BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pemerolehan bahasa atau akuisisi Bahasa
adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia
memperoleh bahasa pertamanya atau Bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya
dibedakan dari pembelajaran bahasa (language
learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi
pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah dia
mempelajari bahasa pertmanaya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa
pertama. Sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan Bahasa kedua. Namun,
banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan Bahasa untuk Bahasa kedua.
Seperti Nurhadi danRoekhan (1990).
Ada dua proses yang terjadi ketika
seorang kanak-kanak sedang memperoleh Bahasa pertamanya, yaitu proses
kompetensi dan proses performasi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata
Bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi
syarat untuk terjadinya proses preformasi yang terdiri dari dua buah proses,
yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan
kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian
mengamatai atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan
penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat
sendiri. Kemampuan linguistic trediri dari kemampuan memahami dan kemampuan
melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistic
transformasi generatif disebut perlakuan, atau pelaksanaan Bahasa, atau performasi.
Sejalan dengan teori Chomsky (1957,
1965), kompetensi ini mencakup tiga buah komponen tata Bahasa, yaitu komponen
sintaksis, komponen semantic, komponen fonologi. Oleh karena itu, pemerolehan
Bahasa ini lazim juga dibagi menjadi pemerolehan semantic, pemerolehan
sintaksis, dan pemerolehan fonologi. Ketiga komponen tata bahasa ini tidaklah
diperoleh secara bersaingan, yang satu terlepas dari yang lain, melainkan
diperoleh secara bersamaan. Beberapa
teori atau hipotetsis yang berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa itu.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang, maka rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
pemerolehan bahasa berdasarkan beberapa hipotesis?
C.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui pemerolehan bahasa berdasarkan beberapa hipotesis.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hipotesis
Pemerolehan Bahasa
1.
Hipotesis
Nurani
Setiap bahasawan (penutur asli bahasa)
tentu mampu memahami dan membuat (menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat
dalam bahasanya karena dia telah “menuranikan” atau “menyimpan dalam nuraninya”
akan tata bahasanya itu menjadi kompetensi (kecakapan) bahasanya, juga telah
menguasai kemampuan-kemampuan performasi (pelaksanaan) bahasa itu. Jadi, dalam
pemerolehan bahasa, jelas yang diperoleh oleh kanak-kanak adalah kompetensi dan
performasi bahasa pertamanya itu. Kemudian karena tata bahasa itu terdiri dari komponen sintaksis, semantik, dan fonologi,
dan setiap komponen itu berupa rumus-rumus (kaidah-kaidah), maka ketiga macam
rumus inilah yang terlebih dahulu dikuasai kanak-kanak dalam pemerolehan
bahasa. Selain dari rumus-rumus ketiga komponen tata bahasa itu, untuk bisa
memahami dan membuat kalimat-kalimat, perlu juga terlebih dahulu dikuasai atau
dimiliki rumus-rumus yang mengubah bentuk-bentuk dalam (struktur dalam) menjadi
bentuk luar (struktur luar).
Pertanyaan kita sekarang adalah alat
apakah yang digunakan kanak-kanak untuk memperoleh kemampuan berbahasa itu?
Menurut Chomsky adalah hipotesis nurani (The Innateness hypothesis). Apakah
hipotesis nurani itu?
Hipotesis nurani lahir dari beberapa
pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak-kanak
(Lenneberg, 1967), Chomsky, 1970). Di antara hasil pengamatan itu adalah
berikut ini:
1) Semua
kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja “diperkenalkan”
pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya
(keluarganya).
2) Pemerolehan
bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak. Artinya, baik anak
yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
3) Kalimat-kalimat
yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap dan
jumlahnya sedikit.
4) Bahasa
tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.
5) Proses
pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak di mana pun sesuai dengan jadwal yang erat
kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak.
6) Struktur
bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai
kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga
atau empat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat
disimpulkan bahwa manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang
memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat.
Lalu, karena sukar dibuktikan secara
empiris, maka pendangan ini mengajukan satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani (innate: dibawa sejak lahir atau berada di dalam).
