Saturday, January 16, 2016

PROPOSAL PENELITIAN PENYIMPANGAN PRINSIP SOPAN SANTUN



A.    JUDUL PENELITIAN
Kajian Penyimpangan Prinsip Sopan-Santun dalan Naskah “Sidang Susila” karya Ayu Utami.

B.     BIDANG ILMU : BAHASA

C.    LATAR BELAKANG MASALAH
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita, karena kita setiap hari berkomunikasi menggunakan bahasa. Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai “satu system lambang bunyi yang bersifat manasuka (arbitrer), yang kemudian lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri.”(Chaer, 2009: 30)
Dapat dilihat bahwa bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, bahasa adalah gejala sosial, dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor non-linguistik. Faktor-faktor linguistik seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi. Pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin turut menentukan pemakaian bahasa itu, juga faktor situasi, siapa pembicara, pendengar, dimana juga menjadi faktor dalam penentuan pemakaian bahasa.
Linguistik yang secara umum merupakan ilmu bahasa atau ilmu yang mengambil bahasa sebagai objek kajiannya, terdiri atas beberapa cabang yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Jika dikatakan bahwa linguistik adalah ilmu yang objek kajiannya adalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri merupakan fenomena yang hadir dalam segala aktivitas manusia.
Levinson (dalam Tarigan, 2009:31),  mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta penyerasian kalimat-kalimat dan konteks secara tepat. Berarti pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji telaah tuturan bahasa dari segi makna. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Dengan demikian pragmatik sangat erat dengan tindak tutur. Tuturan tersebut memiliki makna, maksud atau tujuan, sehingga perlu dikaji dengan bidang pragmatik.
Terjadinya sebuah tindak ujar/tuturan tentu karena adanya situasi ujaran. Kita ketahui bahwa selain unsur waktu dan tempat yang mutlak dituntut oleh suatu ujaran, ada beberapa aspek situasi ujaran, diantaranya pembicara/penulis dan pendengar/pembaca, konteks ujaran, tujuan ujaran, dan ucapan sebagai produk verbal. Keberhasilan dalam percakapan ditentukan oleh prinsip kerja sama dan prinsip sopan-santun.
Jika dalam percakapan prinsip kerja sama dipatuhi, kita akan mendapatkan pertuturan atau percakapan yang baik, namun juga harus memperhatikan kesantunan. Jika ada prinsip yang dilanggar, tuturan akan menjadi tidak baik atau tidak santun. Penyebab ketidaksantunan dalam bertutur antara lain: a) mengkritik secara langsung dengan menggunakan kata-kata kasar, b) dorongan emosi penutur, d) sengaja menuduh lawan tutur, d) protektif terhadap pendapat sendiri, dan e) sengaja memojokan lawan tutur.       
Tidak hanya dalam percakapan sehari-hari terdapat penyimpangan terhadap prinsip sopan-santun, dalam ragam tulisan yang dituliskan seseorang juga terdapat penyimpangan terhadap prinsip sopan-santun. Dalam naskah drama misalnya, bentuknya yang merupakan dialog-dialog atau percakapan bisa saja terdapat penggunaan dan penyimpangan prinsip tersebut. Untuk mengetahui keberhasilan percakapan yang digunakan dalam naskah drama tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap prinsip konversasi/percakapan.
Berdasarkan pemikiran diatas, maka penulis mencoba meneliti dan menganalisis penyimpangan terhadap prinsip sopan-santun dengan kategori maksim penghargaan dan maksim kesederhanaan dalam naskah drama. Naskah drama yang menjadi bahan analisis saya adalah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.



D.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka rumusan masalahnya adalah:
1.      Bagaimana penyimpangan maksim penghargaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami?
2.      Bagaimana penyimpangan maksim kesederhanaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami?

E.     DEFINISI OPERASIONAL
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka definisi operasional dalam penelitian ini adalah:
1.      Prinsip sopan-santun
Prinsip sopan santun dalam penelitian ini adalah asas budi pekerti yang baik dalam penggunaan bahasa yang terdapat pada dialog-dialog Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
2.      Maksim penghargaan
Maksim penghargaan dalam penelitian ini adalah prinsip yang mengurangi cacian dan menambah pujian pada orang lain dalam dialog-dialog Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
3.      Maksim kesederhanaan
Maksim kesederhanaan dalam penelitian ini adalah prinsip mengurangi pujian dan menambahi cacian pada diri sendiri dalam dialog-dialog Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
4.      Penyimpangan
Penyimpangan dalam penelitian ini adalah perbuatan menyimpang dari maksim penghargaan dan maksim kesederhanaan.
5.      Naskah drama
Naskah drama dalam penelitian ini adalah tulisan dalam bentuk dialog-dialog berjudul “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
F.     TUJUAN PENELITIAN
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah:
1.         Ingin mengetahui penyimpangan maksim penghargaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.
2.         Ingin mengetahui penyimpangan maksim kesederhanaan dalam Naskah Drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.

