Friday, January 31, 2014

Variasi Bahasa di Desa Pasirpanjang, Kec. Salem, Kab. Brebes


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kridalaksana mendefinisaikan Sosiolinguistik sebagai ilmu yang memepelajari ciri dan pelbagai variasi bahasa, serta hubungan di antara bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu di dalam suatu masyarakat bahasa. ( Chaer, 2010: 3)
J. A. Fisherman juga mendefinisikan Sosiolinguistik sebagai kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi, berubah, dan saling menubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur. ( Chaer, 2010: 3)
Dalam KBBI, Sosiolinguistik adalah ilmu bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial, atau cabang linguistik tentang hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku sosial.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli dan pengertian Sosiolinguistik dalam KBBI, dapat disimpulkan bahwa Sosiolinguistik merupakan Ilmu yang mengkaji atau mempelajari bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial masyarakat, juga termasuk didalamnya kajian tentang variasi bahasa dalam masyarakat akibat faktor sosial (lingkungan, status,  ekonomi, pendidikan, agama, pekerjaan, adat istiadat, budaya) dan faktos situasional (siapa, dengan siapa, kapan, dimana dan bagaimana suasana, topik, dan usia).
Konferensi sosiolinguistik pertama yang berlangsung d University of California, Los Angels, tahun 1964, telah merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Keujuh dimensi yang merupakan masalah dalam masalah sosiolinguistik adalah: (1) identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran, (6)tingkatan variasi dalam ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari penelitian sosiolinguistik. ( lihat Dittmar, 1976: 128, dalam Chaer, 2010: 5)
Sehubungan dengan heterogennya anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi soaial dan politik bahasa, setra adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi yang disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya dialek atau ragam mempunyai fungsi sosialnya masing-masing. Penelitian variasi bahasa dalam interaksi sosial masyarakat salah satunya dapat diteliti berdasarkan status sosial tertentu,  seperti pekerjaan.
Untuk itu, penulis ingin melakukan penelitian variasi bahasa berdasarkan status sosial, dengan mengambil Desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah sebagai objek wilayah penelitian.
  
B.     Perumusan Masalah
1.      Bagaimana variasi bahasa berdasarkan status sosial di Desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah?

C.    Tujuan Penelitian
1.      Untuk mengetahui variasi bahasa berdasarkan Status Sosial di Desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah.



















BAB II
LANDASAN TEORETIS

A.    Variasi Bahasa
            Interaksi yang dilakukan oleh masyrakat bahasa sangatlah beragam, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor sosial dan faktor situasional. Adapun faktor sosial tersebut yaitu, pekerjaan, pendidikan, lingkungan, kelas sosial, eknomi, budaya, agama, dan adat istiadat. Sedangkan  
                        Dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penututr bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. jadi variasi ahasa atau ragam bahasa itu terjadi akibat dari adanya keragaman sosisal dan keragaman fungsi bahasa. Andai kata penutur bahasa itu adalah kelompok homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja ditrima atau ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan didalam masyarakat.

Ø  Jenis-jenis variasi bahasa
a.       Variasai dari segi penutur
            Variasi pertama yang kita lihat berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun paling dominan adalah  “warna” suara itu sendiri, sehingga jika cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa melihat orangnya, kita dapat mengenalinya
            Variasi kedua berdasarkan penuturnya adalah yang disebut dialek, yakni variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah atau area tertentu. Karena dialek ini didasarakan pada wilayah area atau tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut sebagai dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan kelompok penutur lain,  yang berbeda dengan dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga.
            Variasi ketiga berdasarkan penutur adalah disebut kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi bahasa yang digunakan pada masa lima puluhan, dan variasi yang digunakan pada masa kini. Perbedaan variasi bahasa dari zaman kezaman ini berbeda dari segi lafal, ejaaan, morfologi, mapun sintaksis. Yang paling tampak biasanya dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah akbiat perubahan sosisal, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
            Variasi bahasa keempat yaitu sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya. Dalam sosilinguistik biasanya variasi ini yang  paling banyak menyita waktu untuk membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah penuturnya, seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan sosial ekonomi dan sebagainya.
            Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial pera penuturnya, biasanya dikemukanakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan yang disebut bahasa prokem.
-          Akrolek adalah variasi sosial yang dianggap  lebih tinggi atau lebih bergengsi dari pada variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa bagongan, atau variasi bahasa jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan kraton jawa.
-          Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap rendah. Bahasa yang digunakan cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Begitu juga bahasa Jawa “Krama Ndesa”.
-          Vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan.
-          Slang  adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan diluar kelompok itu. oleh karena itu, kosa kata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Karena slang ini bersifat kelompok dan rahasua, maka tmbul kesan bahwa slang ini adalah bahasa rahasianya para pencoleng dan penjahat; padahal sebenarnya tidaklah demikian.
-          Kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kata kolokial berasala dari kata colloquium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Juga tidak tepat bila kolokial disebut bersifat “kampungan” pemakainya.
Dalam bahasa Indonesia percakapan banyak digunakan bentuk-bentuk kolokial, seperti dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah), dan sebagainya.
-          Jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami olej masyarakat umum atau masyrakat diluar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya dalam kelompok montir atau perbengkelan ada ungkapan seperti roda gila, didongkrak, dices, dibalans dan dipoles.
-          Argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu bersifat rahasia. Letak kehususan argot adalah pada kosakata. Umpamanya, dalam dunia kejahatan(pencuri, tukang copet) pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti mangsa,  kacamata  dalam arti polisi.
-          Ken adalah variasi sosial yang bernada “memelas” dibuat merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis.








b.      Variasi dari segi pemakaian
            Variasi bahaasa berkenaan dengan penggunaanya, pemakaiannya atau fungsinya. Disebut fungsiolek. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan berdasarkan penggunaan, gaya, atau tingkah keformalan, dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaiannya ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.

