Tuesday, November 25, 2014

Diam

Apa yang kukata takkan bermakna
semakin banyak kukata menjadi biasa
hingga semua terbiasa dalam diam
bahkan diam menjadi permata
karna banyak rasa menggema dalam jiwa
takkan terungkap
hingga nanti kau dekap

25 Nov 2014

Wednesday, October 15, 2014

Kicau

Saat alunan itu kudengar
sarafku terasa meregang lalu kendur
mengalun bagai tali pita 
yang diputar lembut tangan balerina
begitu bebas memeluk udara
tubuh terasa nyaman digerakkan alam


29 Agustus 2014
Aku Berfikir Kenapa Aku Tak Berfikir

Mengapa bagi sebagian manusia, harta lebih berharga
sedang para remaja dirajai cinta
kenapa tak ada yang biasa saja
dan menyerahkan jiwa raganya untuk Tuhan?

Semua sibuk berkata-kata yang tak bermakna
berlaku yang tak mutu
berfikir yang tak penting
menyita waktu dan perasaan

Ahh...sedang akupun berfikir
kenapa aku tak berfikir?


5 Agustus 2014

Tuesday, October 14, 2014

Hingga Akhir cerita

Jika aku tak mampu membuat alur yang sempurna
akan kuikuti alur yang ada
akan kutapakijalan yang tampak
akan kurabai yang terlihat dalam remang
akan kurasai dengan hati dalam gelap
hingga akhir cerita


31 Agustus 2014
Takkan Ada Habisnya

untuk Nona W.

Takkan ada habisnya
jika kau bercerita tentang rasa yang dirasa
jika kau ingin beritahu semua yang orang lain tak tahu
jika kau ingin berkeluh kesah
atas tiap kesedihan
tiap derita dan nestapa
jika kau menuntut setiap orang memahami
apa yang kau tuntut untuk faham

Takkan ada habisnya Nona!
berkacalahy pada kisah yang nyata
berfikirlah atas akhir yang telah lalu
berbuatlah namun jangan berulah
Ingatlah! 
Masa lalu memang telah lalu


25 Sept 2014
Jika Ada

                                                   

Jika ada kata yang lebih sepadan
untuk menggambarkan rasaku saat ini
akan kukatakan

Tak cukup dengan kata perduli
tak pula dengan kata lain
kurasa takkan ada walau kucari

Jika mampu kudekap
akan kudekap erat
jika mampu kukecup
akan kukecup mesra
kubelai lembut
kubisikkan pelan agar kau tenang
sayangnya aku tak disana


  1. 12 Oktober 2014

Sunday, October 12, 2014

HARU

Sebenarnya ada rasa haru
ketika tak hanya satu senyum yang sukar kulihat begitu kurindukan
banyak bibir indah yang tak kulihat tersenyum untukku
banyak telinga mendengar
banyak mata melihat
banyak hati merasakan
banyak bibir berucap
harus selalu kusadar dan harus kuingat
bahkan ada Tuhan


27 Agustus 2014


Tuesday, October 7, 2014

Mimpi

Mimpi hanya angan-angan
sedang mimpi dalam tidur
mungkin sebatas khayal tanpa sadar
mungkin fikiran yang sebenarnya tak terfikirkan
atau bahkan fikiran yang diinginkan
atau...
buah kenyataan?


7 Oktober 2014
Benar Adanya

Benar adanya 
bahwa Tuhan mengirimkan yang kita butuh
bukan yang kita ingin

Kadang tak sejalan impian
membuat kita sedikit nyaman
kadang jauh dari berterima
membuat kita sedikit menerima
walau dengan setengah rasa

tak ada kata lain
bahwa kita harus belajar menerima
apapun yang Tuhan kirimkan

7 Oktober 2014
 

puisi



Damai

Damai yang kurasa
melihat warnanya
tenangnya di benakku
suasana kehijauan yang indah
Kicauan beburung rimba
beterbangan ke alam rimba raya
pepohon turut berlagu
menerima sentuhan sang mentari hari
Dialam rimba, damai kurasa
segalanya terlukis sempurna
dialam rimba, tiada derita, sengketa
tiada kudengar rintih tangisan mengiris hati
Sang pelangi ceria
menyambut kehadiran gerimis senja
bisikan, desiran angin
turut menghiasi keindahan ciptaan Ilahi