Mengenai hipotesis nurani ini, ada dua
macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis
nurani bahasa dan hipotesis nurani
mekanisme (Simanjuntak, 1977). Hipotesis nurani bahasa merupakan satua
asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah
dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus
dari organisme manusia. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa
proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif
umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Maka beda
kedua hipotesis ini adalah bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan terdapatnya
suatu “benda” nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan
berbahasa. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme terdapatnya suatu “benda”
nurani bebentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa dan
berbahasa hanyalah sebagian saja dari yang umum itu.
Mengenai hipotesis nurani bahasa,
Chomsky dan Miller (1957) mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap
kanak-kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu namanya Language Acquistition Device (LAD), yang
berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya.
Carakerja LAD ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Apabila sejumlah ucapan
yang cukup mamadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja: Sunda, Arab, Cina, dsb)
“diberikan” kepada LAD seorang kanak-kanak sebagai masukan (input), maka LAD
itu akan membentuk salah satu tata formal sebagai keluaran (out put)-nya. Jadi:
LAD
|
Tata
Bahasa Formal Bahasa x
|
Ucapan-Ucapan
Bahasa x
|
Adanya hipotesis nurani mengenai LAD ini semakin memperkuat
pandangan para ahli di budang pemerolehan bahasa, bahwa kanak-kanak sejak lahir
telah diberikan kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya. Buktinya, meskipun
masukan yang berupa ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah,
tidak lengkap, dan struktur yang tidak gramatikal, namun ternyata kanak-kanak dapat
saja menguasai bahasa ibunya itu. Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh
oleh kanak-kanak dalam keadaan yang beragam-ragam dan dengan corak yang
bagaimana pun. Berdasarkan fakta ini, maka Eva Clark (1977), salah seorang pakar
pemerolehan bahasa, mengambil kesimpulan bahwa kanak-kanak tidak mungkin dapat
menguasai sintaksis bahasanya kalau dia tidak dianugerahi suatu mekanisme
nurani yang khas untuk memperoleh bahasa itu. Tanpa mekanisme nurani nurani ini
pemerolehan bahasa tidak mungkin terjadi.
Konsep LAD ini telah
merangsang penelitian pemerolehan bahasa sampai ke tingkat yang sangat tinggi.
Pusat perhatian pada mulanya diarahkan pada pemerolehan komponen sintaksis,
sedangkan peranan semantic dan kognisi kurang diperhatikan. Hal ini tidak
mengherankan karena teori generative transformasi yang dikembangkan oleh
Chomsky memang hanya memusatkanperhatian pada keotonomian komponen sintaksis.
Jadi, yang perlu bagi LAD hanyalah masukan linguistik. Faktor-faktor
nonlinguistic seperti masukan linguistik. Factor-faktor nonlinguistic seperti
masukan penglihatan, perasaan, dan juga pengetahuan bukan linguistik tidak
begitu penting untuk pemerolehan bahasa.
Namun, dalam
perkembangannya yang terakhir pengkajian pemerolehan bahasa sudah lebih
memperhatikan tiga buah unsur yang dulu kurang diperhatikan oleh LAD, yaitu (1)
korpus ucapan, yang kini dianggap berfungsi lebih daripada menggiatkan LAD
saja, (2) peranan semantic yang lebih penting daripada sintaksis, dan (3)
peranan perkembangan kognisi yang sangat menentukan dalam proses pemerolehan
bahasa. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hipotesis nurani mekanisme lebih
menarik perhatian beberapa ahli tertentu daripada hipotesis nurani bahasa, yang
sebelumnya lebih diperhatikan sebagai dasar pengkajian pemerolehan bahasa.
Dewasa ini, hipotesis
nurani lebih dikenal dengan nania, yang diusulkan oleh Mc. Neil (1970),
hipotesis kesemestaan linguistik kuat (strongs
linguistic universal), atau versi kuat hipotesisi nurani. Sedangkan
hipotesis nurani mekanisme mendapat nama baru yaitu kesemestaan linguistik
lemah (weak linguistic universals)
atau versi lemah hipotesis nurani.
