Tinah Ingin
Berkulit Putih
Tak ada kata yang dapat mewakili maksud sang
mahaPencipta menciptakan segala sesuatu di dunia, semuanya bermakna jika
diartikan dengan keikhlasan oleh manusia. Ketika hidup tak sejalan dengan yang
kita inginkan, semuanya menjadi tak indah meski sebenarnya indah. Ketika
ketakindahan kita maknai dengan keikhlasan, semuanya terasa indah walau
sebenarnya tak indah.
Siang hari begini indah bagi petani yang sedang
menjemur padi-padinya. Tapi tidak bagi Tinah, keringat mengucur di pelipis
Tinah karena cuaca panas siang ini. Sambil mengusap-usap keringatnya dengan
punggung tangan, mata Tinah bergerak mengamati sekeliling ruang tamu dirumah
yang baru ia masuki itu. Ia melihat pintu kamar sebelah kirinya terbuka,
kepalanya menengok sedikit mengintip kamar itu, ditemukannya cermin rias yang
menyatu dengan lemari kecil berlaci banyak.
“Waah..kebetulan
sekali, aku ingin melihat wajahku kalau sedang berkeringat, pasti jelek sekali”.
Tinah bercermin sambil tetap duduk dikursi ruang tamu dan merapihkan rambutnya
yang lepek terkena keringat. Ia merengut melihat dirinya yang kumal dan
rambutnya yang lepek dicermin. Ia tak sempat dandan waktu dijemput oleh
pacarnya, padahal ia selalu ingin tampil cantik jika diajak pergi kemana-mana, supaya
pacarnya tak merasa malu menggandengnya.
“Tin!”
terdengar suara pacarTinah dari ruang tengah.
“Ia
mas...”
“Mau
minum apa?”
“Ah
merepotkan mas, aku biasa minum air putih dirumah.”
“Ya
sudah, tunggu sebentar ya.”
Sudah hampir seperempat jam Tinah disuruh duduk
diruang tamu dan baru ditawari minum, sedangkan pacarnya sedang asik main catur
dengan Uaknya diruang tengah. Tinah diam saja setelah diambilkan minum, ia
kembali pada pikirannya tentang wajahnya yang kumal itu.
“Ah...apa
aku kurang cantik, mas Manan begitu cuek padaku. Masa aku diajak kemari untuk
dianggurkan, dia asik main catur.” Protes Tinah yang terlihat kesal karena
perlakuan pacarnya itu.
Tiba-tiba ada perempuan gendut masuk dari pintu
depan rumah itu, sambil berjalan masuk ia memperhatikan Tinah dari ujung rambut
hingga ujung kuku kaki dengan pandangan yang terlihat sinis. Tinah hanya
tersenyum menampakkan gigi-giginya yang rapih dengan perasaan tak senang dengan
kedatangan perempuan itu. Tak tahu apa yang dipikirkannya tentang Tinah, ia
langsung menuju ruang tengah menghampiri Manan yang sedang main catur, dengan
nada menyindir ia berkata pada Manan.
“
Man, jadi itu toh pacarmu sekarang?”
Manan tak menjawab pertanyaan itu, ia asik saja main
catur. Sedangkan Tinah yang merasa disindir langsung mengerutkan dahinya dan
merasa dihina.
“Apa
maksudnya perempuan gendut itu berbicara dengan nada menyindir begitu, dia
ingin mengatakan kalau aku ini jelek? Mending kalau dia cantik, dia saja tak
bisa mengurus dagingnya yang meleber kemana-mana malah mengataiku, memangnya
siapa dia. Mas Manan diam saja seperti tak menganggapku disini.” Untuk
menyembunyikan dongkolnya, Tinah pura-pura melihat keluar memeperhatikan
orang-orang disekitar rumah.
--------------------------
Tinah jadi berkecil hati setelah kejadian kemarin,
ia bercermin sambil memperhatikan wajahnya dengan teliti. Ada perasaan tak
senang saat melihat wajahnya, padahal wajah itu sudah dilihatnya sejak lama,
tapi kali ini ia benar-benar tak senang melihat wajahnya itu.
“Apa
yang salah dengan wajahku, mata bulat dan hidung mancung, siapa yang tak suka?
Kulit hitam manis juga memikat. Ah...andai aku berkulit cerah, pasti tak ada
yang berani menyindirku.” Tinah terus berpikir bagaimana cara agar kulitnya
bisa cerah, padahal dengan keadaannya sekarangpun ia sudah mendapatkan hati
Manan pacarnya itu. Tapi ia takut Manan berpaling darinya kalau ia tak dandan.
Tinah teringat beberapa hari yang lalu saat ia
membeli sayur, ia mendengar ibu-ibu membicarakan obat yang dapat mencerahkan
kulit wajah dengan cepat di apotek, karena sudah ada yang mencoba memakainya
dan wajahnya menjadi cerah. Tinah berniat ingin membeli obat itu. Tanpa berpikir
lagi, ia keluar rumah menuju rumah saudara lakinya yang tak jauh dari rumahnya.
“Ali...!”
Dengan berteriak Tinah memanggil saudaranya itu didepan pintu.
“Ada
apa to, kamu belum masuk kok
teriak-teriak? Sini masuk dulu!”
“Kamu
lagi ndak sibuk kan? Antar aku ke
apotek yah!”
“Mau
beli obat buat siapa to? Siapa yang
sakit? Ko ndak ngasih tahu ada yang sakit?”
“Hust...kamu
nanya mbrebed begitu. Ndak ada yang
sakit, aku mau beli sesuatu.”
