BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kridalaksana mendefinisaikan
Sosiolinguistik sebagai ilmu yang memepelajari ciri dan pelbagai variasi
bahasa, serta hubungan di antara bahasawan dengan ciri fungsi variasi bahasa itu
di dalam suatu masyarakat bahasa. ( Chaer, 2010: 3)
J. A. Fisherman juga mendefinisikan
Sosiolinguistik sebagai kajian tentang ciri khas variasi bahasa, fungsi-fungsi
variasi bahasa, dan pemakai bahasa karena ketiga unsur ini selalu berinteraksi,
berubah, dan saling menubah satu sama lain dalam satu masyarakat tutur. (
Chaer, 2010: 3)
Dalam KBBI, Sosiolinguistik adalah
ilmu bahasa yang digunakan dalam interaksi sosial, atau cabang linguistik
tentang hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dan perilaku
sosial.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli
dan pengertian Sosiolinguistik dalam KBBI, dapat disimpulkan bahwa
Sosiolinguistik merupakan Ilmu yang mengkaji atau mempelajari bahasa yang
digunakan dalam interaksi sosial masyarakat, juga termasuk didalamnya kajian
tentang variasi bahasa dalam masyarakat akibat faktor sosial (lingkungan,
status, ekonomi, pendidikan, agama,
pekerjaan, adat istiadat, budaya) dan faktos situasional (siapa, dengan siapa,
kapan, dimana dan bagaimana suasana, topik, dan usia).
Konferensi sosiolinguistik pertama
yang berlangsung d University of California, Los Angels, tahun 1964, telah
merumuskan adanya tujuh dimensi dalam penelitian sosiolinguistik. Keujuh
dimensi yang merupakan masalah dalam masalah sosiolinguistik adalah: (1)
identitas sosial dari penutur, (2) identitas sosial dari pendengar yang
terlibat dalam proses komunikasi, (3) lingkungan sosial tempat peristiwa tutur
terjadi, (4) analisis sinkronik dan diakronik dari dialek-dialek sosial, (5)
penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku bentuk-bentuk ujaran,
(6)tingkatan variasi dalam ragam linguistik, dan (7) penerapan praktis dari
penelitian sosiolinguistik. ( lihat Dittmar, 1976: 128, dalam Chaer, 2010: 5)
Sehubungan dengan heterogennya
anggota suatu masyarakat tutur, adanya berbagai fungsi soaial dan politik
bahasa, setra adanya tingkatan kesempurnaan kode, maka alat komunikasi yang
disebut bahasa itu menjadi sangat bervariasi. Setiap variasi, entah namanya
dialek atau ragam mempunyai fungsi
sosialnya masing-masing. Penelitian variasi bahasa dalam interaksi sosial
masyarakat salah satunya dapat diteliti berdasarkan status sosial tertentu, seperti pekerjaan.
Untuk itu, penulis ingin melakukan
penelitian variasi bahasa berdasarkan status sosial, dengan mengambil Desa
Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah sebagai objek wilayah
penelitian.
B.
Perumusan
Masalah
1. Bagaimana
variasi bahasa berdasarkan status
sosial
di Desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Untuk
mengetahui variasi bahasa berdasarkan Status Sosial di Desa Pasir Panjang Kec.
Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah.
BAB II
LANDASAN TEORETIS
A.
Variasi
Bahasa
Interaksi yang dilakukan oleh
masyrakat bahasa sangatlah beragam, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor
sosial dan faktor situasional. Adapun faktor sosial tersebut yaitu, pekerjaan,
pendidikan, lingkungan, kelas sosial, eknomi, budaya, agama, dan adat istiadat.
Sedangkan
Dalam
hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya
keragaman sosial penututr bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. jadi
variasi ahasa atau ragam bahasa itu terjadi akibat dari adanya keragaman
sosisal dan keragaman fungsi bahasa. Andai kata penutur bahasa itu adalah
kelompok homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka
variasi atau keragaman itu tidak akan ada; artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu
sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan
masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja ditrima atau
ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan
adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan didalam masyarakat.
Ø Jenis-jenis
variasi bahasa
a. Variasai dari segi
penutur
Variasi pertama yang kita lihat
berdasarkan penuturnya adalah variasi bahasa yang disebut idiolek, yakni variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut
konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya
masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan
kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. Namun paling dominan adalah “warna” suara itu sendiri, sehingga jika
cukup akrab dengan seseorang, hanya dengan mendengar suara bicaranya tanpa
melihat orangnya, kita dapat mengenalinya
Variasi kedua berdasarkan penuturnya
adalah yang disebut dialek, yakni
variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada
suatu tempat, wilayah atau area tertentu. Karena dialek ini didasarakan pada
wilayah area atau tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut sebagai
dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. Para penutur dalam suatu
dialek, meskipun mereka mempunyai idioleknya masing-masing, memiliki kesamaan
ciri yang menandai bahwa mereka berada pada satu dialek, yang berbeda dengan
kelompok penutur lain, yang berbeda
dengan dialeknya sendiri dengan ciri lain yang menandai dialeknya juga.
Variasi ketiga berdasarkan penutur
adalah disebut kronolek atau dialek
temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa
tertentu. Umpanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan,
variasi bahasa yang digunakan pada masa lima puluhan, dan variasi yang
digunakan pada masa kini. Perbedaan variasi bahasa dari zaman kezaman ini
berbeda dari segi lafal, ejaaan, morfologi, mapun sintaksis. Yang paling tampak
biasanya dari segi leksikon, karena bidang ini mudah sekali berubah akbiat
perubahan sosisal, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Variasi bahasa keempat yaitu sosiolek atau dialek sosial, yakni
variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para
penuturnya. Dalam sosilinguistik biasanya variasi ini yang paling banyak menyita waktu untuk
membicarakannya, karena variasi ini menyangkut semua masalah penuturnya,
seperti usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, keadaan
sosial ekonomi dan sebagainya.
Sehubungan dengan variasi bahasa
berkenaan dengan tingkat, golongan, status, dan kelas sosial pera penuturnya,
biasanya dikemukanakan orang variasi bahasa yang disebut akrolek, vulgar,
slang, kolokial, jargon, argot dan ken. Ada juga yang menambahkan dengan yang
disebut bahasa prokem.
-
Akrolek
adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari pada
variasi sosial lainnya. Sebagai contoh akrolek ini adalah yang disebut bahasa
bagongan, atau variasi bahasa jawa yang khusus digunakan oleh para bangsawan
kraton jawa.
-
Basilek
adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dianggap
rendah. Bahasa yang digunakan cowboy dan
kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Begitu juga bahasa Jawa “Krama
Ndesa”.
-
Vulgar
adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak
pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka
yang tidak berpendidikan.