c.       Variasi dari segi keformalan
Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos dalam Chaer (2010; 71) membagi variasi bahasa atas lima macam gaya, yaitu gaya atau ragam baku, gaya atau ragam resmi, gaya atau ragam usaha, gaya atau ragam santai, gaya atau ragam akrab.
-          Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah di mesjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang0undang, akte notaris, dan surat-surat keputusan. Disebut raga beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah.
-          Raam resmi atau formal adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas, surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya. Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi dan tidak digunakan pada siatuasi yang tidak resmi.
-          Ragam usaha atau ragam konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam perbincangan biasa disekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau produksi. Jadi dapat dikatakan ragam usaha adalah ragam bahasa yang paling operasional. Wujud ragam ini berada antara ragam formal dan ragam informal atau ragam santai.
-          Ragam santai atau ragam kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat, berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini banyak menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosa katanya banayk dipengaruhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Demikian juga dengan struktur morfologi dan sintaksisnya, seringkali struktur morfologi dan sintaksis yang normatif tidak digunakan.
-          Ragam akrab atau ragam intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang hubungannya sidah akrab, sperti anggota keluarga atau antar teman yang sudah karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas. Hal ini terjadi karena partisipan sudah saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama.

d.      Variasi dari segi sarana
Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana  atau alat tertentu, takni, misalnya, dalam bertelpon dan bertelegraf. Adanya ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya ketidaksamaan  wujud struktur ini adalah karena dalam bahasa lisan  atau dalam menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu dengan unsur-unsur nonsegmental atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik, tangan, gelengan kepala, dan sejumlah gelaja fisik lainnya. Padahal didalam ragam tulis hal-hal yang yang disebutkan itu tidak ada.

B.     Bilingualisme
                        Bilingualisme (Inggris : bilingualism) dalam Bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dan istilahnya secara harfiah sudah dapat di pahami apa yang dimaksud bilingualism itu yaitu dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dengan orang lain secara bergantian (Mackey, 1962:12, Fishman, 1975:73) untuk dapat menggunakan dua bahasa tentu seorang harus meguasai 2 bahasa tersebut, pertama bahasa Ibunya yang (disingkat B1) dan bahasa yang lain dan menjadi bahasa keduanya (disingkat B2). Kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa disebut Bilingualitas atau dalam bahasa Indonesia disebut Kedwibahasaan.
Masalah yang timbul akibat digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulan dengan orang lain secara bergantian.
  1. Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2, (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut bilingual?
  2. Apa  yang dimaksud dengan bahasa dalam Bilingualisme ini? Apakah bahasa dala pengertian langue atau sebuah kode, sehingga bias termasuk sebuah dialek atau sosiolek
  3. Kapan seorang bilingual itu menggunakan kedua bahasa tersebut secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan  B1 nya? Kapan dia menggunakan B2-nya dan Kapan dia bias berganti secara bebas menggunakan B1 dan B2
  4. Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi B2-nya, ataupun sebaliknya?
  5. Apakah Bilingualisme belaku pada perseorangan atau berlaku juga pada kelompok masyarakat tutur?
Untuk dapat menjawab pertayaan pertama, kita bisa melihat batasan-batasan Bilingualisme menurut Para ahli. Menurut Bloomfield dalam bukunya Langage (1933 : 56) mengatakan bahwa Bilingualisme adalah “Kemampuan seseorang penutur untuk menggunakan bahasa dengan sama baiknya”. Sedangkan menurut Lado (1964: 214) mengatakan bahwa Bilingualisme adalah kemampuan menggunakan dua bahasa oleh seseorang dengan sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagaimana pun tingkatannya. Menurut Haugen (1961) seorang bilingualism tidak perlu secara aktif mengunakan kedua bahasa tersebut, tetapi cukup kalau bisa memahami saja. Dari peryataan diatas dapat disimpulkan sebagai jawabantehadap peryataan bahwa pengertian Bilingualisme akhirnya merupakan satu kesatuan rentang berjenjang mulai menguasai B1 Ditambah tahu sedikit akan B2 Dilanjutkan penguasaan B2 Berjenjang bertingkat.
            Bahasa dalam Bilingualisme sangtlah luas, dari bahasa dalam pengertian language seperti bahasa sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam sebuah bahasa, kalau yang dimaksud bahasa juga dialek , maka hampir semua masyarakat Indonesia adalah Bilingual.
            Pertanyaan kapan seorang penutur bilingual menggunakan bahasa tertentu, B1 dan B2-nya Atau suatu rgam tertentu adalah menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tutur sehubung dengan adanya ranah-ranahpenggunaan bahasa atau ragam bahasa tersebut.  B1 dan B2 dapat digunakan disesuaikan dengan lawan bicara, topic pembicaraan dan situasi pembicaraan.
            Sejauh mana seorang B1 bilingual dapat mempengaruhi B2 ataupun sebaliknya. Masalah ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan kedua bahasa tersebut dan kesempatan untuk mengunakannya. B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1 , Dikarenakan dalam jangka waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya tetapi secara terus menerus menggunakan B2. Bila seseorang B1-nya Bahasa Indonesia dan B2-Nya bahasa Inggris, kemudian ia tinggal cukup lama di daerah yang hanya bisa berkomunikasi, sehingga setelah ia punya kesempatan kembali menggunakan B1 maka bahasa Indonesiannya akan tercampur dengan bahasa Inggris.
            Bilingualisme merupakan milik induvidu atau kelompok? Menurut Mackey juga mengatakan bahwa bahasa itu milik kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur. Maka bilingualisme adalah milik induvidu-induvidu para penutur.
Bilingualisme yang sungguh murni seperti terdapat di Montreal itu jarang ditemukan ditempat lain, yang lazimnya adanya perbedaan peranan setiap bahasa artinya setiap bahasa di masyarakatbilingual tidak dapat secara bebas digunakanmelainkan harus diperhatikan fungsi masing-masing.