“Oh...mau
beli apa? Kamu sakit? Hayooh… mau beli apa?”
“Cerewet
yah, sudah ayo antar aku!” Tinah tak sabra mendengar Ali terus bertanya.
Tinah dan Ali berangkat ke apotek dengan sepeda
ontel kesayangan Ali, bagaimana tak jadi kesayangan, itu sepeda satu-satunya
warisan bapak Ali yang sudah meninggal. Walaupun terik begini, jauh dekat pun
Ali takkan menolak mengantarkan saudara perempuannya itu, karena mereka sangat
akrab dari kecil.
“Tak
apa-apalah kepanasan begini kulitku, sebentar lagi akan cerah setelah aku
membeli obat itu di apotek.” Tinah hanya berfikir tentang obat itu, sambil
melamunkan kulitnya yang akan berubah menjadi cerah, ia tak sadar kalau jalan
yang mereka lalui itu sangat menanjak, berkali-kali Ali memanggilnya tapi ia
tak manyaut.
Ali
memberhentikan sepeda ontelnya dan menyuruh Tinah turun. “Tinaaaaaahhhh....”
“Ada
apa to, kok berhenti disini? Kan
belum sampai mas.”
“Kamu
tuh yah...aku capek tahu, ini jalan nanjak
begini. Kita istirahat dulu.”
“Yahh...si
mas, aku kira kenapa meneriakiku begitu, capek tohh...Ya sudah kita istirahat
dulu.”
“Kamu
si melamun terus, kalau orang malamun dibonceng itu jadi berat tahu.”
“Lah
apa hubungannya si mas ini. Hehe...”
“Sebenernya
mau beli apa si?”
“Emm...mau
beli obat pencerah kulit.”
“Haha...ada-ada
saja kamu Tin, mau bikin mas Mananmu itu makin cinta kalau kulitmu cerah?”
“Hehe...jangan
ketawa begitu lahh...Ya habisnya aku bosen kulitku begini, kurang cantik lah
kalau perempuan item. Hehe...malu
sendiri aku.”
“Haduh,
Tinah..Tinah.. memangnya kamu punya duit?”
“Ya
ada lah tabunganku ndak apa-apa aku
pakai buat nambah cantik.”
“Susah
yah kalau perempuan ada maunya. Ayo naik lagi!”
Mereka melanjutkan kembali melewati jalan tanjakan
itu, tak lama kemudian mereka sampai juga di apotek. Tinah langsung masuk
dengan buru-buru.
“Lah
mas...sepi.”
“Ya
dipanggil to yang jaganya!”
Beberapa
kali Tinah memanggil penjaga apotek, tapi tak ada yang muncul juga.
“Mas...lama
sekali penjaganya.”
“Sabar
Tin, nanti juga keluar.”
Tinah
memanggil lagi penjaga apotek itu sambil memukul-mukul kecil lemari kaca tempat
obat-obatan dengan kuku-kukunya yang panjang, sambil melihat-lihat lemari kaca
tempat obat-obatan. Matanya menemukan
benda seperti saklar bergambar lonceng diatas lemari itu, lalu ia memencetnya.
“Mas...ternyata
ada bel listrik disini, pantas saja penjaganya ndak nyahut-nyahut dipanggil.” Tinah menyadari kebodohannya yang
sedari tadi memanggil-manggil penjaga apotek karena ia tak tahu disitu ada bel.
Terdengar
suara orang mengobrol disebelah ruangan itu. Tinah pun sudah mulai bosan
menunggu, karena tak ada penjaga apotek yang muncul meskipun ia sudah memencet
bel berkali-kali.
“Aku
dengar ada yang mengobrol Tin disebelah ruangan ini, masa yang jaga ndak dengar bunyi bel?”
“Ia
mas aku dengar kok, mereka cuek begitu, memangnya tak butuh duit? Orang aku mau
beli kok kesini.”
“Biar
mas yang panggil”
“Kan
ada bel mas, di bel saja mereka cuek begitu kok.”
“Ya
terus mau bagaimana ini? Kita pulang saja?”
“Yah
mas, kan jauh-jauh kesini, masa kita pulang ndak
bawa apa-apa?”
Sambil merengut Tinah memenceti bel itu, ia sudah
putus asa pada harapannya membeli obat pencerah kulit itu. Sekarang ia malah
dongkol pada penjaga apotek itu, ia bergumam mengata-ngatai apotek dan
penjaganya itu. “Aku sumpahi ndak ada
yang beli disini, hih...budek apa penjaga disini? Aku kan mau beli bukannya
ngutang. Ndak bakal aku kesini lagi”
“Ayo
mas kita pulang!”
“Yakin
mau pulang? Tadi katanya ndak mau?”
“Sekarang
mau mas, kan kita lama sekali disini ndak
dapat apa-apa.”
“Aduhh...jadi
nyerah begitu?”
“Ya
mau bagaimana lagi mas, malah kesel nunggu disini. Ayo...”
Dengan
wajah lesu Tinah keluar apotek. Sedangkan Ali keluar lalu mengambil batu yang
agak besar lalu masuk lagi kedalam apotek.
“Buat
apa mas batu itu?”
“Sudah..lihat
saja!”
Tinah memperhatikan apa yang akan dilakukan
saudaranya itu, Ali meletakkan batu itu diatas bel, terdengar bel itu berbunyi
terus-menerus karena batu diatasnya. Lalu Ali keluar dan langsung menggoes
sepedanya, mereka langsung melesat meninggalkan apotek itu dengan perasaan
dongkol, namun mereka cukup senang karena sudah menjahili penjaga apotek dengan
bel itu.
----------Selesai------------