Menurut versi kuat
kepunyaan linguistik tidak menggambarkan keupayaan kognitif sama sekali
(Chomsky: 1970, Lenneberg: 1967). Sebaliknya menurut versi lemah, keupayaan
kognitif umum mengandung juga keupayaan linguistik (Piaget: 1964, Slobi: 1971).
Hal ini berarti, tanpa keupayaan kognitif umum, keupayaan linguistik tidak akan
berwujud. Umpamanya, Bever (1970) mengatakan bahwa unsur-unsur structural
bahasa universal tertentu dapat menggambarkan hambatan-hambatan kognitif umum,
tetapi tidak menunjukkan struktur linguistik nurani yang khusus. Hal ini
menunjukkan bahwa hambatan-hambatan kognitif umumlah yang membatasi unsur-unsur
structural bahasa universal. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Slobin (1971)
yang mengatakan bahwa mungkin penentuan arah perkembangan linguistik universal
didasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai arah perkembangan kognitif
universal. Kesesuaian kedua pandangan di atas dengan teori perkembangan kognisi
Piaget (1964) sangat jelas. Piaget dalam teorinya mengatakan bahwa perkembangan
bahasa bergerak dari dan merupakan bagian dari perkembangan kognitif umum
kanak-kanak.
Pengkajian perkembangan
pemerolehan bahasa berdasarkan pengkajian perkembangan kognisi pada beberapa
tahun berakhir telah maju dengan pesat, dan dalam hal ini teori perkembangan
kognisi Piaget sangat memegang peranan penting. Namun demikian,
penemuan-penemuan terakhir dalam neuropsikolinguistik dan dalam pengkajian biologi
bahasa telah membangkitkan kembali minat ahli-ahli dalam versi kuat hipotesis
nurani, tetapi dengan penekanan pentingnya peranan semantic dalam proses
perkembangan bahasa ini.
Penemuan-penemuan baru
neuropsikolinguistik menunjukkan bahwa sewaktu lahir kanak-kanak telah
dilengkapi dengan bagian otak yang khusus untuk bahasa dan berbahasa yang
disebut “pusat-pusat bahasa dan ucapan”. Maka menjadi pertanyaan, jika
keupayaan berbahasa merupakan bagian dari keupayaan kognitif yang umum, mengapa
manusia memiliki bagian otak (korteks) yan khusus untuk berbahasa.
Penekanan mengenai
pentingnya komponen semantic dalam pengkajian proses pemerolehan bahasa sejalan
dengan penekanan yang sama dalam teori semantic generative. Perkembangan baru
ini dimulai sejak tahun tujuh puluhan, dan telah dianggap sebagai satu
pendekatan baru dalam pengkajian pemerolehan bahasa kanak-kanak. Sebelum ini
pengkajian dititikberatkan pada perkembangan kosakata dan kemudian pada
analisis tata bahasa (sintaksis) bahasa kanak-kanak. Perhatian pendekatan baru
ini ditujukan pada pengkajian unsur-unsur bahasa kanak-kanak yang dianggap
sebagai satu system untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, yang penting untuk
dikaji bukanlah hanya ucapan-ucapan saja, melainkan juga pesan, amanat, atau
konsep yang terkandung dalam ucapan-ucapan itu (Campbell: 1979). Tokoh utama
dalam pendekatan ini yaitu Lois Bloom (1970) mengatakan bahwa ucapan
kanak-kanak mempunyai banyak penafsiran, dan orang dewasa (terutama ibu si
kanak-kanak) pada umumnya dapat menafsirkan ucapan kanak-kanak itu dengan
tepat. Misalnya, meskipun kanak-kanak hanya mengucapkan sebuah kata saja,
tetapi dapat ditafsirkan sebagai sebuah kalimat lengkap menurut arti dan fungsi
di dalam komunikasi, semuanya bergantung pada “konteks situasi ucapan itu”.
