlanjutlan peristiwa pada bagian selanjutnya, yaitu
penyelesaian.
e.
Penyelesaian
Pada
bagian penyelesaian ini, pengarang mulai memecahkan persoalan, setelah Wanabaya ditikam Pangeran Purbaya tepat
dilambungnya dan dihujani tombak oleh prajurit Mataram. Baru Klinting ditombak
Senapati dari belakang, saat ia menangkis serangan dari Tumenggung Mandaraka
dan Tumenggung Pringgalaya untuk menyerang Senapati. Sedangkan Demang Patalan
dihujani tombak oleh prajurit Mataram saat akan menyerang Senapati. Mereka
bertiga tewas di Mataram. Tergambar dari petikan dialog 827-829 berikut:
PANEMBAHAN SENAPATI : (menombak Baru Klinting dari belakang).
BARU KLINTING : (tersungkur)
Be-de-bah!
DEMANG PATALAN : (dengan keris pada tangan kanan, dengan
tangan kiri melemparkan sarungnya pada Tumenggung Mandaraka. Sebelum bisa
berbuat apa-apa, dihujani tombak dari belakang oleh para prajurit pengawal;
rebah).
TUMENGGUNG MANDARAKA : Selesai
sudah perkara Mangir.
Petikan dialog diatas
menjelaskan detail kematian Baru Klinting dan Demang Patalan yang mengakhiri
perang Mangir dan Mataram yang memberi kemenangan Mataram atas Perdikan Mangir.
f.
Keputusan
Pada
bagian ini, pengarang memberikan hasil dari penyelesaian, peristiwa ini
menceritakan Putri Pambayun meminta
ayahnya membunuhnya juga, karena ia melihat suaminya Wanabaya dibunuh. Namun
Senapati memerintahkan prajurit mengeluarkan Pambayun dari Mataram, karena ia
telah berhianat. Terlihat dari dialog 830-839 berikut:
PUTRI PAMBAYUN : (di samping mayat Wanabaya). Jangan lupakan Pambayun, ayahanda
baginda, antarkan sahaya pergi bersama dia……………
PANEMBAHAN SENAPATI : (tanpa menoleh pada Putri Pambayun). Haram
bumi Mataram dengan hadirnya perempuan durjana hina ini. Keluarkan dia dari
Mataram jaya! (cepat meninggalkan
panggung).
Senapati meninggalkan
ruang istana dengan diikuti Tumenggung Pringgalaya, Tumenggung Jagaraga dan
Pangeran Purbaya. Tumenggung Mandarakan menghampiri Ki Ageng Pamanahan yang lebih
dulu menemui ajalnya sebelum perkara Mangir selesai. Putri Pambayun hanya bisa
meratapi kematian suaminya di tangan Mataram.
TUMENGGUNG PRINGGALAYA,
TUMENGGUNG JAGARA, PANGERAN PURBAYA : (sambil memasukkan keris ke dalam sarong
dengan cepat mengikuti Panembahan Senapati)
TUMENGGUNG MANDARAKA : (menghampiri tubuh Ki Ageng Pamanahan).
Pamanahan adinda, kau sudah terdahulu pergi. Tak kau lihat lagi hari ini, hari
awal rencana aris ke timur sampai pantai.
PUTRI PAMBAYUN : (pada Wanabaya). Mari Kang, mari aku antarkan tinggalkan tempat
ini. Mari, mari Kang, mari. Bukankah Pambayun istrimu yang sejati? (berteriak). Mari, mari, mari.
……….CERITA USAI….…..
3.
Tokoh dan Perwatakannya
a.
Tokoh
Tokoh dalam drama Mangir ada tujuh belas orang,
1. Wanabaya: Ki Ageng Mangir, pemuda, + 23 tahun,
prajurit, pendekar, panglima
Mangir, tua Perdikan Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan gagah.
2. Baru Klinting: tetua
Perdikan Mangir, pemuda, + 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir,
organisator.
3. Pambayun: Putri pertama Panembahan Senapati
dengan permaisuri, + 16 tahun, telik Mataram, berpikiran masak.
6. Tumenggung Mandaraka: pujangga dan
penasihat kerajaan Mataram, + 92 tahun, kepala rombongan telik Mataram.
7. Ki Ageng Pamanahan: Ayah Panembahan Senapati, + 90 tahun.
8. Pangeran Purbaya: Anak pertama Panembahan Senapati,
+ 20 tahun.
9. Tumenggung Jagaraga: Anggota rombongan
telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 35 tahun.
10. Tumenggung Pringgalaya: Anggota rombongan
telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 45 tahun.
11. Panembahan Senapati: Raja Pertama Mataram,
+ 45 tahun.
12. Demang Pajang: Kepala
Kademangan Pajang, + 42 tahun.
14. Demang Pandak: Kepala
Kademangan Pandak, + 46 tahun.
15. Demang Jodog: Kepala
Kademangan Jodog, + 55 tahun
16. Pencerita (troubadour).
17. Beberapa prajurit Mataram
Ø Tokoh Protagonis
Tokoh protagonis dalam cerita ini adalah Wanabaya.
Wanabaya atau Ki Ageng Mangir Muda ialah tua Perdikan Mangir yang merupakan
prajurit, pendekar, dan panglima Mangir. Tokoh Wanabaya ini menarik, karena ia
tidak tahu bahwa ia jatuh cinta dan menikah dengan Putri Pambayun yang
merupakan anak musuhnya, yaitu Panembahan Senapati, Raja Mataram.
Ø Tokoh Antagonis
Tokoh antagonis dalam cerita ini adalah Panembahan Senapati,
Tumenggung Mandaraka dan Putri Pambayun.
1. Panembahan Senapati yang merupakan Raja Mataram
mempunyai keinginan untuk menjadi Raja tunggal di Jawa, sehingga ia ingin
mengalahkan Mangir untuk menambah daerah kekuasaannya.
2. Tumenggung Mandaraka merupakan pujangga dan
penasihat kerajaan Mataram, yang membantu memberikan strateginya untuk
mengalahkan Mangir.
3. Putri Pambayun (Adisaroh) yang merupakan putri
Panembahan Senapati juga menjadi inti dari strategi Mataram untuk mengalahkan
Mangir, ia yang tadinya diperintahkan untuk menggoda Wanabaya dan menjebaknya
agar datang ke Mataram, malah jatuh cinta pada Wanabaya.
Ø Tokoh Tritagonis
Tokoh
Tritagonis dalam cerita ini yaitu Baru Klinting, ia merupakan tetua Perdikan
Mangir. Ia prajurit, ahli siasat, pemikir dan organistrator yang memimpin
perang melawan Mataram. Di Mangir, pendapat dan keputusannya selalu dibutuhkan
mengenai persoalan apapun. Tokoh ini termasuk penentu dalam penyelesaian, hal tersebut
harus dicermati sungguh-sungguh oleh orang yang menganalisis cerita ini, sebab
bisa jadi terkecoh dalam menentukan tokoh ini sebagai tokoh utama atau bukan.
Ø Tokoh Pembantu
Tokoh pembantu dalam cerita ini yaitu para
demang Perdikan Mangir, yaitu Demang Pajang, Demang Patalan, Demang Pandak dan
Demang Jodog. Mereka merupakan gegeduk Mangir, dan kepala kedemangan daerah
Mangir yang membantu memunculkan tanda-tanda konflik pada insiden permulaan.
Mereka juga ikut mempertajam konflik yang dihadirkan rombongan telik Mataram.
Pencerita
(troubadour) yang membuka cerita pada awal setiap babak. Suriwang yang
merupakan pandai tombak Perdikan Mangir dan pengikut Baru Klinting yang
membantu mengawali cerita bersama Baru Klinting. Kimong yang merupakan telik
Mataram yang membantu memunculkan tanda-tanda konflik pada insiden permulaan.
Ki
Ageng Pamanahan yaitu Ayah Panembahan Senapati (Raja Pertama Mataram) yang
muncul di akhir dan membantu jalannya peristiwa klimaks sebelum cerita selesai.
Pangeran Purbaya (anak pertama Panembahan Senapati), serta anggota
rombongannya, Tumenggung Jagaraga dan Tumenggung Pringgalaya membantu jalannya
peristiwa klimaks di kerajaan Mataram bersama beberapa orang prajurit Mataram.
b.
Perwatakan Tokoh
Setiap tokoh tentunya mempunyai watak atau
karakter, yang merupakan sifat dasar manusia yang mempengaruhi segenap pikiran
dan tingkah lakunya. Watak ini dianggap sangat penting karena watak inilah yang
menghidupkan gerak laku para pemeran dalam cerita drama, dan dengan watak
konflik akan terasa tajam.
Watak dalam drama tidak dijelaskan secara
langsung oleh pengarang, melainkan dengan cara tidak langsung melalui dialog.
Kalaupun ada, hanya berupa keterangan pada awal naskah yang dijelaskan oleh
pengarang dengan maksud untuk mempermudah drama tersebut saat akan dipentaskan.
Berikut penggambaran watak tokoh:
1) Tokoh Protagonis
§ Watak Wanabaya
Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya saat pertama muncul
dalam drama, ia digambarkan sedang mengalami gejolak cinta pada Putri Pambayun
yang menyamar menjadi Adisaroh. Ia menyombongkan kedudukannya sebagai Ki Ageng
Mangir Muda dan panglima Mangir.
WANABAYA : Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh
rombongan jadi tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah
Wanabaya Muda. Biar aku bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya. (dialog 251)
Keinginanya menikah membuat sikapnya berubah. Ia
tidak bisa mengendalikan diri, ia yang biasanya rendah hati menjadi kasar dan
pongah, omongannya menjadi tekebur dan sangat menyinggung orang lain. Bahkan
dengan berani ia menantang terjadinya perpecahan dengan mangir karena perkara
ini.
WANABAYA : (melepas gandengan, maju menantang
para demang seorang demi seorang). Dengarkan kalian, orang-orang nyinyir,
tak mengerti perkara perang. Setajam-tajamnya senjata, bila digeletakkan
takkan ada sesuatu terjadi. Sebagus-bagusnya panglima perang, bila
ditinggalkan senjata dan balatentara, sebesar-besar pasukan akan binasa.
Apakah kalian belum mengerti ini? (dialog 279)
WANABAYA : Telah kalian cemarkan kewibawaan
Wanabaya Muda di hadapan orang luar, kalian yang relakan perpecahan. (dialog
298)
DEMANG
PANDAK : Biasanya kau randah hati, sehari dengan Adisaroh, kau berubah jadi
pongah, tekebur bermulut nyaring, berjantung kembung. (dialog 309)
Perubahan sikap Wanabaya yang seperti diatas tidak
terjadi lama, ia memang teguh mempertahankan keinginannya, namun ia menyadari
kesalahannya. Ia sedikit demi sedikit kembali menjadi Wanabaya yang rendah
diri, dan menjadi Panglima yang setia pada Mangir.
