A.
JUDUL PENELITIAN
Kajian Penyimpangan Prinsip Sopan-Santun dalan
Naskah “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
B.
BIDANG ILMU : BAHASA
C.
LATAR BELAKANG MASALAH
Bahasa memegang peranan
penting dalam kehidupan kita, karena kita setiap hari berkomunikasi menggunakan
bahasa. Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai
“satu system lambang bunyi yang bersifat manasuka (arbitrer), yang kemudian
lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk
berinteraksi dan mengidentifikasi diri.”(Chaer, 2009: 30)
Dapat
dilihat bahwa bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, bahasa
adalah gejala sosial, dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh
faktor-faktor non-linguistik. Faktor-faktor linguistik seperti kata-kata,
kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi. Pendidikan,
tingkat ekonomi, jenis kelamin turut menentukan pemakaian bahasa itu, juga
faktor situasi, siapa pembicara, pendengar, dimana juga menjadi faktor dalam
penentuan pemakaian bahasa.
Linguistik yang secara
umum merupakan ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek
kajiannya, terdiri atas beberapa cabang yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik dan pragmatik. Jika dikatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang objek
kajiannya adalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri merupakan fenomena yang
hadir dalam segala aktivitas manusia.
Levinson
(dalam Tarigan, 2009:31), mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan telaah
mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu
catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain telaah mengenai
kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta penyerasian kalimat-kalimat dan
konteks secara tepat.
Berarti pragmatik adalah bidang linguistik
yang mengkaji telaah tuturan bahasa dari segi makna. Pragmatik menelaah
ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada
aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Dengan demikian
pragmatik sangat erat dengan tindak tutur. Tuturan tersebut memiliki makna,
maksud atau tujuan, sehingga perlu dikaji dengan bidang pragmatik.
Terjadinya
sebuah tindak ujar/tuturan tentu karena adanya situasi ujaran. Kita ketahui bahwa
selain unsur waktu dan tempat yang mutlak dituntut oleh suatu ujaran, ada
beberapa aspek situasi ujaran, diantaranya pembicara/penulis dan
pendengar/pembaca, konteks ujaran, tujuan ujaran, dan ucapan sebagai produk
verbal. Keberhasilan dalam percakapan ditentukan oleh prinsip kerja sama dan
prinsip sopan-santun.
Jika
dalam percakapan prinsip kerja sama dipatuhi, kita akan mendapatkan pertuturan
atau percakapan yang baik, namun juga harus memperhatikan kesantunan. Jika ada
prinsip yang dilanggar, tuturan akan menjadi tidak baik atau tidak santun.
Penyebab ketidaksantunan dalam bertutur antara lain: a) mengkritik secara
langsung dengan menggunakan kata-kata kasar, b) dorongan emosi penutur, d)
sengaja menuduh lawan tutur, d) protektif terhadap pendapat sendiri, dan e)
sengaja memojokan lawan tutur.
Tidak
hanya dalam percakapan sehari-hari terdapat penyimpangan terhadap prinsip sopan-santun,
dalam ragam tulisan yang dituliskan seseorang juga terdapat penyimpangan
terhadap prinsip sopan-santun. Dalam naskah drama misalnya, bentuknya yang
merupakan dialog-dialog atau percakapan bisa saja terdapat penggunaan dan
penyimpangan prinsip tersebut. Untuk mengetahui keberhasilan percakapan yang
digunakan dalam naskah drama tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap
prinsip konversasi/percakapan.
Berdasarkan
pemikiran diatas, maka penulis mencoba meneliti dan menganalisis penyimpangan
terhadap prinsip sopan-santun dengan kategori maksim penghargaan dan maksim
kesederhanaan dalam naskah drama. Naskah drama yang menjadi bahan analisis saya
adalah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
D.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut,
maka rumusan masalahnya adalah:
1.
Bagaimana penyimpangan
maksim penghargaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami?
2.
Bagaimana penyimpangan
maksim kesederhanaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami?
E.
DEFINISI OPERASIONAL
Berdasarkan
rumusan masalah tersebut, maka definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
1.
Prinsip
sopan-santun
Prinsip
sopan santun dalam penelitian ini adalah asas budi pekerti yang baik dalam
penggunaan bahasa yang terdapat pada dialog-dialog Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
2.