G.    MANFAAT PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian ini, dari penelitian diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoretis maupun praktis, adapaun manfaat tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Manfaat praktis
a.       Manfaat bagi penulis, yaitu penulis mendapatkan pengalaman dalam proses penelitian dan menulis karya ilmiah, serta menambah pengetahuan tentang prinsip sopan-santun yang diteliti dalam penelitian ini.
b.      Manfaat bagi pembaca, semoga pembaca mendapatkan tambahan pengetahuan dan wawasan yang lebih mengenai prinsip sopan-santun dalam percakapan.

2.      Manfaat teoretis
a.       Penelitian ini dapat memperkuat teori tentang prinsip sopan-santun dalam percakapan pada kajian pragmatik, bahwa keberhasilan sebuah percakapan salah satunya harus memenuhi prinsip sopan-santun.




H.    ANGGAPAN DASAR
Anggapan dasar dari penelitian ini adalah:
1.      Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita,
2.      Kehidupan manusia tak lepas dari penggunaan bahasa untuk berkomunikasi,
3.      Komunikasi merupakan bentuk interaksi sosial antar manusia,
4.      Pragmatik adalah ilmu bahasa yang mengkaji telaah tuturan bahasa dalam aneka konteks sosial.
5.      Pragmatik erat dengan tindak tutur,
6.      Fenomena tindak tutur didalamnya mencakup percakapan/konversasi,
7.      Dalam konversasi terdapat prinsip sopan-santun sebagai penentu keberhasilan sebuah percakapan,
8.      Drama merupakan karya sastra yang menggunakan media bahasa,
9.      Bentuk drama adalah percakapan yang bentuknya dialog-dialog,
10.  Percakapan dalam bentuk dialog-dialog tertulis mengandung fenomena pragmatik.
11.  Dialog-dialog dalam naskah drama dapat dikaji prinsip sopan-santunnya.










I.       TINJAUAN PUSTAKA
1.      Bahasa
Setiap hari kita berkomunikasi dengan orang lain dengan bahasa. Ferdinand de Saussure (1857-1913), dalam (Chaer, 2010: 13) yang kita kenal sebagai Bapak Linguistik Modern, mengenalkan tiga istilah mengenai bahasa, yaitu langage, langue dan parole. Ketiga istilah itu bila dipadankan ke dalam bahasa Indonesia adalah sama, yaitu bahasa. Padahal dalam bahasa Prancis ketiga istilah itu memiliki konsep yang berbeda. Langage adalah sebutan untuk konsep bahasa pada umumnya, seperti pada kalimat “Manusia mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak”. Langue adalah sebutan untuk bahasa tertentu, seperti pada kalimat “ Nana belajar bahasa Jepang, dan Nani belajar bahasa Inggris”.
Baik langage dan langue adalah bersifat abstrak karena tidak dapat diamati atau diobservasi. Istilah ketiga yaitu parole digunakan untuk menyebut bahasa sebagaimana diujarkan, seperti pada kalimat “kalau dia bicara, bahasanya penuh dengan kata emm… dan apa yah. Pareole ini bersifat konkret karena sebagai tuturan atau ujaran kita dapat mengobservasi dan mendengarnya. Dalam kajian linguistik umum bahasa, baik language ataupun langue lazim didefinisikan sebagai sebuah system lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat interaksi sosial.
Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan kita, karena kita setiap hari berkomunikasi menggunakan bahasa. Para pakar linguistik deskriptif biasanya mendefinisikan bahasa sebagai “satu system lambang bunyi yang bersifat manasuka (arbitrer), yang kemudian lazim ditambah dengan “yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri.”(Chaer, 2009: 30)
Dapat dilihat bahwa bahasa digunakan untuk berkomunikasi. Oleh karena itu, Hasan Lubis mendefinisikan bahasa sebagai sebuah gejala sosial, dan pemakaiannya jelas banyak ditentukan oleh faktor-faktor non-linguistik. Faktor-faktor linguistik seperti kata-kata, kalimat-kalimat saja tidak cukup untuk melancarkan komunikasi. Pendidikan, tingkat ekonomi, jenis kelamin turut menentukan pemakaian bahasa itu, juga faktor situasi, siapa pembicara, pendengar, dimana juga menjadi faktor dalam penentuan pemakaian bahasa.
2.      Berbahasa
Berbahasa artinya menggunakan bahasa untuk sebuah kegiatan tertentu. Kegiatan tersebut adalah berkomunikasi. Komunikasi merupakan sebuah kegiatan menyampaikan dan menerima informasi antara dua orang atau lebih, sehingga pesan atau informasi tersebut dapat dipaham. Saat seseorang berkomunikasi, berarti ia sedang melakukan tindak tutur atau berbahasa. Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur dilihat makna dan arti tindakan dalam tuturannya.
Tindak tutur kita lakukan setiap hari sejak kita bangun pagi sampai kita tidur kembali pada malam hari. Kita tidak pernah berfikir bagaimana terjadinya kalimat-kalimat yang kita ucapkan, kenapa kalimat tertentu kita ucapkan, bagaimana kalimat kita itu dapat diterima si pendengar dan bagaimana pula si pendengar mengolah kalimat-kalimat kita dan memberikan responnya, sehingga terjadi percakapan.
Orang menyadari bahwa sulit sekali memisahkan antara makna bahasa dari penggunaannya dalam aliran yang disebut “Logical Positivism” (Wittgen Stein). Pandangan ini mengungkapkan bahwa ungkapan-ungkapan dapat dipahami hanyalah dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang menjadi konteks ungkapan itu.