WANABAYA :
(membuang muka, merenung, bicara pada diri sendiri). Sekarang mereka pun
dapat usir aku. Apakah kemudian aku jadi anggota waranggana? Berjual suara
daridesa ke desa? Dari panglima jadi tertawaan setiap muka? Adisaroh pun boleh
jadi tolak diriku pula? (dialog 329)
WANABAYA : Dengar kalian semua: Terhadap Mataram
sikap Wanabaya tak berkisar barang sejari. Ijinkan aku kini memperistri
Adisaroh. Tanpa mendapatkannya aku rela kalian tumpas disini juga. Jangan usir
aku, terlepas dari perdikan ini. Beri aku anggukan, Klinting dan kalian para
tetua, gegeduk rata Mangir yang perwira. (berlutut
dengan tangan terkembang ke atas pad orang-orang di hadapannya). Aku lihat
tujuh tombak berdiri di jagang sana. Tembuskanlah dalam diriku, bila anggukan
tiada kudapat. Dunia jadi tak berarti tanpa Adisaroh damping hidup ini. (dialog
332)
WANABAYA : Aku telah bersalah, Baru Klinting yang
bijaksana! (dialog 349)
Setelah menikah Wanabaya menjadi suami yang
penyayang, perhatian dan pengertian.
WANABAYA : Kau melamu, adikku kekasih. Apakah
tersinggung hatimu kularang merenung dan mengantih? (berdiri di hadapan Putri Pambayun). (dialog 358)
WANABAYA : Apa yang masih kau lamunkan lagi? Lihat
sejoli belibis si angkasa sana. Adakah mereka suka bermenung seperti kau?
Tidak, Adisaroh kekasih kakang, karena semua sudah ada pada mereka. Katakan,
Adisaroh belahan jiwa, apa yang masih kurang? (dialog 378)
WANABAYA : (masuk
ke panggung). Belum juga kau masuk , Adisaroh kekasih? Terlalu lama diluar
tak baik untuk kandungan. Ah, aku lihat Suriwang lari seperti kerbau gila. Apa
gerangan dia perbuat? (dialog 498)
Ketika Wanabaya dihadapkan pada konflik untuk
menerima kenyataan bahwa Pambayun istrinya adalah Putri Panembahan Senapati,
raja Mataram musuhnya. Ia menyadari kesalahannya karena kurang waspada, namun
ia bisa menerima kenyataan tersebut karena cintanya pada istrinya, namun tidak
melebihi kesetiannya pada Perdikan Mangir.
WANABAYA : (mebelalak
memunggungi Putri Pambayun. Berjalan mondar-mandir gelisah, antara sebentar
menoleh pada Putri Pambayun) Ma-ta-ram! Ma-ta-ram! Dia kelahiran Mataram!
Wanabaya beristrikan wanita Mataram! Karena tergila-gila kecantikannya diri
kurang periksa. Ya, langit dan bumi, kemana mesti kusembunyikn mukaku ini? (Cepat berbalik pada Putri Pambayun)…….
(dialog 553)
WANABAYA : Tak bakal aku khianati Perdikan ini.
Kalau dia kau bunuh mati, aku takkan menghalangi, dengan syarat sandingkan mayatnya
pada bangkaiku, bersatu lahat di dalam tanah, di bawah beringin lapangan
Mangir. (dialog 623)
Perubahan watak yang terjadi pada Wanabaya ini
disebut watak bulat. Tanpa disangka tiba-tiba watak seseorang dapat berubah dalam
sekejap dan membuat sebuah cerita menjadi mengejutkan. Karakter Wanabaya adalah
karakter pembangun cerita, bisa dikatakan semua bertumpu pada karakter
Wanabaya.
2) Tokoh Antagonis
§ Watak Panembahan Senapati
Panembahan
Senapati adalah raja Mataram yang usianya kurang lebih 45 tahun. Ia ambisius.
Ambisius disini adalah nafsu yang telah mempunyai arah dan tujuan tertentu yang
disebut keinginan karena sebuah dorongan. Keinginan Panembahan Senapati adalah
menjadi raja tunggal di Jawa. Dia memakai cara-cara kotor apapun untuk dapat
memenuhi keinginannya. Terbukti dari percakapan Baru Klinting.
BARU
KLINTING : Masih belum kenal
kau apa itu raja? Raja jaman sekarang? Masih belum kenal kau siapa Panembahan
Senapati? Mula-mula membangkang pada Sultan Pajang, ayah-angkat yang
mendidik-membesarkannya, kemudian membunuhnya untuk bisa marak jadi raja
Mataram? Adakah kau lupa bagaimana Trenggono naik takhta, hanya melalui bangkai
abangnya? Apakah kau sudah pikun tak ingat bagaimana Patah memahkotai diri
dengan dusta, mengaku putra Sri Baginda Bhre Wijaya? (dialog 17)
Karena
ia menghalalkan berbagai cara untuk memenuhi keinginannya, Panembahan Senapati
menjadi orang yang sadis dan keji membunuh siapapun yang menghalangi
kehendaknya, ia licik dan rela mengorbankan siapapun untuk mencapai keinginan.
Hal itu dikuatkan oleh pernyataan Pambayun, putri kandung Panembahan Senapati
yang dijadikan mata-mata untuk menipu Wanabaya.
PUTRI
PAMBAYUN : Juga membunuh dan
mengkhianati! (terjerit dari balik telapak tangan). Mengerti sahaya kini,
mengapa kakanda Rangga, putra pertama ibu Jipang-Panolan, putra ayahanda
sendiri, dibunuh oleh ayahanda, digantung pada puncak pohon ara. (dialog 421)
Ini
membuktikan bahwa Panembahan Senapati adalah seorang raja yang kejam. Anak
sendiri dijadikan korban demi tahta.
PUTRI
PAMBAYUN : (membelalak ketakutan dalam mengingat-ingat). Masih ingat sahaya,
waktu itu, ayahanda baginda habis titahkan bunuh kakanda Rangga, agar digantung
dengan tali pada puncak pohon ara. Kemudian datang warta, titah telah
terlaksana, tubuhnya tergantung ditiup angin dari Laut Kidul, bakal habis
dimangsa gagak dan elang. Menggigil ketakutan sahaya bersujud pada ayahanda,
takut dibunuh maka persembahkan janji-bakti, apa saja baginda kehendaki. (dialog
433)
WANABAYA : Dengan
liciknya dikirimkan telik putrinya sendiri. (dialog 577)
…………………………………………………………
(pada dunia) Dikorbankannya
putri kesayangan, hanya karena gentar mengeletar pada Mangir. Kau raja, yang
mau tetap bertakhta, korbankan segala-gala asal tetap bermahkota...(dialog 581)
PANEMBAHAN
SENAPATI: Mataram menjanjikan mati, bagi siapa saja pembikin lemah, retak dan
pecah. (dialog 802)
Watak Senapati adalah watak datar. Wataknya
konsisten dari awal hingga akhir berwatak jahat, tokoh yang dibenci penonton
drama. Tokoh Senapati menggambarkan betapa keji dan liciknya seseorang yang
buta jabatan.
§ Watak Tumenggung Mandaraka
Tumenggung
Mandaraka atau Ki Juru Martani adalah pujangga dan penasihat Mataram. Usianya
sekitar 92 tahun. Ia adalah kepala rombongan telik Mataram. Sebagai telik, ia
merupakan penipu ulung, pandai berdusta, licik, penghasut dan pendendam, ia
juga kejam seperti Panembahan Senapati. Wataknya dijelaskan dari dialog seperti
berikut:
PUTRI PAMBAYUN : Betapa nenenda bisa berdusta pada
sahaya. (dialog 412)…………………………………………………… (merengut
meninggalkan Tumenggung Mandaraka, menuding ke bawah padanya). Dusta! Semua
dusta (menutup mata dengan dua belah
tangan). Patutkah putri raja, sulung permaisuri, didustai seperti ini? (dialog
416)
Ia
tak hanya berbohong pada warga Perdikan Mangir, tetapi juga pada Pambayun,
sesama telik. Ia juga kejam seperti Panembahan Senapati, Ia penasihat yang
kejam dan licik, karena perkataannya selalu menghasut, Ia ingin Wanabaya
binasa. Seperti petikan dialog berikut:
TUMENGGUNG
MANDARAKA: Cucu adinda sudah berpuluh, apa beratnya korbankan yang satu, toh
hanya anak desa. (dialog 672)
TUMENGGUNG
MANDARAKA : Bayi itu tetap cicit adinda. Hanya Wanabaya harus binasa. (dialog
720)
Ia
ingin Wanabaya binasa karena menurutkan keinginan Senapati menjadi raja
tunggal, dan ia juga dendam atas kekalahan Mataram dalam perang sebelumnnya,
sehingga ia terlalu bernafsu membunuh Wanabaya.
TUMENGGUNG
MANDARAKA : Nah Pamanahan adinda, itulah tengara sang panglima, Berarti
dwi-tunggal Klinting-Wanabaya sedang bergerak masuk ke dalam jebakan. Kenangkan
hari ini menebus kekalahan, menebus dengan Perdikan Mangir dan
kademangan-kademangan sekawan. Takluknya mereka akan bikin Mataram dapatkan
tiga ribu prajurit tambahan. Maka baris ke timur akan segera dapat dirancang,
dari Mataram ke Madiun, dari Gersik ke Blambangan. Laut selingkupan Jawa
sebelah sana akan jadi pagar Mataram. (dialog 775)
TUMENGGUNG
MANDARAKA : (juga berbisik) Seperti Pamanahan adinda sudah lupa siapa Ki Juru
Martani ini. Jangankan cucu darahmu sendiri, begitu bisa akibatkan perpecahan
kerajaan, seperti Rangga, seperti Wanabaya nanti, tempatnya yang paling tepat
hanyalah akhirat. (dialog 784)
§ Watak Putri Pambayun
Menurut petunjuk
dalam buku Mangir, Pambayun adalah perempuan berusia sekitar 16 tahun.
Ia adalah putri pertama Panembahan Senapati. Ia berpikiran masak, ketika ia
dijadikan telik oleh ayahandanya untuk menggoda Wanabaya, ia sebagai penipu berhasil
membuat Wanabaya tergila-gila padanya. Namun penyamaran Pambayun tidak seratus
persen sempurna, rahasianya pernah hampir terbongkar.
PUTRI PAMBAYUN : Biar aku
bersujud padamu, untuk puji terimakasihku. (dialog 391)
WANABAYA : Sujud padaku? (curiga) Bukan adat wanita desa
bersujud pada guru-suami. Apakah kau kehendaki aku mati dahulu untuk bisa kau
sujudi? (dialog 392)
Setelah menikah
dengan Wanabaya, Pambayun yang tadinya setia pada ayahnya mulai merasa bahwa ia
benar-benar mencintai suaminya, dan mulai menyadari kekejaman ayahnya. Dengan
bijaksana ia mengambil keputusan untuk membela Perdikan Mangir dan berbakti
kepada suaminya suaminya meski harus melawan ayahnya.
PUTRI PAMBAYUN : Tak ada yang
lebih dari Kakang. Kalaupun Adisaroh mati, semoga matilah disini, di bawah
naungan beringin, ditingkah kicauan burung tiada henti. (dialog 373)
PUTRI PAMBAYUN : (ragu-ragu
dan berhenti) Tak ingin sahaya dengarkan kata nenenda lagi. (Menoleh) Pada
suami sahaya hendak lebih berbakti. (dialog 441)
Saat sikap Pambayun
berubah karena cintanya kepada Wanabaya, ia berani jujur pada Wanabaya tentang
identitasnya. Saat Baru Klinting menyalahkan Wanabaya pun Pambayun mencoba
membela Wanabaya. Ia meyakinkan pada Perdikan Mangir bahwa ia mencintai bayi
dan suaminya serta Perdikan Mangir.