Maksim
penghargaan
Maksim
penghargaan dalam penelitian ini adalah prinsip yang mengurangi cacian dan
menambah pujian pada orang lain dalam dialog-dialog Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
3.
Maksim
kesederhanaan
Maksim
kesederhanaan dalam penelitian ini adalah
prinsip mengurangi pujian dan menambahi cacian pada diri sendiri dalam dialog-dialog Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
4.
Penyimpangan
Penyimpangan
dalam penelitian ini adalah perbuatan menyimpang dari maksim penghargaan dan
maksim kesederhanaan.
5.
Naskah
drama
Naskah
drama dalam penelitian ini adalah tulisan dalam bentuk dialog-dialog berjudul
“Sidang Susila” karya Ayu Utami.
F.
TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan
masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.
Ingin mengetahui
penyimpangan maksim penghargaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu
Utami.
2.
Ingin mengetahui
penyimpangan maksim kesederhanaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu
Utami.
G.
MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan tujuan
penelitian ini, dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat baik secara
teoretis maupun praktis, adapaun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Manfaat praktis
a.
Manfaat bagi penulis,
yaitu penulis mendapatkan pengalaman dalam proses penelitian dan menulis karya
ilmiah, serta menambah pengetahuan tentang prinsip sopan-santun yang diteliti
dalam penelitian ini.
b.
Manfaat bagi
pembaca, semoga pembaca mendapatkan tambahan pengetahuan dan wawasan yang lebih
mengenai prinsip sopan-santun dalam percakapan.
2.
Manfaat teoretis
a.
Penelitian ini
dapat memperkuat teori tentang prinsip sopan-santun dalam percakapan pada
kajian pragmatik, bahwa keberhasilan sebuah percakapan salah satunya harus
memenuhi prinsip sopan-santun.
H.
ANGGAPAN DASAR
Anggapan dasar dari penelitian ini
adalah:
1.
Bahasa memegang
peranan penting dalam kehidupan kita,
2.
Kehidupan
manusia tak lepas dari penggunaan bahasa untuk berkomunikasi,
3.
Komunikasi
merupakan bentuk interaksi sosial antar manusia,
4.
Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mengkaji
telaah tuturan bahasa dalam aneka konteks sosial.
5.
Pragmatik
erat dengan tindak tutur,
6.
Fenomena tindak
tutur didalamnya mencakup percakapan/konversasi,
7.
Dalam konversasi
terdapat prinsip sopan-santun sebagai penentu keberhasilan sebuah percakapan,
8.
Drama merupakan
karya sastra yang menggunakan media bahasa,
9.
Bentuk drama
adalah percakapan yang bentuknya dialog-dialog,
10. Percakapan dalam bentuk dialog-dialog tertulis
mengandung fenomena pragmatik.
11. Dialog-dialog dalam naskah drama dapat dikaji
prinsip sopan-santunnya.
I.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Bahasa
Setiap hari kita
berkomunikasi dengan orang lain dengan bahasa. Ferdinand de Saussure
(1857-1913), dalam (Chaer, 2010: 13) yang kita kenal sebagai Bapak Linguistik
Modern, mengenalkan tiga istilah mengenai bahasa, yaitu langage, langue dan parole. Ketiga
istilah itu bila dipadankan ke dalam bahasa Indonesia adalah sama, yaitu
bahasa. Padahal dalam bahasa Prancis ketiga istilah itu memiliki konsep yang
berbeda. Langage adalah sebutan untuk
konsep bahasa pada umumnya, seperti pada kalimat “Manusia mempunyai bahasa,
sedangkan hewan tidak”. Langue adalah
sebutan untuk bahasa tertentu, seperti pada kalimat “ Nana belajar bahasa
Jepang, dan Nani belajar bahasa Inggris”.
Baik langage dan langue adalah bersifat abstrak karena tidak dapat diamati atau
diobservasi. Istilah ketiga yaitu parole
digunakan untuk menyebut bahasa sebagaimana diujarkan, seperti pada kalimat
“kalau dia bicara, bahasanya penuh dengan kata emm… dan apa yah. Pareole
ini bersifat konkret karena sebagai tuturan atau ujaran kita dapat
mengobservasi dan mendengarnya. Dalam kajian linguistik umum bahasa, baik language ataupun langue lazim didefinisikan sebagai sebuah system lambang bunyi yang
bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat
interaksi sosial.