C.    Alih kode dan Campur kode
Ø  Alih Kode
Peristiwa pergantian bahasa sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga dari ragam resmi ke ragam santai, inilah yang disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Memang tentang apakah yang disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat dari para pakar.
Appel (1976:79) mendefinisikan alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Pada ilustrasi diatas kita lihat peralihan penggunaan bahasa dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia.
Berbeda dengan appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103) menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Dalam ilustrasi diatas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia. Lengkapnya Hymnes mengatakan “code switching has become a common term for alternate us of two or more language, varieties of  language, or even speech styles”.
Kalau kita menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukkan Fishman (1976:15) yaitu, “siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan linguistic secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya, perubahan topic pembicaraan.

Ø  Campur kode
Alih kode dan campur kode merupakan peristiwa tutur yang lazim terjadi dalam masyarakat bilingual yang memiliki kesamaan yang besar sehingga seringkali sukar dibedakan.
Kesamaan yang ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam pendapat mengenai beda keduanyya. Namun, yang jelas dalam alih kode setiap bahasa atau ragam bahasa  yang digunakan itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar dan sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan diatas. Sedangkan didalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (piecis) saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan  serphan-serpihan bahasa daerahnya bias dikatakan telah melakukann campur kode. Akibatnya, akan mmuncul satu raga, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).
            Thelander (1976; 103) dalam Chaer (2010; 115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan campur kode. Katanya, bila didalam suatu pereistiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa tutur yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila didalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun fase-fas  yng digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau fase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa  yang terjadi adalah campur kode. Dalam hal ini mwnurut Thelander  selanjutnya, memang ada kemungkinan terjadinya perkemagan dari campur ke alih kode. Perkembangan ini, misalnya, dapat dilihat kalau ada usaha untuk mengurangi kehibridan klausa-klaus atau frase-frase yang digunakan. Serta memberikan fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya  masing-masing.













BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Metode Penelitian
Karena penelitian bersifat ilmiah kita harus menggunakan sebuah metode penelitian supaya  hasilnya nanti bersifat ilmiah juga. Metode penelitian yang kami gunakan adalah metode penelitian kualitatif yang mementingkan kualitas dari data yang kami peroleh.

B.     Teknik penelitian
1.      Teknik Pemerolehan Data
Dalam penelitian diperlukan sebuah teknik untuk memperoleh data, karena data merupakan  keterangan yang benar-benar nyata dan sangat kita butuhkan dalam penyusunan karya ilmiaih. Sebelum penulis melakuka pencarian data, penulis melakukan study pustaka terlebih dahulu, yaitu membaca berbagai buku tentang variasi bahasa dan menentukan teknik yang akan digunakan yaitu teknik wawancara.  Karena data yang penulis peroleh berupa tuturan, penulis berbincang-bincang dalam situasi santai, dengan merekam tanpa diketahui oleh narasumber yang dijadikan ojek penelitian.
Data hasil wawancara antara penulis dengan warga desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes ini benar-benar penulis dapatkan dari masyarakat desa tersebut.
Maka dari itu teknik pemerolehan data yang penulis gunakan yaitu teknik wawancara secara langsung.










2.      Teknik pengolahan Data
Berdasarkan rumusan masalah untuk mengetahui variasi bahasa berdasarkan Status Sosial di Desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah. Penulis mendapatakan data berupa rekaman hasil wawancara yang diolah dengan cara:
1.      Mendokumentasikan rekaman.
2.      Rekaman tersebut disimak dan ditulis.
3.      Setelah data tersebut berbentuk tulisan, kemudian dibaca secara teliti untuk selanjutnya dianalisis variasi bahasanya.
4.      Setelah menganalisis data tersebut, kemudian penulis menyimpulkan variasi bahasa di Desa Pasir Panjang, kec. Salem Kab. Brebes.


C.    Populasi
            Penelitian yang penyusun lakukan adalah penelitian lapangan yang dilakukan di Desa Pasirpanjang dan Pasar Bentar, karena banyak yang dijadikan narasumber,  maka tidak memungkinkan untuk menghitung jumlah populasi di Desa Pasirpanjang dan  Pasar Bentar, maka kita mengambil populasi acak didasarkan pada pemilihan narasumber dilihat dari status sosialnya.

D.    Sampel
            Karena populasi diambil secara acak, maka sampel  pun kita tentukan berdasarkan status sosial, yang kita ambil dari petani, pedagang, pelajar SMA, pelajar SMP, ibu rumah tangga, tukang parkir, ketua RT, pekerja bengkel, dan pekerja bangunan.








BAB IV
ANALISA DATA

A.    Data Penelitian
Berdasarkan data rekaman yang diperoleh, penyusun telah mengolah data rekaman tersebut menjadi bentuk dialog. Sebagai berikut: 
1.      Perbincangan antara fifin, sinta, kiki dan ua di rumah bibi.
Narasumber     : Iyok (Ua Fifin).
Pekerjaan         : Petani.
Usia                 : 60 tahun.
            Variasi Bahasa: Kolokial (percakapan sehari-hari)
            Penggunanaan bahasa: Menggunakan bahasa sunda kasar, (bahasa noonstandar)