3.      Pragmatik
Pragmatik berkaitan erat dengan tindak tutur (speech art). Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas, alngkah baiknya kita melihat batasan atau pengertian dari berbagai sumber.
 Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Performasi bahasa dapat mempengaruhi tafsiran atau interpretasi. Heatherington (1980) mengemukakan bahwa pragmatic bukan saja menelaah pengaruh-pengaruh fonem suprasegmental, dialek, register, tetapi memandang performasi ujaran pertama sebagai suatu kegiatan sosial yang ditata oleh aneka ragam konversasi sosial. Para teoritikus pragmatic telah mengidentifikasi adanya tiga jenis prinsip kegiatan ujaran, yaitu kekuatan ilokusi, prinsip-prinsip percakapan, dan presuposisi. (Tarigan, 2009: 30)
George (1964) mengemukakan bahwa pragmatic (semantik behavioral) menelaah keseluruhan prilaku insan, terutama dalam hubungannya dengan tanda-tanda dan lambang lambang. Pragmatic memusatkan perhatian pad acara insan berprilaku dalam keseluruhan situasi pemberian dan penerimaan tanda. (Tarigan, 2009: 30)
Levinson (dalam Tarigan, 2009:31),  mengungkapkan bahwa pragmatik merupakan telaah mengenai relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain telaah mengenai kemampuan pemakai bahasa menghubungkan serta penyerasian kalimat-kalimat dan konteks secara tepat.
Dari beberapa pengertian yang dijelaskan beberapa ahli diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pragmatik adalah bidang linguistik yang mengkaji telaah tuturan bahasa dari segi makna. Pragmatik menelaah ucapan-ucapan khusus dalam situasi-situasi khusus dan memusatkan perhatian pada aneka ragam cara yang merupakan wadah aneka konteks sosial. Dengan demikian pragmatik sangat erat dengan tindak tutur. Tuturan tersebut memiliki makna, maksud atau tujuan, sehingga perlu dikaji dengan bidang pragmatik.
4.      Tindak tutur
Istilah dan teori mengenai tindak tutur mula-mula diperkenalkan oleh J. L. Austin, seorang guru besar di Universitas Harvard, pada tahun 1956. Teori yang berasal dari mata kuliah itu kemudian dibukukan oleh J. O. Urmson (1965) dengan judul How to do Thing with Word? Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi linguistik setelah Searle (1969) menerbitkan buku berjudul Speech Art and Essay ini The Philosophy of Language.
Tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur dilihat makna dan arti tindakan dalam tuturannya.
Tindak tutur kita lakukan setiap hari sejak kita bangun pagi sampai kita tidur kembali pada malam hari. Kita tidak pernah berfikir bagaimana terjadinya kalimat-kalimat yang kita ucapkan, kenapa kalimat tertentu kita ucapkan, bagaimana kalimat kita itu dapat diterima si pendengar dan bagaimana pula si pendengar mengolah kalimat-kalimat kita dan memberikan responnya, sehingga terjadi percakapan.
Orang menyadari bahwa sulit sekali memisahkan antara makna bahasa dari penggunaannya dalam aliran yang disebut “Logical Positivism” (Wittgen Stein). Pandangan ini mengungkapkan bahwa ungkapan-ungkapan dapat dipahami hanyalah dalam kaitannya dengan kegiatan-kegiatan yang menjadi konteks ungkapan itu.
Kegiatan-kegiatan seperti ungkapan–ungkapan dikombinasikan dengan kegiatan yang lain untuk membentuk sebuah kumpulan kegiatan yang mempunyai kegiatan inti, kegiatan sampingan dan kegiatan tambahan. Dengan demikian kita ketahui bahwa kegiatan-kegiatan itu tersusun sebagai suatu struktur yang lengkap, dan diantaranya seperti kita katakana ada yang inti ada pula yang pelengkap.
5.      Kesantunan Bertutur
a.        Teori Kesantunan
Ada beberapa pakar yang menulis tentang teori kesantunan berbahasa, diantaranya Lakoff (1973), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), Leech (1983) dan Pranowo (2009). Dalam Chaer (2010: 45) dibicarakan pendapat-pendapat para pakar tersebut seperti berikut:
Robin Lakoff mengatakan kalau tuturan kita ingin terdengar santun di telinga pendengar atau lawan tutur kita, ada tiga buah kaidah yang harus kita patuhi, yaitu formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (equality or camaraderie). Ketiga kaidah itu apabila dijabarkan, formalitas berarti jangan memaksa atau angkuh, ketidaktegasan berarti buatlah sedemikian rupa sehingga lawan tutur dapat menentukan pilihan dan persamaan atau kesekawanan, berarti bertindaklah seolah-olah Anda dan lawan tutr Anda menjadi sama. Jadi menurut lakoff, sebuah tuturan dikatakan santun apabila ia tidak terdengar memaksa atau angkuh, tuturan itu memberi pilihan kepada lawan tutur, dan lawan tututr merasa tenang.
