Saturday, January 16, 2016

HIPOTESIS PEMEROLEHAN BAHASA (PSIKOLINGUISTIK)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pemerolehan bahasa atau akuisisi Bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memperoleh bahasa pertamanya atau Bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa berkaitan dengan proses-proses yang terjadi pada waktu seorang kanak-kanak mempelajari bahasa kedua, setelah dia mempelajari bahasa pertmanaya. Jadi, pemerolehan bahasa berkenaan dengan bahasa pertama. Sedangkan pembelajaran bahasa berkenaan dengan Bahasa kedua. Namun, banyak juga yang menggunakan istilah pemerolehan Bahasa untuk Bahasa kedua. Seperti Nurhadi danRoekhan (1990).
Ada dua proses yang terjadi ketika seorang kanak-kanak sedang memperoleh Bahasa pertamanya, yaitu proses kompetensi dan proses performasi. Kompetensi adalah proses penguasaan tata Bahasa yang berlangsung secara tidak disadari. Proses kompetensi ini menjadi syarat untuk terjadinya proses preformasi yang terdiri dari dua buah proses, yakni proses pemahaman dan proses penerbitan atau proses menghasilkan kalimat-kalimat. Proses pemahaman melibatkan kemampuan atau kepandaian mengamatai atau kemampuan mempersepsi kalimat-kalimat yang didengar. Sedangkan penerbitan melibatkan kemampuan mengeluarkan atau menerbitkan kalimat-kalimat sendiri. Kemampuan linguistic trediri dari kemampuan memahami dan kemampuan melahirkan atau menerbitkan kalimat-kalimat baru yang dalam linguistic transformasi generatif disebut perlakuan, atau pelaksanaan Bahasa, atau performasi.
Sejalan dengan teori Chomsky (1957, 1965), kompetensi ini mencakup tiga buah komponen tata Bahasa, yaitu komponen sintaksis, komponen semantic, komponen fonologi. Oleh karena itu, pemerolehan Bahasa ini lazim juga dibagi menjadi pemerolehan semantic, pemerolehan sintaksis, dan pemerolehan fonologi. Ketiga komponen tata bahasa ini tidaklah diperoleh secara bersaingan, yang satu terlepas dari yang lain, melainkan diperoleh  secara bersamaan. Beberapa teori atau hipotetsis yang berkaitan dengan masalah pemerolehan bahasa itu.
      
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pemerolehan bahasa berdasarkan beberapa hipotesis?


C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pemerolehan bahasa berdasarkan beberapa hipotesis.













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hipotesis Pemerolehan Bahasa
1.      Hipotesis Nurani
Setiap bahasawan (penutur asli bahasa) tentu mampu memahami dan membuat (menghasilkan, menerbitkan) kalimat-kalimat dalam bahasanya karena dia telah “menuranikan” atau “menyimpan dalam nuraninya” akan tata bahasanya itu menjadi kompetensi (kecakapan) bahasanya, juga telah menguasai kemampuan-kemampuan performasi (pelaksanaan) bahasa itu. Jadi, dalam pemerolehan bahasa, jelas yang diperoleh oleh kanak-kanak adalah kompetensi dan performasi bahasa pertamanya itu. Kemudian karena tata bahasa itu terdiri dari  komponen sintaksis, semantik, dan fonologi, dan setiap komponen itu berupa rumus-rumus (kaidah-kaidah), maka ketiga macam rumus inilah yang terlebih dahulu dikuasai kanak-kanak dalam pemerolehan bahasa. Selain dari rumus-rumus ketiga komponen tata bahasa itu, untuk bisa memahami dan membuat kalimat-kalimat, perlu juga terlebih dahulu dikuasai atau dimiliki rumus-rumus yang mengubah bentuk-bentuk dalam (struktur dalam) menjadi bentuk luar (struktur luar).
Pertanyaan kita sekarang adalah alat apakah yang digunakan kanak-kanak untuk memperoleh kemampuan berbahasa itu? Menurut Chomsky adalah hipotesis nurani (The Innateness hypothesis). Apakah hipotesis nurani itu?
Hipotesis nurani lahir dari beberapa pengamatan yang dilakukan para pakar terhadap pemerolehan bahasa kanak-kanak (Lenneberg, 1967), Chomsky, 1970). Di antara hasil pengamatan itu adalah berikut ini:
1)      Semua kanak-kanak yang normal akan memperoleh bahasa ibunya asal saja “diperkenalkan” pada bahasa ibunya itu. Maksudnya, dia tidak diasingkan dari kehidupan ibunya (keluarganya).
2)      Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan kanak-kanak. Artinya, baik anak yang cerdas maupun yang tidak cerdas akan memperoleh bahasa itu.
3)      Kalimat-kalimat yang didengar kanak-kanak seringkali tidak gramatikal, tidak lengkap dan jumlahnya sedikit.
4)      Bahasa tidak dapat diajarkan kepada makhluk lain, hanya manusia yang dapat berbahasa.
5)      Proses pemerolehan bahasa oleh kanak-kanak di mana pun sesuai dengan jadwal yang erat kaitannya dengan proses pematangan jiwa kanak-kanak.
6)      Struktur bahasa sangat rumit, kompleks, dan bersifat universal. Namun, dapat dikuasai kanak-kanak dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam waktu antara tiga atau empat tahun saja.
Berdasarkan pengamatan di atas dapat disimpulkan bahwa manusia lahir dengan dilengkapi oleh suatu alat yang memungkinkan dapat berbahasa dengan mudah dan cepat. Lalu, karena sukar dibuktikan secara empiris, maka pendangan ini mengajukan satu hipotesis yang disebut hipotesis nurani (innate: dibawa sejak lahir atau berada di dalam).
Mengenai hipotesis nurani ini, ada dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa dan hipotesis nurani mekanisme (Simanjuntak, 1977). Hipotesis nurani bahasa merupakan satua asumsi yang menyatakan bahwa sebagian atau semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisme manusia. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Maka beda kedua hipotesis ini adalah bahwa hipotesis nurani bahasa menekankan terdapatnya suatu “benda” nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan berbahasa. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme terdapatnya suatu “benda” nurani bebentuk mekanisme yang umum untuk semua kemampuan manusia. Bahasa dan berbahasa hanyalah sebagian saja dari yang umum itu.

Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller (1957) mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu namanya Language Acquistition Device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya. Carakerja LAD ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Apabila sejumlah ucapan yang cukup mamadai dari suatu bahasa (bahasa apa saja: Sunda, Arab, Cina, dsb) “diberikan” kepada LAD seorang kanak-kanak sebagai masukan (input), maka LAD itu akan membentuk salah satu tata formal sebagai keluaran (out put)-nya. Jadi:
LAD
Tata Bahasa Formal Bahasa x
Ucapan-Ucapan Bahasa x
  
                                                                                                                                         
Adanya hipotesis nurani mengenai LAD ini semakin memperkuat pandangan para ahli di budang pemerolehan bahasa, bahwa kanak-kanak sejak lahir telah diberikan kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya. Buktinya, meskipun masukan yang berupa ucapan-ucapan penuh dengan kalimat-kalimat yang salah, tidak lengkap, dan struktur yang tidak gramatikal, namun ternyata kanak-kanak dapat saja menguasai bahasa ibunya itu. Tampaknya bahasa ibu dapat saja diperoleh oleh kanak-kanak dalam keadaan yang beragam-ragam dan dengan corak yang bagaimana pun. Berdasarkan fakta ini, maka Eva Clark (1977), salah seorang pakar pemerolehan bahasa, mengambil kesimpulan bahwa kanak-kanak tidak mungkin dapat menguasai sintaksis bahasanya kalau dia tidak dianugerahi suatu mekanisme nurani yang khas untuk memperoleh bahasa itu. Tanpa mekanisme nurani nurani ini pemerolehan bahasa tidak mungkin terjadi.
Konsep LAD ini telah merangsang penelitian pemerolehan bahasa sampai ke tingkat yang sangat tinggi. Pusat perhatian pada mulanya diarahkan pada pemerolehan komponen sintaksis, sedangkan peranan semantic dan kognisi kurang diperhatikan. Hal ini tidak mengherankan karena teori generative transformasi yang dikembangkan oleh Chomsky memang hanya memusatkanperhatian pada keotonomian komponen sintaksis. Jadi, yang perlu bagi LAD hanyalah masukan linguistik. Faktor-faktor nonlinguistic seperti masukan linguistik. Factor-faktor nonlinguistic seperti masukan penglihatan, perasaan, dan juga pengetahuan bukan linguistik tidak begitu penting untuk pemerolehan bahasa.
Namun, dalam perkembangannya yang terakhir pengkajian pemerolehan bahasa sudah lebih memperhatikan tiga buah unsur yang dulu kurang diperhatikan oleh LAD, yaitu (1) korpus ucapan, yang kini dianggap berfungsi lebih daripada menggiatkan LAD saja, (2) peranan semantic yang lebih penting daripada sintaksis, dan (3) peranan perkembangan kognisi yang sangat menentukan dalam proses pemerolehan bahasa. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa hipotesis nurani mekanisme lebih menarik perhatian beberapa ahli tertentu daripada hipotesis nurani bahasa, yang sebelumnya lebih diperhatikan sebagai dasar pengkajian pemerolehan bahasa.
Dewasa ini, hipotesis nurani lebih dikenal dengan nania, yang diusulkan oleh Mc. Neil (1970), hipotesis kesemestaan linguistik kuat (strongs linguistic universal), atau versi kuat hipotesisi nurani. Sedangkan hipotesis nurani mekanisme mendapat nama baru yaitu kesemestaan linguistik lemah (weak linguistic universals) atau versi lemah hipotesis nurani.
Menurut versi kuat kepunyaan linguistik tidak menggambarkan keupayaan kognitif sama sekali (Chomsky: 1970, Lenneberg: 1967). Sebaliknya menurut versi lemah, keupayaan kognitif umum mengandung juga keupayaan linguistik (Piaget: 1964, Slobi: 1971). Hal ini berarti, tanpa keupayaan kognitif umum, keupayaan linguistik tidak akan berwujud. Umpamanya, Bever (1970) mengatakan bahwa unsur-unsur structural bahasa universal tertentu dapat menggambarkan hambatan-hambatan kognitif umum, tetapi tidak menunjukkan struktur linguistik nurani yang khusus. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan-hambatan kognitif umumlah yang membatasi unsur-unsur structural bahasa universal. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Slobin (1971) yang mengatakan bahwa mungkin penentuan arah perkembangan linguistik universal didasarkan pada apa yang kita ketahui mengenai arah perkembangan kognitif universal. Kesesuaian kedua pandangan di atas dengan teori perkembangan kognisi Piaget (1964) sangat jelas. Piaget dalam teorinya mengatakan bahwa perkembangan bahasa bergerak dari dan merupakan bagian dari perkembangan kognitif umum kanak-kanak.