-
Slang
adalah
variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan
oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh
kalangan diluar kelompok itu. oleh karena itu, kosa kata yang digunakan dalam
slang ini selalu berubah-ubah. Karena slang ini bersifat kelompok dan rahasua,
maka tmbul kesan bahwa slang ini adalah bahasa rahasianya para pencoleng dan
penjahat; padahal sebenarnya tidaklah demikian.
-
Kolokial
adalah variasi sosial yang digunakan dalam
percakapan sehari-hari. Kata kolokial berasala dari kata colloquium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa
percakapan, bukan bahasa tulis. Juga tidak tepat bila kolokial disebut bersifat
“kampungan” pemakainya.
Dalam bahasa Indonesia
percakapan banyak digunakan bentuk-bentuk kolokial, seperti dok (dokter), prof (profesor), let (letnan),
ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah), dan sebagainya.
-
Jargon
adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas
oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali
tidak dapat dipahami olej masyarakat umum atau masyrakat diluar kelompoknya.
Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya dalam
kelompok montir atau perbengkelan ada ungkapan seperti roda gila, didongkrak, dices, dibalans dan dipoles.
-
Argot
adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas
pada profesi-profesi tertentu bersifat rahasia. Letak kehususan argot adalah
pada kosakata. Umpamanya, dalam dunia kejahatan(pencuri, tukang copet) pernah
digunakan ungkapan seperti barang dalam
arti mangsa, kacamata
dalam arti polisi.
-
Ken
adalah variasi sosial yang bernada “memelas” dibuat
merengek-rengek, penuh dengan kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para
pengemis.
b. Variasi
dari segi
pemakaian
Variasi bahaasa berkenaan dengan
penggunaanya, pemakaiannya atau fungsinya. Disebut fungsiolek. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan
berdasarkan penggunaan, gaya, atau tingkah keformalan, dan sarana penggunaan.
Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaiannya ini adalah menyangkut bahasa itu
digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya bidang jurnalistik,
militer, pertanian, pelayaran, perekonomian, perdagangan, pendidikan, dan
kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling
tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata.
c. Variasi
dari segi keformalan
Berdasarkan
tingkat keformalannya, Martin Joos dalam Chaer (2010; 71) membagi variasi
bahasa atas lima macam gaya, yaitu gaya atau ragam baku, gaya atau ragam resmi,
gaya atau ragam usaha, gaya atau ragam santai, gaya atau ragam akrab.
-
Ragam beku adalah
variasi bahasa yang paling formal, yang digunakan dalam situasi-situasi
khidmat, dan upacara-upacara resmi, misalnya dalam upacara kenegaraan, khotbah
di mesjid, tata cara pengambilan sumpah; kitab undang0undang, akte notaris, dan
surat-surat keputusan. Disebut raga beku karena pola dan kaidahnya sudah
ditetapkan secara mantap, tidak boleh diubah.
-
Raam resmi atau formal
adalah variasi bahasa yang digunakan dalam pidato kenegaraan, rapat dinas,
surat-menyurat dinas, ceramah keagamaan, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditetapkan secara mantap sebagai suatu standar.
Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam baku atau standar yang hanya
digunakan dalam situasi resmi dan tidak digunakan pada siatuasi yang tidak
resmi.
-
Ragam usaha atau ragam
konsultatif adalah variasi bahasa yang lazim digunakan dalam perbincangan biasa
disekolah, dan rapat-rapat atau pembicaraan yang berorientasi kepada hasil atau
produksi. Jadi dapat dikatakan ragam usaha adalah ragam bahasa yang paling
operasional. Wujud ragam ini berada antara ragam formal dan ragam informal atau
ragam santai.
-
Ragam santai atau ragam
kasual adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi untuk
berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib pada waktu istirahat,
berolah raga, berekreasi, dan sebagainya. Ragam santai ini banyak menggunakan
bentuk alegro, yakni bentuk kata atau ujaran yang dipendekkan. Kosa katanya
banayk dipengaruhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah. Demikian juga
dengan struktur morfologi dan sintaksisnya, seringkali struktur morfologi dan
sintaksis yang normatif tidak digunakan.
-
Ragam akrab atau ragam
intim adalah variasi bahasa yang biasa digunakan oleh para penutur yang
hubungannya sidah akrab, sperti anggota keluarga atau antar teman yang sudah
karib. Ragam ini ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap,
pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang seringkali tidak jelas. Hal ini
terjadi karena partisipan sudah saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang
sama.
d. Variasi
dari segi sarana
Variasi
bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal
ini dapat disebut adanya ragam lisan dan ragam tulis atau juga ragam dalam
berbahasa dengan menggunakan sarana atau
alat tertentu, takni, misalnya, dalam bertelpon dan bertelegraf. Adanya ragam
bahasa lisan dan ragam bahasa tulis didasarkan pada kenyataan bahwa bahasa
lisan dan bahasa tulis memiliki wujud struktur yang tidak sama. Adanya
ketidaksamaan wujud struktur ini adalah
karena dalam bahasa lisan atau dalam
menyampaikan informasi secara lisan, kita dibantu dengan unsur-unsur nonsegmental
atau unsur nonlinguistik yang berupa nada suara, gerak-gerik, tangan, gelengan
kepala, dan sejumlah gelaja fisik lainnya. Padahal didalam ragam tulis hal-hal
yang yang disebutkan itu tidak ada.
B.
Bilingualisme
Bilingualisme (Inggris : bilingualism) dalam Bahasa
Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Dan istilahnya secara harfiah sudah dapat
di pahami apa yang dimaksud bilingualism itu yaitu dengan penggunaan dua bahasa
atau dua kode bahasa. Secara sosiolinguistik, secara umum, bilingualisme diartikan
sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dengan orang lain secara
bergantian (Mackey, 1962:12, Fishman, 1975:73) untuk dapat menggunakan dua
bahasa tentu seorang harus meguasai 2 bahasa tersebut, pertama bahasa Ibunya
yang (disingkat B1) dan bahasa yang lain dan menjadi bahasa keduanya (disingkat
B2). Kemampuan seseorang untuk menggunakan dua bahasa disebut Bilingualitas
atau dalam bahasa Indonesia disebut Kedwibahasaan.
Masalah yang timbul akibat digunakannya dua bahasa oleh seorang penutur
dalam pergaulan dengan orang lain secara bergantian.
- Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan
B2, (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut
bilingual?
- Apa
yang dimaksud dengan bahasa dalam Bilingualisme ini? Apakah bahasa
dala pengertian langue atau sebuah kode, sehingga bias termasuk sebuah
dialek atau sosiolek
- Kapan seorang bilingual itu menggunakan
kedua bahasa tersebut secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1 nya? Kapan dia menggunakan B2-nya dan
Kapan dia bias berganti secara bebas menggunakan B1 dan B2
- Sejauh mana B1-nya dapat mempengaruhi
B2-nya, ataupun sebaliknya?