Fifin    :  “Wa, rambutan payuneun ompok Ntin ntos ayaan deh?”
Ua       : ”Can ayeuna mah, can mangsa ieuh.”
Fifin    : ”Oh can mangsa ieuh, sugankeun mah ntos aya buahan teh.”
Ua       : ”Acan.”
Kiki     : ”Aya jalan deui teu kadieu wa?”
Ua       : “Teu aya, jalan hiji-hijina.”
Fifin    : ”Atuh da jalannya mau kemana lagi, mau lewat ke Banjar da lewatnya ke situ      juga.
Ua       : ”Bisa sih, eta jalan ka Banjar Ciamis. Sok ka ua deh kaditu ka Pende Tin?”
Fifin    : ”Nteu, da jalan ka Banjar na ge jelek.”
Ua       : ”Heeh, ari kadieu liwat ka Pananggapan?”
Fifin    : ”Muhun, ka Cibingbin”
Ua       : ”si Dodi mah ari kadieu dua minggu sakali.”
Fifin    : ”Jalanna jalan kadieu?”
Ua       : “heeh”
Fifin    : “Jalan ka Bumiayu siga kitu wa ua wa? Maksuna utan.”
Ua       : “Da teu siga kitu ieuh, tanjakan na teh siga S.”
Fifin    : “Lamun jalana ka Ciamis sih ka Majenang tah?”
Ua       : “Sarua bae tapi jalanna gede.”
Fifin    : ”Da gede ge kaya gitu heh., bulak-belok.
             Nunu Nunu ek tiguling.”
Ua       : “Kuma eta?”
Fifin    : “Angot Ntin mah ka Kuningan sorangan wa.”
Ua       : “Eta  mah da geus biasa.”
Fifin    : “Muhun geus biasa ka Banjar ge sorangan”
Ua       : “Ka ua menta buah Tin.”
Fifin    : “Buah? Keur mangsa buah tah?”
Ua       : “ka Banjar mah anjogkeun bae ka ua Riki.”
Fifin    : “Ka Ua Riki mah jalana goreng kadituna.”
Ua       : “Jalan ka Ciledug.”
Fifin    : “Tapi da jalan ka Ciledug na goreng.”
Ua       : “Ka Losari, ke teh ka Ciledugna goreng.”
Fifin    : “Ka Losari, ke the ka Ciledug tapi itu nyampe Losari na.”
Ua       : “Terus kamana, Tanjung Ngulon.”
Fifin    : “Sugan ka Ciledug? Pan ti Cikukak Ngulon. Muhun, tapi da goring.”
Ua       : “A Riki pan ek nikah.”
Fifin    : “Nikah? Kapan?”
Ua       : “Ke Bulan opat. Ieu sakampus nya?”
Fifin    : “Muhun, sakelas.”
Ua       : “Si Sindi teu wangsul?”
Fifin    : “Nteu, eta mah jarang wangsul.”
Sinta    : “Wa, didieu mah kondangan na nteu ngangge boboko nya?”
Ua       : “Nteu, di jingjing kondangana.”
Sinta    : “Tadi di daerah Cibingbin hampir batas mah nangge Boboko gening wa.”
Ua       : “Oh. Didieu mah heunteu da.”
Fifin    : “Wa, di romopok Ntin cai na ngocor nteu?”
Ua       : “An, ulah cicing teuing An, baturan.”
Fifin    : “ An, kadieu An, cenah geulis An.”
Kiki     : “Wa, ka Salem na jauh?”
Ua       : “Nya ka Salem  mah jauh aya dalapan kiloan tidieu.”



2.      Percakapan antara Dzikri dengan Tukang Sandal di Pasar Bentar.
Narasumber     : Pedagang Sandal.
Usia                 : sekitar 28 tahuanan
Penggunaan bahasa: bahasa Indonesia nonstandard, sopan, bersifat akrab dan mengajak.

Dzikri              : “Mas, ini dijual berapaan?”
Pedagang        : “Tiga sepuluh Mas.”
Dzikri              : “Berarti bisa ya Mas dua pasang lima ribu.”
Pedagang        : “Engga bisa Mas, engga ada untungnya segitu mah.”
Dzikri              : “berarti semuanya sama. Tiga sepuluh?”
Pedagang        : “Iya sama.”
Dzikri              : “Kalo beli satu pasang berapa?”
Pedagang        : “Empat ribu mas.”
Dzikri              : “Enggak ada merek swallow mas?”
Pedagang        : “Enggak ada mas.”
Dzikri              : “Mas, kalo sepatu yang ini berapa?”
Pedagang        : “seratus empat puluh”
Dzikri              : “enggak bisa kurang?”
Pedagang        : “ya disini kalo harga segitu bisa kurang Cuma sepuluh persen berarjadi seratus tiga puluh. Kalo harga disini masih murah, kali di Majenang mah gak bakal dapet segini mas. Kalo disini kan dari Tasik.
Dzikri              : “Oh iya, iya. Berarti belanjanya dari Tasik?”
Pedagang        : “Iya”
Dzikri              : “Kalo yang  ini sama harganya?””
Pedagang        : “Iya sama, kan satu merek.”
Dzikri              : “Cuma beda warna aja yah?”
Pedagang        : “Iya terus ini mah bahannya dari kulit juga. Jadi lebih baguus.”
Dzikri              : “Tapi kemarin beli di Jakarta seratus dua puluh bisa dapet.”
Pedagang        : “Oh itu grosirnya segitu kalo di Jakarta lebih murah bisa seratus.                            Kalo disini lebih mahal kan ongkos kirimnya, terus keamanannya                                   belum, apalagi   jalannya kan terjal.”
Dzikri              : “Oh yaudah mas, nanti kesini lagi. Makasih ya.”
Pedagang        : “Iya mas, yoooo sama-sama.”

3.      Percakapan antara Kiki, Dzikri dengan Petani.
Narasumber     : Petani.
Usia                 : sekitar 80 tahuanan
Penggunaan bahasa: Menggunakan campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa sunda, sopan dan halus.