Bahasa memegang peranan
penting dalam kehidupan kita, karena kita setiap hari berkomunikasi menggunakan
bahasa. Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai
“satu system lambang bunyi yang bersifat manasuka (arbitrer), yang kemudian
lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk
berinteraksi dan mengidentifikasi diri.”(Chaer, 2009: 30)
Dapat dilihat bahwa
bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, Hasan Lubis
mendefinisikan bahasa sebagai sebuah gejala sosial, dan pemakaiannya jelas
banyak ditentukan oleh faktor-faktor non-linguistik. Faktor-faktor linguistik
seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan
komunikasi. Pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin turut menentukan
pemakaian bahasa itu, juga faktor situasi, siapa pembicara, pendengar, dimana
juga menjadi faktor dalam penentuan pemakaian bahasa.
2.
Berbahasa
Berbahasa artinya menggunakan bahasa
untuk sebuah kegiatan tertentu. Kegiatan tersebut adalah berkomunikasi.
Komunikasi merupakan sebuah kegiatan menyampaikan dan menerima informasi antara
dua orang atau lebih, sehingga pesan atau informasi tersebut dapat dipaham.
Saat seseorang berkomunikasi, berarti ia sedang melakukan tindak tutur atau
berbahasa. Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan
keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi
situasi tertentu. Dalam tindak tutur dilihat makna dan arti tindakan dalam
tuturannya.
Tindak tutur kita lakukan setiap hari
sejak kita bangun pagi sampai kita tidur kembali pada malam hari. Kita tidak
pernah berfikir bagaimana terjadinya kalimat-kalimat yang kita ucapkan, kenapa
kalimat tertentu kita ucapkan, bagaimana kalimat kita itu dapat diterima si
pendengar dan bagaimana pula si pendengar mengolah kalimat-kalimat kita dan
memberikan responnya, sehingga terjadi percakapan.
Orang menyadari bahwa sulit sekali
memisahkan antara makna bahasa dari penggunaannya dalam aliran yang disebut
“Logical Positivism” (Wittgen Stein). Pandangan ini mengungkapkan bahwa
ungkapan-ungkapan dapat dipahami hanyalah dalam kaitannya dengan
kegiatan-kegiatan yang menjadi konteks ungkapan itu.
3.
Pragmatik
Pragmatik
berkaitan erat dengan tindak tutur (speech art). Untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas, alngkah baiknya kita melihat batasan atau pengertian dari berbagai
sumber.
Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam
situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang
merupakan wadah aneka konteks sosial. Performasi bahasa dapat mempengaruhi
tafsiran atau interpretasi. Heatherington (1980) mengemukakan bahwa pragmatic
bukan saja menelaah pengaruh-pengaruh fonem suprasegmental, dialek, register,
tetapi memandang performasi ujaran pertama sebagai suatu kegiatan sosial yang
ditata oleh aneka ragam konversasi sosial. Para teoritikus pragmatic telah
mengidentifikasi adanya tiga jenis prinsip kegiatan ujaran, yaitu kekuatan
ilokusi, prinsip-prinsip percakapan, dan presuposisi. (Tarigan, 2009: 30)
George
(1964) mengemukakan bahwa pragmatic (semantik
behavioral) menelaah keseluruhan prilaku insan, terutama dalam hubungannya
dengan tanda-tanda dan lambang lambang. Pragmatic memusatkan perhatian pad
acara insan berprilaku dalam keseluruhan situasi pemberian dan penerimaan
tanda. (Tarigan, 2009: 30)
Levinson
(dalam Tarigan, 2009:31), mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan telaah
mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu
catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain telaah mengenai
kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta penyerasian kalimat-kalimat dan
konteks secara tepat.
Dari
beberapa pengertian yang dijelaskan beberapa ahli diatas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa pragmatik
adalah bidang linguistik yang mengkaji telaah tuturan bahasa dari segi makna.
Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan
memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks
sosial. Dengan demikian pragmatik sangat erat dengan tindak tutur. Tuturan
tersebut memiliki makna, maksud atau tujuan, sehingga perlu dikaji dengan
bidang pragmatik.
4.