Bagi Fraser, kesantunan adalah property yang diasosiasikan dengan tuturan dan dalam hal ini menurut pendapat si lawan tutur, bahwa si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak mengingkari dalam memenuhi kewajibannya. Sedangkan penghormatan adalah bagian dari aktivitas yang berfungsi sebagai sarana simbolis untuk menyatakan penghargaan secara regular. Jadi kalau seseorang tidak menggunakan bahasa sehari-hari kepada seorang pejabat dikantornya, maka orang itu telah menunjukkan hormat kepada pejabat yang menjadi lawan tuturnya. Berprilaku hormat, menurut Fraser belum tentu berprilaku santun karena kesantunan adalah masalah lain.
  Brown dan Levinson mengatakan teori kesantunan berbahasa itu berkisar atas nosi muka (face). Semua orang yang rasional punya muka (dalam arti kiasan tentunya), dan muka harus dijaga. Ungkapan-ungkapan dalam bahasa Indonesia seperti kehilangan muka, menyembunyikan muka, menyelamatkan muka, dan mukanya jatuh, mungkin lebih bisa menjelaskan konsep muka dalam kesantunan berbahasa. Muka harus dijaga, tidak boleh direndahkan orang.
Brown dan Levinson mengatakan ada dua segi muka, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka negative yaitu mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas melakukan tindakan atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Sedangkan muka positif adalah sebaliknya, yakni mengacu pada citra diri setiap orang yang rasional, yang berkeinginan agar yang dilakukannya, apa yang dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini, sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau dimilikinya itu, diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan yang patut dihargai, dan seterusnya.
Pakar lain yang memberi teori tentang kesantunan berbahasa adalah Leech, beliau mengajukan teori kesantunan berdasarkan prinsip kesantunan (Politeness principles) yang dijabarkan menjadi maksim (ketentuan, ajaran), keenam maksim itu adalah maksim kebijaksanaan (Tact), penerimaan (Generosity), kemurahan (Approbation), kerendahan hati (Modesty), kesetujuan (Agreement) dan kesimpatian (Sympathy).
b.        Prinsip Sopan-Santun
Goeffrey Leech membagi prinsip sopan-santun kedalam enam maksim, tak berbeda dengan  Robin Lakoff yang membagi “prinsip kesopanan” ke dalam enam maksim, perbedaannya hanya pemilihan kata yang mereka gunakan. Keenam maksim tersebut yaitu: Maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim permufakatan, dan maksim simpati.
ü  Maksim Kebijaksanaan
Maksim kebijaksanaan menggariskan bahwa setiap peserta pertuturan harus mengurangi kerugaian orang lain dan memperbesar keuntungan bagi orang lain. Semakin panjang tuturan seseorang, semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun kepada lawan tuturnya.
ü  Maksim Kedermawanan
Maksim kedermawanan menghendaki setiap peserta pertuturan untuk mengurangi keuntungan dan memperbesar pengorbanan bagi diri sendiri.
ü  Maksim Penghargaan
Maksim penghargaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk mengurangi cacian dan menambahi pujian atau penghargaan pada orang lain.
ü  Maksim Kesederhanaan
Maksim kesederhaan menuntut setiap peserta pertuturan untuk mengurangi pujian dan menambah cacian pada diri sendiri.
ü  Maksim Permufakatan
Maksim permufakatan menghendaki agar setiap penutur dan lawan tutur mengurangi ketidaksesuaian dan meningkatkan persesuaian antara diri sendiri dan orang lain.
ü  Maksim Kesimpatian
Maksim kesimpatian mengharuskan semua peserta pertuturan untuk memperbesar rasa simpati, dan mengurangi rasa antipasti antara diri sendiri dan orang lain. Bila lawan tuturnya memperoleh keberuntungan atau kebahagiaan penutur wajib memberikan ucapan selamat. Jika lawan tutur mendapatkan kesulitan atau musibah, penutur sudah sepantasnya menyampaikan rasa duka atau bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. (Tarigan, 2009: 203)