Kiki     : “Lagi musim panen Bu?”
Petani  : “Iya Panen.”
Kiki     : “selain padi, biasanya disni nanam apalagi Bu?”
Petani  : “Nanam apa lagi ya? Singkong.”
Kiki     : “Selain singkong apalagi?”
Petani  : “Nanam kayu kaya mahoni, erbiseu.”
Kiki`    : “Bawang si Bu, kan kalo daerah Brebes terkenal juga sama bawang           merahnya?”
Petani  :  “Engga disini bawang mah engga, kalo bawang merah di Brebes nya, kalo disini mah engga.”
Kiki     : “Oh berarti disini beda.”
Dzikri  : “Iya yah padahal termasuk daerah Brebes tapi beda.”
Petani  : “Iya beda.”
Kiki     : “Terus telor asin disini engga ada yah bu?”
Petani  : “Iya disini juga engga ada telor asin, kadang ada tapi di pasar. Kalo di      Brebesnya mah banyak.”
Dzikri  : “Ada jenis padi apa saja bu disini?”
Petani  : “Banyak, ada padi bener sama belerang.”
Dzikri  : “Kalo padi yang paling bagus apa?”
Petani  : “Yang paling bagus itu padi ciherang.”
Dzikri  : “Kalo disana kan beras Cianjuran yang bagus.”
Petani  : “Oh beras Cianjuran kalo disini beras Ciherang.”
Kiki     : “Ibu asli orang sini?”
Petani  : “Iya asli orang sini.”
Kiki     : “Kalo suami?”
Petani  : “Suami juga asli orang sini.”
Kiki     : “Disini sawahnya disebelah mana Bu?”
Petani  : “Tuh disana, coba tingal disana, enak geura adem. Disana juga banyak yang         panen.”
Kiki     : “Jalan kaki bu kalo mau ke sawah?”
Petani  : “Iya jalan kaki, motornya simpen disini aja.”

4.      Percakapan antara Kiki, Opi dengan pegawai bengkel.
Narasumber     : Pegawai bengkel
Umur               : 23 Tahun
Variasi bahasa : Kolokial.
Penggunaan bahasa     : Alih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia dan campur kode antara kedua bahasa tersebut.

Kiki                 : “A di cek bae rem na nya?”
Pegawai           : “Iya a. Emang kunaon tadina?”
Kiki                 : “Kamari rem na ngelos a hnteu nge rem.”
Pegawai           : “Iya ke di tingal a.”
Ovi                  : “A selain ke lio mau ke Kuningan bisa lewat kemana?”
Pegawai           : “Bisa lewat majenang tapi muter jauh.”
Ovi                  : “Kira-kira berapa jam?”
Pegawai           : “Jauh si ke Ciamis kurang tau berapa jam. Kalau ke Cikijing 4 jam-an dari sini.”
Ovi                  : “Waaahh pegel itu mah jauh.”
Pegawai           : “Iya deketan lewat ke lio terus ke Cibingbin.”

5.      Percakapan antara Kiki dengan tukang parkir
Narasumber     : Tukang parkir
Usia                 : Sekitar 50 Tahunan
Penggunaan bahasa     : Campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa sunda, akrab dan sopan.

Kiki                 : “Misi mas, kalau disini biasanya pasarnya sampai pukul berapa?”
Parkir              : “Iya kalau disini paling sampai jam 11.00 sudah sepi, kalau rame mah pas awal-awal puasa.”
Kiki                   : “Macet ya mas?”
Parkir                : “Wah bukan macet lagi, penuh, sesek lagi.”
Kiki                   : “Penghasilan si mas selama jaga parkir disini berapa?”
Parkir                : “Iya kalau lagi rame mah 100-150 dapet sehari.”
Kiki                   : “Kalau hari-hari biasa?”
Parkir                : “Iya kalau hari-hari bias amah 50-60,engga tentu.”
Kiki                   : “Tapi lumayan ya mas?”
Parkir                : “Iya lumayan kalau dikampung mah.”
Kiki                  : “Owh engga tiap hari kerja disini?”
Parkir              : “Iya enggga palingan cuma hari manis. Kan kalau pahing mah jaganya di  Salem
Kiki                 : “Pendapatannya lebih besar?”
Parkir              : “Engga juga. Malah ramean disini, soalnya lokasinya juga kalau disalem mah biasa aja, engga terlalu rame.”
Kiki                 : “Bapa asli orang sini?”
Parkir              : “Iya asli orang Salem.”
Kiki                 : “Kalau mau ke Kuningan mas, selain lewat ketanjakan apa itu kemana lagi ya?”
Parkir               : “Tanjakan apa?”
Kiki                  : “Iya tanjakan lio, lewat kemana lagi?”
Parkir               : “Engga ada lagi.”
Kiki                  : “Kata orang disini bisa lewat Banjar katanya?”
Parkir               : “Oh iya lewat Banjar bisa, lewat Majenang bisa.”
Kiki                  : “Berapa jam kalau ke Banjar dari sini?”
Parkir               : “Deket kalau ke Banjar, tinggal lewat Majenang terus lurus aja arah Ciamis.
Kiki                  : “Kalau ke Majenang setengah jam dari sini nyampe?”
Parki                : “Nyampe setengah jam Majenang mah deket.”
Kik                   : “Jalannya engga kaya tanjakan lio?”
Parkir               : “Engga terlau parah lewat kesana mah, cuman ada sedikit. Bagusan lewat jalan Majenang.”
Kiki                  : “Iya kan kalau lewat lio tanjakannya mantep tah.”
Parkir               : “Iya tanjakannya lama.”
Kiki                  : “Yaudah makasih mas.”
Parkir               : “Iya sama-sama.”
             
6.      Percakapan Kiki, Dzikry dengan pedagang makanan
Narasumber      : Pedagang makanan
Umur                : Sekitar 70 tahunan
Penggunaan bahasa     : Bahasa Sunda, sopan dan halus.
Variasi bahasa             : Kolokial.