Ucapan satu kata yang mengandung satu frase atau satu kalimat disebut holofrasis (kata dengan makna yang
mewakili makna seluruh kalimat).
Ucapan holofrasis ini
menjadi bukti akan wujudnya LAD bentuk baru sebagai bagian dari versi kuat
hipotesis nurani yang menekankan pada komponen semantic. Dalam kaitan ini Mc.
Neil (1970: 70) menyatakan bahwa struktur awal bahasa kanak-kanak di seluruh
dunia adalah sama, meskipun budaya dan bahasa mereka berbeda. Struktur awal
bahasa ini adalah struktur-dalam sebelum dikenakan kaidah transformasi. Jadi
jelas bahwa struktur-dalam semua bahasa ini adlah sama. Yang berbeda adalah
struktur luarnya, yakni setelah melalui rumus-rumus transformasi.
Ucapan holofrasis
kanak-kanak ini merupakan bukti yang sugestif bahwa sebenarnya pada tahap
ucapan satu kata ini kanak-kanak telah mampu menyampaikan makna komunikasi
dengan hubungan-hubungan tata bahasa dasar. Hal ini dapat dipastikan karena
kanak-kanak pada tahap ini belum mengerti apa yang disebut sintaksis itu,
Bowerman (1973) telah mengumpulkan ucapan-ucapan holofrasis kanak-kanak dari
Finlandia, Amerika dan Samoa. Data yang dikumpulkannya itu juga menunjukkan
ucapan awal kanak-kanak itu dapat diuraikan berdasarkan tata bahasa dasar
(struktur-dalam), tanpa transformasi.
2.
Hipotesis
Tabularasa
Secara
harfiah tabularasa berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum ditulisi apa-apa.
Hipotesis ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti
kertas kosong, yang nanti akan ditulisi dengan pengalaman-pengalaman. Pada
awalnya hipotesis ini dikemukakan oleh John Locke seorang empirisme yang sangat
terkenal yang kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson, seorang
tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
Menurut
hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak saat
perilaku berbahasa merupakan hasil dari integritas peristiwa-peristiwa
linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis
ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik hanya terdiri dari
rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran S – R
(Stimulus – Respons). Cara pembelajaran S – R yang terkemuka adalah pelaziman
klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi
menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.
Teori
pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa prilaku berbahasa
seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di
sekitar orang itu. Seorang kanak-kanak yang sedang memperoleh system bunyi
bahasa ibunya, pada mulanya akan “mengucapkan” semua bunyi yang ada pada semuan
bahasa yang ada di dunia ini pada tahap berceloteh (babbling period). Namun, orang tua si bayi atau kanak-kanak itu
hanya “memberikan” bunyi-bunyi yang ada dalam bahasa ibunya saja. Maka dengan
demikian, si bayi hanya dilazimkan untuk menirukan bunyi-bunyi dari bahasa
bunya saja. Lalu, si bayi akan menggabungkan bunyi-bunyi yang telah dilazimkan
itu untuk menirukan ucapan-ucapan orang tuanya. Jika tiruannya itu betul atau
mendekati ucapan yang sebenarnya, maka dia akan mendapat “hadiah” dari ibunya
berupa senyuman, tawa, ciuman, dsb. Bisa dikatakan bahasa kanak-kanak itu
berkembang setahap demi setahap, mulai dari bunyi, kata, frase, dan kalimat.
Perkembangan kemampuan berbahasa selalu diperkukuh dengan hadiah-hadiah atau
ganjaran-ganjaran, sehingga menjadi tabiat atau prilaku pada kanak-kanak itu.
Menurut teori behaviorisme ini, bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau
prilaku-prilaku. Tabiat-tabiat seperti inilah yang dituliskan pada “kertas
kosong” tabularasa otak kanak-kanak.
Pemerolehan
bahasa menurut teori behaviorisme ini tidak mungkin dapat menerangkan factor
kreativitas dalam penggunaan bahasa. Tidak mungkin rasanya semua kalimat yang
diucapkan kanak-kanak telah terlebih dahulu “dituliskan” dalam tabularasa oleh
kanak-kanak itu melalui pengukuhan. Setiap kalimat yang diucapkan oleh
seseorang adalah kalimat baru yang belum pernah dibuat sebelumnya, kecuali
pribahasa atau ungkapan seperti “selamat pagi”, “apa kabar” dan “keras kepala”.