- Apakah Bilingualisme belaku pada
perseorangan atau berlaku juga pada kelompok masyarakat tutur?
Untuk
dapat menjawab pertayaan pertama, kita bisa melihat batasan-batasan
Bilingualisme menurut Para ahli. Menurut Bloomfield dalam bukunya Langage (1933
: 56) mengatakan bahwa Bilingualisme adalah “Kemampuan seseorang penutur untuk
menggunakan bahasa dengan sama baiknya”. Sedangkan menurut Lado (1964: 214)
mengatakan bahwa Bilingualisme adalah kemampuan menggunakan dua bahasa oleh
seseorang dengan sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua
bahasa bagaimana pun tingkatannya. Menurut Haugen (1961) seorang bilingualism
tidak perlu secara aktif mengunakan kedua bahasa tersebut, tetapi cukup kalau
bisa memahami saja. Dari peryataan diatas dapat disimpulkan sebagai
jawabantehadap peryataan bahwa pengertian Bilingualisme akhirnya merupakan satu
kesatuan rentang berjenjang mulai menguasai B1 Ditambah tahu sedikit akan B2
Dilanjutkan penguasaan B2 Berjenjang bertingkat.
Bahasa dalam Bilingualisme sangtlah
luas, dari bahasa dalam pengertian language seperti bahasa sunda dan bahasa
Madura, sampai berupa dialek atau ragam sebuah bahasa, kalau yang dimaksud
bahasa juga dialek , maka hampir semua masyarakat Indonesia adalah Bilingual.
Pertanyaan kapan seorang penutur bilingual
menggunakan bahasa tertentu, B1 dan B2-nya Atau suatu rgam tertentu adalah
menyangkut masalah fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam
masyarakat tutur sehubung dengan adanya ranah-ranahpenggunaan bahasa atau ragam
bahasa tersebut. B1 dan B2 dapat
digunakan disesuaikan dengan lawan bicara, topic pembicaraan dan situasi
pembicaraan.
Sejauh mana seorang B1 bilingual
dapat mempengaruhi B2 ataupun sebaliknya. Masalah ini menyangkut masalah
kefasihan menggunakan kedua bahasa tersebut dan kesempatan untuk mengunakannya.
B2 seorang penutur bilingual akan mempengaruhi B1 , Dikarenakan dalam jangka
waktu yang cukup lama tidak menggunakan B1-nya tetapi secara terus menerus
menggunakan B2. Bila seseorang B1-nya Bahasa Indonesia dan B2-Nya bahasa
Inggris, kemudian ia tinggal cukup lama di daerah yang hanya bisa
berkomunikasi, sehingga setelah ia punya kesempatan kembali menggunakan B1 maka
bahasa Indonesiannya akan tercampur dengan bahasa Inggris.
Bilingualisme merupakan milik
induvidu atau kelompok? Menurut Mackey juga mengatakan bahwa bahasa itu milik
kelompok atau milik bersama suatu masyarakat tutur. Maka bilingualisme adalah
milik induvidu-induvidu para penutur.
Bilingualisme
yang sungguh murni seperti terdapat di Montreal itu jarang ditemukan ditempat
lain, yang lazimnya adanya perbedaan peranan setiap bahasa artinya setiap
bahasa di masyarakatbilingual tidak dapat secara bebas digunakanmelainkan harus
diperhatikan fungsi masing-masing.
C.
Alih
kode dan Campur
kode
Ø Alih
Kode
Peristiwa
pergantian bahasa sunda ke bahasa Indonesia, atau berubahnya dari ragam santai
menjadi ragam resmi, atau juga dari ragam resmi ke ragam santai, inilah yang
disebut peristiwa alih kode di dalam sosiolinguistik. Memang tentang apakah
yang disebut alih kode itu banyak batasan dan pendapat dari para pakar.
Appel (1976:79) mendefinisikan
alih kode itu sebagai, “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya
situasi”. Pada ilustrasi diatas kita lihat peralihan penggunaan bahasa dari
bahasa sunda ke bahasa Indonesia.
Berbeda dengan
appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antar bahasa, maka Hymes (1875:103)
menyatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga
terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.
Dalam ilustrasi diatas antara ragam santai dan ragam resmi bahasa Indonesia.
Lengkapnya Hymnes mengatakan “code switching has become a common term for
alternate us of two or more language, varieties of language, or even speech styles”.
Kalau kita
menelusuri penyebab terjadinya alih kode itu, maka harus kita kembalikan kepada
pokok persoalan sosiolinguistik seperti yang dikemukkan Fishman (1976:15) yaitu, “siapa berbicara, dengan bahasa
apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa”. Dalam berbagai kepustakaan
linguistic secara umum penyebab alih kode itu disebutkan antara lain adalah
pembicara atau penutur, pendengar atau lawan tutur, perubahan situasi dengan
hadirnya orang ketiga, perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya,
perubahan topic pembicaraan.
Ø Campur
kode
Alih kode dan
campur kode merupakan peristiwa tutur yang lazim terjadi dalam masyarakat
bilingual yang memiliki kesamaan yang besar sehingga seringkali sukar
dibedakan.
Kesamaan yang
ada antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih,
atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur. Banyak ragam
pendapat mengenai beda keduanyya. Namun, yang jelas dalam alih kode setiap
bahasa atau ragam bahasa yang digunakan
itu masih memiliki fungsi otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar dan
sengaja dengan sebab-sebab tertentu seperti yang sudah dibicarakan diatas.
Sedangkan didalam campur kode ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomiannya, sedangkan kode-kode lain yang
terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan (piecis) saja, tanpa fungsi atau
keotonomian sebagai sebuah kode. Seorang penutur misalnya, yang dalam berbahasa
Indonesia banyak menyelipkan
serphan-serpihan bahasa daerahnya bias dikatakan telah melakukann campur
kode. Akibatnya, akan mmuncul satu raga, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan
(kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Jawa) atau bahasa Indonesia yang
kesunda-sundaan (kalau bahasa daerahnya adalah bahasa Sunda).
Thelander
(1976; 103) dalam Chaer (2010; 115) mencoba menjelaskan perbedaan alih kode dan
campur kode. Katanya, bila didalam suatu pereistiwa tutur terjadi peralihan
dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa tutur yang
terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila didalam suatu peristiwa tutur,
klausa-klausa maupun fase-fas yng
digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid pharases), dan masing-masing klausa atau
fase itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Dalam hal
ini mwnurut Thelander selanjutnya,
memang ada kemungkinan terjadinya perkemagan dari campur ke alih kode.