PUTRI PAMBAYUN : (berjalan dengan lutut dan tangan, merangkul
kaki Wanabaya, menengadah). Ampuni istrimu yang berdusta, inilah aku, betul
kau, Kakang dewa-suamiku, bukan Adisaroh namaku. (dialog 564)
PUTRI PAMBAYUN : Ku cintai
Perdikan ini, aku cintai suami sendiri... (dialog 615)
PUTRI PAMBAYUN : Tak bercerai
kita, Kakang Wanabaya, dalam hidup dan dalam mati. (dialog 649)
Pambayun setia
pada Wanabaya, ketika di hadapan ayahnya ia mengatakan ingin mati bersama
Wanabaya karena ia sangat mencintai Wanabaya.
PUTRI PAMBAYUN: (di samping
mayat Wanabaya). Jangan lupakan Pambayun, ayahanda baginda, antarkan sahaya
pergi bersama dia... (dialog 830)
Dari
uraian di atas, dapat dikatakan Putri Pambayun adalah perempuan yang labil, ia
mulanya berbakti kepada ayahnya lalu setelah jatuh cinta ia berbalik menjadi
berbakti pada musuh ayahnya. Namun disamping cintanya pada Wanabaya,
karakternya berubah karena ia menyadari bahwa ayahnya salah, jadi ia berpikiran
masak sebagai bukti bahwa ia semakin dewasa.
3) Tokoh Tritagonis
§ Watak Baru Klinting
Baru Klinting adalah orang yang tegas baik
dalam perbuatan dan perkataannya, ia juga bijaksana dalam memutuskan sesuatu,
oleh karena itu ia menjadi seorang prajurit,
dan organisator di Perdikan Mangir. Baru Klinting digambarkan sebagai sosok
yang mempunyai visi dan misi kedepan. Ia optimis dan percaya diri pada
kemampuannya. Selain terlihat
dari saat ia berdialog, banyak dialog orang lain yang menjelaskan wataknya.
Wataknya dapat dilihat dari petikan dialog berikut ini:
BARU
KLINTING : (memperingatkan). Mangir akan tetap jadi perdikan, tak bakal
jadi kerajaan. (dialog 15)
BARU
KLINTING : Akan datang masanya masuki Mataram dengan tangan berlenggang. Tidak
sekarang. Senapati masih terjaga oleh berlapis-lapis balatentara, benteng batu
bata, dusun-dusun bersenjata sekitar benteng, seberangi Code, Gajah Wong
sebelum sampai kei stana. Biar dulu Mataram terpagari dari selatannya. (dialog
136)
Ia juga ahli siasat dan pemikir. Ia tahu bagaimana
harus melawan musuh. Ia juga tahu strategi apa yang akan dilakukan. Ia
bijaksana dalam memutuskan sesuatu, dilihat dari petikan dialog orang lain yang
menggambarkan wataknya.
DEMANG PATALAN : Kau, Klinting sang bijaksana, kaulah sekarang yang bicara. (dialog 129)
DEMANG PATALAN : Siapa tidak percaya? Di medan perang Klinting perwira, di Perdikan Klinting bijaksana, Ronggeng Jaya Manggilingan dengan dua puluh gegeduk bikin porak-poranda Mataram. …………………………(dialog 137)
BARU KLINTING : Juga Wanabaya punya hak bicara, tak semestinya kita lindas hasrat dalam hatinya. Apa jadinya sungai yang tak boleh mengalir? Dia akan mengamuk melandakan banjir. (dialog 269)
WANABAYA : Aku telah bersalah, Baru Klinting yang bijaksana! (dialog 349)
Sebagai seorang tetua Perdikan Mangir, prajurit, ahli siasat dan pemikir yang bijaksana, Baru Klinting selalu waspada pada setiap gerik yang mencurigakan, karena ia takut merugikan Perdikan Mangir.
BARU
KLINTING : Kita semua masih
curiga siapa waranggana dan rombongannya. Kalau ada Suriwang, dia akan bilang:
Ai-ai-ai memang bias lain. Tanpa Wanabaya cerita akan menggambil suara lain.
Dilarang dia pun akan berkembang lain. Pukul tengara, pertanda pesta panen boleh
dibuka. (dialog 353)
BARU
KLINTING : Tak kau jawab di
mana mertuamu. Tak cukup dengan bilang tak bermertua lagi. (dialog
600)
4) Tokoh Pembantu
§ Watak Demang Pajangan, Demang Patalan, Demang
Pandak dan Demang Jodog tidak terjelaskan secara keseluruhan, karena dalam
naskah ini mereka hanya muncul sebagai tokoh yang mempertajam konflik dan ikut
menyelesaikan konflik. Namun dapat ditangkap dari dialog mereka sangat peduli
dan setia kepada Perdikan Mangir. Terlihat dari petikan dialog berikut:
DEMANG PANDAK : Betul. Dia belum lagi melepas brahmacarya. Dia juga
perjaka, hanya sayang tak tampan rupa. Tidak bisa, taka da yang berhak untuk
bergila, juga Wanabaya Ki Ageng Mangir Muda tidak. Tidak bisa! Tidak bisa! (dialog 125)
DEMANG PATALAN : Kita semua bicara tentang Mangir, nasib Mataram,
hanya Wanabaya dan rombongan waranggana sibuk tawar-menawar. (Pada Baru Klinting) Kau hanya punya
kata-putus, putuskan sekarang juga, sebelum berlarut menjadi bencana. (dialog 268)
DEMANG JODOG : Kau sendiri
Wanabaya, mulaikah perang kau lupakan? (dialog 274)
DEMANG PAJANGAN : Menjawab pun kau tak sudi. Berat mana Mataram atau
Adisaroh waranggana? (dialog
276)
Dialog para demang diatas
memperlihatkan bahwa mereka setia pada perdikan Mangir, mereka selalu waspada
pada setiap orang asing yang datang ke Mangir, karena tidak ingin ada bahaya
menimpa Mangir akibat orang-orang asing tersebut.
§ Watak Suriwang
Suriwang
adalah pandai tombak yang berusia sekitar 50 tahun. Ia adalah pengikut fanatik
Baru Klinting. Ia patuh pada Baru Klinting. Selain itu, ia juga teliti dan
selalu waspada. Seperti ketika ada telik Mataram yang menyusup ke Mangir,
Suriwang tetap Waspada, bahkan kepada Putri Pambayun ia juga waspada, meski
Pambayun adalah istri Wanabaya.
SURIWANG : Kau anggap gampang menipu Perdikan?
(mendengus menghinakan). Berapa lama
kau membudak di istana Mataram. (dialog 36)
SURIWANG : (masuk
ke panggung). Benar dia telah lari, orang tua bangka, mampumencuri kuda Ki
Ageng Mangir dan melarikannya. Klinting, panggil Nyi Ageng Mangir utnuk
diperiksa. (lari meninggalkan panggung). (dialog
598)
Suriwang
orang yang waspada pada setiap gerak-gerik yang mencurigakan, menandakan ia
sangat setia pada Perdikan Mangir. Ia juga rela mati dalam perang untuk
Perdikan ini.
SURIWANG : Persetan dengan sanggar tombak! Akupun ikut dalam
barisan serbu Mataram. (dialog 659)
§ Watak Ki Ageng Pamanahan
Ki Ageng Pamanahan adalah ayah dari Panembahan
Senapati. Usianya kurang lebih 90 tahun. Sebenarnya ia menyanyangi cucunya
Putri Pambayun dan menginginkan perdamaian dengan Wanabaya, karena Wanabaya
adalah ayah dari cicitnya kelak. Ia pernah ingin Pambayun beserta suami dan
cucunya tetap hidup. Ia tidak setuju dengan sikap Panembahan Senapati yang
licik. Ia menentang anaknya, hanya saja ia sudah renta dan kata-katanya tak
mampu mengubah apapun.
KI
AGENG PAMANAHAN : hmm-hmm-hmm , kini Wanabaya, suami cucunda tercinta Pambayun
Putri. Tega, tega, tega kau, Ki Juru Martani (melangkah maju dengan tongkat, pada tangan yang gemetar)……. (dialog 669)
KI
AGENG PAMANAHAN : Hmm-hmm-hmm, bukankah juga seperti kita, dia bercinta, ingin
mati hanya pada usia tua? (dialog 671)
KI
AGENG PAMANAHAN : Ya-ya-ya, hati yang gemetar begini, pertanda tersintuh suara
darah keturunan sendiri, ya-ya-ya Pambayun. Ah, Pambayun cucu tersayang ......(dialog 791)
Ia begitu menyayangi cucunya, namun setelah ia
menerima komunikasi persuasi dari Tumenggung Mandaraka, yang meyakinkannya
bahwa Wanabaya hanya akan menghalangi Mataram untuk jaya, Ia menerima rencana
pembunuhan Wanabaya, ia berubah menjadi tak acuh pada Pambayun karena Pambayun
berbalik membela Mangir, terlihat pada dialog 801-803:
PUTRI PAMBAYUN :
Sahaya inginkan tangan ayahanda sendiri habisi Pambayun ini.
TUMENGGUNG
MANDARAKA : Kau setiawan Mataram, bukan di sini tempat meminta mati.
KI AGENG
PAMANAHAN : Perempuan hina! (menendang
Putri Pambayun sehingga lepas rangkulan pada kaki).
Karakter
Ki Ageng Pamanahan tiba-tiba berubah dari penyayang menjadi pembenci. Perubahan
sikapnya adalah karena ia menerima komunikasi persuasi dari Tumenggung
Mandaraka dan Panembahan Senapati dan situasi peperangan sebelum ia meninggal.
§ Watak Tumenggung Pringgalaya, Tumenggung
Jagaraga, Pangeran Purbaya dan Kimong
tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya sebentar dan
tidak begitu banyak dialog yang dilontarkan. Ia hanya membantu dalam jalannya
cerita.
§ Watak Pencerita (troubadour) tidak terjelaskan
dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk membacakan cerita.
§ Watak beberapa prajurit Mataram tidak
terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk membantu
jalannya cerita.
Demikian penggambaran watak yang dapat digali
dari naskah Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
4.
Konflik
Konflik atau tikaian merupakan inti drama, karena
dalam drama pasti mengandung konflik yang membuka alur cerita dan membuatnya
menarik. Konflik berawal dari benih-benih konflik yang sengaja atau tidak
sengaja tercipta oleh manusia itu sendiri. Konflik yang ada dalam cerita Mangir ini menyelimuti tokoh-tokohnya, yaitu Wanabaya,
Baru Klinting, Panembahan Senapati, Putri Pambayun, Tumenggung Mandaraka, Demang
Jodog, Demang Patalan, Demang Pajangan, Demang Pandak, dan Pangeran Purbaya.
Ø Konflik Wanabaya
ü Konflik Wanabaya dengan Baru Klinting
Konflik Wanabaya dimulai saat orang-orang
Perdikan Mangir kembali dari perang melawan Mataram. Saat Mangir mengadakan
pesta, ia bertemu dengan seorang penari bernama Adisaroh dari rombongan tandak
wiyaga. Ia berniat menjadikan Adisaroh sebagai istrinya. Terlebih dahulu ia
harus mendapatkan restu dari baru Klinting sebagai tetua Perdikan Mangir. Namun
Baru Klinting tak kunjung memberikan anggukan, karena ingin menyelidiki
terlebih dulu rombongan wiyaga. Hal itu membuat Wanabaya marah karena tak
sabar. Konflik ini selesai dengan keputusan Baru Klinting yang memberikan
restunya, namun ia masih waspada terhadap rombongan Wiyaga. Konflik Wanabaya
ini berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.