Pengkajian perkembangan pemerolehan bahasa berdasarkan pengkajian perkembangan kognisi pada beberapa tahun berakhir telah maju dengan pesat, dan dalam hal ini teori perkembangan kognisi Piaget sangat memegang peranan penting. Namun demikian, penemuan-penemuan terakhir dalam neuropsikolinguistik dan dalam pengkajian biologi bahasa telah membangkitkan kembali minat ahli-ahli dalam versi kuat hipotesis nurani, tetapi dengan penekanan pentingnya peranan semantic dalam proses perkembangan bahasa ini.
Penemuan-penemuan baru neuropsikolinguistik menunjukkan bahwa sewaktu lahir kanak-kanak telah dilengkapi dengan bagian otak yang khusus untuk bahasa dan berbahasa yang disebut “pusat-pusat bahasa dan ucapan”. Maka menjadi pertanyaan, jika keupayaan berbahasa merupakan bagian dari keupayaan kognitif yang umum, mengapa manusia memiliki bagian otak (korteks) yan khusus untuk berbahasa.
Penekanan mengenai pentingnya komponen semantic dalam pengkajian proses pemerolehan bahasa sejalan dengan penekanan yang sama dalam teori semantic generative. Perkembangan baru ini dimulai sejak tahun tujuh puluhan, dan telah dianggap sebagai satu pendekatan baru dalam pengkajian pemerolehan bahasa kanak-kanak. Sebelum ini pengkajian dititikberatkan pada perkembangan kosakata dan kemudian pada analisis tata bahasa (sintaksis) bahasa kanak-kanak. Perhatian pendekatan baru ini ditujukan pada pengkajian unsur-unsur bahasa kanak-kanak yang dianggap sebagai satu system untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, yang penting untuk dikaji bukanlah hanya ucapan-ucapan saja, melainkan juga pesan, amanat, atau konsep yang terkandung dalam ucapan-ucapan itu (Campbell: 1979). Tokoh utama dalam pendekatan ini yaitu Lois Bloom (1970) mengatakan bahwa ucapan kanak-kanak mempunyai banyak penafsiran, dan orang dewasa (terutama ibu si kanak-kanak) pada umumnya dapat menafsirkan ucapan kanak-kanak itu dengan tepat. Misalnya, meskipun kanak-kanak hanya mengucapkan sebuah kata saja, tetapi dapat ditafsirkan sebagai sebuah kalimat lengkap menurut arti dan fungsi di dalam komunikasi, semuanya bergantung pada “konteks situasi ucapan itu”. Ucapan satu kata yang mengandung satu frase atau satu kalimat disebut holofrasis (kata dengan makna yang mewakili makna seluruh kalimat).
Ucapan holofrasis ini menjadi bukti akan wujudnya LAD bentuk baru sebagai bagian dari versi kuat hipotesis nurani yang menekankan pada komponen semantic. Dalam kaitan ini Mc. Neil (1970: 70) menyatakan bahwa struktur awal bahasa kanak-kanak di seluruh dunia adalah sama, meskipun budaya dan bahasa mereka berbeda. Struktur awal bahasa ini adalah struktur-dalam sebelum dikenakan kaidah transformasi. Jadi jelas bahwa struktur-dalam semua bahasa ini adlah sama. Yang berbeda adalah struktur luarnya, yakni setelah melalui rumus-rumus transformasi.
Ucapan holofrasis kanak-kanak ini merupakan bukti yang sugestif bahwa sebenarnya pada tahap ucapan satu kata ini kanak-kanak telah mampu menyampaikan makna komunikasi dengan hubungan-hubungan tata bahasa dasar. Hal ini dapat dipastikan karena kanak-kanak pada tahap ini belum mengerti apa yang disebut sintaksis itu, Bowerman (1973) telah mengumpulkan ucapan-ucapan holofrasis kanak-kanak dari Finlandia, Amerika dan Samoa. Data yang dikumpulkannya itu juga menunjukkan ucapan awal kanak-kanak itu dapat diuraikan berdasarkan tata bahasa dasar (struktur-dalam), tanpa transformasi. 
2.      Hipotesis Tabularasa
Secara harfiah tabularasa berarti ‘kertas kosong’, dalam arti belum ditulisi apa-apa. Hipotesis ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulisi dengan pengalaman-pengalaman. Pada awalnya hipotesis ini dikemukakan oleh John Locke seorang empirisme yang sangat terkenal yang kemudian dianut dan disebarluaskan oleh John Watson, seorang tokoh terkemuka aliran behaviorisme dalam psikologi.
Menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak saat perilaku berbahasa merupakan hasil dari integritas peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu. Sejalan dengan hipotesis ini, behaviorisme menganggap bahwa pengetahuan linguistik hanya terdiri dari rangkaian hubungan-hubungan yang dibentuk dengan cara pembelajaran S – R (Stimulus – Respons). Cara pembelajaran S – R yang terkemuka adalah pelaziman klasik, pelaziman operan, dan mediasi atau penengah yang telah dimodifikasi menjadi teori-teori pembelajaran bahasa.