Perkembangan ini, misalnya, dapat dilihat kalau ada usaha untuk mengurangi
kehibridan klausa-klaus atau frase-frase yang digunakan. Serta memberikan
fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan keotonomian bahasanya masing-masing.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode
Penelitian
Karena
penelitian bersifat ilmiah kita harus menggunakan sebuah metode penelitian
supaya hasilnya nanti bersifat ilmiah
juga. Metode penelitian yang kami gunakan adalah metode penelitian kualitatif
yang mementingkan kualitas dari data yang kami peroleh.
B.
Teknik
penelitian
1. Teknik
Pemerolehan Data
Dalam
penelitian diperlukan sebuah teknik untuk memperoleh data, karena data merupakan
keterangan yang benar-benar nyata dan
sangat kita butuhkan dalam penyusunan karya ilmiaih. Sebelum penulis melakuka
pencarian data, penulis melakukan study pustaka terlebih dahulu, yaitu membaca
berbagai buku tentang variasi bahasa dan menentukan teknik yang akan digunakan
yaitu teknik wawancara. Karena data yang
penulis peroleh berupa tuturan, penulis berbincang-bincang dalam situasi
santai, dengan merekam tanpa diketahui oleh narasumber yang dijadikan ojek
penelitian.
Data
hasil wawancara antara penulis dengan warga desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab.
Brebes ini benar-benar penulis dapatkan dari masyarakat desa tersebut.
Maka
dari itu teknik pemerolehan data yang penulis gunakan yaitu teknik wawancara
secara langsung.
2. Teknik
pengolahan Data
Berdasarkan
rumusan masalah untuk mengetahui variasi bahasa berdasarkan Status Sosial di
Desa Pasir Panjang Kec. Salem Kab. Brebes Prov. Jawa Tengah. Penulis
mendapatakan data berupa rekaman hasil wawancara yang diolah dengan cara:
1. Mendokumentasikan
rekaman.
2. Rekaman
tersebut disimak dan ditulis.
3. Setelah
data tersebut berbentuk tulisan, kemudian dibaca secara teliti untuk
selanjutnya dianalisis variasi bahasanya.
4. Setelah
menganalisis data tersebut, kemudian penulis menyimpulkan variasi bahasa di
Desa Pasir Panjang, kec. Salem Kab. Brebes.
C.
Populasi
Penelitian yang penyusun lakukan
adalah penelitian lapangan yang dilakukan di Desa Pasirpanjang dan Pasar
Bentar, karena banyak yang dijadikan narasumber, maka tidak memungkinkan untuk menghitung
jumlah populasi di Desa Pasirpanjang dan
Pasar Bentar, maka kita mengambil populasi acak didasarkan pada
pemilihan narasumber dilihat dari status sosialnya.
D.
Sampel
Karena populasi diambil secara acak,
maka sampel pun kita tentukan
berdasarkan status sosial, yang kita ambil dari petani, pedagang, pelajar SMA,
pelajar SMP, ibu rumah tangga, tukang parkir, ketua RT, pekerja bengkel, dan
pekerja bangunan.
BAB IV
ANALISA
DATA
A.
Data Penelitian
Berdasarkan
data rekaman yang diperoleh, penyusun telah mengolah data rekaman tersebut
menjadi bentuk dialog. Sebagai berikut:
1.
Perbincangan
antara fifin, sinta, kiki dan ua di rumah bibi.
Narasumber :
Iyok (Ua Fifin).
Pekerjaan :
Petani.
Usia :
60 tahun.
Variasi Bahasa: Kolokial (percakapan
sehari-hari)
Penggunanaan bahasa: Menggunakan
bahasa sunda kasar, (bahasa noonstandar)
Fifin : “Wa, rambutan payuneun
ompok Ntin ntos ayaan deh?”
Ua : ”Can ayeuna mah, can mangsa ieuh.”
Fifin : ”Oh can mangsa ieuh, sugankeun mah ntos aya buahan teh.”
Ua : ”Acan.”
Kiki : ”Aya jalan deui teu kadieu wa?”
Ua : “Teu aya, jalan hiji-hijina.”
Fifin : ”Atuh da jalannya mau kemana lagi, mau lewat ke Banjar da
lewatnya ke situ juga.
Ua : ”Bisa sih, eta jalan ka Banjar Ciamis.
Sok ka ua deh kaditu ka Pende
Tin?”
Fifin : ”Nteu, da jalan ka Banjar na ge jelek.”
Ua : ”Heeh, ari kadieu liwat ka
Pananggapan?”
Fifin : ”Muhun, ka Cibingbin”
Ua
: ”si Dodi mah ari kadieu dua minggu
sakali.”
Fifin : ”Jalanna jalan kadieu?”
Ua : “heeh”
Fifin : “Jalan ka Bumiayu siga kitu wa ua wa? Maksuna utan.”
Ua : “Da teu siga kitu ieuh, tanjakan na teh
siga S.”
Fifin : “Lamun jalana ka Ciamis sih ka Majenang tah?”
Ua : “Sarua bae tapi jalanna gede.”
Fifin : ”Da gede ge kaya gitu heh., bulak-belok.
Nunu Nunu ek tiguling.”
Ua : “Kuma eta?”
Fifin : “Angot Ntin mah ka Kuningan sorangan wa.”
Ua : “Eta
mah da geus biasa.”
Fifin : “Muhun geus biasa ka Banjar ge sorangan”
Ua : “Ka ua menta buah Tin.”
Fifin : “Buah? Keur mangsa buah tah?”
Ua
: “ka Banjar mah anjogkeun bae ka ua
Riki.”
Fifin : “Ka Ua Riki mah jalana goreng kadituna.”
Ua : “Jalan ka Ciledug.”
Fifin : “Tapi da jalan ka Ciledug na goreng.”
Ua : “Ka Losari, ke teh ka Ciledugna
goreng.”
Fifin : “Ka Losari, ke
the ka Ciledug tapi itu nyampe Losari na.”
Ua : “Terus
kamana, Tanjung Ngulon.”
Fifin : “Sugan
ka Ciledug? Pan ti Cikukak Ngulon. Muhun, tapi da goring.”
Ua : “A
Riki pan ek nikah.”
Fifin :
“Nikah? Kapan?”
Ua : “Ke
Bulan opat. Ieu sakampus nya?”
Fifin :
“Muhun, sakelas.”
Ua : “Si
Sindi teu wangsul?”
Fifin : “Nteu,
eta mah jarang wangsul.”
Sinta : “Wa,
didieu mah kondangan na nteu ngangge boboko nya?”
Ua : “Nteu,
di jingjing kondangana.”
Sinta : “Tadi
di daerah Cibingbin hampir batas mah nangge Boboko gening wa.”
Ua : “Oh.
Didieu mah heunteu da.”
Fifin : “Wa,
di romopok Ntin cai na ngocor nteu?”
Ua : “An,
ulah cicing teuing An, baturan.”
Fifin : “ An,
kadieu An, cenah geulis An.”