Ingin menikahi Adisaroh (Putri Pambayun)
|
Wanabaya
|
Baru
Klinting tak kunjung merestui
|
ü Konflik Wanabaya dengan para demang pengikut
Perdikan Mangir
Konflik Wanabaya ini erat dengan konfliknya
dengan Baru Klinting sebelumnya. Ia berniat menjadikan Adisaroh sebagai istrinya,
dan meminta restu pada Baru Klinting. Namun para demang, yaitu Demang Patalan,
Demang Pandak, Demang Pajang dan Demang Jodog tidak setuju atas permintaan
Wanabaya tersebut. Karena mereka ingin Wanabaya mendahulukan perang melawan
Mataram daripada mengurusi keinginannya menikah. Hal itu membuat Wanabaya marah
karena merasa taka ada yang membelanya. Konflik ini selesai setelah Wanabaya
berjanji tak akan mengabaikan urusan perang dibandingkan urusan Adisaroh
setelah ia menikah. Konflik Wanabaya ini berada dalam valensi positif-negatif,
atau mendekat-menjauh.
Ingin menikahi Adisaroh (Putri Pambayun)
|
Wanabaya
|
Para
demang ingin Wanabaya mendahulukan perang
|
ü Konflik Wanabaya dengan Putri Pambayun
Konflik Wanabaya dengan Putri Pambayun terjadi
ketika Putri Pambayun jujur mengenai identitasnya sebagai putri raja Mataram,
dan menyampaikan perintah Panembahan Senapati untuk mengajak Wanabaya ke
Mataram. Wanabaya marah atas kejujuran Putri Pambayun, karena berarti selama
ini Putri Pambayun berdusta kepadanya. Namun ia tak bisa memungkiri bahwa
cintanya pada Putri Pambayun tulus, walaupun sang putri adalah anak dari
musuhnya sendiri, raja Mataram dan menjadikannya kurang waspada pada
orang-orang asing yang muncul disekitarnya. Konflik ini selesai ketika Wanabaya
mengakui dan membela istrinya didepan Baru Klinting dan para demang. Walaupun
awalnya Wanabaya marah pada Pambayun, tapi akhirnya mereka semua sepakat
memenuhi permintaan Pambayun ke Mataram, namun harus tetap waspada dan siap
jika akan terjadi perang. Konflik Wanabaya berada dalam dua kekuatan yang searah
sama kuat, atau berada dalam valensi positif-positif atau mendekat-mendekat.
Pambayun
jujur ia adalah putri raja Mataram
|
Wanabaya
|
Marah,
namun ia mencintai Putri Pambayun
|
ü Konflik Wanabaya dengan Panembahan Senapati
Konflik Wanabaya dengan Panembahan Senapati
sebenarnya terjadi dari awal cerita, yaitu Panembahan Senapati ingin menguasai
Mangir, namun pasukannya berhasil dikalahkan oleh Wanabaya. Saat Wanabaya dan
Putri Pambayun beserta prajurit Mangir dijebak agar pergi ke Mataram, terjadi
perang. Wanabaya menerobos masuk istana Mataram untuk membunuh sendiri
Panembahan Senapati, namun ia ditipu oleh Tumenggung Pringgalaya yang mengaku
sebagai Panembahasn Senapati. Konfliknya berlangsung singkat, saat Wanabaya
bingung mengalihkan pandangan dari Tumenggung Pringgalaya ke Panembahan
Senapati. Ia dibunuh oleh Pangeran Purbaya. Selesailah konflik Wanabaya, yang
berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Menerobos Mataram untuk membunuh Panembahan
Senapati
|
Wanabaya
|
Tumenggung
Pringgalaya mengaku sebagai Panembahan Senapati
|
Ø Konflik Baru Klinting
Baru Klinting mempunyai konflik yang berawal
dari kerajaan Mataram. Baru Klinting ingin mempertahankan Mangir sebagai
Perdikan. Namun Panembahan Senapati, raja Mataram ingin menguasai Mangir untuk
memperluas daerah kekuasaannya. Ia melakukan berbagai cara untuk menaklukkan
Mangir, seperti mengirimkan para telik Mataram untuk memata-matai Mangir.
Sebisa mungkin Baru Klinting waspada pada setiap orang asing yang datang ke
Mangir, namun akhirnya konflik ini selesai dengan kemenangan Mataram atas
Mangir dalam perang di kraton Mataram. Konflik Baru Klinting berada dalam
valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.
Mempertahankan Mangir sebagai perdikan
|
Baru
Klinting
|
Panemabahan
Senapati ingin menguasai Mangir
|
Ø Konflik Panembahan Senapati
Panembahan Senapati memiliki konflik yang
muncul karena latar belakang cerita drama ini, yang berawal dari runtuhnya
Kerajaan Majapahit dan tak ada pusat kekuasaan di Jawa. Dalam dirinya muncul
dua daya yang sama kuat, yaitu keinginannya untuk mendapatkan kekuasaan
tertinggi atau menjadi raja tunggal di Jawa, disisi lain Wanabaya dan Baru
Klinting sangat kuat mempertahankan Perdikan Mangir. Konfliknya selesai dengan
kemenangannya atas Perdikan Mangir dengan cara kotor, ia memerintahkan anaknya
menjadi mata-mata, namun anaknya menjadi memusuhinya, karena cinta anaknya
kepada Wanabaya panglima perdikan Mangir. Konflik Panembahan Senapati berada
dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Menjadi raja tunggal di Jawa
|
Panembahan
Senapati
|
Baru Klinting
dan Wanabaya mempertahankan Mangir
|
Ø Konflik Putri Pambayun
ü Konflik Putri Pambayun dengan Wanabaya.
Konflik Putri Pambayun dengan Wanabaya terjadi
ketika Putri Pambayun hendak jujur mengenai identitasnya sebagai putri raja
Mataram, dan menyampaikan perintah ayahnya untuk mengajak Wanabaya ke Mataram.
Disisi lain, ia takut Wanabaya marah atas kejujurannya, karena perihal
permusuhan Mangir dan Mataram. Konflik ini selesai ketika Putri Pambayun telah
jujur pada Wanabaya, awalnya Wanabaya sangat marah karena kenyataan ia menikahi
putri dari musuhnya sendiri. Namun ia tak bisa memungkiri ia mencintai Putri
Pambayun dan menjadikannya kurang waspada pada orang-orang asing yang muncul
disekitarnya. Konflik Putri Pambayun berada dalam dua kekuatan yang
bertentangan arah sama kuat, atau berada dalam valensi positif-negatif atau
mendekat menjauh.
Jujur pada Wanabaya
|
Putri
Pambayun
|
Wanabaya
akan marah dan menolaknya
|
ü Konflik Putri Pambayun dengan Panembahan
Senapati.
Konflik Putri Pambayun erat hubungannya dengan
konlik ayahnya, Panembahan Senapati yang merupakan Raja Mataram. Berawal dari
ayahnya yang memerintahkannya untuk menjadi mata-mata, menggoda Panglima Mangir
Wanabaya sebagai strategi mengalahkan Mangir. Dalam dirinya muncul dua daya
yang saling bertentangan arah dan kuat. Dia berada dalam keadaan rumit, yaitu
ia harus menepati janji pada ayahnya untuk membawa Wanabaya ke Mataram setelah
menikah, namun ia takut Wanabaya mati dibunuh ayahnya jika ia membawanya ke
Mataram, karena ia sangat mencintai suaminya walaupun ia panglima Mangir yang
merupakan musuh ayahnya. Konfliknya selesai saat Wanabaya setuju ke Mataram
bersama para prajurit Mangir untuk memenuhi permintaan Panembahan Senapati dan
akhirnya Wanabaya dibunuh disana. Putri Pambayun berbalik membenci ayahnya dan
hanya bisa meratapi suaminya. Konflik Putri Pambayun berada dalam valensi
positif-negatif atau mendekat- menjauh.
Menepati janji pada ayahnya
|
Putri
Pambayun
|
Wanabaya
dibunuh ayahnya
|
Ø Konflik Tumenggung Mandaraka
ü Konflik Tumenggung Mandaraka dengan Putri
Pambayun
Konflik Tumenggung Mandaraka terjadi ketika ia
dan Putri Pambayun masih menyamar menjadi orang desa di Perdikan Mangir. Semua
orang Mataram sudah terlebih dulu kembali ke Mataram. Tinggal ia dan Putri Pambayun.
Ia memperingatkan Putri Pambayun agar menepati janji pada Panembahan Senapati
untuk membawa Wanabaya ke mataram setelah tiga kali tigapuluh hari lamanya
Putri Pambayun menikah dengan Wanabaya. Namun Putri Pambayun terus membantah
peringatan itu. Ia merasa didustai oleh Tumenggung Mandaraka tentang Wanabaya,
sehingga ia jatuh cinta pada Wanabaya saat pertama bertemu. Kini ia malah
mencintai Perdikan Mangir pula, sehingga ia enggan menepati janji pada ayahnya.
Konflik ini selesai saat Tumenggung Mandaraka dengan tegas memperingatkan Putri
Pambayun, lalu meninggalkan Mangir dengan membawa kabur kuda Wanabaya. Konflik
Tumenggung Mandaraka ini berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat,
yaitu pada valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
memperingatkan Putri Pambayun
|
Tumenggung
Mandaraka
|
Putri
Pambayun menolak diperingatkan
|
ü Konflik Tumenggung Mandaraka dengan Ki Ageng
Pamanahan
Konflik Tumenggung Mandaraka ini terjadi
ketika ia telah kembali dari Perdikan Mangir ke Mataram. Saat Para tetinggi Mataram
menunggu kedatangan Wanabaya dan Putri Pambayun serta para prajurit Mangir, ia
berdialog dengan Ki Ageng Pamanahan, ayah Panembahan Senapati soal Mangir. Pada
hari ini, Mataram berencana membunuh Wanabaya untuk menghancurkan Mangir. Tumenggung
Mandaraka menyarankan Pembunuhan Wanabaya, demi takhta yang akan didapat
Panembahan Senapati. Namun Ki Ageng Pamanahan ragu atas usulan tersebut. Ia
ingin rencana tersebut dibatalkan demi cucunya Pambayun dan suaminya Wanabaya. Konflik
ini selesai saat Ki Ageng Pamanahan sedikit-demi sedikit menyetujui rencana
pembunuhan Wanabaya demi kejayaan Mataram. Konflik Tumenggung Mandaraka ini
berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi
positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Ingin
Wanabaya mati
|
Tumenggung
Mandaraka
|
Ki
Ageng Pamanahan ingin cucunya dan Wanabaya selamat
|
Ø Konflik Demang Jodog
Konflik Demang Jodog ada dalam diri Wanabaya.
Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan tandak yang
tidak jelas asal usulnya. Demang Jodog membenarkan tingkah Wanabaya, karena dia
menganggap Wanabaya berhak bersuka ria setelah memenangkan perang. Namun
ternyata Wanabaya tak sekedar bersuka, ia bermaksud menikahi penari itu dan
membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting dan para demang. Konflik
ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru Klinting dan para demang
untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan terbelah antara Adisaroh
dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Jodog ini berada dalam dua arah
bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi positif-negatif atau
mendekat-menjauh.