Tindak tutur
Istilah
dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L. Austin,
seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal
dari mata kuliah itu kemudian dibukukan oleh J. O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word? Tetapi teori
tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969)
menerbitkan buku berjudul Speech Art and Essay
ini The Philosophy of Language.
Tindak
tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya
ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu.
Dalam tindak tutur dilihat makna dan arti tindakan dalam tuturannya.
Tindak
tutur kita lakukan setiap hari sejak kita bangun pagi sampai kita tidur kembali
pada malam hari. Kita tidak pernah berfikir bagaimana terjadinya
kalimat-kalimat yang kita ucapkan, kenapa kalimat tertentu kita ucapkan,
bagaimana kalimat kita itu dapat diterima si pendengar dan bagaimana pula si
pendengar mengolah kalimat-kalimat kita dan memberikan responnya, sehingga
terjadi percakapan.
Orang
menyadari bahwa sulit sekali memisahkan antara makna bahasa dari penggunaannya
dalam aliran yang disebut “Logical Positivism” (Wittgen Stein). Pandangan ini
mengungkapkan bahwa ungkapan-ungkapan dapat dipahami hanyalah dalam kaitannya
dengan kegiatan-kegiatan yang menjadi konteks ungkapan itu.
Kegiatan-kegiatan
seperti ungkapan–ungkapan dikombinasikan dengan kegiatan yang lain untuk
membentuk sebuah kumpulan kegiatan yang mempunyai kegiatan inti, kegiatan
sampingan dan kegiatan tambahan. Dengan demikian kita ketahui bahwa
kegiatan-kegiatan itu tersusun sebagai suatu struktur yang lengkap, dan diantaranya
seperti kita katakana ada yang inti ada pula yang pelengkap.
5.
Kesantunan Bertutur
a.
Teori Kesantunan
Ada beberapa pakar yang
menulis tentang teori kesantunan berbahasa, diantaranya Lakoff (1973), Fraser
(1978), Brown dan Levinson (1978), Leech (1983) dan Pranowo (2009). Dalam Chaer
(2010: 45) dibicarakan pendapat-pendapat para pakar tersebut seperti berikut:
Robin Lakoff mengatakan
kalau tuturan kita ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur
kita, ada tiga buah kaidah yang harus kita patuhi, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau
kesekawanan (equality or camaraderie).
Ketiga kaidah itu apabila dijabarkan, formalitas berarti jangan memaksa atau
angkuh, ketidaktegasan berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur
dapat menentukan pilihan dan persamaan atau kesekawanan, berarti bertindaklah
seolah-olah Anda dan lawan tutr Anda menjadi sama. Jadi menurut lakoff, sebuah
tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan
itu memberi pilihan kepada lawan tutur, dan lawan tututr merasa tenang.
Bagi Fraser, kesantunan
adalah property yang diasosiasikan dengan tuturan dan dalam hal ini menurut
pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak
mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Sedangkan penghormatan adalah bagian
dari aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan
penghargaan secara regular. Jadi kalau seseorang tidak menggunakan bahasa
sehari-hari kepada seorang pejabat dikantornya, maka orang itu telah
menunjukkan hormat kepada pejabat yang menjadi lawan tuturnya. Berprilaku
hormat, menurut Fraser belum tentu berprilaku santun karena kesantunan adalah
masalah lain.
Brown
dan Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka
(face). Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan tentunya), dan
muka harus dijaga. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti kehilangan muka, menyembunyikan muka, menyelamatkan
muka, dan mukanya jatuh, mungkin lebih bisa menjelaskan konsep muka dalam
kesantunan berbahasa. Muka harus dijaga, tidak boleh direndahkan orang.
Brown dan Levinson
mengatakan ada dua segi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka
negative yaitu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang
berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan
tindakan atau membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas
dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif adalah sebaliknya,
yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan
agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan
nilai-nilai yang ia yakini, sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau
dimilikinya itu, diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang
menyenangkan yang patut dihargai, dan seterusnya.
Pakar lain yang memberi
teori tentang kesantunan berbahasa adalah Leech, beliau mengajukan teori
kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (Politeness
principles) yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan, ajaran), keenam maksim itu adalah maksim kebijaksanaan (Tact), penerimaan (Generosity), kemurahan (Approbation),
kerendahan hati (Modesty), kesetujuan
(Agreement) dan kesimpatian (Sympathy).
b.