Kiki : “Wa,
ka Salem na jauh?”
Ua : “Nya
ka Salem mah jauh aya dalapan kiloan
tidieu.”
2. Percakapan
antara Dzikri dengan Tukang Sandal di Pasar Bentar.
Narasumber :
Pedagang Sandal.
Usia :
sekitar 28 tahuanan
Penggunaan bahasa: bahasa Indonesia nonstandard,
sopan, bersifat akrab dan mengajak.
Dzikri :
“Mas, ini dijual berapaan?”
Pedagang :
“Tiga sepuluh Mas.”
Dzikri :
“Berarti bisa ya Mas dua pasang lima ribu.”
Pedagang :
“Engga bisa Mas, engga ada untungnya segitu mah.”
Dzikri :
“berarti semuanya sama. Tiga sepuluh?”
Pedagang :
“Iya sama.”
Dzikri :
“Kalo beli satu pasang berapa?”
Pedagang :
“Empat ribu mas.”
Dzikri :
“Enggak ada merek swallow mas?”
Pedagang :
“Enggak ada mas.”
Dzikri :
“Mas, kalo sepatu yang ini berapa?”
Pedagang :
“seratus empat puluh”
Dzikri :
“enggak bisa kurang?”
Pedagang : “ya disini kalo harga segitu bisa kurang
Cuma sepuluh persen berarjadi seratus tiga puluh. Kalo harga disini masih murah, kali di Majenang mah
gak bakal dapet segini mas. Kalo disini kan dari
Tasik.
Dzikri :
“Oh iya, iya. Berarti belanjanya dari Tasik?”
Pedagang :
“Iya”
Dzikri :
“Kalo yang ini sama harganya?””
Pedagang :
“Iya sama, kan satu merek.”
Dzikri :
“Cuma beda warna aja yah?”
Pedagang :
“Iya terus ini mah bahannya dari kulit juga. Jadi lebih baguus.”
Dzikri :
“Tapi kemarin beli di Jakarta seratus dua puluh bisa dapet.”
Pedagang :
“Oh itu grosirnya segitu kalo di Jakarta lebih murah bisa seratus. Kalo disini lebih mahal kan ongkos kirimnya, terus
keamanannya belum, apalagi
jalannya kan terjal.”
Dzikri :
“Oh yaudah mas, nanti kesini lagi. Makasih ya.”
Pedagang :
“Iya mas, yoooo sama-sama.”
3. Percakapan
antara Kiki, Dzikri dengan Petani.
Narasumber :
Petani.
Usia :
sekitar 80 tahuanan
Penggunaan bahasa: Menggunakan campur kode antara
bahasa Indonesia dan bahasa sunda, sopan dan halus.
Kiki : “Lagi
musim panen Bu?”
Petani : “Iya
Panen.”
Kiki :
“selain padi, biasanya disni nanam apalagi Bu?”
Petani : “Nanam
apa lagi ya? Singkong.”
Kiki :
“Selain singkong apalagi?”
Petani : “Nanam
kayu kaya mahoni, erbiseu.”
Kiki` :
“Bawang si Bu, kan kalo daerah Brebes terkenal juga sama bawang
merahnya?”
Petani :
“Engga disini bawang mah engga, kalo bawang merah di Brebes nya, kalo disini
mah engga.”
Kiki : “Oh
berarti disini beda.”
Dzikri : “Iya
yah padahal termasuk daerah Brebes tapi beda.”
Petani : “Iya beda.”
Kiki : “Terus
telor asin disini engga ada yah bu?”
Petani : “Iya
disini juga engga ada telor asin, kadang ada tapi di pasar. Kalo di
Brebesnya
mah banyak.”
Dzikri : “Ada
jenis padi apa saja bu disini?”
Petani :
“Banyak, ada padi bener sama belerang.”
Dzikri : “Kalo
padi yang paling bagus apa?”
Petani : “Yang
paling bagus itu padi ciherang.”
Dzikri : “Kalo
disana kan beras Cianjuran yang bagus.”
Petani : “Oh
beras Cianjuran kalo disini beras Ciherang.”
Kiki : “Ibu
asli orang sini?”
Petani : “Iya
asli orang sini.”
Kiki : “Kalo
suami?”
Petani : “Suami
juga asli orang sini.”
Kiki :
“Disini sawahnya disebelah mana Bu?”
Petani : “Tuh
disana, coba tingal disana, enak geura adem. Disana juga banyak yang panen.”
Kiki : “Jalan
kaki bu kalo mau ke sawah?”
Petani : “Iya
jalan kaki, motornya simpen disini aja.”
4. Percakapan
antara Kiki, Opi dengan pegawai bengkel.
Narasumber :
Pegawai bengkel
Umur :
23 Tahun
Variasi
bahasa : Kolokial.
Penggunaan
bahasa : Alih kode dari bahasa sunda
ke bahasa Indonesia dan campur kode antara kedua bahasa tersebut.
Kiki :
“A di cek bae rem na nya?”
Pegawai :
“Iya a. Emang kunaon tadina?”
Kiki :
“Kamari rem na ngelos a hnteu nge rem.”
Pegawai :
“Iya ke di tingal a.”
Ovi :
“A selain ke lio mau ke Kuningan bisa lewat kemana?”
Pegawai :
“Bisa lewat majenang tapi muter jauh.”
Ovi :
“Kira-kira berapa jam?”
Pegawai : “Jauh si ke Ciamis kurang tau
berapa jam. Kalau ke Cikijing 4 jam-an dari sini.”
Ovi :
“Waaahh pegel itu mah jauh.”
Pegawai :
“Iya deketan lewat ke lio terus ke Cibingbin.”
5. Percakapan
antara Kiki dengan tukang parkir
Narasumber :
Tukang parkir
Usia :
Sekitar 50 Tahunan
Penggunaan
bahasa : Campur kode antara bahasa
Indonesia dan bahasa sunda, akrab dan sopan.
Kiki : “Misi
mas, kalau disini biasanya pasarnya sampai pukul berapa?”
Parkir : “Iya kalau disini paling sampai jam 11.00 sudah sepi, kalau rame mah
pas awal-awal puasa.”
Kiki : “Macet ya mas?”
Parkir : “Wah bukan macet lagi, penuh, sesek lagi.”
Kiki : “Penghasilan si mas selama jaga parkir
disini berapa?”
Parkir : “Iya kalau lagi rame mah 100-150 dapet
sehari.”
Kiki : “Kalau hari-hari biasa?”
Parkir : “Iya kalau hari-hari bias amah
50-60,engga tentu.”
Kiki : “Tapi lumayan ya mas?”
Parkir
: “Iya lumayan kalau
dikampung mah.”
Kiki : “Owh engga tiap hari kerja
disini?”