Menyetujui
Wanabaya berhak bersuka setelah perang
|
Demang
Jodog
|
Wanabaya
ingin menikahi penari bernama Adisaroh
|
Ø Konflik Demang Patalan
Konflik Demang Patalan ada dalam diri
Wanabaya. Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan
tandak yang tidak jelas asal usulnya. Demang Patalan tidak menyukai tingkah
Wanabaya. Apalagi ternyata Wanabaya tak sekedar bersuka, ia bermaksud menikahi
penari itu dan membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting dan para
demang. Konflik ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru Klinting dan
para demang untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan terbagi
antara Adisaroh dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Patalan ini searah
dan sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
Wanabaya
mendatangkan rombongan tandak yang tidak jelas
asal-
usulnya
|
Demang
Patalan
|
Wanabaya
ingin menikahi penari bernama Adisaroh
|
Ø Konflik Demang Pajangan
Konflik Demang Pajangan ada dalam diri
Wanabaya. Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan
tandak yang tidak jelas asal usulnya. Demang Pajangan tidak menyukai tingkah
Wanabaya. Apalagi ternyata Wanabaya tak sekedar bersuka, ia bermaksud menikahi
penari itu dan membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting dan para
demang. Demang Pajangan takut Wanabaya akan terbelah hatinya antara perang dan
Adisaroh. Konflik ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru Klinting
dan para demang untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan terbagi
antara Adisaroh dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Pajangan ini searah
dan sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
Wanabaya ingin menikahi Adisaroh
|
Demang
Pajangan
|
Tak
ingin Wanabaya terbelah perhatiannya antara perang dan Adisaroh
|
Ø Konflik Demang Pandak
Konflik Demang Pandak ada dalam diri Wanabaya.
Sepulang perang melawan Mataram, Wanabaya mendatangkan rombongan tandak yang
tidak jelas asal usulnya. Demang Pandak tidak suka karena Wanabaya hanya
bersuka sendiri dengan Adisaroh si penari. Apalagi ternyata Wanabaya tak
sekedar bersuka, ia tak bisa mengendalikan diri dekat Adisaroh, ia bermaksud
menikahi penari itu dan membawanya serta rombongannya menghadap Baru Klinting
dan para demang. Demang Pandak takut Wanabaya akan terbelah hatinya antara
perang dan Adisaroh. Konflik ini selesai saat Wanabaya mendapat ijin dari Baru
Klinting dan para demang untuk menikah setelah ia berjanji perhatiannya takkan
terbagi antara Adisaroh dan perang dengan Mataram. Konflik Demang Pandak ini
searah dan sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
Wanabaya bersuka sendiri dengan Adisaroh
|
Demang
Pandak
|
Wanabaya
tak bisa kendalikan diri dekat dengan Adisaroh
|
Ø Konflik Pangeran Purbaya
Konflik Pangeran Purbaya ini terjadi saat para
tetinggi Mataram menunggu kedatangan Wanabaya dan Putri Pambayun serta para
prajurit Mangir, ia berdialog dengan Ki Ageng Pamanahan, nenendanya soal
Mangir. Hari ini, pangeran Purbaya diperintahkan membunuh Wanabaya, namun ia
ragu karena Wanabaya adalah adik iparnya sendiri. Sedangkan Ki Ageng Pamanahan
menyuruhnya melaksanakan tugasnya itu demi sembah bakti pada ayahnya Panembahan
Senapati atau ia tidak akan mengakuinya sebagai cucu lagi. Konflik ini selesai
saat Pangeran Purbaya akhirnya membunuh Wanabaya demi kejayaan Mataram. Konflik
Pangeran Purbaya ini berada dalam dua arah bertentangan yang sama kuat, yaitu
pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
Ragu
diperintahkan membunuh Wanabaya
|
Pangeran
Purbaya
|
Tak
diakui cucu oleh Ki Ageng Pamanahan jika tugas tak dilaksanakan
|
5.
Latar/setting
Setiap cerita pasti punya latar, baik latar
tempat, waktu, lingkup sosial maupun suasana. Latar cerita ada yang secara
jelas diterangkan oleh pengarang, ada juga yang tak begitu jelas. Dalam cerita
drama Mangir terdapat latar sebagai berikut:
a. Latar Tempat
Ø Di dalam ruangan
Latar
tempat di ruangan dijelaskan oleh pengarang dalam pembukaan pada babak pertama
dan ketiga. Latarnya sebagai berikut:
- Pada permulaan cerita di babak pertama, latar
tempat yaitu di pendopo Perdikan Mangir, dijelaskan oleh pengarang dalam
kutipan berikut:
Setting: Pendopo Perdikan Mangir, di bawah soko-soko
guru terukir berwarna ( polichromed),
dilengkapi dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu. Di atas meja
berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru
berdiri sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak berdiri padanya. Latar
belakang adalah dinding rumah-dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu berukir
dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong. (Toer, 2000: 2)
- Pada permulaan cerita di babak ketiga, latar
tempat yaitu di Balariung kraton Mataram, dijelaskan oleh pengarang seperti
berikut:
Setting:
Balariung kraton Mataram, di samping takhta terdapat kursi kayu biasa. (Toer,
2000: 79)
Ø Di luar ruangan
Latar tempat di luar ruangan dijelaskan oleh
pengarang dalam pembukaan babak kedua, latarnya di taman bunga di samping rumah
Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Dijelaskan oleh pengarang seperti berikut:
Setting:
Taman bunga di samping rumah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya Di atas tanah yang
ditinggikan 20 cm, ditahan dengan papan, berdiri sebatang pohon manga besar,
dikelilingi bangku-bangku panjang dari kayu. Latar belakang: samping rumah yang dihias dengan sangkar-sangkar
burung dan ayam aduan. (Toer, 2000: 40 )
b. Latar Waktu
Latar waktu tidak dijelaskan secara tersurat oleh
pengarang dalam naskah, tapi setidaknya dapat ditentukan, tiga gambaran waktu,
yaitu malam, pagi, dan siang.
Ø Babak pertama
Pada babak pertama ini dapat diterapkan latar
waktu malam, latar tempat pada babak ini yaitu di pendopo perdikan Mangir. Pada
babak ini, Wanabaya sedang menari dengan Adisaroh, seorang penari dari
rombongan tandak untuk merayakan pesta kemenangan Mangir mengusir prajurit Mataram
dalam perang. Pesta biasanya dilaksanakan malam hari, jadi dapat diperkirakan latar
waktunya adalah malam hari. Disini juga diterangkan bahwa mereka belum lama
pulang dari perang, yang ikut menguatkan latar waktu malam. Tergambarkan dari
dialog 117-128:
DEMANG PATALAN : Heran
aku Klinting, belum setengah hari kau tinggalkan garis depan, pesta panen telah
selesai kau persiapkan.
DEMANG JODOG : Diawali pesta
ini dengan tandak di Balai Perdikan. Luarbiasa, tak pernah terjadi sebelumnya.
DEMANG PAJANGAN: Semua kita telah perang. Semua punya hak untuk
bersuka. Juga kau, Klinting.
Petikan dialog diatas menjelaskan bahwa mereka
belum lama pulang dari medan perang, dan belum setengah hari pulang dari medan
perang telah diadakan pesta di Perdikan Mangir, dapat diterka bahwa pesta
diadakan pada malam hari.
Ø Babak kedua
Pada
babak kedua ini, dapat diterapkan latar waktu pagi. Latar tempat pada babak ini
yaitu di taman bunga samping rumah Ki Wanabaya. Yang memperkuat latar waktu pagi
ialah ketika Tumenggung Mandaraka datang menghampiri Putri Pambayun di taman
membawa cangkul kayu, seolah ia hendak bekerja. Kemudian saat Suriwang bertanya
Ki Ageng Mangir sudah berangkat perang atau belum, dapat diterka bahwa
peperangan akan dimulai pagi, bukan malam atau sore hari. Terjelaskan dari
petikan dialog berikut:
TUMENGGUNG MANDARAKA: (memasuki panggung membawa cangkul kayu dengan
mata berlapis baja, berdiri pada suatu jarak di hadapan Putri Pambayun,
meletakkan cangkul di tanah dengan tangan masih memegangi tangkai, mata curiga
ditebarkan ke mana-mana). (dialog 397)
SURIWANG : Nyi Ageng,
sudahkah Ki Ageng berangkat? (dialog 486)
Ø Babak ketiga
Pada babak ketiga ini dapat diterapkan latar waktu
pagi dan siang, latar tempat pada babak ini yaitu di Balariung Kraton Mataram. Disini
para petinggi kerajaan Mataram berisap menunggu Wanabaya yang akan datang
dengan Putri Pambayun. Mereka menganggap hari ini hari pesta, karena Wanabaya
akan mengutip kebinasaannya sendiri di Mataram. Tergambar dari petikan dialog
berikut:
TUMENGGUNG MANDARAKA : (melintasi depan takhta menghampiri Ki Ageng
Pamanahan). Hari ini hari pesta, hari besar segala, takkan terlupakan
sepanjang jaman. Wanabaya akan datang mengutip kebinasaannya sendiri.
…………(dialog 662)
Dari petikan dialog diatas, terjelaskan bahwa
pagi hari mereka menunggu Mangir ke Mataram. Sedangkan untuk latar waktu siang
diterapkan pada adegan Mangir sampai ke Mataram. Terlebih dahulu dijelaskan perjalanan
dari Mangir ke Mataram sekitar lima belas ribu langkah kaki, dijelaskan dalam
dialog 40-41pada awal babak pertama:
SURIWANG : Dari Mangir ke
Mataram?
KIMONG : Lima belas ribu
langkah.
Jaraknya sekitar lima belas ribu langkah, diawal
naskah juga dijelaskan jaraknya 20 km, tidak begitu jauh jika ditempuh dari
pagi hari dengan menggunakan kuda, dan prajurit yang berjalan kaki, akan sampai
siang hari di Mataram, maka diperkirakan latar waktu siang pada klimaks drama
ini, yaitu saat Wanabaya sampai di Mataram dan dibunuh oleh Pangeran Purbaya, maka
selesailah perkara perang Mangir dan Mataram.
c. Latar Sosial
Latar sosial dalam naskah Mangir,
dapat ditangkap dari latar tempat yang dijelaskan pada tiap babak, dan beberapa
dialog tokoh, namun tidak menjelaskan keseluruhan latar sosial semua tokoh, hanya
beberapa tokoh yang terjelaskan latar sosialnya. Berikut gambaran latar sosial
tokoh:
1. Wanabaya
Wanabaya berada dalam latar sosial tinggi
dilihat dari status sosialnya, yaitu seorang prajurit, pendekar, panglima
perang Mangir, tua perdikan Mangir, tampan dan gagah, ia termahsyur di desanya.
Jika dilihat dari segi ekonomi, ia juga berada dalam latar sosial tinggi,
dilihat dari penjelasan pengarang dalam menjelaskan setting pada babak kedua.
Setting: Taman
bunga di samping rumah Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya. Di atas tanah yang
ditinggikan 20 cm, ditahan dengan papan, berdiri sebatang pohon manga besar,
dikelilingi bangku-bangku panjang dari kayu. Latar belakang: samping rumah yang dihias dengan sangkar-sangkar
burung dan ayam aduan. (Toer, 2000: 40)
Selain dari
penjelasan tentang gambaran tempat tinggal Wanabaya, juga dapat ditangkap
melalui dialog, seperti berikut:
WANABAYA: Takkan kubiarkan kalian lapar. Seluruh rombongan jadi
tanggungan di tangan Ki Ageng. Harap jangan kalian anggap rendah Wanabaya Muda.