Maka
menurut pakar teori generative transformasi, teori behaviorisme ini tidak mampu
untuk menerangkan proses pemerolehan bahasa (Simanjuntak: 1987)
Kritik
dari pakar teori generative transformasi, terutama dari Chomsky (1959), membuat
Jenkin (1964, 1965) melontarkan penjelasan mengenai kreativitas bahasa
berdasarkan kerangka behaviorisme. Jenkin memperkenalkan satu teori yang
disebut teori mediasi atau penengah
yang disebut “rantaian respons” (respon chaining). Teori rantaian respons
ini didasarkan pada prinsip mediasi atau penengah seperti yang diperkenalkan
oleh Osgood, tetapi dalam bentuk yang agak berlainan. Walau bagaimanapun jelas
tampak bahwa factor penengah atau mediasi yang dimainkan oleh otak telah
memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran “rantaian
respons” itu.
Menurut
prinsip mediasi, jika seseorang telah mengenal hubungan antara meja dan kursi, dan hubungan antara meja
dengan lantai, maka mengetahui
hubungan antara kursi dan lantai akan jauh lebih mudah karena
peranan yang dimainkan oleh factor penengah atau mediasi, yaitu meja dan yang mempunyai hubungan dengan kursi dan lantai. Pembelajaran seperti
inilah yang disebut “rantaian respons” oleh Jenkin. Perhatikan bagan
berikut:
Meja Kursi
Kursi Lantai
Meja Lantai
Dari
penjelasan diatas kita kenal pula adanya dua buah prinsip baru, yaitu
(1) Kesamaan
stimulus dan (2) Kesamaan respons.
Yang dimaksud dengan kesamaan stimulus
adalah prinsip, misalnya mempelajari hubungan antara dua benda A dan C, akan
jauh lebih mudah jika hubungan di antara kedua benda itu dengan stimulus yang
sama (B misalnya) telah terlebih dahulu dipelajari atau diketahui. Perhatikan!
A B
A C
A B
Sedangkan yang dimaksud dengan kesamaan
respons adalah prinsip bahwa mempelajari hubungan antara dua benda A dan C juga
akan jauh lebih mudah jika hubungan diantara kedua benda itu dengan respons
yang sama (misalnya B) telah terlebih dahulu dipelajari. Perhatikan bagan
berikut!
B A
A C
B C
Menurut Jenkin (Simanjuntak:1987),
kata-kata yang berkategori gramatikal yang sama dapat dikelompokkan ke dalam
yang termasuk kesamaan stimulus atau yang termasuk kesamaan respons. Dengan
prinsip yang tampak sederhana ini Jenkin mencoba menjelaskan kemampuan manusia
membentuk kalimat-kalimat baru untuk menyelamatkan teori behaviorismenya dengan
hipotesis tabularasa, seperti di bawah ini (Simanjuntak: 1987)
A
(1) Bola
itu
C
(2) Baju
itu
|
B
Merah
B
Merah |
Bola dan baju menjadi anggota kelas
stimulus karena kesamaan stimulus.
|
A
(3) Bola
itu
C
(4) Baju
itu
|
D
Baru
D
Baru |
Merah (pada 1, 2) dan baru (pada 3, 4)
menjadi anggota kelas respons karena kesamaan respons.
|
E
(5) Kereta
itu
|
B
Merah |
Kereta bergabung dengan kelas stimulus (bola dan baju). |
E
(6) Kereta
itu
|
D
Baru |
Kalimat baru dibentuk dengan cara merantaikan satu anggota kelas stimulus dan anggota kelas respons. |
Dari penjelasan diatas
dapat kita lihat bahwa sesungguhnya teori mediasi “rantaian respons” yang
dikemukakan oleh jenkin belum dapat digunakan untuk menjelaskan kreativitas
manusia dalam membentuk kalimat-kalimat baru. Sruktur bahasa manusia terlalu
rumit untuk dapat diterangkan pemerolehannya oleh teori rantaian respons yang
begitu sederhana.