Prinsip Sopan-Santun
Goeffrey Leech membagi
prinsip sopan-santun kedalam enam maksim, tak berbeda dengan Robin Lakoff yang membagi “prinsip kesopanan”
ke dalam enam maksim, perbedaannya hanya pemilihan kata yang mereka gunakan.
Keenam maksim tersebut yaitu: Maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim
penghargaan, maksim permufakatan, dan maksim simpati.
ü Maksim Kebijaksanaan
Maksim
kebijaksanaan menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus mengurangi
kerugaian orang lain dan memperbesar keuntungan bagi orang lain. Semakin
panjang tuturan seseorang, semakin besar pula keinginan orang itu untuk
bersikap santun kepada lawan tuturnya.
ü Maksim
Kedermawanan
Maksim
kedermawanan menghendaki setiap peserta pertuturan untuk mengurangi keuntungan
dan memperbesar pengorbanan bagi diri sendiri.
ü Maksim Penghargaan
Maksim
penghargaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk mengurangi cacian dan
menambahi pujian atau penghargaan pada orang lain.
ü Maksim Kesederhanaan
Maksim
kesederhaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk mengurangi pujian dan
menambah cacian pada diri sendiri.
ü Maksim Permufakatan
Maksim permufakatan menghendaki agar setiap penutur
dan lawan tutur mengurangi ketidaksesuaian dan meningkatkan persesuaian antara
diri sendiri dan orang lain.
ü Maksim Kesimpatian
Maksim kesimpatian mengharuskan semua peserta
pertuturan untuk memperbesar rasa simpati, dan mengurangi rasa antipasti antara
diri sendiri dan orang lain. Bila lawan tuturnya memperoleh keberuntungan atau
kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur
mendapatkan kesulitan atau musibah, penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa
duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. (Tarigan, 2009: 203)
c.
Penyebab Ketidaksantunan
Untuk dapat memahami
dan menguasai berbahasa secara santun, Pranowo (2009) dalam Tarigan (2009:69)
menyebutkan adanya beberapa factor atau hal yang menyebabkan sebuah pertuturan
itu menjadi tidak santun. Penyebab
ketidaksantunan itu antara lain adalah sebagai berikut:
ü Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar.
Kritik kepada orang lain secara langsung dan dengan
menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan pertuturan menjadi tidak santun
atau jauh dari peringkat kesantunan.
ü Dorongan rasa emosi penutur
Kadangkala ketika bertutur dorongan emosi penutur begitu
berlebihan sehingga ada kesan penutur marah pada lawan tutuenya.
ü Protektif terhadap pendapat
Seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat
protektif terhadap pendapatnya, hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur
tidak dipercaya oleh pihak lain.
ü Sengaja menuduh lawan tutur
Acapkali penutur menyampaikan tuduhan dalam
tuturannya. Kalau ini dilakukan tentu tuturannya menjadi tidak santun.
ü Sengaja memojokkan mitra tutur
Adakalanya pertuturan menjadi tidak santun karena
penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan tutur dan membuat lawan tutur
tidak berdaya.
6.
Drama
Drama
merupakan salah satu bentuk karya sastra, dalam bentuk wujudnya, drama
merupakan susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama
pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot,
tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun
sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum dipentaskan
dalam sebuah seni pertunjukkan.
Menurut KBBI, Drama ialah komposisi syair
atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui
tingkah laku (peran) atau dialog yang dipentaskan. Drama juga berarti cerita
atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang disusun khusus
untuk pertunjukan teater.
Menurut
Aan Sugianto Mas dalam bukunya “Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra”,
mengatakan bahwa drama ialah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog.
(Sugianto Mas, 2012: 12)
Sedangkan
dalam buku Drama karya Herman J.
Waluyo, drama berarti perbuatan, tindakan atau aksi. Dalam kehidupan sekarang,
drama mengandung arti yang luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre
sastra, ataukah sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan
salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi, dan prosa. Drama pentas
adalah jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis
kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis, seni kostum, seni rias dan
sebagainya.
Dari
beberapa pendapat tentang drama, pengertian drama bergantung pada bentuk drama
itu sendiri, apakah sebagai karya sastra atau sebagai karya pentas. Pada
dasarnya kedua pengertian tersebut mengarah pada satu inti, yaitu bentuk drama
sebagai cerita yang diharapkan mampu menggambarkan kehidupan manusia.