13 Sept 2005

Cerpen Fifin



Natural Memang Lebih Indah

Angin berhembus panas menyibak bulu kucing anggora yang lebat dan terlihat sangat halus dihalaman belakang sebuah rumah mewah. Ternyata angina itu berasal dari pengering rambut yang digunakan seorang remaja untuk mengeringkan bulu kucing yang baru saja ia keramasi.
Sambil membelai lembut bulu kucingnya, Lana terlihat gusar memikirkan pamplet lomba fotografi yang  dibacanya dimading sekolah beberapa hari lalu. Ia ingin sekali mengikuti lomba itu, namun ia bingung dengan tema foto tentang keindahan alam yang jarang diperhatikan, Lana belum menemukan foto apa yang nantinya akan ia lombakan, dan waktu perlombaannya tinggal seminggu lagi.
“Lana, lihat deh! Kakak baru saja hunting foto di lapangan bola belakang rumahnya Anin. Tau enggak, ini bakal kakak lombakan di lomba fotografi seminggu lagi.” Tiba-tiba Kakak Lana datang hanya untuk memamerkan hasil jepretannya yang baru saja ia ambil.
“Hah?”, Lana terlihat kaget mendengar pernyataan Kakaknya.
“Kenapa, kok kaget begitu? Dasar aneh…” Lani keheranan dan langsung meninggalkan Lana dengan kucingnya tadi.
……………
Lana semakin gusar memikirkan Kakaknya yang ternyata akan ikut lomba fotografi juga. Dan yang lebih membuat Lana gelisah…Lani memang jago sekali dalam hal fotografi, mereka memang sering hunting foto bersama, tapi tak bisa ia pungkiri, banyak orang menganggap Lani lebih jago daripada Lana,  tapi ia ingin sekali membuktikan kalau dia juga bisa lebih unggul daripada Lani, saudara kembarnya yang selalu jadi kebanggaan dalam hal apapun. Hanya dalam hal merawat kucingnya Lana jago, padahal ia laki-laki, tapi ia memang lebih apik daripada Lani.
Lana sedang melihat foto-foto hasil jepretannya yang kebanyakan hanya foto kucingnya, meskipun ia hobi fotografi, tapi ia hanya suka memotret kucingnya, jarang-jarang ia memotret alam disekitarnya karena memang ia tak terlalu tanggap. Tiba-tiba lani mengagetkannya dengan bernyanyi ala rocker tepat dekat telinga Lana, suara cempreng yang tak disadarinya itu malah mengagetkan kucing Lana yang sedang tidur dikasur mungil yang sengaja disediakan Lana untuk kucing kesayangannya itu. Kucing itu meloncat ke tembok dan merobek lukisan yang terpajang ditembok hingga jatuh. Lukisan pertama Lana yang dibuatnya  ketika ia baru belajar melukis.
Lana yang sedang galau melihat foto tak menghiraukan Lani yang bermaksud menjahilinya, Tanpa bicara sepatah kata pun Lana hanya menengok kea rah kakaknya dengan muka tanpa ekspresi. Lani yang merasa gagal  menjahili adiknya malah kesal sendiri, lalu ia pergi meninggalkan Lana di kamarnya.
……………