Teori pembelajaran bahasa pelaziman operan menyatakan bahwa prilaku berbahasa seseorang dibentuk oleh serentetan ganjaran yang beragam-ragam yang muncul di sekitar orang itu. Seorang kanak-kanak yang sedang memperoleh system bunyi bahasa ibunya, pada mulanya akan “mengucapkan” semua bunyi yang ada pada semuan bahasa yang ada di dunia ini pada tahap berceloteh (babbling period). Namun, orang tua si bayi atau kanak-kanak itu hanya “memberikan” bunyi-bunyi yang ada dalam bahasa ibunya saja. Maka dengan demikian, si bayi hanya dilazimkan untuk menirukan bunyi-bunyi dari bahasa bunya saja. Lalu, si bayi akan menggabungkan bunyi-bunyi yang telah dilazimkan itu untuk menirukan ucapan-ucapan orang tuanya. Jika tiruannya itu betul atau mendekati ucapan yang sebenarnya, maka dia akan mendapat “hadiah” dari ibunya berupa senyuman, tawa, ciuman, dsb. Bisa dikatakan bahasa kanak-kanak itu berkembang setahap demi setahap, mulai dari bunyi, kata, frase, dan kalimat. Perkembangan kemampuan berbahasa selalu diperkukuh dengan hadiah-hadiah atau ganjaran-ganjaran, sehingga menjadi tabiat atau prilaku pada kanak-kanak itu. Menurut teori behaviorisme ini, bahasa adalah sekumpulan tabiat-tabiat atau prilaku-prilaku. Tabiat-tabiat seperti inilah yang dituliskan pada “kertas kosong” tabularasa otak kanak-kanak.
Pemerolehan bahasa menurut teori behaviorisme ini tidak mungkin dapat menerangkan factor kreativitas dalam penggunaan bahasa. Tidak mungkin rasanya semua kalimat yang diucapkan kanak-kanak telah terlebih dahulu “dituliskan” dalam tabularasa oleh kanak-kanak itu melalui pengukuhan. Setiap kalimat yang diucapkan oleh seseorang adalah kalimat baru yang belum pernah dibuat sebelumnya, kecuali pribahasa atau ungkapan seperti “selamat pagi”, “apa kabar” dan “keras kepala”.
Maka menurut pakar teori generative transformasi, teori behaviorisme ini tidak mampu untuk menerangkan proses pemerolehan bahasa (Simanjuntak: 1987)
Kritik dari pakar teori generative transformasi, terutama dari Chomsky (1959), membuat Jenkin (1964, 1965) melontarkan penjelasan mengenai kreativitas bahasa berdasarkan kerangka behaviorisme. Jenkin memperkenalkan satu teori yang disebut teori mediasi atau penengah yang disebut “rantaian respons” (respon chaining). Teori rantaian respons ini didasarkan pada prinsip mediasi atau penengah seperti yang diperkenalkan oleh Osgood, tetapi dalam bentuk yang agak berlainan. Walau bagaimanapun jelas tampak bahwa factor penengah atau mediasi yang dimainkan oleh otak telah memegang peranan yang sangat penting dalam proses pembelajaran “rantaian respons” itu.
Menurut prinsip mediasi, jika seseorang telah mengenal hubungan antara meja dan kursi, dan hubungan antara meja dengan lantai, maka mengetahui hubungan antara kursi dan lantai akan jauh lebih mudah karena peranan yang dimainkan oleh factor penengah atau mediasi, yaitu meja dan yang mempunyai hubungan dengan kursi dan lantai. Pembelajaran seperti inilah yang disebut “rantaian respons” oleh Jenkin. Perhatikan bagan berikut: 
Meja                            Kursi
                                                                        Kursi                           Lantai
Meja                            Lantai
Dari penjelasan diatas kita kenal pula adanya dua buah prinsip baru, yaitu
(1)   Kesamaan stimulus dan (2) Kesamaan respons.
Yang dimaksud dengan kesamaan stimulus adalah prinsip, misalnya mempelajari hubungan antara dua benda A dan C, akan jauh lebih mudah jika hubungan di antara kedua benda itu dengan stimulus yang sama (B misalnya) telah terlebih dahulu dipelajari atau diketahui. Perhatikan!
A                        B
                                                        A                         C
A                         B
Sedangkan yang dimaksud dengan kesamaan respons adalah prinsip bahwa mempelajari hubungan antara dua benda A dan C juga akan jauh lebih mudah jika hubungan diantara kedua benda itu dengan respons yang sama (misalnya B) telah terlebih dahulu dipelajari. Perhatikan bagan berikut!
  B                       A
                                                        A                         C
B                         C
Menurut Jenkin (Simanjuntak:1987), kata-kata yang berkategori gramatikal yang sama dapat dikelompokkan ke dalam yang termasuk kesamaan stimulus atau yang termasuk kesamaan respons. Dengan prinsip yang tampak sederhana ini Jenkin mencoba menjelaskan kemampuan manusia membentuk kalimat-kalimat baru untuk menyelamatkan teori behaviorismenya dengan hipotesis tabularasa, seperti di bawah ini (Simanjuntak: 1987)
A
(1)   Bola itu