Kiki                   : “Ieu ngarana naon bu?”
P.makanan        : “Oh itu lontong a.”
Kiki                 : “Oh lontong. Lamun di Kuningan mah dibikina tina beas dibungkus daun                           cau, didieu mah beda.”
P.makanan        : “Didieu mah dibungkus plastik bae. Tapi sarua bae rasana.”
Kiki                   : “Muhun bu sarua rasana mah. Sabaraha hijina bu?”
P.makanan        : “Hijina 500san
Kiki                   : “Lamun gorengan sabarahaan bu?
P.makanan        : “Sarua lima ratusan kabeh a.”
Kiki                 : “Nya atuh jadi sabaraha bu sadayana gorengan tiga, lontong dua.”
P.makanan       : “Jadi dua rebu lima ratus a.”
Kiki                 : “Nu maneh makan naon bae?”
Nunu               : “Gorengan dua lontong hiji.”
Kiki                 : “Kri maneh si?”
Dzikri              : “Gorengan tilu lontong hiji.”
Kiki                 : “Tah bu terus gorengan lima lontong dua jadi sabaraha?”
P.makanan       : “Jadi tilu rebu lima ratus.”
Kiki                 : “Terus tadi sareng dua rebu lima ratus sadayana jadi sabaraha?”
P.makanan       : “Kabehna jadi genep rebu a.”
Kiki                 : “Hatur nuhun bu.”
P.makanan       : “Sami-sami.”

7.      Percakapan antara Fifin, Anik, Wildan, Ua dan Bibi
Narasumber     : Anik, Wildan, Uwa, Bibi
Umur               : Anik              : 6 Tahun (Pelajar)
                          Wildan          : 8 Tahun (Pelajar)
                          Uwa              : Sekitar 60 Tahunan (Petani)
                          Bibi               : Sekitar 35 Tahunan (Ibu Rumah Tangga)
Penggunaan bahasa     : Sunda kasar, akrab.
Variasi bahasa             : Kolokial.

Fifin                : “Ingkeun ih bu anik.”
Anik                : “Kajeun.”
Fifin                : “Ingkeun ih entong dipindahkeun dah.”
Anik                : “Pindahkeun wa ulah uya kuya.”
Uwa                : “Itu pan ku si Anik.”
Fifin                : “Dan.”
Wildan                        : “Heuyy.”
Fifin                : “ UAS na iraha deh ujianna?”
Wildan                        : “Geus.”
Fifin                : “Oh geus nya iraha?”
Wildan                        : “Salasa.”
Fifin                : “Bagi laporna iraha?”
Wildan                        : “Sabtu.”
Fifin                : “Sabtu ieu?”
Wildan                        : “Nya sabtu ieu.”
Fifin                : “Yakin, yakin. Dasar ompong, si Anik ompong wa?”
Wildan                        : “Teu ompong mah aya nu unggeur bae.”
Sinta                : “Wa berarti ieu Desa pertamanya?”
Uwa                : “Nya Desa pertama.”
Fifin                : “Bibi air di ompok Ntin ilok nyala deh Uwa?”
Uwa                : “Nyala ari dinyalakeun mah.”
Fifin                : “Biasana lamun tos hujan mah sok kotor pan.”
Bibi                 : “Dongna na mah memeh Ntin wangsul teh nelpon heula.”
Fifin                : “Puguh tadina mah ibu teh suruh nelpon ka bibi, ka ceu encum jeung ka                  bibi anim.”
Uwa                : “Mangkaning bibi tos ti bentar deuh sagala aya.”
Fifin                : “Jam sabaraha Bibi? Sugan kakara dongkap? Da teu terang wa.”
Wildan                        : “Si tegar.”
Fifin                : “Naon si tegar.”
Sinta                : “Bibi punteun ngarerepot.”
Bibi                 : “Da si ntin na teu nelpon heula kadieu.”
Sinta                : “Ka kota na tebih ta henteu ti dieu wa?”
Bibi                 : “Ka Brebes na mah kaditu deui. Lewat banjar harjo.”

8.      Percakapan antara Ovi dengan seorang siswa SMA
Narasumber     : Pelajar/siswa SMA
Umur               : Sekitar 17 Tahunan
Penggunaan bahasa     : Bahasa Indonesia nonstandard , dan sopan.

Ovi                  : “Mas tau bengkel engga disini?”
Pelajar             : “Iya tau.”
Ovi                  : “Deket enggak dari sini?”
Pelajar             : “Jauh.”
Ovi                  : “Kalau cek rem kira-kira berapa yah?”
Pelajar             : “Enggak tau.”
Ovi                  : “Kok udah pulang si sekolahnya?”
Pelajar             : “Belum berangkat.”
Ovi                  : “Oh belum berangkat tah. Emang masuk jam berapa?”
Pelajar             : “Bebas.”
Ovi                  : “Oh bebas. Abis UAS ya?”
Pelajar             : “Iya udah UAS."

9.      Percakapan antara Fifin dengan saudara sepupu
Narasumber     : Winih (Ibu Rumah Tangga)
Umur               : sekitar 30 Tahunan
Penggunaan bahasa     : Bahasa Sunda kasar dan bersifat akrab.

Fifin                : “Eh Ceuceu, ari adi ecih dimana?”
Wina                : “Aya samingguan mah meren.”
Fifin                : “Ih sugan mah ti baheula.”
Wina                : “Pan pernah gawe di pananggapan di Indomaret geuning.”
Fifin                : “Pananggapan?”
Wina                : “Muhun.”
Fifin                : “Oh Pananggapan di ditu?”
Wina                : “Muhun si nissa.”
Fifin                : “Si Nissa teh di asrama kan?”
Wina                : “Heueuh, wangsul teu?”
Fifin                : “Salamkeun ka Bibi.”
Wina                : “Heueuh.”

10.  Percakapan antara Sinta, Fifin, Ovi dan Penjual Mas
Narasumber     : Penjual mas
Umur               : Sekitar 35 Tahunan
Penggunaan bahasa     : Bahasa Indonesia nonstandard, ada campur kode antara bahasa sunda dan bahasa Indonesia, sopan dan santai.