Saat Lana merasa bosan melihat foto-foto kucingnya, ia baru melihat lukisannya yang jatuh karena dicakar kucing kesayangannya. Awalnya ia hanya melihat dengan malas lukisan itu.
“Ahh…itu hanya lukisan rumput yang aku buat hanya dengan kuas dan cat hijau yang terlihat berantakan, haha…” Lana mengomentari lukisannya sendiri dengan nada mengejek.
Lalu ia memungut dan memperhatikan lukisan itu, sejenak ia tak berkomentar. Lalu perlahan senyum terkembang diwajahnya yang semula datar. Lana langsung menggendong kucingnya yang terlihat masih mengantuk keluar halaman, setelah menengok kea rah rumput dihalamannya. Ia masuk kamar dan langsung tidur setelah mematikan lampu dengan perasaan sangat senang.
…………..
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa……………..” lana berteriak ketika melihat halaman belakangnya.
“Aduh…kenapa si teriak-teriak begitu? Mamah kesedak nih..” Ssahur mamah Lana protes.
“Ini rumput kenapa gundul begini Mah?”
“haha…rumput kok gundul, ini bari dipangkas tadi sayang…Kenapa?”
Tanpa menanggapi penjelasan mamahnya, Lana langsung masuk kamar dengan muka lesu. Taka da bedanya dengan muka orang yang sudah beberapa hari tak makan. Ia sangat serius memikirkan rumput di halaman belakangnya yang sudah gundul karena dipangkas. Tak mungkin rumput itu akan tumbuh dalam seminggu, hal itu malah membuatnya semakin galau, karena waktu perlombaan semakin mepet.
……………
Lana seperti sudah tak berniat lagi untuk ikut perlombaan yang hanya tinggal sehari lagi. Dia mencoba menghibur diri dengan jogging pagi-pagi sekali sebelum fajar terbit. Tak ketinggalan, kucing anggora kesayangannya ikut berlari-lari kecil disebalah kiri lana dan lengan kanannya yang menjinjing tas kecil berisi kamera Nikon pemberian Ayahnya. Lana sudah melupakan niatnya mengikuti lomba, karena ia memang tak punya foto yang pantas untuk dilombakan, dan ia yakin kalau ia takkan bisa mengalahkan kakaknya Lani.
Angin pagi berhembus dingin, membuat Lana sedikit menggigil tertimpa angin. Lana sesekali menengok ke arah kucingnya, takut kucingnya kedinginan pula karena tertiup angin. Tanpa ia sadari, ia mulai tertarik melihat keindahan rumput-rumput disamping jalan tempat ia menapak, rumput-rumput itu terlihat anggun dengan embun yang bergelayutan diujung-ujung daun panjangnya, indah berkilau tertimpa sinar matahari.
Lana tersenyum, saat itulah ia merasa pertama kali melihat keindahan alam yang sebenarnya hal biasa yang tak pernah ia diperhatikan. Ia tengkurap dijalan kecil itu dan memperhatikan rumput itu dengan teliti, melihat cahaya yang menerpa setiap helaian rumput, dan embun yang bergelayutan hendak jatuh. Bagitu indah fikirnya, ia mengambil kameranya dan mencari sudut terindah dari rumput itu, lalu memeotret rumput dengan tenang dan sangat hati-hati. Lana tersenyum bangga saat ia berhasil mengabadikan moment itu dengan kameranya.  