C
(2)   Baju itu
B
Merah

B
Merah


Bola dan baju menjadi anggota kelas stimulus karena kesamaan stimulus.

A
(3)   Bola itu

C
(4)   Baju itu

D
Baru

D
Baru


Merah (pada 1, 2) dan baru (pada 3, 4) menjadi anggota kelas respons karena kesamaan respons.

E
(5)   Kereta itu

B
Merah

Kereta bergabung dengan kelas stimulus (bola dan baju).

E
(6)   Kereta itu

D
Baru

Kalimat baru dibentuk dengan cara merantaikan satu anggota kelas stimulus dan anggota kelas respons.

                        Dari penjelasan diatas dapat kita lihat bahwa sesungguhnya teori mediasi “rantaian respons” yang dikemukakan oleh jenkin belum dapat digunakan untuk menjelaskan kreativitas manusia dalam membentuk kalimat-kalimat baru. Sruktur bahasa manusia terlalu rumit untuk dapat diterangkan pemerolehannya oleh teori rantaian respons yang begitu sederhana.
            Jadi, usaha yang dibuat jenkin kurang berkesan. Hal ini sama saja keadaannya dengan konsep behaviorisme yang dilakukan oleh Bloomfield dalam linguistik dan oleh skinner dalam psikologi. Bloomfield  (1993) memberikan ilustrasi tentang jack dan jiil dengan buah apelnya. Mula mula jiil merasa lapar dan dia melihat apel diatas pohon. Jill mengeluarkan suara dengan larings, lidah, dan bibirnya. Jack memanjat pohon apel, memetik apel, dan memberikannya kepada jill. Jill memakan buah apel itu. Kemudian Bloomfield menganalisis rantaian stimulus kata-kata dan rantaian respons kata-kata yang berlangsung sehingga jill mendapatkan buah apel itu. Lalu, Bloomfield menyimpulakan “language enables one person to make a reaction (R) when antother person has the stimulus (s)”, (Bloomfield 1993 : 26).
Dengan demikian jelas, seseorang akan dapat mengeluarkan kalimat apabila orang lain mengeluarkan stimulus. Kreativitas seseorang untuk mengeluarkan kalimat hanya diterangkan menurut konsep S-------R, yaitu sebagai rantaian peristiwa yang dihubungkan. Satu kalimat dianggap sebagai satu rangkaian kata yang dikeluarkan sebagai respons kepada kata-kata yang mendahuluinya, dan selanjutnya menjadi stimulus kepada kalimat berikutnya. Begitu juga dengan bunyi kata-kata dan kata-kata dalam kalimat merupakan rantaian S-----R saja.
Menurut Skiner (1957) berbicara merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam diri atau luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan hal ini skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa yang hampir serupa fungsinya dengan ucapan, yaitu mands, tacst, echoisc, textuals, dan verbal operant. Apakah yang dimaksud dengan kelima istilah ini?
a.       Mand