Biar bukan raja, aku masih jaya berlumbung daya. (Toer, 2000: 28)
2. Baru Klinting
Baru Klinting berada dalam latar sosial tinggi
dilihat dari status sosialnya, ia merupakan tetua perdikan Mangir, prajurit,
ahli siasat, pemikir dan organistrator di perdikan Mangir. Jika dilihat dari
segi ekonomi, ia juga berada dalam latar sosial tinggi, dilihat dari penjelasan
pengarang dalam menjelaskan setting pada babak pertama.
Pendopo Perdikan Mangir, di bawah soko-soko
guru terukir berwarna ( polichromed),
dilengkapi dengan sebuah meja kayu dan beberapa bangku kayu. Di atas meja
berdiri sebuah gendi bercucuk berwarna kehitaman. Dekat pada sebuah soko guru
berdiri sebuah jagang tombak dengan tujuh bilah tombak berdiri padanya. Latar
belakang adalah dinding rumah-dalam, sebagian tertutup dengan rana kayu berukir
dan sebuah ambin kayu bertilam tikar mendong. (Toer, 2000: 4)
3. Putri Pambayun
Putri Pambayun berada dalam latar sosial
tinggi dilihat dari status sosialnya, ia putri permana Panembahan Senapati,
raja Mataram dengan Permaisuri. Dia berpikiran masak, Sehingga bisa diprediksi
bahwa anak seorang raja berpendidikan.
4. Panembahan Senapati
Panembahan Senapati berada dalam latar sosial
tinggi dilihat dari status sosialnya, ia raja Mataram. Dari statusnya sebagai
raja dapat dilihat bahwa dari segi ekonomi juga ia berada dalam latar sosial
tinggi, ia tinggal di kraton Mataram, dijelaskan oleh pengarang saat
menjelaskan latar tempat pada babak ketiga.
5. Tumenggung Mandaraka
Tumenggung Mandaraka atau Ki Juru Martani berada
dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya, ia seorang pujangga
dan penasehat kerajaan Mataram, dan kepala rombongan telik Mataram. Dilihat
dari statusnya sebagai pujangga dan penasehat, ia memiliki latar belakang
pendidikan yang tinggi, karena tidak mungkin orang yang pendidikannya biasa
saja dapat berbahasa ringkat tinggi.
6. Pangeran Purbaya
Pangeran Purbaya berada dalam latar sosial
tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan anak pertama Panembahan
Senapati dengan Lembayung, putri Ki Ageng Giring. Ia merupakan anak raja,
sehingga bisa diprediksi bahwa ia berpendidikan.
7. Demang Patalan
Demang Patalan berada dalam latar sosial
tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala
Kademangan Patalan.
8. Demang Pandak
Demang Pandak berada dalam latar sosial tinggi
dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala
Kademangan Pandak.
9. Demang Jodog
Demang Jodog berada dalam latar sosial tinggi
dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala
Kademangan Jodog.
10.
Demang
Pajangan
Demang Pajangan berada dalam latar sosial
tinggi dilihat dari status sosialnya, ia merupakan gegeduk Mangir dan kepala
Kademangan Pajangan.
d. Latar Suasana
Latar suasana dalam naskah Mangir harus
dicari dengan hati-hati, apalagi pengarang tidak memberi keterangan bagian
adegan-adegan dalam tiap babak, sehingga untuk menganalisisnya harus memperkirakan
adegan-adegan dalam tiap babak agar mudah menentukan latar suasananya. Drama
ini terdiri dari tiga babak, dan berdasarkan pengamatan dari semua babak, terdapat
suasana serius, ricuh, romantic, sedih/haru, bersemangat, kacau, dan tegang.
Penjelasan suasana sebagai berikut:
Ø Babak Pertama
ü Suasana serius terasa saat adegan Baru
Klinting berdialog dengan Suriwang Percakapan mereka serius membicarakan
tentang Mataram yang ingin menguasai Mangir untuk kekuasaan tunggal Panembahan
Senapati. Karena Panembahan Senapati akan melakukan cara apapun untuk
mendapatkan kekuasaan, pernah anaknya sendiri dibunuh karena menghalangi
rencananya.
ü Seasana tegang terasa saat Wanabaya datang
menemui para demang gegeduk Mangir dan Baru Klinting bersama penari bernama
Adisaroh dan rombongannya dengan maksud meminta ijin untuk menikah. Suasana
menjadi ricuh saat Wanabaya tidak bisa mengendalikan diri, ia menyombongkan
diri dan berbicara kasar karena keinginannya tak juga mendapat restu dari
Klinting, dan juga ditentang oleh para demang.
ü Suasana haru saat Wanabaya ditanya tentang
kesetiannya pada Mangir dengan dikelilingin mata tombak oleh para demang, lalu berjanji
setia pada Mangir. Para demang melemparkan tombak den membantu Wanabaya berdiri
dan memeluknya. Lalu Baru Klinting mengijinkan Wanabaya menikah dengan Adisaroh.
Ø Babak Kedua
ü Suasana haru terasa ketika Putri Pambayun
sudah menjadi istri Wanabaya, Putri Pambayun sering melamun karena ia ditagih
janji oleh ayahnya untuk membawa Wanabaya ke Mataram, ia takut Wanabaya dibunuh
karena ia mencintainya.
ü Ketika Pambayun berdialog dengan Tumenggung
Mandaraka suasana mencekam nampak, karena Pambayun teringat kenangan pahit
kelakuan ayahandanya Panembahan Senapati membunuh kakaknya Rangga demi takhta.
ü Terasa suasana tegang saat Putri Pambayun
mengaku pada Wanabaya bahwa ia putri Panembahan Senapati raja Mataram, musuh
Mangir. Wanabaya marah padanya, namun berusaha menahan kemarahannya dan terus
mengeluh atas kelalaiannya yang tak waspada sehingga bisa tertipu.
ü Suasana romantis timbul ketika Wanabaya berusaha
menerima kenyataan bahwa istrinya Pambayun yang sangat ia cintai adalah anak
musuhnya sendiri. Dan mereka berdua saling berjanji untuk tetap bersama meski
harus melawan Mataram dan mati disana.
ü Suasana bersemangat terasa saat Baru Klinting,
para demang gegeduk Mangir dan Suriwang sepakat bersama Wanabaya dan Pambayun
memenuhi permintaan Panembahan Senapati untuk berkunjung ke Mataram, dan siap
jika terjadi perang dan mengorbankan nyawa demi Mangir.
Ø Babak Ketiga
ü Suasana tegang terasa dari awal babak ketiga
ini, karena peristiwa klimaks ada pada babak ini, saat para petinggi Mataram
menunggu kedatangan orang-orang Mangir bersama Putri Pambayun, serta yang
sangat mereka harapkan yaitu Wanabaya dan baru Klinting yang akan mengutip
kebinasaannya di Mataram.
ü Suasana senang atau bahagia timbul saat para
telik Mataram menyampaikan berita bahwa strategi perang yang direncanakan oleh
Tumenggung Mandaraka berjalan lancar, mereka menunggu kedatangan Mangir yang semakin
dekat.
ü Ketika terjadi sedikit kesalahan penabuhan
gamelan sebagai perintah penyerangan, membuat suasana kacau nampak, terjadi
peperangan di depan kraton Mataram.
ü Suasana sangat menegangkan saat Wanabaya, Baru
Klinting dan Demang Patalan masuk menerobos kraton Mataram, Wanabaya bermaksud
untuk membunuh langsung Panembahan Senapati yang merupakan musuh besar Mangir.
ü Suasana haru timbul saat Wanabaya, Baru
Klinting dan Demang Patalan terbunuh
dalam perang dan Putri Pambayun meratapi kematian suaminya Wanabaya dengan
sangat menyesal, sehingga ia meminta ayahnya untuk mengantarkannya mengikuti
suaminya yang telah mati, dan kekalahan Mangir oleh Mataram mengakhiri cerita
ini.
6.
Dialog
Gaya mencipta dialog setiap pengarang naskah
drama tentunya berbeda satu sama lain. Hal ini sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor dalam proses penciptaannya. Dalam naskah Mangir ini banyak bentuk dialog yang mengandung gaya
bahasa kiasan. Berikut gaya bahasa kiasan yang digunakan pengarang:
- Simile, yaitu persamaan yang langsung menyatakan
sesuatu sama dengan hal yang lain. Biasanya ditandai dengan kata-kata: seperti,
sama, sebagai, bagaikan, laksana dan sebagainya.
SURIWANG : Ai-ai-ai tak bisa lain. Segala apa
yang baik untuk Suriwang, lebih baik lagi untuk Klinting, laksana kebajikan
menghias wanita jelita, laksana bintang menghias langit
lebih. Lebih baik lagi untuk Wanabaya Ki Angeng Mangir. (dialog 4)
BARU
KLINTING : Hati dalam dadanya
compang-camping Suriwang, seperti sayap elang tua. (dialog 57)
SIRIWANG : Takkan aku lupakan, Klinting, raja
dan telik laksana celeng dengan penciumannya. (dialog 71)
BARU
KLINTING : Kau masih seperti di
medan-perang, masih merah seperti kepiting panggang. (dialog
86)
DEMANG
JODOG : Dan masih menari dia di sana seperti gila, laksana merak jantan,
kembangkan bulu kejantanan dan ketampanan, mengigal dan menggereki si Adisaroh
penari. Patalan tidak setuju. (dialog 97)
WANABAYA : Kalian melongok seperti melihat naga.
Mata kalian pancarkan curiga dan hati tak suka. Katakana, siapa tak suka
Wanabaya menggandeng perawan jelita. Katakan, ayoh katakana siapa tidak suka.
(dialog 184)
DEMANG
PANDAK : Bersahut-sahut seperti burung di pagi hari. (dialog
244)
BARU
KLINTING : Patalan takkan
dilanda Mataram dalam sebulan ini. Lakumu seperti tertimpa kebakaran. (dialog
270)
BARU
KLINTING : Memalukan, seorang
panglima, karena kecantikan perawan telah relakan perpecahan. Berapa banyak
perawan cantik di atas bumi ini? Setiap kau tergila-gila seperti seekor ayam
jantan, tahu sarang tapi tak kenal kandang. (dialog 297)
WANABAYA : Suaranya yang berubah, hati dalam
dadanya tetap utuh seperti laut kidul. (dialog 312)
TUMENGGUNG
MANDARAKA : Bukankah darah satria tak patut diperingatkan? Dan janji ditepati seperti
matari pada bumi setiap hari? (dialog 401)
TUMENGGUNG
MANDARAKA : (memasuki panggung membawa cambuk kuda). Siapa tega tengahi
kebahagiaan dua merpati, rukun seia-sekata seperti gigi dengan gusinya, laksana
tangan dengan jari-jarinya………………..(dialog 483)
Penggunaan kata laksana dan seperti pada
petikan dialog diatas menandai adanya penggunaan gaya bahasa simile, yang
langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain.
- Metafora, yaitu analogi yang membandingkan dua hal
secara langsung, tapi dalam bentuk yang singkat.