Cerpen Fifin



Benar-benar Sia-sia
Jangan menutup telinga jika ada suara yang terdengar, karena setiap suara punya arti walau kau tak tahu kau membutuhkannya atau tidak, setiap untaian kata dari suara-suara yang dirangkai manusia akan berarti walau sepatah kata, tak dapat dielakkan bahwa mendengar adalah hal yang membuktikan kalau kita tidak tuli.
Suara cicit burung didahan pohon seberang jalan itu yang menggodaku untuk melihatnya saat aku berjalan, namun masih remang walau kucari-cari asal suara itu. Mataku tertuju pada bangku kayu yang berada dibawah pohon tempat biasa orang-orang menunggu angkot, ternyata bangku itu masih kosong. “Mungkin Ina terlambat bangun,” pikirku. Lalu aku menunggu Ina dibangku itu.
Sambil sesekali melihat jam tanganku, aku tak sabar menunggu Ina yang tak juga kelihatan batang hidungnya. Ini hari MOS pertamaku, jadi aku bangun pagi agar tak terlambat berangkat ke SMA idamanku sejak lama, tapi yang lebih aku idam-idamkan sekarang adalah Ina segera datang agar kami tak terlambat. Tak biasanya dia terlambat begini. Jalanan memang belum ramai jam segini, memang baru saja jam 05.30, “Hehe…apa aku yang bangun terlalu pagi? Tapi aku dan Ina berniat jadi peserta MOS teladan, jadi harus datang lebih awal.
Saat aku bernyanyi-nyanyi kecil untuk menghabiskan waktu menunggu Ina. Sebuah mobil sedan keluar dari perumahan di seberang jalan. Ternyata itu mobil Intan, anak seorang konglomerat yang terkenal dan sering diperbincangkan di kampungku karena sangat dermawan. Tapi Intan malah dikenal sebagai anak yang sombong, padahal dia cantik dan akan lebih cantik jika sikapnya seperti Ayahnya. Saat mobil itu melintas dihadapanku, Intan menjulurkan lidahnya meledek padaku. Aku hanya sedikit tersenyum membalasnya, Intanpun berlalu dengan mobil yang disetir oleh supinya itu.
……………..
“Dorr!”, tiba-tiba Ina datang mengagetkanku.
“Ahh Ina nih lama, kita bisa telat tau?” protesku.
“Maaf Uli cantik, hehe…tadi ibu menyuruhku memeriksa bawaanku terus,” sahut Ina terlihat jujur.
“Ohh…ya sudah, tuh angkot, ayo kita berangkat biar enggak telat!”
Aku dan Ina segera menaiki angkot dan menuju ke sekolah. Saat kami turun dari angkot ternyata di sekolah masih sepi, memang sih jam kumpul MOS masih sejam lagi, pantas saja masih sepi, tapi tak apalah karena aku dan Ina bisa duduk santai sambil memeriksa barang bawaan untuk MOS yang sudah ditentukan sehari sebelum MOS. Aku mengajak Ina untuk duduk di taman sekolah dekat gerbang.
Mataku tertuju pada Intan yang duduk sendirian di halte seberang sekolah. Aku sedikit heran melihat Intan duduk sendiri dengan muka yang terlihat sangat kesal dan hampir menangis. Dia mengambil ponsel dari tasnya dan terlihat marah-marah pada orang yang sedang ditelponnya itu. Aku pikir dia dirampok, tapi bawaannya masih ada. Ahh… aku malah semakin heran melihat tingkahnya.
Aku ingin mengajak Ina untuk menemani Intan disana, tapi aku tahu Ina tak suka melihat tingkah Intan. Jadi kuurungkan niatku mengajak Ina, namun mataku tetap memperhatikan tingkah Intan dan tak terlalu menanggapi Ina yang sedari tadi mengajakku ngobrol, untung dia tak terlalu menyadari kalau aku sedang memperhatikan Intan.
Beberapa menit kemudian Intan kembali menelpon seseorang dan marah-marah lebih keras dari yang tadi, sampai aku bisa mendengar sedikit perkataannya. Aku mendengar dia menyebut dasi kupu-kupu, awalnya aku bingung apa yang dia bicarakan. Setelah aku mengamati penampilan Intan, ternyata baru kusadari kalau Intan tidak memakai dasi kupu-kupu seperti yang diperintahkan aturan baju MOS. Aku langsung berjalan menghampiri Intan, Ina langsung menghampiriku saat aku berjalan, tanpa bertanya dia mengikutiku dan kami duduk didekat Intan.
“Mau apa kalian kesini?” Tanya Intan ketus.
“Ih suka-suka dong, ini kan bukan halte punya nenek kamu”, sahut Ina sinis.