Kata mand adalah akar dari kata command, demand, dan lain-lain. Satu mand adalah satu operan bahasa dibawah pengaruh stimulus yang bersifat menyingkirkan, merampas, atau menghabiskan. Di dalam tata bahasa mand ini sama dengan kalimat imperative. Mand ini muncul sebagai kalimat imperative, permohonan, atau rayuan, hanya apabila penutur ingin mendapatkan sesuatu. Hal ini mungkin karena dahulu kalimat seperti ini telah pernah diamati oleh penutur ketika seseorng mengucapkan untuk mendapatkan kembali sesuatu yang dirampas, disingkirkan, atau diambil (manded) daripadanya. Umpamanya kalau seorng kanak-kanak mengucapkan kata “susu”. Dia mengucapkan perkataan ini karena adanya stimulus rasa lapar atau haus ( stimulus yang merampas seuau dari kanak-kanak itu), dan dulu kanak-kanak itu telah pernah mengalami atau mengamati bahwa kalau kata “ susu” itu diucapkan, maka orang tuanya segera memberikannya (sebagai ganjaran dan pengukuhan). Jadi, mand memerlukan satu interaksi khusus antara kedaan dulu yang serupa dan dialami, respons bahasa, perilaku orang yang mengukuhkan, dan jenis pengukuhan.

b.      Tacts
Tact adalah benda atau peristiwa konkret yang muncul sebagai akibat adanya stimulus. Di dalam tata bahasa tact ini dapat disamakan dengan menamai atau menyebut nama sesuatu benda atau peristiwa. Umpamanya kalau kita melihat sebuah mobil sebagai stimulus mka kita akan mengeluarkan satu tact “mobil” sebagai respons.

c.       Echoics
Echoics adalah satu perilaku berbahasa yang dipengaruhi oleh respons orng lain sebagai stimulus dan kita meniru ucapan itu. Umpamanya apabila seseorang mengatakan “mobil”, maka stimulus itu membuat kita mengucapkan kata “mobil” sebagai sebuah respons.

d.      Textual
Textual adalah perilaku berbahasa yang diatur oleh stimulus tertulis sedemikian rupa sehingga bentuk perilaku itu mempunyai korelasi dengan bahasa yang tertulis itu. Korelasi yang dimaksud ialah hubungan sistematik antara system penulisan (ejaan) suatu bahasa dengan respons ucapan apabila membacanya secara langsung. Jadi, apabila kita melihat tulisan <kucing> sebagai stimulus maka kita memberi respons [kucing].

e.       Intraverbal Operant
Interverbal operan adalah operan berbahasa yang diatur oleh perilaku berbahasa terdahulu yang dilaukan atau dialami oleh penutur. Umpamanya, kalau sebuah kata dituliskan sebagai stimulus, maka kata lain yang ada hubungannya dengan kata itu akan diucapkan sebagai respons. Kata meja, misalnya akan membangkitkan kata kursi. Begitu juga kata terima kasih sebagai akan membangkitkan kata kembali sebagai responsnya.
            Akhirnya bisa dikatakan analisis Bloomfield dan Skinner di atas yang didasarkan pada hipotesis tabularasa dan teori hubungan S – R behaviorisme tidak memadai untuk menerangkan proses pemerolehan bahasa anak-anak. Analisis mereka tidak dapat menjelaskan kompetensi linguistik (pengetahuan tata bahasa) yang telah dinuranikan oleh kanak-kanak dan disimpan dalam otaknya, dan bagaimana kompetensi ini digunakan untuk membuat dan memahami kalimat-kalimat baru yang belum pernah dibuatnya.