Parkir : “Iya enggga palingan cuma hari
manis. Kan kalau pahing mah jaganya di
Salem
Kiki
: “Pendapatannya lebih
besar?”
Parkir : “Engga juga. Malah ramean disini, soalnya lokasinya juga kalau disalem mah
biasa aja, engga terlalu rame.”
Kiki : “Bapa asli orang sini?”
Parkir : “Iya asli orang Salem.”
Kiki : “Kalau mau ke Kuningan mas, selain
lewat ketanjakan apa itu kemana lagi ya?”
Parkir : “Tanjakan apa?”
Kiki
: “Iya tanjakan lio,
lewat kemana lagi?”
Parkir
: “Engga ada lagi.”
Kiki : “Kata orang disini bisa lewat
Banjar katanya?”
Parkir : “Oh iya lewat Banjar bisa, lewat
Majenang bisa.”
Kiki
: “Berapa jam kalau ke Banjar
dari sini?”
Parkir : “Deket kalau ke Banjar, tinggal lewat
Majenang terus lurus aja arah Ciamis.
Kiki : “Kalau ke Majenang setengah
jam dari sini nyampe?”
Parki
: “Nyampe setengah jam Majenang mah deket.”
Kik
: “Jalannya engga kaya tanjakan lio?”
Parkir
: “Engga terlau parah lewat kesana mah, cuman ada sedikit. Bagusan lewat jalan Majenang.”
Kiki : “Iya kan kalau lewat lio
tanjakannya mantep tah.”
Parkir
: “Iya tanjakannya lama.”
Kiki
: “Yaudah makasih mas.”
Parkir : “Iya sama-sama.”
6. Percakapan
Kiki, Dzikry dengan
pedagang
makanan
Narasumber
: Pedagang makanan
Umur : Sekitar 70 tahunan
Penggunaan bahasa :
Bahasa Sunda, sopan dan halus.
Variasi bahasa :
Kolokial.
Kiki : “Ieu ngarana naon bu?”
P.makanan
: “Oh itu lontong a.”
Kiki
: “Oh lontong. Lamun di Kuningan
mah dibikina tina beas dibungkus daun cau, didieu mah beda.”
P.makanan : “Didieu mah dibungkus plastik bae. Tapi
sarua bae rasana.”
Kiki : “Muhun bu sarua rasana mah.
Sabaraha hijina bu?”
P.makanan
: “Hijina 500san
Kiki : “Lamun gorengan sabarahaan
bu?
P.makanan
: “Sarua lima ratusan kabeh a.”
Kiki :
“Nya atuh jadi sabaraha bu sadayana gorengan tiga, lontong dua.”
P.makanan : “Jadi dua rebu lima ratus a.”
Kiki : “Nu maneh makan naon bae?”
Nunu : “Gorengan dua lontong hiji.”
Kiki :
“Kri maneh si?”
Dzikri : “Gorengan tilu lontong hiji.”
Kiki : “Tah bu terus gorengan lima
lontong dua jadi sabaraha?”
P.makanan : “Jadi tilu rebu lima ratus.”
Kiki : “Terus tadi sareng dua rebu
lima ratus sadayana jadi sabaraha?”
P.makanan : “Kabehna jadi genep rebu a.”
Kiki : “Hatur nuhun bu.”
P.makanan : “Sami-sami.”
7.
Percakapan
antara Fifin, Anik, Wildan, Ua dan Bibi
Narasumber : Anik, Wildan, Uwa, Bibi
Umur : Anik : 6 Tahun (Pelajar)
Wildan :
8 Tahun (Pelajar)
Uwa :
Sekitar 60 Tahunan (Petani)
Bibi :
Sekitar 35 Tahunan (Ibu Rumah Tangga)
Penggunaan bahasa :
Sunda kasar, akrab.
Variasi bahasa :
Kolokial.
Fifin : “Ingkeun ih bu anik.”
Anik : “Kajeun.”
Fifin : “Ingkeun ih entong
dipindahkeun dah.”
Anik : “Pindahkeun wa ulah uya kuya.”
Uwa : “Itu pan ku si Anik.”
Fifin : “Dan.”
Wildan : “Heuyy.”
Fifin : “ UAS na iraha deh ujianna?”
Wildan : “Geus.”
Fifin : “Oh geus nya iraha?”
Wildan : “Salasa.”
Fifin : “Bagi laporna iraha?”
Wildan : “Sabtu.”
Fifin : “Sabtu ieu?”
Wildan :
“Nya sabtu ieu.”
Fifin : “Yakin, yakin. Dasar ompong,
si Anik ompong wa?”
Wildan : “Teu ompong mah aya nu
unggeur bae.”
Sinta : “Wa berarti ieu Desa
pertamanya?”
Uwa : “Nya Desa pertama.”
Fifin : “Bibi air di ompok Ntin ilok
nyala deh Uwa?”
Uwa : “Nyala ari dinyalakeun mah.”
Fifin : “Biasana lamun tos hujan mah
sok kotor pan.”
Bibi : “Dongna na mah memeh Ntin
wangsul teh nelpon heula.”
Fifin : “Puguh tadina mah ibu teh
suruh nelpon ka bibi, ka ceu encum jeung ka bibi anim.”
Uwa : “Mangkaning bibi tos ti bentar
deuh sagala aya.”
Fifin : “Jam sabaraha Bibi? Sugan
kakara dongkap? Da teu terang wa.”
Wildan : “Si tegar.”
Fifin : “Naon si tegar.”
Sinta : “Bibi punteun ngarerepot.”
Bibi : “Da si ntin na teu nelpon
heula kadieu.”
Sinta : “Ka kota na tebih ta henteu ti
dieu wa?”
Bibi : “Ka Brebes na mah kaditu
deui. Lewat banjar harjo.”
8.
Percakapan
antara Ovi dengan seorang siswa SMA
Narasumber : Pelajar/siswa SMA
Umur : Sekitar 17 Tahunan
Penggunaan bahasa :
Bahasa Indonesia nonstandard , dan sopan.
Ovi : “Mas tau bengkel engga
disini?”
Pelajar : “Iya tau.”
Ovi : “Deket enggak dari sini?”
Pelajar : “Jauh.”
Ovi :
“Kalau cek rem kira-kira berapa yah?”
Pelajar : “Enggak tau.”
Ovi : “Kok udah pulang si
sekolahnya?”
Pelajar : “Belum berangkat.”
Ovi : “Oh belum berangkat tah.
Emang masuk jam berapa?”
Pelajar : “Bebas.”
Ovi : “Oh bebas. Abis UAS ya?”
Pelajar
: “Iya udah UAS."
9.
Percakapan
antara Fifin dengan saudara sepupu
Narasumber : Winih (Ibu Rumah Tangga)
Umur : sekitar 30 Tahunan
Penggunaan bahasa :
Bahasa Sunda kasar dan bersifat akrab.