“Aku cuma mau tanya, kamu lupa bawa dasi kupu-kupu yah?” sambungku pelan.
“Kenapa, kamu senang yah aku lupa bawa dasi kupu-kupu? Kamu senang kalau nanti aku dihukum kakak senior?”
“Bu..bukan begitu, aku…”
“Sudahlah, sana pergi! Kalian Cuma mau meledek aku kan, pergi sana!” Intan terlihat mulai marah dan membentak kami.
Tanpa menjawab, Ina langsung menarik tanganku dan mengajakku duduk di taman.
Aku sebenarnya tak tega meninggalkan Intan sendiri, dia pasti sangat bingung dan takut dihukum karena lupa membawa dasi kupu-kupunya. Padahal aku hanya mau membantunya saja, tapi dia memang angkuh, malah menyuruhku pergi.
Sambil tetap memperhatikan Intan, aku duduk di bangku taman sambil mengobrol dengan Ina. Tak lama kemudian sebuah angkot berhenti di halte. Kulihat pembantu Intan yang sudah tua turun dari angkot dan tergopoh-gopoh menghampiri Intan sambil membawa dasi kupu-kupu ditangannya. Ketika ia berjalan, kakinya terperosok ke selokan didekat halte. Dasi kupu-kupu yang dipegangnya terjatuh ke selokan. Dalam hitungan detik Intan langsung memekik, mukanya memerah dan terlihat tak sabar untuk meluapkan kekesalannya pada pembantu tuanya itu.
Walaupun dengan wajah yang terlihat memerah karena menahan kesal, Intan membantu pembantuya bangun dari selokan. Setelah pembantunya itu naik dari selokan yang tak begitu dalam itu, ia langsung memungut dasi kupu-kupu di selokan itu. Saat ia hendak memungutnya, ia kembali terperosok ke selokan, kali ini tangannya yang masuk ke selokan itu dan bajunya sedikit dibasahi air selokan. Intan kembali memekik, wajahnya makin memerah karena tak tahan lagi melihat tingkah pembantunya itu. Intan juga terlihat jijik melihat kaki dan tangan pembantunya yang kotor dan bau karena air selokan, apalagi melihat dasi kupu-kupu basah dan kotor ditangan pembantunya.
Intan memarahi pembantunya dan langsung menampar pembantunya yang tua itu, mungkin ia kesal menunggu pembantunya itu mengantarkan dasi kupu-kupu dari tadi, sekarang malah dasi itu jatuh ke selokan kotor dan bau. Pembantu itu terlihat kaget atas perlakuan Intan, ia diam tak berani berbicara sambil terus memegangi dasi kupu-kupu di depan majikannya itu setelah ditampar.
Aku yang kaget melihat kejadian itu langsung berlari menghampiri Intan yang terus memarahi pembantunya itu sambil menangis, Ina mengikutiku dari belakang. Aku berusaha meredam kemarahan Intan, tapi Intan tetap saja mengoceh. Ia sangat kecewa pada pembantunya karena telah menjatuhkan dasi kupu-kupunya. Ia takut akan dihukum karena tidak memakai dasi kupu-kupu, sekarang dasi kupu-kupunya sudah ada tapi kotor dan bau.
“Heh Intan, jangan kasar begitu dong sama orang tua. Dasar sombong!” Ina terlihat kesal melihat tingkah Intan yang tak mau memaafkan pembantunya itu. 
“Heh anak kampong! Aku ini punya uang, dia ini dibayar untuk bekerja di keluargaku”. Intan dengan angkuh membalas ucapan Ina.
Aku kasihan melihat pembantu Intan yang dari tadi diam saja dimarahi Intan, aku menyuruhnya untuk pulang saja, daripada Intan semakin mengamuk. Baru selangkah ia melangkah menghampiri angkot. Intan langsung mencegahnya.
“Lalu aku sekarang bagaimana mbok? Dasi kupu-kupu itu sekarang kotordan bau, aku bisa dihukum gara-gara mbok tau.” Intan tetap saja bernafsu memarahi pembantunya itu.
Pembantunya hanya bisa diam ditanya seperti itu oleh Intan.
“kamu tahu Intan, dari tadi aku cuma mau kasih tahu kamu, kalau dihalaman sekolah itu ada penjual dasi kupu-kupu, tapi kamu malah menyuruhku pergi.”
Intan terlihat kaget mendengar ucapanku barusan dan dia hanya bisa diam. Aku mengajak Ina masuk karena kegiatan MOS sudah akan dimulai, sudah terdengar kakak-kakak senior menyuruh berkumpul dihalaman. Dengan sedikit berlari kami masuk sekolah, meninggalkan Intan yang tetap diam dan pembantunya yang juga diam.