3.      Hipotesis Kesemestaan Bahasa
Dalam kognitifisme hipotesis kesemestaan kognitif yang di perekenalkan oleh piaget telah digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan proses-proses pemerolehan bahasa kanak-kanak. Piaget sendiri sebenarnya tidak pernah secara khusus mengeluarkan satu teori mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menganggap bahasa merupakan satu teori mengenai pemerolehan bahasa karena beliau menggap bahasa merupakan satu bagian dari perkembangan kognitif (intelek) secara umum. Piaget hanya mengaji perkembangan kognitif umum ini; dan dalam pengkajian ini beliau telah mengeluarkan sebuah hipotesis mengenai kesemestaan kognitif, termasuk bahasa. Namun, para pengikut Piaget di Jenewa telah meluaskan pandangan Piaget ini sehingga satu teori pemerolehan bahasa dalam kognitifisme telah dirumuskan (Sinclair-de Zwart, 1963).
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
1.      Antara usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian di atur menjadi struktur-struktur akal (mental). Berdasarkan strukur-struktur akal ini kanak-kanak mulia membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim disebut kekelan benda. Maksudnya, anak-anak telah mulai sadar bahwa bahwa meskipun benda-benda yang pernah diamatinya melalui sadar bahwa meskipun benda-benda yang pernah diamati atau disentuhnya hilang dari pandangannya; namun tidak berarti benda-benda itu tidak ada lagi di dunia ini. Dia sekarang tahu bahwa benda-benda itu dapat dicari dengan struktur aksi tertentu. Misalnya, melihatnya di tempat lain.
2.      Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, an lain-lain.
3.      Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan represntasi simboliknya, berakhir. Maka bahasa kanak-kanak semakin berkembang, dan dengan mendapat nilai –nilai socialnya. Struktur-struktur linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif umum yang telah dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Menurut Piaget (1955) ucapan holofrasis pertama selalu menyampaikan pola-pola yang pada umumnya mengacu kepada kanak-kanak itu sendiri. Umpamannya, kalau seorang kanak-kanak usia 1,5 tahun mengucapakan kata “Panana” (grand papa) jika dia menginginkan seseorang melaukan sesuatu terhadapnya dirinya seperti yang biasa dilakukan kakeknya. Sesudah tahap ini barulah ucapan-ucapan yang didasarkan pada aksi ini diperluas dengan uraian menegenai peristia-peristiwa atau sifat-sifat benda lain.
Berdasarkan pandangan Piaget di atas Sinclair-de Zwart (1973) mencoba merumuskan tahap-tahap pemerolehan bahasa kanak-kanak sebagai berikut:
-          Pertama, kanak-kanak memilih satu gabungan bunyi pendek dari bunyi-bunyi yang didengarnya untuk menyampaikan satu pola aksi.
-          Kedua, jika gabungan bunyi-bunyi pendek ini dipahami, maka kanak-kanak itu akan memakai seri bunyi yang sama, tetapi dengan bentuk fonetik yang lebih dekat dengan fonetik orang dewasa, untuk menyampaikan pola-pola aksi yang sama, atau apabila pola aksi yang sama dilakukan oleh orang lain. Pola aksi ini pada mulanya selalu terjalin unsur, yaitu agen, aksi, dan penderita.
-          Ketiga, setelah tahap kedua di atas muncullah funsi-funsi tata bahasa yang pertama yaitu subjek-predikat, dan objek-aksi, yang menghasilkan struktur:
Subjek    Verbal    Objek
Atau
Agen  +  Aksi  +  Penderita
Dari penjelsan di atas bisa dilihat hipotesis kesemestaan kognitif dalam psikologi sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam lingustik. Perbedaanya terletak pada nama sajak karena dikemukakan oleh dua disiplin ilmu berbeda yang saling mempengaruhi: hipotesis kesemstaan kognitif oleh psikologi sedangkan hipotesis nurani mekanisme oleh lingustik modern.
Dewasa ini, seperti juga dalam lingustik, dalam kognitifisme perhatian juga lebih ditujukan pada masalah makna (semantik) serta peranannya dalam pemerolehan bahasa. Mc. Namara (1972: 1) mengatakan bahwa makna dan kode linguistik merupakan dua wujud yang berlainan. Kode linguistik terdiri dari sekumpulan formatif dan alat-alat sintaksis yang mempunyai fungsi untuk menghubungkan makna dengan system fonologi bahasa itu. Meskipun berlainan, makna dan kode linguistik itu, dialami dan diperoleh secara bersamaan. Dalam hal ini baik Piaget maupun Mc. Namara sama-sama berpendapat bahwa kanak-kanak lebih dahulu mengembangkan proses-proses kognitif yang bukan linguistik. Setelah itu barulah mereka memperoleh lambang-lambang linguistik itu. Jadi, pemerolehan bahasa bergantung pada pemerolehan proses-proses kognitif itu.                                                    