Jadi, usaha yang dibuat jenkin
kurang berkesan. Hal ini sama saja keadaannya dengan konsep behaviorisme yang
dilakukan oleh Bloomfield dalam linguistik dan oleh skinner dalam psikologi.
Bloomfield (1993) memberikan ilustrasi
tentang jack dan jiil dengan buah apelnya. Mula mula jiil merasa lapar dan dia
melihat apel diatas pohon. Jill mengeluarkan suara dengan larings, lidah, dan
bibirnya. Jack memanjat pohon apel, memetik apel, dan memberikannya kepada
jill. Jill memakan buah apel itu. Kemudian Bloomfield menganalisis rantaian
stimulus kata-kata dan rantaian respons kata-kata yang berlangsung sehingga
jill mendapatkan buah apel itu. Lalu, Bloomfield menyimpulakan “language
enables one person to make a reaction (R) when antother person has the stimulus
(s)”, (Bloomfield 1993 : 26).
Dengan
demikian jelas, seseorang akan dapat mengeluarkan kalimat apabila orang lain mengeluarkan
stimulus. Kreativitas seseorang untuk mengeluarkan kalimat hanya diterangkan
menurut konsep S-------R, yaitu sebagai rantaian peristiwa yang dihubungkan.
Satu kalimat dianggap sebagai satu rangkaian kata yang dikeluarkan sebagai
respons kepada kata-kata yang mendahuluinya, dan selanjutnya menjadi stimulus
kepada kalimat berikutnya. Begitu juga dengan bunyi kata-kata dan kata-kata
dalam kalimat merupakan rantaian S-----R saja.
Menurut
Skiner (1957) berbicara merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada
sesuatu stimulus dari dalam diri atau luar, yang sebenarnya tidak jelas
diketahui. Untuk menjelaskan hal ini skinner memperkenalkan sekumpulan kategori
respons bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan, yaitu mands, tacst,
echoisc, textuals, dan verbal operant. Apakah yang dimaksud dengan kelima
istilah ini?
a. Mand
Kata
mand adalah akar dari kata command, demand, dan lain-lain. Satu mand adalah
satu operan bahasa dibawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan,
merampas, atau menghabiskan. Di dalam tata bahasa mand ini sama dengan kalimat
imperative. Mand ini muncul sebagai kalimat imperative, permohonan, atau rayuan,
hanya apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Hal ini mungkin karena dahulu
kalimat seperti ini telah pernah diamati oleh penutur ketika seseorng
mengucapkan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang dirampas, disingkirkan, atau
diambil (manded) daripadanya. Umpamanya kalau seorng kanak-kanak mengucapkan
kata “susu”. Dia mengucapkan perkataan ini karena adanya stimulus rasa lapar
atau haus ( stimulus yang merampas seuau dari kanak-kanak itu), dan dulu
kanak-kanak itu telah pernah mengalami atau mengamati bahwa kalau kata “ susu”
itu diucapkan, maka orang tuanya segera memberikannya (sebagai ganjaran dan
pengukuhan). Jadi, mand memerlukan satu interaksi khusus antara kedaan dulu
yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan
jenis pengukuhan.
b. Tacts
Tact
adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus.
Di dalam tata bahasa tact ini dapat disamakan dengan menamai atau menyebut nama
sesuatu benda atau peristiwa. Umpamanya kalau kita melihat sebuah mobil sebagai
stimulus mka kita akan mengeluarkan satu tact “mobil” sebagai respons.
c. Echoics
Echoics
adalah satu perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respons orng lain sebagai
stimulus dan kita meniru ucapan itu. Umpamanya apabila seseorang mengatakan
“mobil”, maka stimulus itu membuat kita mengucapkan kata “mobil” sebagai sebuah
respons.
d. Textual
Textual
adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa
sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis
itu. Korelasi yang dimaksud ialah hubungan sistematik antara system penulisan
(ejaan) suatu bahasa dengan respons ucapan apabila membacanya secara langsung.
Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulus maka kita
memberi respons [kucing].
e. Intraverbal
Operant
Interverbal
operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu
yang dilaukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya, kalau sebuah kata
dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata
itu akan diucapkan sebagai respons. Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata
kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai akan membangkitkan kata kembali
sebagai responsnya.
Akhirnya bisa dikatakan analisis
Bloomfield dan Skinner di atas yang didasarkan pada hipotesis tabularasa dan
teori hubungan S – R behaviorisme tidak memadai untuk menerangkan proses
pemerolehan bahasa anak-anak. Analisis mereka tidak dapat menjelaskan
kompetensi linguistik (pengetahuan tata bahasa) yang telah dinuranikan oleh
kanak-kanak dan disimpan dalam otaknya, dan bagaimana kompetensi ini digunakan
untuk membuat dan memahami kalimat-kalimat baru yang belum pernah dibuatnya.
3.
Hipotesis
Kesemestaan Bahasa
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan
kognitif yang di perekenalkan oleh piaget telah digunakan sebagai dasar untuk
menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak. Piaget sendiri
sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori mengenai pemerolehan
bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu teori mengenai
pemerolehan bahasa karena beliau menggap bahasa merupakan satu bagian dari
perkembangan kognitif (intelek) secara umum. Piaget hanya mengaji perkembangan
kognitif umum ini; dan dalam pengkajian ini beliau telah mengeluarkan sebuah
hipotesis mengenai kesemestaan kognitif, termasuk bahasa. Namun, para pengikut
Piaget di Jenewa telah meluaskan pandangan Piaget ini sehingga satu teori
pemerolehan bahasa dalam kognitifisme telah dirumuskan (Sinclair-de Zwart,
1963).
Menurut teori yang didasarkan pada
kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif
deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi
dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan ini
secara garis besar adalah sebagai berikut:
1. Antara
usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi
dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian
di atur menjadi struktur-struktur akal (mental). Berdasarkan strukur-struktur akal
ini kanak-kanak mulia membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim
disebut kekelan benda. Maksudnya, anak-anak telah mulai sadar bahwa bahwa
meskipun benda-benda yang pernah diamatinya melalui sadar bahwa meskipun
benda-benda yang pernah diamati atau disentuhnya hilang dari pandangannya;
namun tidak berarti benda-benda itu tidak ada lagi di dunia ini. Dia sekarang
tahu bahwa benda-benda itu dapat
dicari dengan struktur aksi tertentu. Misalnya, melihatnya di tempat lain.
2. Setelah
struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap representasi
kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7 tahun. Pada tahap ini
kanak-kanak telah mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti
permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, an lain-lain.
3. Setelah
tahap representasi kecerdasan, dengan represntasi simboliknya, berakhir. Maka
bahasa kanak-kanak semakin berkembang, dan dengan mendapat nilai –nilai socialnya.
Struktur-struktur linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif
umum yang telah dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Menurut Piaget (1955) ucapan holofrasis
pertama selalu menyampaikan pola-pola yang pada umumnya mengacu kepada
kanak-kanak itu sendiri. Umpamannya, kalau seorang kanak-kanak usia 1,5 tahun
mengucapakan kata “Panana” (grand papa) jika dia menginginkan seseorang
melaukan sesuatu terhadapnya dirinya seperti yang biasa dilakukan kakeknya.
Sesudah tahap ini barulah ucapan-ucapan yang didasarkan pada aksi ini diperluas
dengan uraian menegenai peristia-peristiwa atau sifat-sifat benda lain.
Berdasarkan pandangan Piaget di atas
Sinclair-de Zwart (1973) mencoba merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa
kanak-kanak sebagai berikut:
-
Pertama, kanak-kanak memilih satu
gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu
pola aksi.
-
Kedua, jika gabungan bunyi-bunyi pendek
ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi
dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk
menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama
dilakukan oleh orang lain. Pola aksi ini pada mulanya selalu terjalin unsur,
yaitu agen, aksi, dan penderita.