DEMANG
PATALAN : Dia lupa, semua membikin
dia jadi Tua Perdikan dan panglima perang. Sendiri, Wanabaya taka da arti, sebutir
pasir berkelap-kelip sepi di bawah matari. (dialog 198)
WANABAYA :
…………………………………………………………………….
(Pada Putri Pambayun) Sejak detik ini kau
tinggal di sini, jadi rembulan bagi hidupku, jadi matari
untuk rumahku. (dialog 247)
Penggunaan kata-kata atau frase yang
bercetak tebal dan miring dalam petikan dialog diatas digunakan untuk
memperbandingkan sesuatu secara langsung dalam bentuk singkat.
- Personifikasi, yaitu menggambarkan benda-benda mati atau
yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
BARU KLINTING : Dengan mulutnya yang berdusta,
hatiya
setia mengabdi hanya pada diri sendiri. (dialog 53)
WANABAYA : ……………………………………………………………………..
Dara Adisaroh
hanya untukku seorang. Bumi dan langit tak bisa ingkari.
………………….(dialog 247)
WANABAYA : (tertawa). Makin hari makin pelamun,
adikku kekasih, membikin hati kakang meraba-raba. (dialog 366)
TUMENGGUNG
MANDARAKA : ……………………………………………………
Kelak dikemudian
hari, bila orang bicara tentang Mataram, dia akan berkata: Mataram? Itulah
kerajaan bikinan Ki Juru Martani, Tumenggung Mandaraka, pujangga dan penasihat
Panembahan Senapati. Inilah aku. Kerajaan tenggelam,
kerajaan bangun karena tanganku. (meninggalkan panggung). (dialog 483)
Kalimat
yang dicetak miring diatas menjelaskan adanya penggunaan gaya bahasa
personifikasi, yaitu menggambarkan
benda-benda mati atau yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan.
Selain
gaya bahasa kiasan seperti simile, metafora, dan personifikasi, juga ada bentuk
dialog puitis, yaitu yang memperhitungkan efek bunyi atau perhitungan rima,
gaya puisi mencuat ke permukaan, sehingga bahasa yang muncul seperti bukan
bahasa sehari-hari, melainkan bahasa tulis yang perlu dilisankan. Seperti pada
petikan dialog berikut:
BARU KLINTING : Mereka yang
telah teteskan keringat pada bumi ini, berhak berpesta syukur untuk Sri Dewi.
Tak pernah ada tahun lewat sejak leluhur pertama buka perdikan ini. (dialog 118)
DEMANG JODOG : Klinting!-
Seorang perjaka tampan dan bergaya, menang perang berlepas brahmacarya, lelah
perang baru pulang dari medan – Apakah dia tidak berhak bersuka? (dialog 123)
BARU KLINTING : Untuk bersuka
sekedarnya tak ada celanya. Dia berhak sebagai panglima, telah selamatkan kalian
semua, kedemangan dan semua rakyatnya. (dialog 154)
WANABAYA : (Masih tetap
menggandeng Putri Pambayun). Kalian terlongok-longok seperti melihat naga. Mata
kalian pancarkan curiga dan hati tak suka. Katakana, siapa tak suka Wanabaya
datang menggandeng perawan jelita. Katakan, ayoh katakana siapa tidak suka.
(dialog 184)
DEMANG PATALAN : …………………………………………………………………...
Sendiri,
Wanabaya tak ada arti, sebutir pasir berkelap-kelip sepi dibawah matari.
(dialog 198)
WANABAYA : Kau melamun,
adikku kekasih. Apakah tersinggung hatimu kularang menenun dan mengantih?
(bersdiri dihadapan Putri Pambayun). (dialog 358)
PUTRI PAMBAYUN :
Kakang, diriku merasa hidup di sorga, tanpa duka tanpa nestapa, setiap hari kesukaan
semata. (dialog 365)
Pada bagian-bagian tertentu usaha
memperhitungkan rima itu menghilang. Pada adegan perdebatan, pengarang
menghilangkan efek rima tersebut dan membuat bentuk dialog ping-pong demi
terciptanya tempo yang agak cepat. Seperti pada petikan dialog 185-191 berikut:
DEMANG PATALAN :
(Menghampiri Wanabaya). Sungguh tidak
patut, seakan perdikan tak bisa berikan untukmu lagi.
WANABAYA :
Siapa lagi akan katakana tidak patut?
DEMANG PANDAK :
Tidak patut untuk seorang panglima.
DEMANG JODOG :
Semula kukira sekedar bersuka.
DEMANG PAJANGAN : Benar Patalan, kalau berkembang begini rupa.
WANABAYA :
Juga akan kau katakana tidak patut?
DEMANG PANDAK
: Juga tidak patut untuk seorang Tua Perdikan.
Dalam menciptakan dialog, pengarang
mempertimbangkan unsur estetis dan juga komunikatif. Hal ini berarti bahwa
naskahnya tidak semata-mata mementingkan keindahan bahasa, tetapi juga tidak
semata-mata seperti percakapan biasa, namun mampu memadukan keduanya, antara
unsur estetis dan komunikatif. Agar maksud dari dialog-dialog tersebut sampai
pada pembaca atau penonton pertunjukan.
7.
Amanat
Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang
pada pembaca dari karyanya, agar pembaca dapat memikirkan, meresapi,
menghayati, memaknai atau bahkan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Amanat yang disiratkan pengarang dalam naskah drama Mangir
yang dapat ditangkap yaitu:
ü Harus
teguh pada pendirian.
Ketika
Panembahan Senapati ingin menaklukkan Mangir untuk kejayaan Mataram, Baru
Klinting teguh mempertahankan Mangir agar tetap menjadi Perdikan, tak bakal
jadi kerajaan. Ia mengatakan semua berhak atas segala dan tak perlu menyembah
yang lain.
ü Harus
selalu hati-hati dan waspada pada orang yang belum kita kenal betul.
Mangir kalah dalam perang melawan Mataram
karena kurang waspadanya Wanabaya dalam
memilih istri, yang ternyata merupakan anak musuh Mangir sendiri. Sehingga
Mangir terjebak dalam sebuah pertemuan keluarga yang menyebabkan Wanabaya sendiri
dan baru Klinting mati dan menjadikan Mangir kalah dalam perang. Dari hal
tersebut, kita mendapatkan pelajaran bahwa kita harus berhati-hati dan wapada
pada orang yang belum kita kenal betul.
ü Harus
bijaksana dalam memutuskan suatu perkara.
Baru
Klinting bijaksana dalam memutuskan suatu perkara, ketika Wanabaya ingin
menikah dengan Pambayun, baru Klinting tak langsung memberi restu, ia
bermusyawarah dengan para demang untuk memutuskan perkara tersebut hingga mendapatkan
penyelesaian terbaik.
ü Harus
menjunjung tinggi kejujuran.
Seperti yang dilakukan Putri Pambayun, ia jujur pada
Wanabaya tentang identitasnya meski ia takut Wanabaya marah padanya. Bebannya
jadi hilang setelah ia jujur bahwa ia adalah putri Panembahan Senapati, yang
merupakan raja Mataram musuh Mangir.
ü Harus
menyayangi orang dengan tulus.
Wanabaya menyayangi istrinya Pambayun dengan tulus,
saat istrinya mengandung. Wanabaya sangat memperhatikan kesehatan dan
kebahagiaan istrinya.
ü Harus menerima kenyataan walaupun sulit.
Seperti
yang dilakukan Wanabaya ketika mendengar kejujuran bahwa Istrinya Putri
Pambayun merupakan anak musuhnya sendiri, namun ia menerimanya karena peasaan
cintanya pada istrinya.
ü Harus
berbahasa dan berprilaku sopan santun.
Putri Pambayun sangat sopan dalam tutur kata dan
perbuatan, saat berbicara dengan siapapun ia menggunakan bahasa yang sopan dan
santun, karena ia terdidik. Dalam keadaan marahpun ia masih menggunakan bahasa
yang sopan.
ü Harus
setia pada pasangan kita.
Ketika
Baru Klinting bersama para demang dan Wanabaya berniat untuk memenuhi undangan
raja Mataram, mereka bersiap jika nanti akan terjadi perang. Putri Pambayunpun
siap mati bersama Wanabaya suaminya, walaupun di tangan ayahnya raja Mataram.
ü Harus
menggunakan cara yang baik untuk mendapatkan keinginan.
Panembahan Senapati, raja Mataram menggunakan
srategi yang licik unduk mendapatkan kekuasaan. Sehingga ia memenangkan perang
melawan Mangir. Kekuasaan yang didapatnya terasa kurang sempurna karena ia
menggunakan cara yang licik. Kekuasaan yang diinginkan sebenarnya akan terasa
sempurna jika kita menggunakan cara yang baik dalam proses pemerolehannya.
BAB IV
SIMPULAN
Berdasarkan
analisis drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer di
atas, penulis dapat menyimpulkan:
1.
Naskah drama ini merupakan drama
sejarah, karena ditulis pengarang berdasarkan cerita tutur yang masih diingat
oleh masyarakat Jawa Tengah. Berdasarkan isinya, naskah ini termasuk naskah
tragedi. Naskah ini adalah salah satu naskah serius, keseriusan itu terlihat
dari tema yang diangkat dan dialog-dialog yang ada di dalamnya. Tema dari naskah atau permasalahan yang
diangkat oleh pengarang tentang strategi ekspansi. Naskah
ini mengajak para pembaca untuk membuka mata mengenai konflik-konflik dibalik
perebutan kekuasaan dan strategi yang digunakan untuk memperluas daerah
kekuasaan.
2.
Naskah ini beralur konvensional, dengan
berturut-turut pengarang membangun sebuah cerita dimulai dari eksposisi,
insiden permulaan, penanjakkan laku, klimaks, penyelesaian dan keputusan yang disajikan
dengan teratur.
3.
Tokoh dalam naskah ini dihadirkan
pengarang dan diberi penjelasan diawal, agar orang yang hendak membacanya tidak
kebingungan mengenai kedudukan tokoh-tokoh dalam memahami carita, karena
didalamnya terdapat cukup banyak tokoh. Untuk perwatakannya, pengarang tidak
terlalu menonjolkan watak dari tiap tokohnya. Hanya tokoh-tokoh yang dianggap
penting digambarkan secara lebih jelas daripada tokoh yang berkedudukan sebagai
tokoh pembantu. Berikut tokoh-tokoh dan perwatakannya:
Ø Tokoh
Protagonis
-
Wanabaya.
Ia adalah Ki Ageng Mangir, tua Perdikan Mangir, pemuda, + 23 tahun, prajurit,
pendekar, panglima
Mangir, tampan, tinggi, perkasa dan gagah. Ki
Ageng Mangir Muda Wanabaya saat pertama muncul, ia digambarkan sedang mengalami
gejolak cinta pada Putri Pambayun. Ia sombong, tidak bisa mengendalikan diri,
biasanya ia rendah hati, namun menjadi kasar dan pongah, omongannya tekebur dan
menyinggung. Perubahan sikap Wanabaya tidak terjadi lama, ia memang teguh
mempertahankan keinginannya, namun ia menyadari kesalahannya. Ia sedikit demi
sedikit kembali menjadi Wanabaya yang rendah diri, dan menjadi Panglima yang
setia pada Mangir. Setelah menikah Wanabaya menjadi suami yang penyayang,
perhatian, pengertian dan setia.