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Simpulan tentang pemerolehan bahasa berdasarkan beberapa hipotesis adalah:
1.      Hipotesis Nurani
Ada dua macam hipotesis nurani, yaitu hipotesis nurani bahasa yang merupakan satu asumsi yang menyatakan bahwa sebagian/semua bagian dari bahasa tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi ditentukan oleh fitur-fitur nurani yang khusus dari organisme manusia, dan hipotesis nurani mekanisme yang menyatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman.
Mengenai hipotesis nurani bahasa, Chomsky dan Miller (1957) mengatakan adanya alat khusus yang dimiliki setiap kanak-kanak sejak lahir untuk dapat berbahasa. Alat itu namanya Language Acquistition Device (LAD), yang berfungsi untuk memungkinkan seorang kanak-kanak memperoleh bahasa ibunya.
Adanya hipotesis nurani mengenai LAD ini semakin memperkuat pandangan para ahli di budang pemerolehan bahasa, bahwa kanak-kanak sejak lahir telah diberikan kemampuan untuk memperoleh bahasa ibunya.
2.      Hipotesis Tabularasa
Hipotesis yang dikemukakan oleh John Locke ini menyatakan bahwa otak bayi pada waktu dilahirkan sama seperti kertas kosong, yang nanti akan ditulisi dengan pengalaman-pengalaman.
Menurut hipotesis tabularasa, semua pengetahuan dalam bahasa manusia yang tampak saat perilaku berbahasa merupakan hasil dari integritas peristiwa-peristiwa linguistik yang dialami dan diamati oleh manusia itu.
Menurut Skiner (1957) berbicara merupakan satu respons operan yang dilazimkan kepada sesuatu stimulus dari dalam diri atau luar, yang sebenarnya tidak jelas diketahui. Untuk menjelaskan hal ini skinner memperkenalkan sekumpulan kategori respons bahasa
3.      Hipotesis Kesemestaan Kognitif
Menurut teori yang didasarkan pada kesemestaan kognitif, bahasa diperoleh berdasarkan struktur-struktur kognitif deriamotor. Struktur-struktur ini diperoleh kanak-kanak melalui interaksi dengan benda-benda atau orang-orang di sekitarnya. Urutan pemerolehan ini secara garis besar adalah sebagai berikut:
-          Antara usia 0 sampai 1,5 tahun (0:0 – 1:6) kanak-kanak mengembangkan pola-pola aksi dengan cara bereaksi terhadap alam sekitarnya. Pola-pola inilah yang kemudian di atur menjadi struktur-struktur akal (mental). Berdasarkan strukur-struktur akal ini kanak-kanak mulia membangun satu dunia benda-benda yang kekal yang lazim disebut kekelan benda.
-          Setelah struktur aksi dinuranikan, maka kanak-kanak memasuki tahap representasi kecerdasan, yang terjadi antara usia 2 tahun sampai 7 tahun. Pada tahap ini kanak-kanak telah mampu membentuk representasi simbolik benda-benda seperti permainan simbolik, peniruan, bayangan mental, gambar-gambar, an lain-lain.
-          Setelah tahap representasi kecerdasan, dengan represntasi simboliknya, berakhir. Maka bahasa kanak-kanak semakin berkembang, dan dengan mendapat nilai –nilai socialnya. Struktur-struktur linguistik mulai dibentuk berdasarkan bentuk-bentuk kognitif umum yang telah dibentuk ketika berusia kurang lebih dua tahun.
Bisa dilihat hipotesis kesemestaan kognitif dalam psikologi sama atau sejalan dengan hipotesis nurani mekanisme dalam lingustik. Jadi, pemerolehan bahasa bergantung pada pemerolehan proses-proses kognitif itu.                                                    



DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta, 2009

No comments:

Post a Comment

MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2