Fifin : “Eh Ceuceu, ari adi ecih
dimana?”
Wina : “Aya samingguan mah meren.”
Fifin : “Ih sugan mah ti baheula.”
Wina : “Pan pernah gawe di
pananggapan di Indomaret geuning.”
Fifin : “Pananggapan?”
Wina : “Muhun.”
Fifin : “Oh Pananggapan di ditu?”
Wina : “Muhun si nissa.”
Fifin : “Si Nissa teh di asrama kan?”
Wina : “Heueuh, wangsul teu?”
Fifin : “Salamkeun ka Bibi.”
Wina : “Heueuh.”
10.
Percakapan
antara Sinta, Fifin, Ovi dan Penjual Mas
Narasumber : Penjual mas
Umur : Sekitar 35 Tahunan
Penggunaan bahasa : Bahasa
Indonesia nonstandard, ada campur kode antara bahasa sunda dan bahasa
Indonesia, sopan dan santai.
Fifin : “Gak ada mas putih yah?”
P.
Mas : “Gak ada, adanya mas
item, haha..
Fifin : “mas, diledekkin mas ya
Allah,,,, mun aku mah pulang teh.
Opi : “Satu gramnya berapa mas?”
p.
mas : “dua ratus empat puluh
ribu”
opi : “Berapa Karat mas?”
P.Mas : “24 karat”
Fifin
: “da engga karatan ih, aku
jadi pengen beli.”
Opi : “Beli apa Fin? Cincin?”
Fifin : “Itu mah bukan cincin, bandul”
Opi : “Oh Bandul”
P.
Mas : “Ini satu gram, satu
koma lima, dua gram.”
Fifin
: “Aku pengennya mas putih
pi.”
Opi : “Beli dong, eh kalo mas
putih mah kalo dijual turun yah mas?”
P.Mas : “Persenan, kalo mas putih mah
kalo dijual.”
Fifin : “Oh, Persenan. Tapi kalo beli
mah mahal kan?”
Sinta : “Beli lima ratus ribu, dijual
lima tahun kemudiankan harga mas naik, harga jualnya ikut naik juga
mas?
P.mas : “Ya, ikut naik.”
Fifin : “Ya berarti kalo mau dijual
nunggu harga mas naik yah ta?”
Opi : “Tapi kalo lama dipakai, kadar emasnya
berkurang kan?”
P.Mas : “Iya berkurang, tapi kalo naik
ya ikut naik.”
11.
Perakapan
Fifin, Opi, dan Tukang Ojek.
Narasumber : Tukang ojek
Umur : Sekitar 25 Tahun
Penggunaan bahasa : Bahasa
Indonesia non standard dan ada campur kode dengan bahasa sunda.
Tukang ojek : “Neng, Ojek neng...”
Fifin : “Kalo ke kuningan berapa?”
Opi : “Gratis”
Tukang ojek : “iya gratis buat neng mah.”
Fifin : “aa tukang ojek apa bukan?”
Tukang ojek : “Tukang ojek dadakan”
Opi : “oh tukang ojek dadakan Fin.”
Fifin : “Haha Nyebelin banget.”
12.
Percakapan
Fifin dengan Anton
Narasumber : Anton
Pekerjaan :
Pekerja bangunan
Umur : 21 Tahun
Penggunaan bahasa :
Bahasa Sunda kasar dan dialek kedaeraahan.
Fifin : “Gawe jeng saha didieu?”
Anton : “Sorangan.”
Fifin : “sorangan? Eta si saha anu
ngetrok? Perasaan tadi aku teh ketemu jeng si Sofyan, sombong geuning”
Anton : “Heeuh pan eta si Sofan.”
Fifin : “Perasaan jutek geuning.”
Anton : “da dewekna sombong.”
Fifin : “Ih sombong kumaha?”
Anton : “Dimana si Sofyan?”
Fifin : “Di bengkel si Andri, Andri
Ta. Pan mantanna Andri, di bengkel motor
aya tulisanna Andri, heh ta ngomong-ngomong siga si kumisnya, alis na tebel.
Anton
: “Si Alis! Si Kumis. Pualng
iraha?”
Fifin : “Kamari.”
Anton : “Ke mangkat deui?”
Fifin : “Ka Bibi beu?”
Anton : “Heueuh.”
13.
Percakapan
antara fifin, Kiki, Dzikri dengan Pak Toro
Narasumber : Pak Toro
Status social : Lurah
Umur :
Sekitar 45 Tahunan
Penggunaan bahasa : Bahasa Indonesia dengan ragam santai dan
sopan.
Kelompok 4 : Pak saya kesini ingin meninta izin unuk bahan mengambil data penelitan
Pak Toro : penelitian ke masyarakat?
Fifin : iya pak ke masyarakat.
Pak Toro : duduk dulu.
Fifin : cuman ingin memberi tahu saja.
Pak Toro : Jadi berapa orang? 6 orang ya?
Kiki :
Tadinya mau ke rumah bapak sore, tetapi malah baru nyampe sore,
Pak Toro : jadi penelitiannya berapa hari? Dua hari?
Kiki :
Paling satu hari saja
Pak Toro : Kemaren ada yang meminta izin penelitian bahasa sunda di daerah perbatasan dari STKIP Muhammadiyah.
Dzikri : Kemarin berapa orang pak?
Pak Toro : enam orang.
Dzikri : Pak jalan kesini rada serem ya?
Pak Toro : Kalau tidak terbiasa memang kaget.
Fifin : Yaudah pak mau pamit, terima kasih Pak.
Pak Toro : Iya sama-sama.
14.
Percakapan
antara Opi, Fifin, Sinta dengan Pedagang Aksesoris
Narasumber : Pedagang Aksesoris
Umur :
Sekitar 40 Tahunan
Penggunaan bahasa : Bahasa Indonesia nonstandard, sopan dan
bersifat mengajak.
Fifin : Beli
bros, ta?
Sinta : Iya...
Fifin : Bibi, ada tidak bros yang bunnga-bunga gak?
P. Aksesoris : Oh yang ini nih.
Opi :
Yang ini harganya berapa?
P. Aksesoris : Yang ini harganya sepuluhribu tiga.
Opi :
Kalau harga satuan berapaan?
P. Aksesoris : Kalau satuan jadi tigaribu limaratus.
Fifin : Opi mau beli gak?
P. Aksesoris : Udah deh jadi tiga ribu aja.
Fifin : Opi, buat si maya
P. Aksesoris : Murah,
tiga ribuan.
B.
Klasifikasi
Data
Data diklasifikasikan
berdasarkan status social dan variasi bahasa yang digunakan orang yang
berstatus social tersebut, dan diperjelas dengan contoh kalimat sebagai
berikut:
No
|
Status Sosial
|
Variasi Bahasa
|
Contoh
|
1.
|
Petani 1
|
Bahasa sunda
kasar, bahasa nonstandard (tidak baku), dan kolokial
|
Eta mah da geus biasa.