7.
Naskah Drama
Naskah adalah unsur
penting bagi sebuah pertunjukan drama, karena didalamnya terdapat konsep cerita
yang disusun dalam bentuk dialog serta memuat konflik-konflik kehidupan
manusia. Naskah drama adalah karya sastra yang didalamnya memuat unsur-unsur
sastra. Unsur-unsur itulah yang akan dihidupkan dalam panggung menjadi sebuah
pertunjukan.
Naskah drama merupakan
sebuah konsep cerita dramatic yang memang direncanakan untuk dipentaskan
(Sugiantomas, 1998: 63). Oleh karena itu, naskah drama perlu dikaji dengan
teliti jika akan mementaskannya.
8.
Dialog Drama
Ciri khas suatu naskah drama adalah
berbentuk dialog. Pembicaraan yang ditulis oleh pengarang naskah adalah
pembicaraan yang akan diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan di atas
panggung. Dialog yang ditulis harus mencerminkan pembicaraan sehari-hari. Dialog
merupakan faktor filosofis yang mempengaruhi struktur keindahan sebuah lakon.
Dialog harus benar-benar menarik, plastis, sehingga memiliki sifat yang mampu
menjelaskan keindahan semua unsur yang ada. Dalam hal itu harus diingat bahwa
pada gilirannya semua dialog akan mengantarkan seluruh peristiwa yang membentuk
cerita.
Gaya dialog-dialog yang diciptakan oleh
pengarang tentu akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh
banyak faktor. Beberapa gaya dialog diantaranya dialog puitis, monolog,
ping-pong, bombas, orator, dan lain-lain. Di dalam sebuah naskah drama,
gaya-gaya tersebut pasti ada salah satunya dan tidak menutup kemungkinan juga
semua gaya dialog terdapat dalam satu naskah drama. Tapi ini nampaknya kurang
baik, karena di sini mencerminkan seorang pengarang yang tidak mempunyai ciri
khas dan terkesan tidak konsisten dalam menciptakan sebuah naskah drama.
Ragam bahasa dialog tokoh-tokoh drama
adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hal ini
disebabkan karena drama adalah potret kenyataan. Drama adalah kenyataan yang
diangkat ke atas pentas. Nuansa-nuansa dialog mungkin tidak lengkap dan akan
dilengkapi oleh gerakan, musik, ekspresi wajah, dan sebagainya. Dalam hal ini,
kesempurnaan sebuah naskah drama akan terlihat setelah dipentaskan. Banyak
naskah drama yang sulit dipentaskan karena dialognya bukan ragam bahasa tutur,
tapi ragam bahasa tulis. Menggunakan ragam bahasa tulis sebagai sarana naskah
drama berarti tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga ada celah
kelemahan komunikasi dibandingkan dengan bahasa tutur/lisan ((Hassanudin, 2009:
119) dalam Hidayat, 2013: 24).
J.
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
Metode dan teknik
penelitian yang digunakan dalam sebuah penelitian, akan memberikan gambaran
tentang langkah-langkah yang dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah
penelitian.
1.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai
dalam meneliti prinsip sopan-santun dalam dialog naskah drama “ Sidang Susila”
karya Ayu Utami yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif
kualitatif yaitu metode yang menarik kesimpulan dari data yang ada secara
kualitas. ((Sugiantomas, 2002: 26), dalam Apriani, 2010: 20)
Metode ini tidak
terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, tetapi juga meliputi
analisis data, metode kualitatif mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap
interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. ((Sugiantomas, 1998:
56), dalam Apriani, 2010: 20)
2.
TEKNIK PENELITIAN
a.
TEKNIK PEROLEHAN DATA
Dalam penelitian ini,
pemerolehan data didapat melalui cara sebagai berikut:
1)
Studi Pustaka
Peneliti
membaca dan mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan prinsip sopan-santun
yang menjadi masalah dalam penelitian ini,
2)
Analisis naskah
drama
Peneliti
membaca pemahaman naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami, dan
menganalisis dialog-dialog yang didalamnya terdapat penyimpangan terhadap maksim
penghargaan dan maksim kesederhanaan dalam prinsip sopan-santun.