Fifin                : “Gak ada mas putih yah?”
P. Mas             : “Gak ada, adanya mas item, haha..
Fifin                : “mas, diledekkin mas ya Allah,,,, mun aku mah pulang teh.
Opi                  : “Satu gramnya berapa mas?”
p. mas              : “dua ratus empat puluh ribu”
opi                   : “Berapa Karat mas?”
P.Mas              : “24 karat”
Fifin                : “da engga karatan ih, aku jadi pengen beli.”
Opi                  : “Beli apa Fin? Cincin?”
Fifin                : “Itu mah bukan cincin, bandul”
Opi                  : “Oh Bandul”
P. Mas             : “Ini satu gram, satu koma lima, dua gram.”
Fifin                : “Aku pengennya mas putih pi.”
Opi                  : “Beli dong, eh kalo mas putih mah kalo dijual turun yah mas?”
P.Mas              : “Persenan, kalo mas putih mah kalo dijual.
Fifin                : “Oh, Persenan. Tapi kalo beli mah mahal kan?”
Sinta                : “Beli lima ratus ribu, dijual lima tahun kemudiankan harga mas naik, harga jualnya ikut naik juga mas?
P.mas               : “Ya, ikut  naik.”
Fifin                : “Ya berarti kalo mau dijual nunggu harga mas naik yah ta?”
Opi                  : “Tapi kalo lama dipakai, kadar emasnya berkurang kan?”
P.Mas              : “Iya berkurang, tapi kalo naik ya ikut naik.”

11.  Perakapan Fifin, Opi, dan Tukang Ojek.
Narasumber     : Tukang ojek
Umur               : Sekitar 25 Tahun
Penggunaan bahasa     : Bahasa Indonesia non standard dan ada campur kode dengan bahasa sunda.

Tukang ojek    : “Neng, Ojek neng...”
Fifin                : “Kalo ke kuningan berapa?”
Opi                  : “Gratis”
Tukang ojek    : “iya gratis buat neng mah.”
Fifin                : “aa tukang ojek apa bukan?”
Tukang ojek    : “Tukang ojek dadakan”
Opi                  : “oh tukang ojek dadakan Fin.”
Fifin                : “Haha Nyebelin banget.”

12.  Percakapan Fifin dengan Anton
Narasumber     : Anton
Pekerjaan         : Pekerja bangunan
Umur               : 21 Tahun
Penggunaan bahasa     : Bahasa Sunda kasar dan dialek kedaeraahan.

Fifin                : “Gawe jeng saha didieu?”
Anton              : “Sorangan.”
Fifin                : “sorangan? Eta si saha anu ngetrok? Perasaan tadi aku teh ketemu jeng si Sofyan, sombong geuning”
Anton              : “Heeuh pan eta si Sofan.
Fifin                : “Perasaan jutek geuning.”
Anton              : “da dewekna sombong.”
Fifin                : “Ih sombong kumaha?”
Anton              : “Dimana si Sofyan?”
Fifin                : “Di bengkel si Andri, Andri Ta. Pan mantanna Andri, di bengkel                           motor aya tulisanna Andri, heh ta ngomong-ngomong siga si                             kumisnya, alis na tebel.
Anton              : “Si Alis! Si Kumis. Pualng iraha?”
Fifin                : “Kamari.”
Anton              : “Ke mangkat deui?”
Fifin                : “Ka Bibi beu?”
Anton              : “Heueuh.”

13.  Percakapan antara fifin, Kiki, Dzikri dengan Pak Toro
Narasumber     : Pak Toro
            Status social    : Lurah
            Umur               : Sekitar 45 Tahunan
            Penggunaan bahasa     : Bahasa Indonesia dengan ragam santai dan sopan.

            Kelompok 4    : Pak saya kesini ingin meninta izin unuk bahan mengambil data                                          penelitan
            Pak Toro          : penelitian ke masyarakat?
            Fifin                : iya pak ke masyarakat.
            Pak Toro          : duduk dulu.
            Fifin                : cuman ingin memberi tahu saja.
            Pak Toro          : Jadi berapa orang? 6 orang ya?
            Kiki                 : Tadinya mau ke rumah bapak sore, tetapi malah baru nyampe sore,
            Pak Toro          : jadi penelitiannya berapa hari? Dua hari?
            Kiki                 : Paling satu hari saja
            Pak Toro          : Kemaren ada yang meminta izin penelitian bahasa sunda                                                    di daerah  perbatasan dari STKIP Muhammadiyah.
            Dzikri              : Kemarin berapa orang pak?
            Pak Toro          : enam orang.
            Dzikri              : Pak jalan kesini rada serem ya?
            Pak Toro          : Kalau tidak terbiasa memang kaget.
            Fifin                : Yaudah pak mau pamit, terima kasih Pak.
            Pak Toro          : Iya sama-sama.

14.   Percakapan antara Opi, Fifin, Sinta dengan Pedagang Aksesoris
Narasumber     : Pedagang Aksesoris
            Umur               : Sekitar 40 Tahunan
            Penggunaan bahasa     : Bahasa Indonesia nonstandard, sopan dan bersifat mengajak.

            Fifin                : Beli bros, ta?
            Sinta                : Iya...
            Fifin                : Bibi, ada tidak bros yang bunnga-bunga gak?
            P. Aksesoris    : Oh yang ini nih.
            Opi                  : Yang ini harganya berapa?
            P. Aksesoris    : Yang ini harganya sepuluhribu tiga.
            Opi                  : Kalau harga satuan berapaan?
            P. Aksesoris    : Kalau satuan jadi tigaribu limaratus.
            Fifin                : Opi mau beli gak?
            P. Aksesoris    : Udah deh jadi tiga ribu aja.
            Fifin                : Opi, buat si maya
            P. Aksesoris    : Murah, tiga ribuan.