Ø Tokoh
Antagonis
-
Panembahan Senapati, Raja Pertama Mataram,
+ 45 tahun. Ia adalah raja yang
ambisius. Ia memakai cara-cara kotor untuk dapat memenuhi keinginannya menjadi
raja tunggal di Jawa. Ia sadis, kejam, keji, licik dan rela mengorbankan atau
membunuh siapapun yang menghalangi kehendaknya.
-
Putri Pambayun ialah putri pertama
Panembahan Senapati dengan permaisuri, + 16 tahun, telik Mataram. Ia berpikiran
masak, Setelah menikah dengan Wanabaya, Pambayun yang tadinya penurut pada
ayahnya mulai merasa bahwa ia benar-benar mencintai suaminya, dan mulai
menyadari kekejaman ayahnya. Dengan bijaksana ia mengambil keputusan untuk
membela Perdikan Mangir dan berbakti dan setia kepada suaminya meski harus
melawan ayahnya.
-
Tumenggung Mandaraka
ialah pujangga dan penasihat kerajaan Mataram, + 92 tahun, kepala rombongan
telik Mataram. Sebagai telik, ia merupakan penipu ulung, pandai berdusta,
licik, penghasut dan pendendam, ia juga kejam seperti Panembahan Senapati. Ia
tak hanya berbohong pada warga Perdikan Mangir, tetapi juga pada Pambayun,
sesama telik. Ia juga kejam seperti Panembahan Senapati, Ia penasihat yang
kejam dan licik, karena perkataannya selalu menghasut, Ia ingin Wanabaya
binasa.
Ø Tokoh Tritagonis
-
Baru Klinting ialah tetua
Perdikan Mangir, pemuda, + 26 tahun, prajurit, ahli siasat, pemikir,
organisator. Baru Klinting adalah
orang yang tegas baik dalam perbuatan dan perkataannya, ia juga bijaksana dalam
memutuskan sesuatu. Baru Klinting digambarkan sebagai
sosok yang mempunyai visi dan misi kedepan. Ia optimis dan percaya diri pada
kemampuannya, ia tahu strategi untuk melawan musuh. Ia selalu waspada pada
setiap gerik yang mencurigakan.
Ø Tokoh
Pembantu
-
Demang
Pajang ialah Kepala Kademangan Pajang,
+ 42 tahun, Demang Patalan ialah Kepala Kademangan Patalan
, +
35 tahun, Demang Pandak ialah Kepala
Kademangan Pandak, + 46 tahun, dan Demang Jodog ialah Kepala Kademangan Jodog,
+ 55 tahun. Watak mereka tidak terjelaskan secara keseluruhan, karena
mereka hanya muncul sebagai tokoh yang mempertajam konflik dan ikut
menyelesaikan konflik. Namun dapat ditangkap dari dialog, mereka sangat peduli
dan setia kepada Perdikan Mangir. Mereka selalu waspada pada setiap orang asing
yang datang ke Mangir.
-
Suriwang
ialah pandai tombak, + 50
tahun, pengikut fanatik Baru Klinting. Ia patuh pada Baru Klinting, ia juga
teliti dan waspada pada setiap gerak-gerik yang mencurigakan, menandakan ia
sangat setia pada Perdikan Mangir. Ia juga rela mati dalam perang untuk Mangir.
-
Ki Ageng Pamanahan
ialah Ayah Panembahan Senapati, + 90 tahun. Ia
menyanyangi cucunya Putri Pambayun dan menginginkan perdamaian dengan Wanabaya,
karena Wanabaya adalah ayah dari cicitnya kelak. Ia tidak setuju dengan sikap
Panembahan Senapati yang licik. Namun setelah ia menerima komunikasi persuasi
dari Tumenggung Mandaraka, yang meyakinkannya bahwa Wanabaya hanya akan
menghalangi Mataram untuk jaya, ia menjadi tak acuh pada Pambayun karena
Pambayun berbalik membela Mangir. Karakter Ki Ageng
Pamanahan tiba-tiba berubah dari penyayang menjadi pembenci.
-
Pangeran Purbaya
ialah anak pertama Panembahan Senapati, + 20 tahun. Tumenggung Jagaraga ialah anggota
rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 35 tahun. Tumenggung Pringgalaya ialah
anggota rombongan telik Mataram, kepala pasukan dari 1000 orang, + 45 tahun. Kimong ialah telik Mataram, + 30
tahun. Watak mereka tidak terjelaskan dalam drama
Mangir, karena kemunculannya hanya sebentar dan tidak begitu banyak dialog yang
dilontarkan. Mereka hanya membantu dalam jalannya cerita.
-
Pencerita
(troubadour). Wataknya tidak
terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk membacakan
cerita.
-
Beberapa
prajurit Mataram, watak mereka tidak terjelaskan dalam drama Mangir, karena kemunculannya hanya untuk
membantu jalannya cerita.
4.
Konflik yang terjadi di dalam naskah ini
terjadi antara pihak Perdikan Mangir dengan Kerajaan Mataram. Konflik yang ada dalam cerita Mangir ini menyelimuti tokoh-tokohnya, yaitu:
Ø Konflik Wanabaya
-
Konflik
Wanabaya dengan Baru Klinting, berada dalam valensi positif-negatif, atau
mendekat-menjauh.
-
Konflik
Wanabaya dengan para demang pengikut Perdikan Mangir, berada dalam valensi
positif-negatif, atau mendekat-menjauh.
-
Konflik
Wanabaya dengan Putri Pambayun, berada dalam valensi positif-positif atau
mendekat-mendekat.
-
Konflik
Wanabaya dengan Panembahan Senapati, berada dalam valensi positif-negatif atau
mendekat-menjauh.
Ø Konflik Baru Klinting dengan Panembahan
Senapati berada dalam valensi positif-negatif, atau mendekat-menjauh.
Ø Konflik Panembahan Senapati dengan Wanabaya
berada dalam valensi positif-negatif atau mendekat-menjauh.
Ø Konflik Putri Pambayun
-
Konflik
Putri Pambayun dengan Wanabaya, berada dalam valensi positif-negatif atau
mendekat-menjauh.
-
Konflik
Putri Pambayun dengan Panembahan Senapati, berada dalam valensi positif-negatif
atau mendekat- menjauh.
Ø Konflik Tumenggung Mandaraka
-
Konflik
Tumenggung Mandaraka dengan Putri Pambayun, berada pada valensi positif-negatif
atau mendekat-menjauh.
-
Konflik
Tumenggung Mandaraka dengan Ki Ageng Pamanahan, berada dalam dua arah
bertentangan yang sama kuat, yaitu pada valensi positif-negatif atau
mendekat-menjauh.
Ø
Konflik
Demang Jodog ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi positif-negatif atau
mendekat-menjauh.
Ø
Konflik
Demang Patalan ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi negatif-negatif
atau menjauh-menjauh.
Ø
Konflik
Demang Pajangan ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi negatif-negatif
atau menjauh-menjauh.
Ø
Konflik
Demang Pandak ada dalam diri Wanabaya, berada pada valensi negatif-negatif atau
menjauh-menjauh.
Ø
Konflik
Pangeran Purbaya dengan Ki Ageng Pamanahan, berada dalam dua arah bertentangan
yang sama kuat, yaitu pada valensi negatif-negatif atau menjauh-menjauh.
5.
Latar/tempat kejadian terjadi di
beberapa tempat, diantaranya:
Ø Latar tempat di ruangan dijelaskan oleh
pengarang dalam pembukaan pada babak pertama dan ketiga. Pada babak pertama,
latar tempat di pendopo Perdikan Mangir. Pada babak ketiga, latar tempat di
Balariung kraton Mataram.
Ø Latar tempat di luar ruangan dijelaskan oleh
pengarang dalam pembukaan babak kedua, latarnya di taman bunga di samping rumah
Ki Ageng Mangir Muda Wanabaya.
Ø Latar waktu tidak dijelaskan secara tersurat
oleh pengarang dalam naskah, tapi setidaknya dapat ditentukan, tiga gambaran
waktu, yaitu malam pada babak pertama, pagi pada babak kedua, lalu pagi dan
siang pada babak ketiga.
Ø Latar sosial setiap tokoh dalam naskah Mangir tidak
semuanya terjelaskan, hanya beberapa tokoh yang terjelaskan latar sosialnya:
-
Wanabaya
berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-
Baru
Klinting berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-
Putri
Pambayun berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-
Panembahan
Senapati berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-
Tumenggung
Mandaraka atau Ki Juru Martani berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari
status sosialnya,
-
Pangeran
Purbaya berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-
Demang
Patalan berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya
-
Demang
Pandak berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-
Demang
Jodog berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya,
-
Demang
Pajangan berada dalam latar sosial tinggi dilihat dari status sosialnya.
Ø
Latar
suasana dalam naskah Mangir yang terdiri dari tiga babak, dan berdasarkan pengamatan dari semua
babak, terdapat suasana serius, ricuh, romantic, sedih/haru, bersemangat,
kacau, dan tegang.
6.
Dalam
naskah Mangir ini banyak bentuk dialog yang mengandung gaya
bahasa kiasan seperti simile, metafora, dan personifikasi. Ada bentuk dialog
puitis yang memperhitungkan efek bunyi atau perhitungan rima. Pada adegan
perdebatan, pengarang menghilangkan efek rima tersebut dan membuat bentuk
dialog ping-pong demi terciptanya tempo yang agak cepat.
7.
Banyak amanat yang dapat saya petik dari
naskah Mangir
ini, seperti pelajaran tentang pengendalian diri, kesetiaan, kesopanan, keikhlasan, kasih sayang, kejujuran,
kebijaksanaan, kewaspadaan dan kehati-hatian, serta keteguhan pendirian.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad,
Abu. 2009. Psikologi Umum. Jakarta:
Rineka Cipta.
Fadriah,
Fifin. 2013. Analisis Novel Azab dan
Sengsara karya Merari Siregar. Kuningan: Universitas Kuningan.
Hidayat,
Ade. 2014. Laporan Analisis Unsur
Intrinsik Drama Syekh Siti Jenar (Babad Geger Pengging). Kuningan:
Universitas Kuningan.
Keraf,
Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muchtar,
Achmad. 2013. Drama Mangir karya
Pramoedya Ananta Toer, Analisis Struktur Karakter dan Tema. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada
Rafiek, M. 2010. Teori
Sastra: Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Rosidi,
Ajip. 2013. Ikhtisar Sejarah Sastera
Indonesia. Bandung: Pustaka jaya.
Sugianto
Mas, Aan. 2012. Langkah Awal Menuju
Apresiasi Sastra. Kuningan: Universitas Kuningan.
Sugianto
Mas, Aan. 2013. Kajian Prosa Fiksi dan
Drama. Kuningan: Universitas Kuningan.
Taylor, Shelley E., et al. 2009. Psikologi Sosial (edisi kedua belas). Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Toer,
Pramoedya Ananta. 2000. Mangir.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Waluyo,
Herman J. 2001. Drama ‘Teori dan
Pengajarannya’. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Wijono,
Sutarto. 2011. Psikologi Industri dan
Organisasi: Dalam Suatu Bidang Gerak Psikologi Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Kencana.
Kadangpintar: Online Casino | Get Bonus Money for - Kadangpintar
ReplyDeleteKadangpintar 카지노사이트 offers all kinds of entertainment and entertainment from world septcasino renowned designer and renowned designer, K-S-H-B, for you to 온카지노 see the