….………selesai……………

Cerpen



Tinah Ingin Berkulit Putih
Tak ada kata yang dapat mewakili maksud sang mahaPencipta menciptakan segala sesuatu di dunia, semuanya bermakna jika diartikan dengan keikhlasan oleh manusia. Ketika hidup tak sejalan dengan yang kita inginkan, semuanya menjadi tak indah meski sebenarnya indah. Ketika ketakindahan kita maknai dengan keikhlasan, semuanya terasa indah walau sebenarnya tak indah.
Siang hari begini indah bagi petani yang sedang menjemur padi-padinya. Tapi tidak bagi Tinah, keringat mengucur di pelipis Tinah karena cuaca panas siang ini. Sambil mengusap-usap keringatnya dengan punggung tangan, mata Tinah bergerak mengamati sekeliling ruang tamu dirumah yang baru ia masuki itu. Ia melihat pintu kamar sebelah kirinya terbuka, kepalanya menengok sedikit mengintip kamar itu, ditemukannya cermin rias yang menyatu dengan lemari kecil berlaci banyak.
“Waah..kebetulan sekali, aku ingin melihat wajahku kalau sedang berkeringat, pasti jelek sekali”. Tinah bercermin sambil tetap duduk dikursi ruang tamu dan merapihkan rambutnya yang lepek terkena keringat. Ia merengut melihat dirinya yang kumal dan rambutnya yang lepek dicermin. Ia tak sempat dandan waktu dijemput oleh pacarnya, padahal ia selalu ingin tampil cantik jika diajak pergi kemana-mana, supaya pacarnya tak merasa malu menggandengnya.
“Tin!” terdengar suara pacarTinah dari ruang tengah.
“Ia mas...”
“Mau minum apa?”
“Ah merepotkan mas, aku biasa minum air putih dirumah.”
“Ya sudah, tunggu sebentar ya.”
Sudah hampir seperempat jam Tinah disuruh duduk diruang tamu dan baru ditawari minum, sedangkan pacarnya sedang asik main catur dengan Uaknya diruang tengah. Tinah diam saja setelah diambilkan minum, ia kembali pada pikirannya tentang wajahnya yang kumal itu.
“Ah...apa aku kurang cantik, mas Manan begitu cuek padaku. Masa aku diajak kemari untuk dianggurkan, dia asik main catur.” Protes Tinah yang terlihat kesal karena perlakuan pacarnya itu.
Tiba-tiba ada perempuan gendut masuk dari pintu depan rumah itu, sambil berjalan masuk ia memperhatikan Tinah dari ujung rambut hingga ujung kuku kaki dengan pandangan yang terlihat sinis. Tinah hanya tersenyum menampakkan gigi-giginya yang rapih dengan perasaan tak senang dengan kedatangan perempuan itu. Tak tahu apa yang dipikirkannya tentang Tinah, ia langsung menuju ruang tengah menghampiri Manan yang sedang main catur, dengan nada menyindir ia berkata pada Manan.
“ Man, jadi itu toh pacarmu sekarang?”
Manan tak menjawab pertanyaan itu, ia asik saja main catur. Sedangkan Tinah yang merasa disindir langsung mengerutkan dahinya dan merasa dihina.
“Apa maksudnya perempuan gendut itu berbicara dengan nada menyindir begitu, dia ingin mengatakan kalau aku ini jelek? Mending kalau dia cantik, dia saja tak bisa mengurus dagingnya yang meleber kemana-mana malah mengataiku, memangnya siapa dia. Mas Manan diam saja seperti tak menganggapku disini.” Untuk menyembunyikan dongkolnya, Tinah pura-pura melihat keluar memeperhatikan orang-orang disekitar rumah.