c.         Penyebab Ketidaksantunan
Untuk dapat memahami dan menguasai berbahasa secara santun, Pranowo (2009) dalam Tarigan (2009:69) menyebutkan adanya beberapa factor atau hal yang menyebabkan sebuah pertuturan itu menjadi tidak santun. Penyebab  ketidaksantunan itu antara lain adalah sebagai berikut:
ü  Kritik secara langsung dengan kata-kata kasar.
Kritik kepada orang lain secara langsung dan dengan menggunakan kata-kata kasar akan menyebabkan pertuturan menjadi tidak santun atau jauh dari peringkat kesantunan.

ü  Dorongan rasa emosi penutur
Kadangkala ketika bertutur dorongan emosi penutur begitu berlebihan sehingga ada kesan penutur marah pada lawan tutuenya.

ü  Protektif terhadap pendapat
Seringkali ketika bertutur seorang penutur bersifat protektif terhadap pendapatnya, hal ini dilakukan agar tuturan lawan tutur tidak dipercaya oleh pihak lain.

ü  Sengaja menuduh lawan tutur
Acapkali penutur menyampaikan tuduhan dalam tuturannya. Kalau ini dilakukan tentu tuturannya menjadi tidak santun.

ü  Sengaja memojokkan mitra tutur
Adakalanya pertuturan menjadi tidak santun karena penutur dengan sengaja ingin memojokkan lawan tutur dan membuat lawan tutur tidak berdaya.



6.      Drama
Drama merupakan salah satu bentuk karya sastra, dalam bentuk wujudnya, drama merupakan susunan dialog dari para tokohnya. Unsur yang terdapat dalam drama pun tidak berbeda jauh dengan prosa fiksi, yakni terdapat tema, alur/plot, tokoh dan perwatakan, ketegangan, latar atau setting, gaya, dan amanat. Namun sebuah naskah drama rasa belum lengkap atau belum utuh apabila belum dipentaskan dalam sebuah seni pertunjukkan.
Menurut KBBI, Drama ialah komposisi syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (peran) atau dialog yang dipentaskan. Drama juga berarti cerita atau kisah, terutama yang melibatkan konflik atau emosi, yang disusun khusus untuk pertunjukan teater.
Menurut Aan Sugianto Mas dalam bukunya “Langkah Awal Menuju Apresiasi Sastra”, mengatakan bahwa drama ialah karya sastra yang diungkapkan dengan gaya dialog. (Sugianto Mas, 2012: 12)
Sedangkan dalam buku Drama karya Herman J. Waluyo, drama berarti perbuatan, tindakan atau aksi. Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yang luas ditinjau apakah drama sebagai salah satu genre sastra, ataukah sebagai cabang kesenian yang mandiri. Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yang disejajarkan dengan puisi, dan prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri yang merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, seni lukis, seni kostum, seni rias dan sebagainya.
Dari beberapa pendapat tentang drama, pengertian drama bergantung pada bentuk drama itu sendiri, apakah sebagai karya sastra atau sebagai karya pentas. Pada dasarnya kedua pengertian tersebut mengarah pada satu inti, yaitu bentuk drama sebagai cerita yang diharapkan mampu menggambarkan kehidupan manusia.