3)
Dokumentasi
naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
b.
TEKNIK PENGOLAHAN DATA
Setelah dilakukan
pemerolehan data, data diolah melalui cara sebagai berikut:
a.
Untuk menjawab
rumusan masalah yang pertama, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
-
Membaca naskah
drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-
Menuliskan
setiap dialog yang menyimpang dari maksim penghargaan,
-
Menganalisis
setiap dialog yang menyimpang dari maksim penghargaan sesuai dengan penyebab
ketidaksantunannya dalam naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-
Menarik
kesimpulan dialog-dialog yang menyimpang dari maksim penghargaan, disesuaikan
dengan penyebab ketidaksantunannya, lalu memberikan keterangan atau maksud dialog
tersebut sehingga dikatakan tidak santun.
b.
Untuk menjawab
rumusan masalah yang kedua, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
-
Membaca naskah
drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-
Menuliskan
setiap dialog yang menyimpang dari maksim kesederhanaan,
-
Menganalisis
setiap dialog yang menyimpang dari maksim kesederhanaan sesuai dengan penyebab
ketidaksantunannya dalam naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-
Menarik
kesimpulan dialog-dialog yang menyimpang dari maksim kesederhanaan, disesuaikan
dengan penyebab ketidaksantunannya, lalu memberikan keterangan atau maksud
dialog tersebut sehingga dikatakan tidak santun.
K.
JADWAL PENELITIAN
No
|
Kegiatan |
Bulan
|
|||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
||
1.
|
Tahapan persiapan surat-menyurat,
persyaratan administrasi
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Tahapan kajian hipotesis dan
memformulasikan tesis awal dan data
|
|
*
|
*
|
*
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Tahapan pencarian data dan
penganalisisan lanjutan
|
|
|
|
*
|
*
|
*
|
|
|
|
|
4.
|
Tahapan pengolahan data lanjutan
dan formulasi akhir
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
|
|
|
5.
|
Penulisan laporan pertama
|
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
*
|
|
6.
|
Seminar
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
|
7.
|
Perbaikan penulisan akhir
|
|
|
|
|
|
|
|
|
*
|
*
|
L.
PERKIRAAN BIAYA
No.
|
Biaya-biaya
|
Nominal
|
1.
|
Biaya
perjalanan
a. Studi pustaka
b. Konsumsi dan akomodasi di lapangan
|
Rp. 2.500.000,-
Rp. 2.000.000,-
|
2.
|
Biaya
pertemuan dan seminar
|
Rp. 1.500.000,-
|
3.
|
Biaya
pembelian bahan
a. Beli buku-buku referensi
b. Biaya peminjaman laporan akhir
c. Beli modem
d. Pulsa Internet
e. Kertas dan alat tulis
|
Rp.
550.000,-
Rp. 250.000,-
Rp. 390.000 ,-
Rp. 500.000,-
Rp.
300.000,-
|
4.
|
Biaya penggandaan
bahan penelitian
a. Fotokopi arsip dan dokumen
b. Fotokopi proposal penelitian
c. Fotokopi laporan akhir
|
Rp. 500.000,-
Rp. 200.000,-
Rp. 500.000,-
|
5.
|
Biaya cetak
data laporan
|
Rp. 150.000,-
|
|
Jumlah
|
Rp. 9.340.000,-
|
M.
DAFTAR PUSTAKA
Ahyadi,
Didi. 2012. Linguistik Umum.
Kuningan: Universitas Kuningan
Apriani,
Dian. 2010. Tindak-Tindak Berbahasa dalam
Dialog Naskah Drama Orkes Madun karya
Arifin C. Noer. Kuningan: Universitas Kuningan
Chaer,
Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta:
Rineka Cipta.
Chaer,
Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian
Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Lubis,
Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana
Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Sugiantomas,
Aan. 2014. Kajian Drama. Kuningan:
Universitas Kuningan
Suharsaputra,
Uhar. 2012. Metode Penelitian. Bandung:
Reflika Aditama.
Tarigan,
Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik.
Bandung: Angkasa.
Tarigan,
Henry Guntur. 2009. Pengajaran Analisis
Kontrastif Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Utami, Ayu.
2008. Sidang Susila. Jakarta: Spasi
& VHR Book.