--------------------------
Tinah jadi berkecil hati setelah kejadian kemarin, ia bercermin sambil memperhatikan wajahnya dengan teliti. Ada perasaan tak senang saat melihat wajahnya, padahal wajah itu sudah dilihatnya sejak lama, tapi kali ini ia benar-benar tak senang melihat wajahnya itu.
“Apa yang salah dengan wajahku, mata bulat dan hidung mancung, siapa yang tak suka? Kulit hitam manis juga memikat. Ah...andai aku berkulit cerah, pasti tak ada yang berani menyindirku.” Tinah terus berpikir bagaimana cara agar kulitnya bisa cerah, padahal dengan keadaannya sekarangpun ia sudah mendapatkan hati Manan pacarnya itu. Tapi ia takut Manan berpaling darinya kalau ia tak dandan.
Tinah teringat beberapa hari yang lalu saat ia membeli sayur, ia mendengar ibu-ibu membicarakan obat yang dapat mencerahkan kulit wajah dengan cepat di apotek, karena sudah ada yang mencoba memakainya dan wajahnya menjadi cerah. Tinah berniat ingin membeli obat itu. Tanpa berpikir lagi, ia keluar rumah menuju rumah saudara lakinya yang tak jauh dari rumahnya.
“Ali...!” Dengan berteriak Tinah memanggil saudaranya itu didepan pintu.
“Ada apa to, kamu belum masuk kok teriak-teriak? Sini masuk dulu!”
“Kamu lagi ndak sibuk kan? Antar aku ke apotek yah!”
“Mau beli obat buat siapa to? Siapa yang sakit? Ko ndak ngasih tahu ada yang sakit?”
“Hust...kamu nanya mbrebed begitu. Ndak ada yang sakit, aku mau beli sesuatu.”
“Oh...mau beli apa? Kamu sakit? Hayooh… mau beli apa?”
“Cerewet yah, sudah ayo antar aku!” Tinah tak sabra mendengar Ali terus bertanya.
Tinah dan Ali berangkat ke apotek dengan sepeda ontel kesayangan Ali, bagaimana tak jadi kesayangan, itu sepeda satu-satunya warisan bapak Ali yang sudah meninggal. Walaupun terik begini, jauh dekat pun Ali takkan menolak mengantarkan saudara perempuannya itu, karena mereka sangat akrab dari kecil.
“Tak apa-apalah kepanasan begini kulitku, sebentar lagi akan cerah setelah aku membeli obat itu di apotek.” Tinah hanya berfikir tentang obat itu, sambil melamunkan kulitnya yang akan berubah menjadi cerah, ia tak sadar kalau jalan yang mereka lalui itu sangat menanjak, berkali-kali Ali memanggilnya tapi ia tak manyaut.
Ali memberhentikan sepeda ontelnya dan menyuruh Tinah turun. “Tinaaaaaahhhh....”
“Ada apa to, kok berhenti disini? Kan belum sampai mas.”
“Kamu tuh yah...aku capek tahu, ini jalan nanjak begini. Kita istirahat dulu.”
“Yahh...si mas, aku kira kenapa meneriakiku begitu, capek tohh...Ya sudah kita istirahat dulu.”
“Kamu si melamun terus, kalau orang malamun dibonceng itu jadi berat tahu.”
“Lah apa hubungannya si mas ini. Hehe...”
“Sebenernya mau beli apa si?”
“Emm...mau beli obat pencerah kulit.”
“Haha...ada-ada saja kamu Tin, mau bikin mas Mananmu itu makin cinta kalau kulitmu cerah?”