7.      Naskah Drama
Naskah adalah unsur penting bagi sebuah pertunjukan drama, karena didalamnya terdapat konsep cerita yang disusun dalam bentuk dialog serta memuat konflik-konflik kehidupan manusia. Naskah drama adalah karya sastra yang didalamnya memuat unsur-unsur sastra. Unsur-unsur itulah yang akan dihidupkan dalam panggung menjadi sebuah pertunjukan.
Naskah drama merupakan sebuah konsep cerita dramatic yang memang direncanakan untuk dipentaskan (Sugiantomas, 1998: 63). Oleh karena itu, naskah drama perlu dikaji dengan teliti jika akan mementaskannya.
8.      Dialog Drama
Ciri khas suatu naskah drama adalah berbentuk dialog. Pembicaraan yang ditulis oleh pengarang naskah adalah pembicaraan yang akan diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan di atas panggung. Dialog yang ditulis harus mencerminkan pembicaraan sehari-hari. Dialog merupakan faktor filosofis yang mempengaruhi struktur keindahan sebuah lakon. Dialog harus benar-benar menarik, plastis, sehingga memiliki sifat yang mampu menjelaskan keindahan semua unsur yang ada. Dalam hal itu harus diingat bahwa pada gilirannya semua dialog akan mengantarkan seluruh peristiwa yang membentuk cerita.
Gaya dialog-dialog yang diciptakan oleh pengarang tentu akan berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Beberapa gaya dialog diantaranya dialog puitis, monolog, ping-pong, bombas, orator, dan lain-lain. Di dalam sebuah naskah drama, gaya-gaya tersebut pasti ada salah satunya dan tidak menutup kemungkinan juga semua gaya dialog terdapat dalam satu naskah drama. Tapi ini nampaknya kurang baik, karena di sini mencerminkan seorang pengarang yang tidak mempunyai ciri khas dan terkesan tidak konsisten dalam menciptakan sebuah naskah drama.
Ragam bahasa dialog tokoh-tokoh drama adalah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Hal ini disebabkan karena drama adalah potret kenyataan. Drama adalah kenyataan yang diangkat ke atas pentas. Nuansa-nuansa dialog mungkin tidak lengkap dan akan dilengkapi oleh gerakan, musik, ekspresi wajah, dan sebagainya. Dalam hal ini, kesempurnaan sebuah naskah drama akan terlihat setelah dipentaskan. Banyak naskah drama yang sulit dipentaskan karena dialognya bukan ragam bahasa tutur, tapi ragam bahasa tulis. Menggunakan ragam bahasa tulis sebagai sarana naskah drama berarti tidak berhadapan langsung dengan pembaca, sehingga ada celah kelemahan komunikasi dibandingkan dengan bahasa tutur/lisan ((Hassanudin, 2009: 119) dalam Hidayat, 2013: 24).

J.      METODE DAN TEKNIK PENELITIAN
Metode dan teknik penelitian yang digunakan dalam sebuah penelitian, akan memberikan gambaran tentang langkah-langkah yang dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah penelitian.  
1.      METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipakai dalam meneliti prinsip sopan-santun dalam dialog naskah drama “ Sidang Susila” karya Ayu Utami yaitu metode deskriptif kualitatif. Metode deskriptif kualitatif yaitu metode yang menarik kesimpulan dari data yang ada secara kualitas. ((Sugiantomas, 2002: 26), dalam Apriani, 2010: 20)
Metode ini tidak terbatas pada pengumpulan data dan penyusunan data, tetapi juga meliputi analisis data, metode kualitatif mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris. ((Sugiantomas, 1998: 56), dalam Apriani, 2010: 20)