B.     Klasifikasi Data
Data diklasifikasikan berdasarkan status social dan variasi bahasa yang digunakan orang yang berstatus social tersebut, dan diperjelas dengan contoh kalimat sebagai berikut:

No
Status Sosial
Variasi Bahasa
Contoh
1. 
Petani 1
Bahasa sunda kasar, bahasa nonstandard (tidak baku), dan kolokial
Eta  mah da geus biasa.
Ke Bulan opat. Ieu sakampus nya.
Ka ua menta buah Tin.(kolokial)
An, ulah cicing teuing An, baturan. (kolokial).
2. 
Petani 2
Campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, sopan dan halus.
Tuh disana, coba tingal disana, enak geura adem. Disana juga banyak yang panen.
3. 
Pedagang Sandal
Bahasa Indonesia nonstandard (tidak baku, sopan, bersifat mengajak dan akrab.
Iya terus ini mah bahannya dari kulit juga. Jadi lebih bagus. (bersifat mengajak)
Iya mas, yoooo sama-sama. (akrab)
4. 
Pegawai bengkel
Alih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia dan campur kode antara kedua bahasa tersebut, dan kolokial.
Iya a. Emang kunaon tadina? (kolokial dan campur kode)
Jauh si ke Ciamis kurang tau berapa jam. Kalau ke Cikijing 4 jam-an dari sini.

5. 
Tukang Parkir
Campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa sunda, akrab dan sopan.
Iya kalau disini paling sampai jam 11.00 sudah sepi, kalau rame mah pas awal-awal puasa.

6. 
Pedagang makanan
Bahasa Sunda, halus dan sopan, dan kolokial.
Jadi dua rebu lima ratus a. (kolokial)
Didieu mah dibungkus lastic bae. Tapi sarua bae rasana.
7. 
Pelajar SMA
Bahasa Indonesia nonstandard , dan sopan.

Iya udah UAS.
8. 
Siswa SD
Bahasa sunda kasar, dan akrab
Kajeun.
Teu ompong mah aya nu unggeur bae.
9. 
Penjual mas
Bahasa Indonesia nonstandard, ada campur kode antara bahasa sunda dan bahasa Indonesia, sopan dan santai.
Gak ada, adanya mas item, haha..
Persenan, kalo mas putih mah kalo dijual

10.      
Ibu Rumah Tangga 1
Bahasa sunda, halus dan kolokial
Da si ntin na teu nelpon heula kadieu.
Dongna na mah memeh Ntin wangsul teh nelpon heula.

11.      
Ibu Rumah Tangga 2
Bahasa Sunda kasar dan bersifat akrab.

Aya samingguan mah meren
Heueuh, wangsul teu?
12.      
Tukang Ojek
Bahasa Indonesia non standard dan ada campur kode dengan bahasa sunda.
Neng, Ojek neng...
iya gratis buat neng mah.

13.      
Pedagang aksesoris
Bahasa Indonesia nonstandard, sopan dan bersifat mengajak.

Murah, tiga ribuan.
14.      
Lurah
Bahasa Indonesia dengan ragam santai dan sopan.
duduk dulu.
Kalau tidak terbiasa memang kaget.
15.      
Pekerja bangunan
Bahasa Sunda kasar dan dialek kedaeraahan.
Heeuh pan eta si Sofyan.
Da dewekna sombong.































C.    Hasil Analisis Data
Variasi bahasa di masyarakat bisa dipengaruhi oleh status sosial masyarakat tersebut. Seperti:
1.      Lurah, ia menggunakan Bahasa Indonesia dengan ragam santai dan sopan.
2.      Petani, ia menggunakan Bahasa sunda yang kasar, bahasa nonstandard (tidak baku), dan    kolokial bergantung dengan siapa ia berkomunikasi, dan jika dilihat dari umur yang lebih tua, Petani menggunakan campur kode antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda, ragam bahasanya sopan dan halus.
3.      Pedagang sandal menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard (tidak baku), penggunaan bahasanya sopan, bersifat mengajak dan akrab.
4.      Pegawai bengkel menggunakan Alih kode dari Bahasa Sunda ke bahasa Indonesia dan  campur kode antara kedua bahasa tersebut, dan kolokial.
5.      Tukang Parkir menggunakan campur kode antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda, penggunaan bahasanya akrab dan sopan. Pedagang makanan menggunakan Bahasa Sunda, penggunaan bahasanya halus, sopan dan kolokial.
6.      Lain halnya dengan pelajar SMA, mereka menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard , dan sopan bergantung dengan siapa mereka berkomunikasi.
7.      Sedangkan Siswa SD menggunakan Bahasa sunda kasar, dan akrab.
8.      Penjual mas menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard, serta ada campur kode antara Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia, penggunaan bahasanya sopan dan santai.
9.      Ibu Rumah Tangga 1 menggunakan Bahasa sunda,  pengunaan bahasanya halus dan kolokial. Namun ada juga yang menggunakan Bahasa Sunda kasar dan bersifat akrab.
10.  Tukang Ojek menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard dan ada campur kode dengan Bahasa Sunda.
11.  Pedagang aksesoris menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard, sopan dan bersifat mengajak.
12.  Serta pekerja bangunan menggunakan Bahasa Sunda kasar dan dialek kedaeraahan.
Yang jelas bahwa pemakaian suatu bahasa termasuk variasinya, akan sangat ditentukan oleh siapa yang berbicara, dengan siapa kita berbicara, bagaimana situasinya, dan di mana kita berbicara. Dengan kata lain, kita harus berpegang pada aspek-apek berbahasa. Namun juga, variasi pemakaian bahasa seringkali juga dipengaruhi oleh umur seseorang, pendidikan, status sosial, dan antara penutur serta penanggapnya.
BAB V
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis tentang variasi bahasa di Desa Pasirpanjang, Kec. Salem, Kab. Brebes, Prov. Jawa Tengah, yang daerahnya termasuk daerah yang berbahasa jawa, namun di Pasirpanjang menggunakan bahasa Sunda, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1)      Status sosial pemakai bahasa sangat memengaruhi variasi bahasa yang digunakan seseorang.
2)      Status sosial yang tinggi akan memakai variasi bahasa yang halus dan sopan. Sedangkan status sosial rendah akan memakai variasi bahasa yang tidak baku dan kasar yang bergantung pada umur seseorang, pendidikan, status sosial, lingkungan dan antara penutur serta penanggapnya.

















DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul & Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Keraf, Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

No comments:

Post a Comment

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2