“Hehe...jangan ketawa begitu lahh...Ya habisnya aku bosen kulitku begini, kurang cantik lah kalau perempuan item. Hehe...malu sendiri aku.”
“Haduh, Tinah..Tinah.. memangnya kamu punya duit?”
“Ya ada lah tabunganku ndak apa-apa aku pakai buat nambah cantik.”
“Susah yah kalau perempuan ada maunya. Ayo naik lagi!”
Mereka melanjutkan kembali melewati jalan tanjakan itu, tak lama kemudian mereka sampai juga di apotek. Tinah langsung masuk dengan buru-buru.
“Lah mas...sepi.”
“Ya dipanggil to yang jaganya!”
Beberapa kali Tinah memanggil penjaga apotek, tapi tak ada yang muncul juga.
“Mas...lama sekali penjaganya.”
“Sabar Tin, nanti juga keluar.”
Tinah memanggil lagi penjaga apotek itu sambil memukul-mukul kecil lemari kaca tempat obat-obatan dengan kuku-kukunya yang panjang, sambil melihat-lihat lemari kaca tempat  obat-obatan. Matanya menemukan benda seperti saklar bergambar lonceng diatas lemari itu, lalu ia memencetnya.
“Mas...ternyata ada bel listrik disini, pantas saja penjaganya ndak nyahut-nyahut dipanggil.” Tinah menyadari kebodohannya yang sedari tadi memanggil-manggil penjaga apotek karena ia tak tahu disitu ada bel.
Terdengar suara orang mengobrol disebelah ruangan itu. Tinah pun sudah mulai bosan menunggu, karena tak ada penjaga apotek yang muncul meskipun ia sudah memencet bel berkali-kali.
“Aku dengar ada yang mengobrol Tin disebelah ruangan ini, masa yang jaga ndak dengar bunyi bel?”
“Ia mas aku dengar kok, mereka cuek begitu, memangnya tak butuh duit? Orang aku mau beli kok kesini.”
“Biar mas yang panggil”
“Kan ada bel mas, di bel saja mereka cuek begitu kok.”
“Ya terus mau bagaimana ini? Kita pulang saja?”
“Yah mas, kan jauh-jauh kesini, masa kita pulang ndak bawa apa-apa?”
Sambil merengut Tinah memenceti bel itu, ia sudah putus asa pada harapannya membeli obat pencerah kulit itu. Sekarang ia malah dongkol pada penjaga apotek itu, ia bergumam mengata-ngatai apotek dan penjaganya itu. “Aku sumpahi ndak ada yang beli disini, hih...budek apa penjaga disini? Aku kan mau beli bukannya ngutang. Ndak bakal aku kesini lagi”
“Ayo mas kita pulang!”
“Yakin mau pulang? Tadi katanya ndak mau?”
“Sekarang mau mas, kan kita lama sekali disini ndak dapat apa-apa.”
“Aduhh...jadi nyerah begitu?”
“Ya mau bagaimana lagi mas, malah kesel nunggu disini. Ayo...”
Dengan wajah lesu Tinah keluar apotek. Sedangkan Ali keluar lalu mengambil batu yang agak besar lalu masuk lagi kedalam apotek.
“Buat apa mas batu itu?”
“Sudah..lihat saja!”
Tinah memperhatikan apa yang akan dilakukan saudaranya itu, Ali meletakkan batu itu diatas bel, terdengar bel itu berbunyi terus-menerus karena batu diatasnya. Lalu Ali keluar dan langsung menggoes sepedanya, mereka langsung melesat meninggalkan apotek itu dengan perasaan dongkol, namun mereka cukup senang karena sudah menjahili penjaga apotek dengan bel itu.

----------Selesai------------

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2