2.      TEKNIK PENELITIAN
a.      TEKNIK PEROLEHAN DATA
Dalam penelitian ini, pemerolehan data didapat melalui cara sebagai berikut:
1)      Studi Pustaka
Peneliti membaca dan mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan prinsip sopan-santun yang menjadi masalah dalam penelitian ini,
2)      Analisis naskah drama
Peneliti membaca pemahaman naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami, dan menganalisis dialog-dialog yang didalamnya terdapat penyimpangan terhadap maksim penghargaan dan maksim kesederhanaan dalam prinsip sopan-santun.
3)      Dokumentasi naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami.

b.      TEKNIK PENGOLAHAN DATA
Setelah dilakukan pemerolehan data, data diolah melalui cara sebagai berikut:
a.         Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
-       Membaca naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-       Menuliskan setiap dialog yang menyimpang dari maksim penghargaan,
-       Menganalisis setiap dialog yang menyimpang dari maksim penghargaan sesuai dengan penyebab ketidaksantunannya dalam naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-       Menarik kesimpulan dialog-dialog yang menyimpang dari maksim penghargaan, disesuaikan dengan penyebab ketidaksantunannya, lalu memberikan keterangan atau maksud dialog tersebut sehingga dikatakan tidak santun.



b.             Untuk menjawab rumusan masalah yang kedua, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
-            Membaca naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-            Menuliskan setiap dialog yang menyimpang dari maksim kesederhanaan,
-            Menganalisis setiap dialog yang menyimpang dari maksim kesederhanaan sesuai dengan penyebab ketidaksantunannya dalam naskah drama “Sidang Susila” karya Ayu Utami,
-            Menarik kesimpulan dialog-dialog yang menyimpang dari maksim kesederhanaan, disesuaikan dengan penyebab ketidaksantunannya, lalu memberikan keterangan atau maksud dialog tersebut sehingga dikatakan tidak santun.

K.    JADWAL PENELITIAN

No

Kegiatan

Bulan

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
1.       
Tahapan persiapan surat-menyurat, persyaratan administrasi
*
*








2.       
Tahapan kajian hipotesis dan memformulasikan tesis awal dan data

*
*
*






3.       
Tahapan pencarian data dan penganalisisan lanjutan



*
*
*




4.       
Tahapan pengolahan data lanjutan dan formulasi akhir





*
*



5.       
Penulisan laporan pertama






*
*
*

6.       
Seminar








*

7.       
Perbaikan penulisan akhir








*
*

L.     PERKIRAAN BIAYA
No.
Biaya-biaya
Nominal
1.       
Biaya perjalanan
a.       Studi pustaka
b.      Konsumsi dan akomodasi di lapangan

Rp. 2.500.000,-
Rp. 2.000.000,-
2.       
Biaya pertemuan dan seminar
Rp. 1.500.000,-
3.       
Biaya pembelian bahan
a.       Beli buku-buku referensi
b.      Biaya peminjaman laporan akhir
c.       Beli modem
d.      Pulsa Internet
e.       Kertas dan alat tulis

Rp.    550.000,-
Rp.    250.000,-
Rp.    390.000 ,-
Rp.    500.000,-
Rp.    300.000,-
4.       
Biaya penggandaan bahan penelitian
a.       Fotokopi arsip dan dokumen
b.      Fotokopi proposal penelitian
c.       Fotokopi laporan akhir

Rp.    500.000,-
Rp.    200.000,-
Rp.    500.000,-
5.       
Biaya cetak data laporan
Rp.    150.000,-

Jumlah
Rp. 9.340.000,-









M.   DAFTAR PUSTAKA

Ahyadi, Didi. 2012. Linguistik Umum. Kuningan: Universitas Kuningan
Apriani, Dian. 2010. Tindak-Tindak Berbahasa dalam Dialog Naskah Drama Orkes  Madun karya Arifin C. Noer. Kuningan: Universitas Kuningan
Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Lubis, Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Sugiantomas, Aan. 2014. Kajian Drama. Kuningan: Universitas Kuningan
Suharsaputra, Uhar. 2012. Metode Penelitian. Bandung: Reflika Aditama.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Analisis Kontrastif Bahasa. Bandung:
Angkasa.
Utami, Ayu. 2008. Sidang Susila. Jakarta: Spasi & VHR Book.


MATERI NEGOSIASI BAGIAN 2