Ke Bulan opat. Ieu sakampus nya.
Ka ua menta
buah Tin.(kolokial)
An, ulah cicing teuing An,
baturan. (kolokial).
|
2.
|
Petani 2
|
Campur kode
antara bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, sopan dan halus.
|
Tuh disana, coba tingal disana, enak geura adem. Disana juga banyak
yang panen.
|
3.
|
Pedagang Sandal
|
Bahasa
Indonesia nonstandard (tidak baku, sopan, bersifat mengajak dan akrab.
|
Iya terus ini mah bahannya dari kulit juga. Jadi lebih bagus.
(bersifat mengajak)
Iya mas, yoooo sama-sama. (akrab)
|
4.
|
Pegawai bengkel
|
Alih kode dari bahasa sunda ke bahasa Indonesia dan campur kode antara
kedua bahasa tersebut, dan kolokial.
|
Iya a. Emang kunaon tadina?
(kolokial dan campur kode)
Jauh si ke Ciamis kurang tau berapa jam. Kalau ke Cikijing 4 jam-an
dari sini.
|
5.
|
Tukang Parkir
|
Campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa sunda, akrab dan sopan.
|
Iya kalau disini paling sampai jam 11.00 sudah sepi, kalau rame mah
pas awal-awal puasa.
|
6.
|
Pedagang makanan
|
Bahasa Sunda,
halus dan sopan, dan kolokial.
|
Jadi dua rebu
lima ratus a. (kolokial)
Didieu mah dibungkus lastic bae. Tapi sarua bae rasana.
|
7.
|
Pelajar SMA
|
Bahasa Indonesia nonstandard , dan sopan.
|
Iya udah UAS.
|
8.
|
Siswa SD
|
Bahasa sunda kasar, dan akrab
|
Kajeun.
Teu ompong mah
aya nu unggeur bae.
|
9.
|
Penjual
mas
|
Bahasa Indonesia nonstandard, ada campur kode antara
bahasa sunda dan bahasa Indonesia, sopan dan santai.
|
Gak ada,
adanya mas item, haha..
Persenan, kalo
mas putih mah kalo dijual
|
10.
|
Ibu
Rumah Tangga 1
|
Bahasa sunda,
halus dan kolokial
|
Da si ntin na
teu nelpon heula kadieu.
Dongna na mah
memeh Ntin wangsul teh nelpon heula.
|
11.
|
Ibu Rumah Tangga 2
|
Bahasa Sunda kasar dan bersifat akrab.
|
Aya samingguan
mah meren
Heueuh,
wangsul teu?
|
12.
|
Tukang Ojek
|
Bahasa Indonesia non standard dan ada campur kode
dengan bahasa sunda.
|
Neng, Ojek
neng...
iya gratis
buat neng mah.
|
13.
|
Pedagang
aksesoris
|
Bahasa Indonesia nonstandard, sopan dan bersifat
mengajak.
|
Murah, tiga ribuan.
|
14.
|
Lurah
|
Bahasa
Indonesia dengan ragam santai dan sopan.
|
duduk dulu.
Kalau tidak
terbiasa memang
kaget.
|
15.
|
Pekerja
bangunan
|
Bahasa Sunda kasar dan dialek kedaeraahan.
|
Heeuh pan eta si Sofyan.
Da dewekna sombong.
|
C.
Hasil Analisis Data
Variasi bahasa di masyarakat bisa dipengaruhi oleh
status sosial masyarakat tersebut. Seperti:
1.
Lurah,
ia menggunakan Bahasa Indonesia dengan ragam santai dan sopan.
2.
Petani, ia
menggunakan Bahasa sunda
yang kasar, bahasa nonstandard (tidak baku), dan kolokial bergantung dengan siapa ia
berkomunikasi, dan jika dilihat dari umur yang lebih tua, Petani menggunakan campur kode antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda,
ragam bahasanya sopan dan halus.
3.
Pedagang sandal
menggunakan Bahasa
Indonesia nonstandard (tidak baku), penggunaan bahasanya sopan, bersifat
mengajak dan akrab.
4.
Pegawai bengkel
menggunakan Alih kode dari Bahasa Sunda ke bahasa Indonesia dan campur kode antara kedua bahasa tersebut, dan
kolokial.
5.
Tukang Parkir
menggunakan campur kode antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Sunda, penggunaan
bahasanya akrab dan sopan. Pedagang makanan menggunakan Bahasa Sunda, penggunaan bahasanya halus, sopan dan
kolokial.
6.
Lain
halnya dengan pelajar SMA, mereka menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard ,
dan sopan bergantung dengan siapa mereka berkomunikasi.
7.
Sedangkan
Siswa SD menggunakan Bahasa sunda kasar, dan akrab.
8.
Penjual mas menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard, serta ada
campur kode antara Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia, penggunaan bahasanya
sopan dan santai.
9.
Ibu Rumah Tangga 1 menggunakan Bahasa sunda, pengunaan bahasanya halus dan kolokial. Namun
ada juga yang menggunakan Bahasa Sunda kasar dan bersifat akrab.
10.
Tukang
Ojek menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard dan ada campur kode dengan Bahasa
Sunda.
11.
Pedagang aksesoris menggunakan Bahasa Indonesia nonstandard, sopan dan
bersifat mengajak.
12.
Serta
pekerja bangunan menggunakan Bahasa Sunda kasar dan dialek
kedaeraahan.
Yang jelas bahwa pemakaian suatu bahasa termasuk
variasinya, akan sangat ditentukan oleh siapa yang berbicara, dengan siapa kita
berbicara, bagaimana situasinya, dan di mana kita berbicara. Dengan kata lain, kita harus berpegang pada
aspek-apek berbahasa. Namun juga, variasi pemakaian bahasa seringkali juga
dipengaruhi oleh umur seseorang, pendidikan, status sosial, dan antara penutur
serta penanggapnya.
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis tentang variasi bahasa di Desa Pasirpanjang, Kec. Salem,
Kab. Brebes, Prov. Jawa Tengah, yang daerahnya termasuk daerah yang berbahasa
jawa, namun di Pasirpanjang menggunakan bahasa Sunda, dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1)
Status sosial pemakai bahasa sangat
memengaruhi variasi bahasa yang digunakan seseorang.
2)
Status sosial yang tinggi akan
memakai variasi bahasa yang halus dan sopan. Sedangkan status sosial rendah
akan memakai variasi bahasa yang tidak baku dan kasar yang bergantung pada umur seseorang, pendidikan, status
sosial, lingkungan dan antara
penutur serta penanggapnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Chaer, Abdul & Leonie Agustina. (2004). Sosiolinguistik. Jakarta: Rineka Cipta.
Keraf,
Gorys. 2010. Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.