-
Ketiga, setelah tahap kedua di atas
muncullah funsi-funsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat, dan
objek-aksi, yang menghasilkan struktur:
Subjek
– Verbal –
Objek
Atau
Agen
+ Aksi +
Penderita
Dari penjelsan di atas bisa dilihat
hipotesis kesemestaan kognitif dalam psikologi sama atau sejalan dengan
hipotesis nurani mekanisme dalam lingustik. Perbedaanya terletak pada nama
sajak karena dikemukakan oleh dua disiplin ilmu berbeda yang saling
mempengaruhi: hipotesis kesemstaan kognitif oleh psikologi sedangkan hipotesis
nurani mekanisme oleh lingustik modern.
Dewasa ini, seperti juga dalam
lingustik, dalam kognitifisme perhatian juga lebih ditujukan pada masalah makna
(semantik) serta peranannya dalam pemerolehan bahasa. Mc. Namara (1972: 1)
mengatakan bahwa makna dan kode linguistik merupakan dua wujud yang berlainan.
Kode linguistik terdiri dari sekumpulan formatif dan alat-alat sintaksis yang
mempunyai fungsi untuk menghubungkan makna dengan system fonologi bahasa itu.
Meskipun berlainan, makna dan kode linguistik itu, dialami dan diperoleh secara
bersamaan. Dalam hal ini baik Piaget maupun Mc. Namara sama-sama berpendapat
bahwa kanak-kanak lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan
linguistik. Setelah itu barulah mereka memperoleh lambang-lambang linguistik
itu. Jadi, pemerolehan bahasa bergantung pada pemerolehan proses-proses
kognitif itu.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Simpulan
tentang pemerolehan bahasa berdasarkan beberapa hipotesis adalah:
1.
Hipotesis
Nurani
Ada dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa yang merupakan
satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian/semua bagian dari bahasa tidaklah
dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus
dari organisme manusia, dan hipotesis
nurani mekanisme yang menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh
manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum
yang berinteraksi dengan pengalaman.
Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller
(1957) mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak
lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu namanya Language Acquistition Device (LAD), yang berfungsi untuk
memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya.
Adanya hipotesis nurani mengenai LAD ini
semakin memperkuat pandangan para ahli di budang pemerolehan bahasa, bahwa
kanak-kanak sejak lahir telah diberikan kemampuan untuk memperoleh bahasa
ibunya.
2.
Hipotesis
Tabularasa
Hipotesis
yang dikemukakan oleh John Locke ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu
dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulisi dengan
pengalaman-pengalaman.
Menurut
hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak saat
perilaku berbahasa merupakan hasil dari integritas peristiwa-peristiwa
linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu.
Menurut Skiner (1957) berbicara
merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari
dalam diri atau luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan
hal ini skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa
3.
Hipotesis
Kesemestaan Kognitif
Menurut teori yang didasarkan pada
kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif
deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi
dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
-
Antara usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 –
1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap
alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian di atur menjadi
struktur-struktur akal (mental). Berdasarkan strukur-struktur akal ini
kanak-kanak mulia membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim
disebut kekelan benda.
-
Setelah struktur aksi dinuranikan, maka
kanak-kanak memasuki tahap representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2
tahun sampai 7 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk
representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan,
bayangan mental, gambar-gambar, an lain-lain.
-
Setelah tahap representasi kecerdasan,
dengan represntasi simboliknya, berakhir. Maka bahasa kanak-kanak semakin
berkembang, dan dengan mendapat nilai –nilai socialnya. Struktur-struktur
linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif umum yang telah
dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Bisa dilihat hipotesis kesemestaan
kognitif dalam psikologi sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme
dalam lingustik. Jadi, pemerolehan bahasa bergantung pada pemerolehan
proses-proses kognitif itu.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. Psikolinguistik: Kajian Teoretik.
Jakarta: Rineka Cipta, 2009
No comments:
Post a Comment